***Diah menarik selimut membiarkan tubuh Darto bugil di depan banyak orang, sementara dirinya berjalan penuh emosi menghampiri ...."Bangsat kamu, Hesti!"Tangannya melayang di udara, Hesti dengan sigap mencekal pergelangan tangan Diah. Beruntung Feli tidak dalam gendongannya saat ini sehingga dia bisa leluasa mengajar Diah setelah bertahun-tahun lamanya memendam kebencian."Jauhkan tangan kotor ini dariku!" desis Hesti dengan kilat amarah."Persetan!" teriak Diah lantang. Dia menghempas tangannya sehingga bisa lepas dari cekalan Hesti. "Kamu pikir kamu menang setelah aku dan Dania bertengkar hebat seperti ini, hah?" "Asal kamu tau, Hes ... aku bukan merebut Darto dari Dania, tapi menantuku sendiri yang mendatangiku dan mengatakan jika tidak puas dengan pelayanan Dania. Lalu apa aku salah jika berusaha menggapai cintaku?"Di ambang pintu, Dania begidik ngeri mendengar Ibunya yang hampir kepala 5 mengatakan tentang cinta. "Apa ini yang namanya puber kedua?" batinnya."Lalu ... apa hu
***Tirta bergeming. Ingin menghambur di pelukan Handoko, tapi bayang-bayang masa lalu membuatnya takut. Bertapa Handoko sudah membuat mentalnya hancur hingga saat ini."Tidak! Aku tidak mau! Papa pergi!" teriak Tirta.Handoko luruh dengan bertumpu lutut. Air matanya mengalir deras, tidak peduli dengan tatap bingung pada pengendara dan lalu lalang siswa di sekolah Tirta. Di pikirannya hanyalah bagaimana dia bisa memeluk putra semata wayangnya bersama Astri yang selama ini sudah dia sia-siakan. Ternyata sakit rasanya saat darah daging sendiri tidak mau mendekat. Atau mungkin inikah yang Tirta rasakan selama ini? Hancur! Benar-benar merasa seperti seonggok daging yang tidak pernah Handoko anggap kehadirannya. Yang ada di mata lelaki itu hanyalah Asvia dan anaknya. Betapa bodoh ketika orang tua menjadikan anak sebagai korban dari keegoisan."Maafkan Papa, Nak ...," lirihnya dengan bibir bergetar. Tangis pertama di depan Tirta yang dia lakukan bukan tanpa sengaja. Dia sengaja karena panta
***Setelah kedatangan Handoko ke rumahnya, keadaan Astri tentu saja tidak baik-baik saja. Harapan untuk bisa hidup tenang tanpa mengingat betapa kasar perlakuan mantan suaminya itu pada Tirta kini musnahlah sudah. Handoko terlihat semakin ingin mendekati anaknya karena merasa bersalah yang teramat menguasai dirinya.Berkali-kali mata sendu itu mengerjap menatap jam yang tergantung di dinding. Tekadnya sudah bulat jika siang ini dia akan menjemput Tirta meskipun jarak antara rumah dan sekolahan anaknya tidaklah jauh. Tapi tetap saja, ucapan Handoko yang meminta kesempatan kedua untuk menebus rasa bersalahnya pada Tirta membuat Astri tidak tenang. "Tenangkan dirimu, As," tegur Sumi. "Jika Ibu boleh memberi saran, seharusnya kamu tidak punya hak penuh jika Handoko ingin mendekati Tirta. Jangan egois, anak sekecil dia masih butuh Mama dan Papanya saat ini. Kamu mau dia terus menerus murung karena kehilangan Tomi?"Astri bungkam. Sisi hatinya yang lain mengatakan jika apa yang Sumi katak
***"Katakan, Mas!"Suara Astri membuat beberapa tetangga melongok keluar. Sementara Handoko nampak meremas ponsel dengan kuat sembari membatin. "Apa maumu, As? Dulu kamu menggugat cerai, sekarang justru ingin kembali?""Han, apa istrimu menculik Tirta?" tanya Sumi. Handoko mendongak. Wajahnya memancarkan kemarahan terlihat jelas dari rahang yang mengatup rapat."Aku yang akan membawa Tirta pulang, jangan khawatir, As. Tidak akan kubiarkan anakku mendapat luka yang sama."Astri melengos. Dia merutuki kebodohannya sendiri karena terlalu lalai pada Tirta. Pikiran Astri sudah terlalu lelah dengan segala permasalahan yang ada sehingga dia sedikit melupakan keselamatan anaknya."Kalau sampai Tirta kenapa-kenapa, aku tidak akan memaafkanmu, Mas!"Handoko mengangguk. Dia meninggalkan halaman rumah Astri dengan sedikit tergesa. Yang ada di dalam pikirannya hanyalah bagaimana caranya bisa membawa Tirta kembali tanpa harus menikah untuk yang kedua kalinya dengan Asvia. Hanya laki-laki bodoh ya
***"Diam, atau kurobek mulutmu!" Tirta terperanjat dan seketika terdiam. Buku kuduknya meremang membayangkan Astri akan bertindak seperti dulu, menganiaya dirinya saat masih menjadi istri Handoko."Semua ini gara-gara kamu! Seharusnya mati saja anak sepertimu, Tirta! Kamu yang menyebabkan Mas Handoko masuk penjara, sialan!"Tirta menangis dalam diam. Berharap ada seseorang yang akan membantunya kabur dari genggaman Asvia."Aku mau pulang," seru Tirta dengan suara bergetar. "Lepaskan aku, Tante.""Diam!"Husain dan Jamilah yang baru saja pulang dari pasar seketika terkejut mendengar tangisan seorang anak di dalam rumahnya. "Apa yang kamu lakukan, Asvia!" Suara Husain terdengar meninggi. Kedua matanya menatap tajam putrinya yang sedang sibuk menekan ponsel dalam genggaman sementara seorang anak laki-laki dia ikat di kursi dengan tangan masing-masing berada di pinggiran kursi. Tirta menangis histeris melihat ada orang lain di rumah Asvia. Dia berharap bisa keluar dari wanita gila itu
***Asvia menoleh. Dia menarik sudut bibirnya dan berjalan melenggok hendak menemui Handoko di depan pintu. Asvia merasa menang, dia pikir Handoko datang kesini karena mau kembali rujuk dengannya."Papa!" teriak Tirta. "Pa, aku mau pulang, hu ... hu ... hu ...."Asvia mencebik. Dia hendak melayangkan tamparan di pipi Tirta tapi Handoko dengan cepat meringsek masuk ke dalam rumah dan mencekal pergelangan tangan mantan istrinya itu."Lepas!" desis Asvia. "Dia pikir hanya dia yang bisa memanggilmu Papa, anakku juga! Dia darah dagingmu, Mas!"Handoko membuang muka. Andai saja kasus dengan Tomi tidak terjadi, mungkin dia tidak akan menyadari semua kesalahan yang sudah dia perbuat. "Jangan sentuh Tirta atau aku menolak kembali menikahimu.""Oh, jadi sekarang kamu berani mengancamku, begitu?""Kenapa tidak? Bukankah kamu ingin kita rujuk karena tidak tahan hidup satu atap dengan benalu?" sindir Handoko melirik Jamilah yang melengos. "Sekali saja aku melihat tubuh anakku lecet, maka aku tidak
***Handoko menelan ludahnya kasar. Dia bisa melihat ketakutan di wajah Tirta mendapat ancaman yang tidak main-main dari Asvia.Jamilah mencengkeram lengan suaminya dengan gusar. Di rumahnya kini sedang terjadi perhelatan batin antara Asvia dengan masa lalunya. Sedikit saja mereka berbicara salah, maka Tirta yang tidak tahu apa-apa akan menanggung semuanya. "Via, dengarkan Bapak, Nak," pinta Husain lembut."Jangan bicara apapun, Pak!" sela Asvia sengit. "Apa Bapak lupa kalau dulu bahkan suaraku tidak pernah Bapak dengar? Wanita yang berada di samping Bapak itu hampir saja membunuhku. Ya, dia melakukan hal ini pula padaku dulu, apa Bapak percaya dengan ucapanku saat ini?" kata Asvia sinis. Jamilah menggeleng cepat. Wajahnya berubah pucat mendengar Asvia mengungkit masa lalunya yang menyakitkan mendapat perlakuan buruk dari Ibu tirinya saat itu. Tapi dia selalu diam, meredam ketakutannya sendiri karena Husain yang terlanjur kesepian tidak mau kehilangan Jamilah karena membela Asvia ya
***"Kenapa mereka lama sekali, Hal. Aku takut Mas Tomi kenapa-kenapa," ungkap Gina cemas. Dia berkali-kali meremas jemarinya sendiri dan mondar-mandir di ruang tamu rumah Astri.Mereka sengaja tidak memberi tahu Leha dan Karim karena merasa tidak ingin membebani kedua orang tua yang selama ini sudah banyak menanggung beban masalah anak-anaknya."Duduklah, Mbak. Mas Tomi akan baik-baik saja, lagipula yang mereka hadapi ini wanita, tiga laki-laki melawan satu wanita harusnya menang kan?" Gina menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. Dia tidak bisa duduk dengan tenang sebelum memastikan keadaan Suaminya baik-baik saja. Melihat cinta di mata Gina membuat hati Astri terasa nyeri, dia tidak menyangka jika wanita yang akan mendampingi hidup Tomi ke depan adalah Gina, wanita dari masa lalu yang memiliki kenangan kelam."Halimah benar, Nak. Duduklah, semoga mereka berhasil membujuk Asvia dan melepaskan Tirta," kata Sumi mencoba menenangkan. "Jangan cemas, Ibu yakin mereka pasti selamat. Lagi