Begitu tiba di rumah, Satrio langsung meminta istrinya berganti pakaian dan bersiap-siap sementara dia meminta izin pada Baskoro.“Pak, saya izin mau mengajak Dek Isha pergi ke puncak karena ada teman yang menikah di sana dan saya diundang.” Satrio berbicara dengan bapak mertuanya. “Kenapa kamu harus izin dulu sama Bapak? Isha itu sudah jadi istrimu, tanggung jawabmu. Mau kamu ajak ke mana saja itu sudah hak kamu, Sat,” timpal Baskoro sambil memandang menantunya.“Saya sama Dek Isha ‘kan masih menumpang tinggal di sini, Pak, tidak mungkin kalau mau pergi langsung pergi saja tanpa berpamitan sama Bapak dan Ibu,” jawab pria berambut ikal itu.Baskoro mengangguk. “Ya, pamitan mau pergi itu merupakan salah satu adab. Bapak sangat menghargainya. Silakan kalau kalian mau pergi. Bapak pesan, jaga diri kalian dan hati-hati selama dalam perjalanan,” cakapnya.“Ya, Pak. Terima kasih. Setelah resepsi tadi sudah tidak ada acara lagi ‘kan, Pak?” Satrio kembali bertanya pada mertuanya.Pria paruh
“Beb, apa-apaan sih!” Vita mendorong dada Surya kala pria itu mendekat padanya.“Loh katanya mau bulan madu seperti kakakmu dan suaminya. Ini ‘kan aku mau ngajak kamu bulan madu, Beb.” Surya memandang istrinya.“Itu sih bukan bulan madu tapi mencari surga dunia, Beb. Bulan madu itu pergi liburan terus bersenang-senang di sana,” sanggah Vita.“Kalau begitu liburan di rumah kita aja. Kita bebas bersenang-senang di sana. Tidak akan ada yang mengganggu,” ujar Surya.“Ish, jangan bikin aku makin kesal dong, Beb. Mana ada liburan di rumah yang belum jadi kaya gitu. Bulan madu itu menginap di hotel atau vila gitu,” tukas Vita.“Jadi intinya menginap di hotel atau vila gitu?” tanya Surya yang ditanggapi Vita dengan anggukan.Surya mengembuskan napas panjang. “Oke, kalau itu maumu. Kita menginap semalam di BlueDoorz atau Owo yang tarifnya di bawah dua ratus ribu,” putusnya kemudian.Vita membelakkan mata. “Apa? Menginap di sana? Ga elit banget sih, Beb. Aku ga mau.” Dia menolak usulan pria yan
Satrio seketika menoleh pada istrinya. “Itu orang tuanya teman Abang, Dek. Abang sudah akrab sama mereka, jadinya sudah seperti orang tua sendiri,” jawabnya.“Bang Satrio, sudah sering ya ke sini sampai akrab sama Mang Ujang dan Bi Asih?” Isha kembali bertanya.Satrio mengangguk. “Dibilang sering juga tidak, beberapa kali saja. Biasanya Abang tidak cuma sehari menginapnya, jadi akrab karena sering ngobrol kalau di sini,” jelasnya.“Silakan diminum tehnya,” ucap Asih seraya meletakkan dua cangkir teh panas ke atas meja makan.“Den Bhumi sama Neng Isha, sudah makan atau belum?” tanyanya kemudian.“Belum, Bi. Tidak usah disiapkan biar nanti kami beli di luar saja. Sekalian mengajak istri saya jalan-jalan. Menikmati malam di sini,” jawab Satrio.“Bibi tadi sudah masak kok, Den. Tinggal dihangatkan saja kalau mau makan. Tapi kalau ingin makan di luar juga tidak apa-apa. Biar Bibi masukkan ke kulkas,” tukas Asih.“Bang, kita makan di sini saja. Besok saja jalan-jalannya. Bang Satrio juga pa
Satrio keluar dari kamar setelah memastikan istrinya benar-benar tidur. Dia pergi ke ruang televisi untuk mengambil pakaiannya dan Isha yang berserakan di sekitar sofa. Pria itu sekaligus merapikan ruangan-ruangan yang tadi menjadi saksi bisu kemesraannya dengan Isha. Lebih tepatnya menghapus jejak cinta mereka. Satrio kemudian masuk ke sebuah ruangan yang seperti ruang kerja di dekat dapur. Dia menyalakan komputer sebelum mendudukkan diri di kursi. Pria itu langsung memegang tetikus dan menggerakkannya. Tak lama muncul video cctv dari berbagai sudut vila pada layar monitor.Pria berambut ikal itu kemudian mencari rekaman CCTV ruangan yang tadi digunakan untuk bermesraan dengan Isha. Setelah menemukan rekamannya, dia gegas menghapus dan memastikan tidak ada yang terlewat agar tidak ada yang melihat aktivitas panasnya dengan sang istri. Usai melakukan yang harus dilakukan, Satrio kembali ke kamar lalu menyusul Isha ke alam mimpi.“Bang, bangun. Mandi terus salat Subuh dulu.” Isha yang
Surya menyugar rambutnya begitu mengingat Vita sedang mengandung anak mereka. Hubungannya dengan Vita tidak seperti pacaran pada umumnya yang melakukan sentuhan fisik hanya dengan berpegangan tangan atau berpelukan. Mereka mulai melakukan hubungan suami istri sejak Surya menyatakan keseriusannya ingin menikah dengan Vita. Membuat gadis yang sangat mencintai Surya itu pun mau menyerahkan kehormatannya pada sang kekasih padahal belum ada ikatan halal di antara mereka. Keduanya beberapa kali melakukan check-in di hotel sepulang kerja atau saat malam mingguan. Biasanya Surya menggunakan pengaman atau melepaskan di luar. Namun satu hari Surya mengajak Vita berhubungan tanpa pengaman karena sudah tidak tahan lagi. Karena terlalu menikmati, dia lupa menarik diri dan melepaskan benihnya di rahim Vita hingga kini tumbuh janin di sana. Itulah yang mendorong Vita ingin cepat menikah dengan Surya. “Beb, mau ke mana?” tanya Vita saat suaminya beranjak dari tempat tidur.“Mau merokok. Asem mulutk
Bakda Asar, Satrio dan Isha meninggalkan vila. Satrio mengenakan kemeja, blazer, dan celana bahan berwarna krem, sementara Isha mengenakan gamis semi formal berbahan satin yang warnanya senada dengan sang suami. Dress code pesta sore itu memang warna krem sesuai yang tertera di undangan.Meskipun riasan Isha hanya sederhana karena merias sendiri, dia tetap terlihat cantik alami. Isha diam-diam belajar merias wajah agar tidak membuat malu suaminya bila diajak bepergian. Setidaknya dia bisa mengaplikasikan dasar riasan dengan benar dan tidak terlihat berlebihan. Satrio memang tak peduli apa kata orang, tapi Isha peduli.Wajah Isha sekarang jadi lebih cerah dan terawat karena Satrio pernah mengajaknya ke salon kecantikan untuk mengecek kondisi kulit dan melakukan perawatan wajah. Sejak itu, dia jadi rutin menggunakan berbagai macam krim dan serum agar wajahnya terlihat lebih bersinar. Semua itu Isha lakukan demi Satrio. Dia juga ingin secantik Gwen yang kulit wajahnya terlihat kinclong d
Isha tak langsung menjawab pertanyaan Satrio karena memikirkan jawaban yang tepat. “Aku penasaran saja bagaimana Bang Satrio yang orang biasa, bisa kenal sama orang-orang kaya seperti mereka. Biasanya ‘kan orang-orang kaya hanya bergaul dengan yang dari kalangan mereka saja,” cakapnya seraya memandang suaminya yang sedang fokus mengemudi.Satrio mengulum senyum, lantas mengerling sekilas pada Isha. “Tidak semua orang kaya seperti itu, Dek. Kebetulan teman-teman Abang itu low profile semua. Mereka mau berteman dengan berbagai kalangan dan tidak pernah membeda-bedakan dari mana asalnya,” jelas pria berambut ikal itu.“Jangan-jangan Bang Satrio sekolah di sekolahan elit jadi bisa berteman baik sama mereka?” Isha tampak masih belum percaya dengan penjelasan yang diberikan sang suami.Bukannya menjawab, Satrio malah tertawa. “Tidak semua orang kaya sekolahnya di sekolah elit, Dek. Banyak kok yang di sekolah negeri,” timpalnya setelah berhenti tertawa.“Mungkin karena aku sekolahnya tidak d
Isha membalas tatapan sang suami. Entah bagaimana Satrio bisa tahu apa yang ada di hatinya. Apakah Satrio sekarang sudah bisa membaca pikiran?“Jangan sok tahu, Bang. Memangnya Bang Satrio bisa melihat isi hatiku?” kilahnya.“Kalau tahu apa yang jadi ganjalan di hati Dek Isha, Abang tidak akan bertanya, Dek.” Satrio menghela napas panjang. Dia tampak frustrasi karena istrinya tidak mau jujur.“Dek, kita sudah jadi suami istri selama tiga bulan. Sedikit banyak Abang jadi lebih mengenal pribadi Dek Isha. Abang tahu saat Dek Isha bahagia, marah, kesal, jujur, bohong hanya dengan melihat wajah Dek Isha,” papar pria berambut ikal itu.“Karena itu Abang mohon dengan sangat, keluarkan apa yang ada di hati Dek Isha biar Abang tidak merasa bersalah. Abang merasa gagal jadi suami karena tidak bisa membuat Dek Isha bahagia,” imbuhnya dengan wajah sendu.“Bang Satrio tidak salah, aku saja yang overthinking. Maaf karena sudah membuat hubungan kita jadi tidak nyaman, Bang,” lontar Isha yang jadi me
“Beb, benar ini alamat perumahannya Mbak Isha?” tanya Vita pada suaminya waktu mereka tiba di depan gerbang perumahan elite.Surya mengangguk. “Iya. Sesuai alamat dan map yang dikasih sama Bang Satrio.”“Coba deh tanya dulu sama yang jaga, Beb,” pinta Vita.“Kamu aja sana yang tanya. Kan kamu yang ragu,” timpal Surya yang enggan keluar dari mobil.Vita akhirnya turun dari mobil dan bertanya pada petugas yang berjaga di gerbang. “Selamat pagi, Pak. Apa benar Mbak Isha dan Bang Satrio tinggal di komplek ini?” tanyanya.“Tinggal di blok apa dan nomor rumahnya berapa ya, Bu? Mohon maaf kami tidak hafal nama panggilan setiap pemilik rumah,” timpal sang penjaga.Vita membuka gawai lantas menunjukkan undangan digital yang dikirim oleh Isha beberapa hari yang lalu pada penjaga tersebut. “Ini alamatnya, Pak. Hari ini mereka ngadain acara syukuran di rumahnya,” ucapnya.“Oh, rumahnya Pak Bhumi. Benar di sini rumahnya,” sahut penjaga itu.“Kalau begitu bisa minta tolong dibukakan gerbangnya, Pak
“Beb, Sabtu besok kita diundang syukuran empat bulanan hamilnya Mbak Isha sekaligus syukuran rumah. Kamu bisa ikut ‘kan?” Vita bicara pada Surya yang sedang asyik berbalas pesan di gawainya padahalSurya menoleh pada istrinya. “Jam berapa? Sabtu besok aku ada rapat persiapan reuni lagi,” ucapnya.“Pagi, jam 9.00. Bisa ‘kan?” Vita memandang suaminya dengan penuh harap.“Bisa, tapi aku paling sebentar. Setor muka aja soalnya teman-teman janjiannya jam 10.00 pagi,” timpal Surya yang kembali asyik dengan gawainya.“Emang ga bisa ya telat datang rapatnya atau izin sehari aja ga ikut? Kamu tuh setiap minggu rapat terus. Apa aja sih yang dibahas sampai harus setiap Sabtu dan Minggu rapatnya?” protes Vita.“Karena setiap Sabtu dan Minggu kamu pergi, kita itu sampai ga punya waktu buat berdua, Mas,” sambung wanita yang sedang hamil itu.“Kita ‘kan setiap hari ketemu, Vit. Tiap malam tidur bareng. Berangkat dan pulang kerja juga selalu bareng. Lima hari loh kita bersama terus,” sahut Surya.“Re
"Apa? Yang benar, Pak?" sergah Lina tak percaya."Silakan Ibu tanya pada teman saya yang lain, kalau ibu tidak percaya," timpal sang penjaga keamanan."Tapi, ga mungkin itu Satrio. Penampilannya saja beda banget. Satrio itu rambutnya gondrong setelinga, terus ikal gitu. Ga klimis kaya tadi." Lina masih saja menyangkal kenyataan."Silakan Ibu mau percaya atau tidak. Tapi apa yang saya katakan itu benar," tukas penjaga keamanan tadi.“Bu Baskoro ini gimana sih? Masa tidak kenal sama menantunya sendiri. Itu tadi sebenarnya Satrio apa bukan?” celetuk salah satu ibu-ibu.“Kayanya bukan, Bu. Tadi Pak Satpam ‘kan manggilnya Pak Bhumi, bukan Pak Satrio,” timpal yang lainnya."Benar apa yang dikatakan teman Ibu itu. Bukankah tadi Ibu mengaku mertuanya Pak Bhumi? Tapi Ibu sama sekali tidak kenal waktu Pak Bhumi lewat. Pak Bhumi pun tidak menyapa Ibu, padahal beliau jelas tahu Ibu berdiri di sini. Sudahlah, Bu, tidak usah menipu kami dengan mengatakan hal yang tidak masuk akal seperti tadi," lon
“Beberapa hari ini kok rumahnya sepi, Bu? Pulang ke kampung ya?” tanya pemilik warung pada Lina saat sedang belanja di sana.Lina tersenyum. “Bukan ke kampung, Bu, tapi ke puncak. Menantu saya ngajak staycation di vila miliknya,” jawabnya dengan penuh rasa bangga.“Suaminya Vita ya, yang ngajak,” tebak seorang tetangga yang juga sedang belanja di warung tersebut. Sepengetahuan para tetangga, keluarga Surya adalah orang berada karena Lina sering memuji suami Vita saat belanja di warung.Lina menggeleng. “Bukan, Bu. Tapi Satrio, suaminya Isha,” ungkapnya.“Apa? Satrio yang pengangguran itu, Bu?” seru salah satu ibu-ibu yang terkejut mendengar ucapan Lina.Istri Baskoro itu mengangguk. “Iya. Ibu-ibu pasti kaget ‘kan?” tanyanya sambil melayangkan pandangan pada ibu-ibu yang sedang belanja di sana dan dijawab dengan anggukan oleh mereka.“Saya juga kaget waktu tahu siapa sebenarnya Satrio,” ucap Lina sambil tersenyum menyeringai.“Memangnya siapa sebenarnya Satrio, Bu? Artis sinetron atau
Surya masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Berjaga-jaga kalau Vita tiba-tiba menyusul ke kamar. Setelah memastikan keadaan aman, Surya pun mengambil ponsel pintarnya yang ada di saku celana.“Ke, kenapa kamu telepon? Kamu tahu ‘kan aku lagi ngumpul sama keluarga istriku?” cecar Surya begitu menerima panggilan di gawainya.“Aku ‘kan khawatir sama kamu, Ya. Tadi katanya mau ngabarin kalau udah nyampai puncak. Tapi kamu sama sekali ga ngabarin aku. Pesanku juga ga kamu buka, apalagi dibalas. Makanya aku telepon biar aku tahu di mana posisimu sekarang.” Ike beralasan.Surya mendesah. “Sori, aku lupa. Tadi begitu nyampe, aku langsung tidur. Aku nyampe sini tadi sekitar jam empat. Aku sekarang lagi barbekuan sama keluarga istriku dan kakak iparku. Udah ya, Ke. Aku ga bisa lama-lama ngomong sama kamu.” Tanpa menunggu tanggapan dari Ike, Surya mengakhiri panggilan tersebut. Suami Vita itu lantas menonaktifkan ponselnya agar Ike tak lagi menghubunginya. Dia memasukkan ponselnya ke tas ransel
Vita terkejut saat bangun karena pinggangnya terasa berat. Begitu tahu kalau tangan Surya yang menindih tubuhnya, Vita pun tersenyum. Wanita itu kemudian memutar badannya hingga berhadapan dengan sang suami tercinta. “Kamu kok sweet banget sih, Beb,” ucap Vita sambil menyentuh wajah suaminya.Surya yang merasa terganggu tidurnya karena mendapat sentuhan, lantas membuka mata. “Sudah bangun, Beb?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.Vita mengangguk. “Jam berapa nyampe? Kok ga ngabarin kalau mau ke sini?” Dia menatap lekat wajah yang sangat dirindukannya itu.“Sekitar jam empat. Emang sengaja ga ngabarin biar jadi kejutan,” timpal Surya sambil meringis. “Kamu pasti terkejut ‘kan. Hayo ngaku!” sambungnya.Wanita yang sedang hamil itu kembali mengangguk. “Aku benar-benar terkejut sih, Beb. Kirain tadi Ibu yang pindah tidur di sini. Tapi aku bingung, kok pakai meluk pinggang segala? Ibu ‘kan ga pernah meluk pinggangku kalau tidur bareng. Setelah kulihat kok ternyata tanganmu, Be
"Ga mampir ngopi dulu, Ya?" tanya Ike saat Surya menghentikan mobil di depan pintu lobi bangunan apartemen dan tidak masuk ke area parkir.Surya menggeleng. "Makasih. Lain kali aja, Ke," sahutnya sambil menurunkan kaca jendela pintu yang dibuka oleh petugas yang berjaga di depan lobi."Oke. Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau udah nyampe," pesan Ike sebelum turun dari mobil."Siap. Aku pergi dulu," pamit Surya setelah Ike turun dan menutup pintu mobil.Ike melambaikan tangan saat kendaraan milik Surya itu meninggalkan kompleks apartemennya. Setelah mobil tak terlihat lagi, dia baru masuk ke lobi lantas berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai sepuluh di mana unitnya berada.Surya memutuskan menyusul Vita ke puncak untuk mengurangi rasa bersalahnya karena sejak semalam sampai tadi, Ike terus menempel padanya. Wanita itu bahkan tak malu bergelayut manja di lengannya saat berkumpul dengan teman-teman kuliah mereka. Memang tidak semua teman kuliahnya tahu kalau dia su
“Vit, ayo pergi.” Lina menarik putrinya yang tak bergerak dan terus memandangi kakak iparnya padahal mereka sudah berpamitan pada Isha dan Satrio. Baskoro pun sudah beranjak dari taman samping.“Bu, aku ga jadi ikut aja.” Vita coba melepas tangan sang ibu yang menarik lengannya.“Kenapa ga jadi ikut?” Lina mengerutkan kening melihat sikap Vita. “Jangan punya pikiran aneh-aneh, Vit! Mending kamu ikut aja. Bapak sudah nungguin di mobil.” Lina tetap menarik putri kandungnya itu menuju mobil yang akan membawa mereka ke kebun teh.“Ibu kenapa sekarang maksa aku ikut sih,” protes Vita saat sedang berjalan menghampiri mobil yang sudah menanti mereka.“Mau ngapain juga kamu di sini sendirian? Mau jadi obat nyamuk buat Isha sama Satrio? Nanti galau lagi karena ga ada Surya,” lontar Lina dengan frontal.Vita mendengkus mendengar ucapan sang ibu yang kalau dipikir-pikir ada benarnya. Isha dan Satrio pasti terus berduaan. Mereka seperti ga pernah terpisah sebentar saja. Di mana ada Isha pasti ada
"Dek, renang yuk." Satrio mengajak Isha usai mereka menjalankan salat Duha sendiri-sendiri di kamar."Airnya dingin banget ga, Bang?" tanya Isha sambil melipat mukenanya.Satrio yang sedang melepas baju koko, menggeleng. "Ga terlalu, Dek. Ini 'kan udah agak siang. Matahari juga udah nongol dari tadi," jawabnya."Tapi aku ga bawa baju renang, Bang," lontar Isha seraya meletakkan alat salatnya di atas meja."Coba dicek dulu, Dek. Harusnya ada karena kemarin Abang masukin baju renang ke koper," timpal Satrio.Isha tampak terkejut. "Serius, Bang Satrio, masukin baju renang ke koper? Kok aku ga tahu sih?" ucapnya dengan kening yang mengerut."Abang masukin waktu Dek Isha lagi mandi kayanya," cakap Satrio sambil mengingat-ingat saat melakukannya."Masa sih?" Isha kemudian membuka koper pakaian mereka. Dia memang tak mengeluarkan pakaian dari koper dan menatanya di lemari karena semalam sudah capek setelah tiba di vila. Mau dikeluarkan semua juga tanggung karena tinggal semalam lagi mereka m