***"Ibu mau menemaniku bertemu Gina?" Sorot harap terpancar di kedua mata Kusaini. Hidungnya memerah pun berkali-kali dia menyusut ingus yang keluar karena menangis. "Aku ingin meminta maaf dan bertemu dengannya untuk yang kesekian kalinya. Tolong dampingi aku, Bu.""Tapi Gina sudah menolak untuk bertemu denganmu, Kus. Bagaimana jika dia ....""Sekali ini saja, Bu. Aku mohon!" Rengekan Kusaini membuat dada Eni terasa sesak. Sakit sekali takdir kehidupan yang diterima oleh anak-anaknya. Dia sepenuhnya menyadari jika ini semua tidak luput dari kesalahannya di masa lalu. "Bagaimana kalau dia menolak kedatangan kamu?""Kita coba, Bu. Aku tidak akan tenang jika belum bertemu Gina."Mau tidak mau Eni mengangguk. Dia menggandeng tangan putranya dan menyusuri koridor rumah sakit menuju Gina dirawat."Itu Mertua kamu, Nak," kata Eni dengan menunjuk ke arah Fatma yang tengah berdiri di depan ruang rawat inap.Kusaini sedikit berlari mendekati Fatma, saat menyadari jika suami putrinya mendekat
***Ucapan Gina meluncur begitu saja seolah-olah dia tidak melihat jika Kusaini ada di depannya. Atau mungkin juga dia sedang berusaha menunjukkan pada Kusaini jika kehadirannya di dalam ruangan ini tidak berarti apa-apa bagi Gina."Apa yang kamu katakan, Gin?" tanya Kus dengan suara seraknya. "Kamu senang karena keguguran ini?""Bu, tidak perlu meminta maaf lagi karena aku sudah memaafkan semuanya. Dan aku mohon, jangan pernah biarkan dia menemuiku setelah ini karena aku ingin hidup tenang tanpa bayang-bayang masa lalu." Gina tidak menggubris pertanyaan Kusaini tapi justru berkata hal lain pada Eni. Sontak saja sikap Gina membuat Kus tertampar. Dia benar-benar merasakan jika istrinya itu begitu membencinya. Ya. Dia memang pantas dibenci."Maafkan Kus, Nak," lirih Eni. "Ibu tau kamu sangat membencinya saat ini. Tapi tolong, jangan pisahkan dia dengan Pandu, ijinkan dia sesekali bertemu dengan anaknya.""Tolong jangan meminta sesuatu yang bagiku sangat berlebihan. Bukankah dia sudah ti
***"Bagaimana jika Gina keguguran, Bu? Aku takut sekali kalau Mas Tomi marah dan menolak untuk bertemu aku dan Tirta," keluh Astri saat mereka sudah sampai di kampung halaman. Sepanjang perjalanan pulang dia tidak banyak bicara karena sedang menahan kesal pada Tirta. Pasalnya, anak itu tidak mau mengakui kesalahannya dan kekeuh menuduh jika Gina adalah dalang di balik berpisahnya Mama dan Ayahnya. "Jangan mengharapkan sesuatu yang kamu sendiri sudah mengetahui jawabannya, As. Untuk apa lagi Tomi menemui kamu dan Tirta sementara tidak ada ikatan diantara kalian. Tanpa terlukanya Gina pun Tomi pasti akan mulai menjaga jarak dengan kamu dan anakmu."Sumi berbicara pelan tapi menohok. Dia ingin membuat Astri benar-benar tersadar jika dirinya bukanlah orang penting di kehidupan Tomi. Pun Tirta, selama ini yang Tomi lakukan hanyalah karena rasa simpati dan kasihan semata. "Tapi Mas Tomi sudah menyayangi Tirta seperti anaknya sendiri, Bu. Tidak mungkin jika dia melupakan ....""Kenapa tid
***Sesampainya di depan rumah, Vano segera memarkirkan mobil ke halaman samping yang memang digunakan untuk garasi terbuka mobilnya. Terlihat Hesti sedang berdiri cemas sembari menggendong Felisha yang nampak tertidur dalam dekapan Hesti."Tom ...!" Dia berteriak memanggil dan segera berlari mendekat. "Bagaimana keadaan Gina, Tom?"Tomi menutup pintu mobil dan berbalik menghadap Hesti. "Dia baik-baik saja kan, kandungannya baik kan, Tom? Apa kamu melihat Ibu dan Kusaini datang kesana? Apa Gina mau bertemu dengan Kus, Tom?"Hesti mencecar Tomi dengan banyak pertanyaan. Jujur saja, wanita itu begitu mengkhawatirkan keadaan adik iparnya, calon mantan adik ipar lebih tepatnya."Satu-satu, Mbak Hes! Mas Tomi sampai bingung mau jawab yang mana dulu," kelakar Vano. "Gina baik-baik saja. Saat kita pulang dia sudah proses pindah ke rawat inap. Tapi ....""Tapi apa? Katakan!""Calon bayinya tidak selamat," sahut Tomi datar. "Dia mengalami keguguran, Mbak."Mata Hesti berembun. Dia segera meny
***"Ada apa sebenarnya, Mas?"Halimah mencecar Vano yang masih saja bungkam meskipun keduanya sudah berada di dalam rumah. Melihat kedatangan Vano sontak Leha dan Karim mendekat, keduanya ingin bertanya apakah Gina dan calon bayinya baik-baik saja. Mereka tetap saja khawatir karena menyangkut nyawa orang lain."Mas!" pekik Halimah kesal. Pasalnya sedari tadi dia bertanya namun bibir suaminya masih saja mengatup.Vano menoleh. Dia mengusap wajahnya kasar kemudian merengkuh bahu Halimah dan membawa istrinya duduk di ruang tamu. "Kamu yang tenang dong, Dek!" rutuknya."Habis dari tadi diajakin ngomong malah diam saja. Kamu sama Mas Tomi ngapain nggak gegas masuk ke rumah malah ngobrol sama Mbak Hesti? Gimana kabar calon bayi Mbak Gina, baik-baik saja kan?""Satu-satu dong!" sela Vano. Menyadari wajah suaminya yang berubah masam, barulah Halimah nyengir dan menggaruk sebelah alisnya yang tidak gatal. "Gina dan calon bayinya baik-baik saja kan, Van?" Kini Leha yang beralih bertanya. Keti
***"Ibu yakin yang dia kandung bukan anakmu, Kus. Dia bukan wanita baik-baik.""Ibu," panggil Hesti lirih namun tegas. Dia berada di depan pintu rumah dengan menatap wajah Ibunya begitu tajam. "Biarkan Kusaini yang memutuskan. Dia lebih tau apa benar benih itu dia yang menanam."Eni berjalan mendekati Hesti. Dadanya bergemuruh hebat melihat anak sulungnya membela Kalila yang begitu tidak Eni sukai. "Hes, dia bukan wanita baik-baik. Kamu tau itu kan?""Bukan ranah kita menilai baik dan buruknya orang lain, Bu. Apa Ibu lupa bagaimana aku di masa lalu, bagaimana Gina, bagaimana Kang Tarjo? Semua orang memiliki masa lalu baik itu kelam atau tidak, tapi kita tidak tau bagaimana masa depannya bukan?""Tuh, denger apa kata Mbak Hesti," sindir Kalila."Aku bukan membelamu, Lil. Aku hanya tidak mau adikku menjadi laki-laki pengecut. Satu lagi ... jika ingin diterima ini keluarga ini, jangan sekali-kali menunjukkan sikap tidak sopanmu di depan Ibuku," tegas Hesti membuat Kalila mati kutu.Kusa
***"Masak apa, Dek?" tanya Vano sembari melingkarkan tangannya ke pinggang Halimah. "Opor ayam. Kenapa, udah lapar?"Vano terkikik. Kebetulan kedua mertuanya sedang berada di ladang untuk memantau pekerjaan para tani. Vano dan Halimah sudah melarang, tapi keduanya bersikeras ingin melakukan aktifitas ringan sebelum nanti tidak bisa melihat keadaan kebun karena adanya cucu, calon bayi Halimah."Adek nggak mau ditengokin apa?"Mendengar godaan sang suami seketika Halimah melepaskan pelukan dan memukul Vano dengan sedikit keras. "Aduh, bercanda kali, Dek," gerutunya. "Lagian kan nggak papa juga nengokin utun.""Mas ...," pekik Halimah membuat Vano lari terbirit-birit menuju kamarnya. Melihat tingkah Sang Suami membuat wajah Halimah bersemu merah. Dia menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum malu-malu dalam keheningan.***"Kenapa kalian tertawa?" tanya Tomi bingung. Dia menatap Gina yang sedang menertawakan ucapan selamat darinya. Semakin cantik, itulah yang ada di dalam benak Tomi.
***Setelah menemui Gina, Tomi kembali ke bengkel dan mengatakan pada salah satu rekan kerjanya kalau dia akan pulang ke kampung siang ini. Ya. Sejak memutuskan untuk kembali mengurus bengkelnya di kota, Tomi mendapat rekan baru yang akan membantunya menghandle usaha kecil-kecilan ini, tentu saja dengan kesepakatan pembayaran sesuai yang mereka berdua tentukan. Apalagi mengingat jika bengkel yang dia kelola saat ini mulai berkembang pesat, tentu akan kerepotan jika dia yang bergerak sendiri."Gue mau pulang ke kampung, Ta. Lo bisa kan jaga bengkel ini sendiri sementara?"Ata menoleh dengan heran. "Tiba-tiba banget. Ada masala?"Tomi menggeleng. Dia duduk di kursi kasir dengan bersiul dan mengangkat dua kakinya di atas meja. Kebetulan suasana bengkel sedang sepi karena istirahat siang."Tom!" Ata menepuk pundak Tomi kuat sekali. "Lo nggak kenapa-kenapa kan? Masih waras kan?"Tomi meninju lengan Ata bercanda. Dia kembali memejamkan mata dan bersiul sembari membayangkan wajah ayu Gina y