***"Gin," panggil Tomi lirih. Dia menggenggam jemari istrinya dengan lembut. "Tenang! Ada Mas disini."Gina memejamkan matanya. Dia meraup udara dengan rakus berusaha membuang sesak di dalam dada dan menggantinya dengan udara baru.Kusaini menarik lagi uluran tangannya. Dia mati kutu saat tangannya dibiarkan mengambang di udara oleh mantan istrinya itu, sementara Kalila justru menunduk dalam. Ada rasa nyeri saat melihat luka di wajah Kusaini. "Ma-- Maaf, Mas Kus ... Kalila. Terima-- Terima kasih su-- sudah mau da-- datang," ujar Gina gagap. Dia mencengkeram jemari Tomi agar rasa takutnya bisa berkurang. Bayangan luka yang Kusaini ciptakan bagai menari-nari di pelupuk matanya. Kus dan Kalila mengangguk. Tanpa berjabat tangan atau melakukan adegan berfoto terlebih dahulu mereka seketika turun dari atas pelaminan dengan ekspresi menahan malu. Beruntung pada tamu tidak begitu memperhatikan, jika tidak ... maka keduanya pasti akan menjadi bahan gunjingan. Apalagi semua tetangga dan kera
***Kalila membuang muka. Dia berharap Kusaini akan mengelak tuduhannya tapi ternyata ...."Aku terluka karena Gina terlihat begitu takut kepadaku, padahal dulu kita adalah sepasang suami istri yang saling mencintai," Kus terkekeh geli, "Tidak! Mungkin lebih tepatnya hanya akulah yang mencintai Gina, tapi dia tidak! Aku selalu berpikir positif jika sikap tak acuh dan ketus Gina adalah wujud dari keangkuhannya mengakui sebuah cinta. Tapi lagi-lagi aku salah, Kalila. Sejak kami menikah, Gina memang tidak mencintaiku dan aku baru menyadari itu."Kedua mata Kalila memanas. Cerita masa lalu Kusaini bagai momok di telinganya. Tapi rasa penasaran akan kehidupan di masa lalu Kusaini dengan Gina membuat Kalila sengaja menahan mulut agar tidak membuat Kus menghentikan ceritanya."Kamu benar sekali, Lila. Aku terluka karena melihat wanita yang dulu aku cintai terlihat hancur saat berhadapan denganku. Kamu benar!" Kus memeluk tubuh Kalila dan menangis di dadanya. Entah mengapa, perasaan nyeri di
***"Diam kamu, Darto!" bentak Diah naik pitam. "Ayo masuk, kita bicarakan ini di dalam, Nia. Apa kamu mau Ibu berada di luar dengan keadaan tanpa baju, Ibu malu!"Dania menghalangi langkah Diah. Sorot matanya kini menyiratkan kebencian yang mendalam. Hingga sepersekian detik, tawa wanita itu menggelegar membuat semua yang ada di depan rumahnya menatap heran."Malu ...? Ibu bilang kalau ibu malu? Lalu saat berdua dengan lelaki busuk apa yang Ibu rasakan? Nikmat, mendesah atau menggelinjang jalang?"Tangan Diah melayang di udara, tapi Dania dengan cepat mencekal pergelangan tangan Ibunya dan menghempasnya kasar. "Aku selama ini rela menjadi wanita kotor demi siapa, Bu? Coba katakan! Demi Ibu aku melakukan semua perbuatan menjijikkan agar kita bisa bertahan hidup!" Suara Dania yang meninggi mulai terdengar serak. "Ibu selalu menganggap jika kematian Bapak adalah kesalahanku sehingga seumur hidup aku dituntut untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Aku mencoba memahami rasa kehilangan Ibu den
***Diah menarik selimut membiarkan tubuh Darto bugil di depan banyak orang, sementara dirinya berjalan penuh emosi menghampiri ...."Bangsat kamu, Hesti!"Tangannya melayang di udara, Hesti dengan sigap mencekal pergelangan tangan Diah. Beruntung Feli tidak dalam gendongannya saat ini sehingga dia bisa leluasa mengajar Diah setelah bertahun-tahun lamanya memendam kebencian."Jauhkan tangan kotor ini dariku!" desis Hesti dengan kilat amarah."Persetan!" teriak Diah lantang. Dia menghempas tangannya sehingga bisa lepas dari cekalan Hesti. "Kamu pikir kamu menang setelah aku dan Dania bertengkar hebat seperti ini, hah?" "Asal kamu tau, Hes ... aku bukan merebut Darto dari Dania, tapi menantuku sendiri yang mendatangiku dan mengatakan jika tidak puas dengan pelayanan Dania. Lalu apa aku salah jika berusaha menggapai cintaku?"Di ambang pintu, Dania begidik ngeri mendengar Ibunya yang hampir kepala 5 mengatakan tentang cinta. "Apa ini yang namanya puber kedua?" batinnya."Lalu ... apa hu
***Tirta bergeming. Ingin menghambur di pelukan Handoko, tapi bayang-bayang masa lalu membuatnya takut. Bertapa Handoko sudah membuat mentalnya hancur hingga saat ini."Tidak! Aku tidak mau! Papa pergi!" teriak Tirta.Handoko luruh dengan bertumpu lutut. Air matanya mengalir deras, tidak peduli dengan tatap bingung pada pengendara dan lalu lalang siswa di sekolah Tirta. Di pikirannya hanyalah bagaimana dia bisa memeluk putra semata wayangnya bersama Astri yang selama ini sudah dia sia-siakan. Ternyata sakit rasanya saat darah daging sendiri tidak mau mendekat. Atau mungkin inikah yang Tirta rasakan selama ini? Hancur! Benar-benar merasa seperti seonggok daging yang tidak pernah Handoko anggap kehadirannya. Yang ada di mata lelaki itu hanyalah Asvia dan anaknya. Betapa bodoh ketika orang tua menjadikan anak sebagai korban dari keegoisan."Maafkan Papa, Nak ...," lirihnya dengan bibir bergetar. Tangis pertama di depan Tirta yang dia lakukan bukan tanpa sengaja. Dia sengaja karena panta
***Setelah kedatangan Handoko ke rumahnya, keadaan Astri tentu saja tidak baik-baik saja. Harapan untuk bisa hidup tenang tanpa mengingat betapa kasar perlakuan mantan suaminya itu pada Tirta kini musnahlah sudah. Handoko terlihat semakin ingin mendekati anaknya karena merasa bersalah yang teramat menguasai dirinya.Berkali-kali mata sendu itu mengerjap menatap jam yang tergantung di dinding. Tekadnya sudah bulat jika siang ini dia akan menjemput Tirta meskipun jarak antara rumah dan sekolahan anaknya tidaklah jauh. Tapi tetap saja, ucapan Handoko yang meminta kesempatan kedua untuk menebus rasa bersalahnya pada Tirta membuat Astri tidak tenang. "Tenangkan dirimu, As," tegur Sumi. "Jika Ibu boleh memberi saran, seharusnya kamu tidak punya hak penuh jika Handoko ingin mendekati Tirta. Jangan egois, anak sekecil dia masih butuh Mama dan Papanya saat ini. Kamu mau dia terus menerus murung karena kehilangan Tomi?"Astri bungkam. Sisi hatinya yang lain mengatakan jika apa yang Sumi katak
***"Katakan, Mas!"Suara Astri membuat beberapa tetangga melongok keluar. Sementara Handoko nampak meremas ponsel dengan kuat sembari membatin. "Apa maumu, As? Dulu kamu menggugat cerai, sekarang justru ingin kembali?""Han, apa istrimu menculik Tirta?" tanya Sumi. Handoko mendongak. Wajahnya memancarkan kemarahan terlihat jelas dari rahang yang mengatup rapat."Aku yang akan membawa Tirta pulang, jangan khawatir, As. Tidak akan kubiarkan anakku mendapat luka yang sama."Astri melengos. Dia merutuki kebodohannya sendiri karena terlalu lalai pada Tirta. Pikiran Astri sudah terlalu lelah dengan segala permasalahan yang ada sehingga dia sedikit melupakan keselamatan anaknya."Kalau sampai Tirta kenapa-kenapa, aku tidak akan memaafkanmu, Mas!"Handoko mengangguk. Dia meninggalkan halaman rumah Astri dengan sedikit tergesa. Yang ada di dalam pikirannya hanyalah bagaimana caranya bisa membawa Tirta kembali tanpa harus menikah untuk yang kedua kalinya dengan Asvia. Hanya laki-laki bodoh ya
***"Diam, atau kurobek mulutmu!" Tirta terperanjat dan seketika terdiam. Buku kuduknya meremang membayangkan Astri akan bertindak seperti dulu, menganiaya dirinya saat masih menjadi istri Handoko."Semua ini gara-gara kamu! Seharusnya mati saja anak sepertimu, Tirta! Kamu yang menyebabkan Mas Handoko masuk penjara, sialan!"Tirta menangis dalam diam. Berharap ada seseorang yang akan membantunya kabur dari genggaman Asvia."Aku mau pulang," seru Tirta dengan suara bergetar. "Lepaskan aku, Tante.""Diam!"Husain dan Jamilah yang baru saja pulang dari pasar seketika terkejut mendengar tangisan seorang anak di dalam rumahnya. "Apa yang kamu lakukan, Asvia!" Suara Husain terdengar meninggi. Kedua matanya menatap tajam putrinya yang sedang sibuk menekan ponsel dalam genggaman sementara seorang anak laki-laki dia ikat di kursi dengan tangan masing-masing berada di pinggiran kursi. Tirta menangis histeris melihat ada orang lain di rumah Asvia. Dia berharap bisa keluar dari wanita gila itu