***"Mas, tenang!" bentak Vano. Belum genap 24 jam tim kepolisian sudah menemukan pelaku terror yang meresahkan dua wanita dalam hidupnya. Tomi mengusap wajahnya kasar. Dia tidak mengenal laki-laki di depannya, tapi melihat raut kaget di wajah Gina dan keluarganya, Tomi menjadi yakin jika mereka mengenal laki-laki yang sedang tersudut di ruangan ini."Apa yang Lo mau?"Laki-laki itu terkekeh. Dia mengusap sudut bibir yang berdarah akibat tonjokan Tomi sementara sekarang ada dua polisi yang berjaga, bagaimana seharusnya Tomi tidak melakukan kekerasan di kantor polisi. Begitulah aturannya. "Jadi kamu menolakku karena laki-laki brutal ini, Gina?" tanya Hifzi tenang. "Lihat perbedaan aku dan dia, aku memakai baju kokoh dan celana formal sementara calon suamimu hanya laki-laki berkaos. Apa kamu tidak menyesal menikahi laki-laki yang minim ilmu agama?""Seharusnya kamu mau aku nikahi, aku pasti bisa membantumu untuk menjadi muslimah yang sangat baik. Lihat, aku ini seorang ustad muda, ilm
***"Tapi apa, Mbak?""Calon bayimu tidak selamat, Kus!"Tubuh Kusaini luruh di lantai rumah sakit. Air matanya mengalir begitu saja tanpa bisa dia cegah. Tidak peduli tatapan orang yang melihat ke arahnya. Kus merasa hancur, dia merasa dejavu dengan keadaan yang sedang menimpanya saat ini. "Setelah bayi Gina, sekarang kenapa harus bayi Kalila, Bu ...."Eni menutup matanya rapat membuat air mata semakin mengalir deras. Hesti yang sedang menggendong Feli pun membuang muka, tidak kuasa melihat tangisan adik laki-lakinya yang terlihat hancur. Meskipun sejak awal Kus tau jika bayi itu bukanlah bayinya, tapi kasih sayang Kusaini benar-benar tulus. Dia berharap Kalila dan calon bayinya selamat. "Kenapa hukuman Tuhan seberat ini," ucapnya tersengal. Kusaini menangis tergugu dengan mencengkeram lututnya. "Apa sebegitu tidak pantasnya aku menjadi seorang Ayah? Apa Tuhan begitu marah, Bu ....?"Kus menutup wajahnya dengan duduk diantara dua kakinya. Dia tidak bisa lagi menyembunyikan kesediha
***"Setidaknya aku bisa menjaga Gina, Pak. Bagaimana kalau hal seperti tadi terjadi lagi," sahut Tomi tegas. Dia merasa apa yang dia inginkan sudah benar, tapi berbeda lagi dengan pemikiran kedua orang tuanya. "Aku takut jika aku dan Gina akan terpisah lagi."Karim manggut-manggut mencoba memahami kekalutan putranya. Bagaimana tidak, mereka sudah mengalami banyak sekali permasalahan yang membuat keduanya sulit bersatu. Sangat wajar jika Tomi tiba-tiba takut kehilangan Gina kali ini."Beri waktu agar Gina bisa menjaga dirinya, Tom. Kamu tau kan kalau semua ini terjadi juga karena Gina yang ceroboh? Dia terbiasa pergi kemana-mana sendiri sehingga memberikan peluang bagi laki-laki di luaran sana."Tomi nampak mencerna ucapan Karim. Bapaknya benar, selama ini Gina merasa aman dan baik-baik saja meskipun keluar rumah sendirian tanpa memperhitungkan apa yang akan terjadi apalagi di hari-hari menjelang pernikahan mereka."Jangan gegabah, pernikahan bukan sebatas akad lalu kamu bebas mengatu
***"Apa maksudmu, Pau?" Nani kembali bertanya dengan raut kebingungan.Paula melengang meninggalkan Nani dan Handoko di ruang tamu. Paula pikir Handoko akan kembali menemui Tirta setelah mendapat penolakan beberapa hari yang lalu. Tapi dia salah, Handoko ingin memberi sedikit pelajaran pada Asvia.Tidak ingin larut dalam pertanyaan-pertanyaan Nani nanti, Handoko memilik pergi saat itu juga dan mencoba abai pada ucapan Paula."Kamu mau kemana, Han?" teriak Nani. "Kalau sampai kamu berbuat kriminal lagi, Ibu lepas tangan!"Handoko hanya mengangguk tanpa menyahut. Dia hanya ingin menemui Asvia dan meminta rumahnya kembali. Itu saja! Sepanjang perjalanan menuju rumah Asvia, Handoko tiba-tiba terketuk ingin meminta maaf pada Tomi. Bagaimanapun Tomi adalah korban dari kesalahpahaman yang dia ciptakan. Dia merasa jika Tomi sudah mencuci otak Tirta dan membuat bocah itu tidak mau bertemu dengannya, tapi ternyata pemikirannya selama ini salah. Handoko menyadari jika yang membuat Tirta memben
***"M-- Mas Handoko?" ucap Asvia gagap. "Bagaimana ... Bagaimana bisa kamu keluar dari penjara?"Wajah Asvia memucat. Dia menggendong bayinya dengan erat bersiap lari dan masuk ke dalam rumah. Tapi Handoko seperti mengetahui kuda-kuda yang Via persiapkan sehingga jalan menuju pintu rumah dia tutup menggunakan tubuhnya."Kenapa kaget, Vi? Apa kamu pikir aku tidak bisa keluar dari penjara? Kamu lupa siapa Ibuku? Istri almarhum Juragan Tanah di kampungnya.""Siapa, Via?"Seorang laki-laki paruh baya keluar dari dalam rumah. Kedua matanya melebar sempurna melihat mantan menantu yang selama ini dia pikir mendekam di penjara. "Apa kabar, Pak?"Handoko mendekat hendak menjabat tangan Husain. Tapi Asvia dengan sigap menahan langkah mantan suaminya agar tidak menyentuh keluarganya. Entah mengapa Asvia memiliki firasat buruk tentang kedatangan Handoko kali ini."Untuk apa kamu kesini?" tanya Husain tegang. "Kamu dan Asvia sudah bercerai, jangan mengganggu anakku lagi, Handoko!"Handoko terbah
***"Gin," panggil Tomi lirih. Dia menggenggam jemari istrinya dengan lembut. "Tenang! Ada Mas disini."Gina memejamkan matanya. Dia meraup udara dengan rakus berusaha membuang sesak di dalam dada dan menggantinya dengan udara baru.Kusaini menarik lagi uluran tangannya. Dia mati kutu saat tangannya dibiarkan mengambang di udara oleh mantan istrinya itu, sementara Kalila justru menunduk dalam. Ada rasa nyeri saat melihat luka di wajah Kusaini. "Ma-- Maaf, Mas Kus ... Kalila. Terima-- Terima kasih su-- sudah mau da-- datang," ujar Gina gagap. Dia mencengkeram jemari Tomi agar rasa takutnya bisa berkurang. Bayangan luka yang Kusaini ciptakan bagai menari-nari di pelupuk matanya. Kus dan Kalila mengangguk. Tanpa berjabat tangan atau melakukan adegan berfoto terlebih dahulu mereka seketika turun dari atas pelaminan dengan ekspresi menahan malu. Beruntung pada tamu tidak begitu memperhatikan, jika tidak ... maka keduanya pasti akan menjadi bahan gunjingan. Apalagi semua tetangga dan kera
***Kalila membuang muka. Dia berharap Kusaini akan mengelak tuduhannya tapi ternyata ...."Aku terluka karena Gina terlihat begitu takut kepadaku, padahal dulu kita adalah sepasang suami istri yang saling mencintai," Kus terkekeh geli, "Tidak! Mungkin lebih tepatnya hanya akulah yang mencintai Gina, tapi dia tidak! Aku selalu berpikir positif jika sikap tak acuh dan ketus Gina adalah wujud dari keangkuhannya mengakui sebuah cinta. Tapi lagi-lagi aku salah, Kalila. Sejak kami menikah, Gina memang tidak mencintaiku dan aku baru menyadari itu."Kedua mata Kalila memanas. Cerita masa lalu Kusaini bagai momok di telinganya. Tapi rasa penasaran akan kehidupan di masa lalu Kusaini dengan Gina membuat Kalila sengaja menahan mulut agar tidak membuat Kus menghentikan ceritanya."Kamu benar sekali, Lila. Aku terluka karena melihat wanita yang dulu aku cintai terlihat hancur saat berhadapan denganku. Kamu benar!" Kus memeluk tubuh Kalila dan menangis di dadanya. Entah mengapa, perasaan nyeri di
***"Diam kamu, Darto!" bentak Diah naik pitam. "Ayo masuk, kita bicarakan ini di dalam, Nia. Apa kamu mau Ibu berada di luar dengan keadaan tanpa baju, Ibu malu!"Dania menghalangi langkah Diah. Sorot matanya kini menyiratkan kebencian yang mendalam. Hingga sepersekian detik, tawa wanita itu menggelegar membuat semua yang ada di depan rumahnya menatap heran."Malu ...? Ibu bilang kalau ibu malu? Lalu saat berdua dengan lelaki busuk apa yang Ibu rasakan? Nikmat, mendesah atau menggelinjang jalang?"Tangan Diah melayang di udara, tapi Dania dengan cepat mencekal pergelangan tangan Ibunya dan menghempasnya kasar. "Aku selama ini rela menjadi wanita kotor demi siapa, Bu? Coba katakan! Demi Ibu aku melakukan semua perbuatan menjijikkan agar kita bisa bertahan hidup!" Suara Dania yang meninggi mulai terdengar serak. "Ibu selalu menganggap jika kematian Bapak adalah kesalahanku sehingga seumur hidup aku dituntut untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Aku mencoba memahami rasa kehilangan Ibu den
Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf
Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse
***"Darimana kamu tahu kalau Bang Nando menaruh hati pada Sea, Sayang?"Anita mengedikkan bahu. Dia bangkit dan berjalan menjauhi Bagas yang saat ini nampak cengo karena keterkejutannya barusan."Anita ...," pekik Bagas tertahan mengingat sekarang dia sedang berada diantara banyak tamu undangan.Anita menghentikan langkah dan bergelayut manja di lengan Halimah. Wanita cantik itu sekarang tidak segan-segan untuk memeluk mertuanya karena selama ini Halimah memang mencurahkan perhatiannya pada Anita."Bawa Anita pulang, Gas. Dia pucat sekali," ucap Halimah panik. Dia mengusap-usap pipi menantunya dengan lembut. "Pulanglah, acaranya mungkin akan selesai agak malam. Kamu istirahat saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Sea nanti."Anita mengangguk patuh. Dia mengikuti langkah Bagas dengan jemari yang saling bertaut. Acara pernikahan Sea memang di adakan di sebuah hotel ternama, perjalanan untuk pulang ke rumah mereka pun menempuh waktu sekitar dua puluh menit."Kamu belum menjawab pertanyaa
***"Nit, kami ...."Anita beralih menatap Tomi dan Gina. Sorot matanya penuh selidik sampai suara Sea membuatnya tiba-tiba terpekik dan berjingkrak bahagia seperti gadis kecil yang mendapat mainan. "Kami ... sebentar lagi akan menikah.""Hah? Serius, kalian ... tidak lagi membohongi aku kan?"Sea menggeleng. Dia merentangkan tangan untuk menyambut tubuh Anita, sahabat yang paling baik yang ia punya selama ini. Sea dan Tirta tertawa ketika Anita jingkrak-jingkrak senang dengan kabar yang ia dengar."Kamu membuatku takut, Se!" Anita mengusap air mata sambil memeluk Sea. "Kalian ... akhirnya. Ya Tuhan!" Anita kembali memekik bahagia. Dia mengurai pelukan dan berlari menuju Gina. Tanpa aba-aba lagi, kedua wanita beda generasi itu saling memeluk dan menangis lirih. Betapa Tomi merasa haru dengan suasana di depan matanya. Siapa sangka, restu yang ia berikan justru memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya Sea dan Tirta. "Kami sudah lelah menangis, Nit. Ayolah, kalau kamu masi
***"Brengsek! Berani-beraninya dia ngusir kita, Mas?!" jerit Nayna marah. Bibirnya mengerucut sembari satu tangan mengusap dahi yang mulai berpeluh. "Harusnya kamu bisa tegas sama istrimu itu, Mas! Bagaimanapun kamu adalah kepala keluarga, jangan lembek gini dong!" Suara Nayna semakin membuat kepala Rayan berdenyut nyeri. "Diam, Nay!""Kenapa kamu malah bentak aku? Harusnya kamu bentak saja di Prisa yang kurang ajar itu!""Semua ini salah kamu! Murahan! Kamu bisa kan bersikap baik di depan Prisa bukan malah menyulut pertengkaran seperti ini!""Ya, ya! Salahkan saja aku terus, Mas! Bela wanita mandul yang tidak berguna itu! Aku muak melihat sikapmu yang lemah di depan Prisa!"Plak ....Nayna memegang pipi kanannya yang terasa panas. Tidak ada air mata melainkan hanya kemarahan yang bersarang di dadanya saat ini. "Tampak! Tampar yang banyak kalau perlu bunuh sekalian bayimu ini! Pria miskin! Aku menyesal mau mengakui anak ini sebagai darah dagingmu!"Rayan mengusap wajahnya kasar. Pe
***Tirta dan Sea bergeming. Ucapan Tomi membuat rasa percaya diri Tirta yang sempat tumbuh terasa dihempas begitu saja. Ternyata, setelah bisa mendapatkan kembali hati Sea, ia harus melalui satu jalan lagi yaitu Tomi dan Gina. "Ada banyak pria di luaran sana, Sea! Kamu cantik, mandiri dan ... kamu bisa mencari pria lain tanpa harus terjebak dengan pria yang sama!" ucap Tomi marah. "Kamu lupa ... dia bahkan rela memohon agar wanita yang sudah membuatmu celaka itu bebas. Jangan bodoh!"Sea menunduk. Bodoh! Ya, dia memang sudah bodoh karena setelah berbulan-bulan terlewati, perasaannya pada Tirta terus saja tumbuh tanpa sedikitpun berkurang. Gina mengusap lengan Tomi dengan lembut. Kedua matanya menatap Sea dengan nanar. Putri yang ia anggap sudah melupakan Tirta ternyata masih memiliki perasaan yang begitu besar untuk pria itu."Dia sudah membuatmu terluka, Se. Apa kamu pikir Ayah akan melepaskanmu dengan pria yang sudah pernah membuatmu kecewa?""Yah ....""Tidak!" sahut Tomi tegas.
***Sea dan Tirta terlonjak. Wanita itu mengurai pelukan saat kedua matanya mulai terbuka dan mendapati sosok Freya berdiri di ambang pintu dengan air muka kebingungan."Fre mau ikut peluk," ucapnya polos. Sea merentangkan tangan dan menghambur di pelukan Sea. Bibirnya terus mengukir senyum seolah-olah dua pasangan di depannya bukanlah sebuah ancaman bagi Papanya. "Ini siapa, Tante? Papa ...." Freya memanggil Hamka ketika pertanyaannya tidak kunjung mendapat jawaban dari mulut Sea. "Ayo, sini! Kita pelukan sama-sama!"Brenda membuang muka. Sedikit banyak dia mulai mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya. Melihat Freya yang begitu dekat dengan Sea sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Brenda pada Hamka tadi."Kalian ... di-- dia kenal Sea?" tanya Brenda terbata. "Kalian ... sudah saling mengenal?"Hamka mengangguk sambil tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Freya dan meninggalkan Brenda di depan toko dengan rasa cemas yang luar biasa."Hai ...," sapa Hamka. "Maaf
***"Se, tolong dengarkan aku!" pinta Tirta memelas. Dia melangkah mendekati Sea yang memunggunginya sembari menutup telinga dengan dua tangan seakan-akan tidak ada yang ingin dia dengarkan dari mulut Tirta. "Aku datang hanya ingin menjelaskan semuanya. Setelah itu semua keputusan terserah padamu. Aku ... hanya ingin meminta maaf atas semua rasa kecewa yang kamu rasakan.""Untuk apa meminta keputusan dariku, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan semuanya sendiri? Kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang ... aku yang tidak sedang mengandung anakmu!" "Dia bukan anakku, Sea!""Dan aku tidak peduli!" teriak Sea. Air matanya berlomba-lomba untuk meluncur bebas ke pipi. "Anakmu atau bukan, yang jelas kamu sudah memilih Nayna daripada aku! Dan itu ... sudah cukup membuatku paham jika nama Nayna berada di posisi tertinggi dalam hatimu."Tirta menunduk. Langkahnya terhenti ketika Sea sudah berada tepat di depan matanya. "Bahkan setelah melukai hatiku berkali-kali, kamu datang dengan wani
***"Mana sarapan untukku?"Nayna duduk di kursi makan dengan melipat tangan. Persis seperti seorang anak kecil yang sedang menunggu sarapannya tersaji."Coba ulangi lagi!"Nayna mendengus kesal. "Ck! Jangan cari gara-gara ya, Mbak. Ini masih pagi, mood ku juga sedang buruk, kamu nggak mau kan kalau sampai aku ngadu ke Mas ....""Kamu pikir aku takut?""Ouh, jadi nantangin? Kamu mau tau siapa yang akan dipilih oleh suami kamu, begitu?" angkuh Nayna. "Lihat! Di perutku ada kehidupan lain, dia yang bertahun-tahun lamanya sangat diinginkan oleh Mas Rayan, yakin kalau aku merajuk dia bakalan lepas kamu begitu saja?"Wanita yang usianya jauh lebih tua di banding Nayna itu tertawa sumbang. Ya, tidak mengelak jika hadirnya seorang bayi adalah keinginan dia dan Rayan selama bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga. Tapi tidak dengan bayi dalam hubungan yang kotor. Rayan sudah mencurangi pernikahan mereka."Kenapa diam,