***Setelah menemui Gina, Tomi kembali ke bengkel dan mengatakan pada salah satu rekan kerjanya kalau dia akan pulang ke kampung siang ini. Ya. Sejak memutuskan untuk kembali mengurus bengkelnya di kota, Tomi mendapat rekan baru yang akan membantunya menghandle usaha kecil-kecilan ini, tentu saja dengan kesepakatan pembayaran sesuai yang mereka berdua tentukan. Apalagi mengingat jika bengkel yang dia kelola saat ini mulai berkembang pesat, tentu akan kerepotan jika dia yang bergerak sendiri."Gue mau pulang ke kampung, Ta. Lo bisa kan jaga bengkel ini sendiri sementara?"Ata menoleh dengan heran. "Tiba-tiba banget. Ada masala?"Tomi menggeleng. Dia duduk di kursi kasir dengan bersiul dan mengangkat dua kakinya di atas meja. Kebetulan suasana bengkel sedang sepi karena istirahat siang."Tom!" Ata menepuk pundak Tomi kuat sekali. "Lo nggak kenapa-kenapa kan? Masih waras kan?"Tomi meninju lengan Ata bercanda. Dia kembali memejamkan mata dan bersiul sembari membayangkan wajah ayu Gina y
***"Kamu barusan nyebut nama siapa, Ta?"Ata menoleh. Dia mengerutkan keningnya di depan Tomi yang juga nampak kebingungan. "Janda yang Lo maksud itu Gina, Tom?""Kok Lo bisa kenal Gina?" selidik Tomi dengan perasaan tidak enak."Iyalah gue kenal. Dia cewek yang ngejar-ngejar gue selama ini."Kedua mata Tomi melebar merasa tidak percaya pada yang Ata katakan. "Jangan ngaco deh, Ta!" seru Tomi. "Dia wanita dari pinggiran kota, darimana kamu kenal Gina. Plis, jangan bikin gue pingin nonjok muka Lo, dan apa tadi Lo bilang ... Gina itu wanita yang ngejar-ngejar Lo? Omong kosong!" seloroh Tomi sembari membuang muka dan meremas rambutnya kuat. Tiba-tiba dia mencengkeram kerah baju Ata dan berbisik, "Ada hubungan apa Lo dengan Gina, Ta!"Melihat kekalutan di wajah Tomi membuat Ata seketika meledakkan tawanya. Dia melepas cengkeraman tangan Tomi dan meninju rekan kerjanya itu dengan kasar. Ata berjalan menuju ruang tunggu yang memang sedang lengang karena pintu ruko bengkel sedang ditutup se
***"Laki-laki bodoh yang nggak terpesona sama kecantikan Gina, Tom."Wajah Tomi memerah. Antara ingin marah dan bangga karena bisa mendapatkan cinta Gina."Tenang, Bro. Lo udah kayak mau ngajakin gue duel nih!""Kesel gue kalau dengar laki-laki memuji wanita yang gue cintai, Ta," sahut Tomi ketus. "Setelah penuturan Lo kali ini, gua janji nggak akan melepaskan Gina lagi.""Harus! Memang harus begitu," seloroh Ata. "Kalau sampai Lo berani nyakitin Gina, gue yang bakalan maju!""Jangan mimpi!" ketus Tomi. "Nanti Lo yang nutup bengkel ya, gue mau pulang hari ini!"Ata mengangguk tanpa berkata-kata lagi. Hatinya patah sepatah-patahnya karena bahkan sampai hari ini dia belum bisa melupakan Gina. Wanita itu sudah membuat Ata jatuh cinta pada pandangan pertama. "Mungkin emang bukan jodoh gue," gumamnya seraya menggeleng pelan. Gegas dia membuka ruko bengkel dan memulai pekerjaannya hari ini tanpa Tomi. Sepanjang perjalanan, Tomi mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Meskipun hatinya
***"Terima kasih sudah mau percaya padaku, Mas," lirih Kalila di sela-sela tangisnya. Kusaini menggandeng tangan Sang Istri dan membawanya masuk ke dalam rumah disusul oleh Hesti dan juga Eni. Tidak dapat dipungkiri, Eni masih merasa kesal karena dia beranggapan jika perpisahan Gina dan Kus adalah tersebab kehadiran Kalila. Tapi dia pun tidak bisa berbuat apa-apa, kehidupan Kusaini sudah bukan ranahnya lagi."Kenapa Ibu dan Mbak Hesti malah diam saja melihat Kalila hendak dipermalukan di depan tadi?"Hesti menoleh pada Eni yang nampak melengos. Jujur, dia tidak suka dengan pertanyaan Kusaini barusan. "Lalu apa yang kamu harapkan, Kus? Ibu bahkan mulai meragukan jika yang dia kandung adalah anakmu ....""Bu ...," sela Kusaini. "Anakku atau bukan, saat ini Kalila sudah menjadi istriku. Dia adalah tanggung jawabku saat aku meminangnya di depan penghulu. Masa lalu dia biarkan menjadi urusannya dengan Tuhan, saat ini aku hanya ingin menjadi suami dan calon Ayah yang baik. Aku tidak pedul
***"Kamu nggak lagi kesambet kan, Mas?" celetuk Halimah memecah ketegangan di antara Tomi dan kedua orang tuanya."Dek!" Vano menepuk lembut paha istrinya seraya mendelikkan mata. "Jangan kurang ajar sama kakak sendiri!""Bercanda aja kali, Mas," gerutu Halimah mengerucutkan bibirnya. Dia mengelus-elus perut yang semakin membuncit dengan masih mengarahkan pandangan pada Tomi dan kedua orang tuanya."Maafkan Halimah, Mas. Silahkan dilanjut obrolannya."Tomi menjitak kepala adiknya membuat Halimah semakin menggerutu kesal. Entah mengapa, di masa-masa kehamilan ini dia menjadi sedikit kekanak-kanakan. Ada saja hal yang membuatnya marah dan kesal."Apa gadis kota ada yang bisa merebut hatimu, Nak?" goda Karim berusaha membuang pikiran buruk yang selama ini membayanginya.Tomi menunduk malu. Dia meremas sepuluh jemarinya dengan perasaan gusar. Jika kebanyakan laki-laki akan bebas menikahi wanita manapun yang mereka cintai, tapi tidak dengan Tomi. Sejak perceraiannya dengan Astri terjadi,
***Halimah mengangkat kepala memandang Ibu dan Bapaknya bergantian. "Untuk alasan apa aku menolak, Bu? Bukankah Mas Tomi berhak bahagia dengan pilihan hidupnya?""Tapi rumah yang sudah kalian beli ....""Bu ... Mas Vano benar, kita renovasi rumah ini agar lebih nyaman dan calon cucu Ibu ini tumbuh dengan sehat nanti."Leha mengusap air mata yang sudah menganak sungai. Dia tahu jika anak dan menantunya memang pasangan yang cocok lagi baik, tapi siapa sangka jika keduanya berkorban begitu banyak untuk keluarga."Terima kasih sudah memahami Kakakmu, Nak," ungkap Karim jujur. "Maaf karena Bapak dan Ibu masih saja merepotkan kalian."Vano dan Halimah menggeleng tegas. Segera mereka memeluk Leha dan Karim yang masih saja menangis haru dengan kebaikan anak menantunya."Bilang sama Tomi, Bu. Kapan dia mau melamar Gina," titah Karim. "Kita siapkan segera, hasil kebun sepertinya cukup untuk membantu dia meminang anak orang."Leha mengangguk. Meskipun Vano dan Halimah yakin jika uang Tomi lebih
***"Bilang sama Ibu untuk menebus Mas," pinta Handoko pada adiknya. "Mas ingin keluar dari penjara secepatnya, Pau."Paula menatap iba pada Handoko. Dua bersaudara itu larut dalam keheningan dan pikiran masing-masing yang mulai berkecamuk."Ibu sudah berusaha mendatangi Mbak Astri, Mas. Tapi dia menolak membantu kamu untuk keluar.""Astri?"Paula mengangguk mantap. "Lagipula kemana istri yang selama ini kamu bangga-banggakan? Ibu enggan mengeluarkan hartanya karena mengingat perlakuan kamu dulu."Penuturan Paula membawa pikiran Handoko kembali ke masa lalu. Masa dimana dia mendewakan Asvia sampai-sampai rela tidak mengunjungi Sang Ibu hingga bertahun-tahun lamanya. Istrinya akan murka ketika Handoko mengeluarkan uang untuk memberi Ibunya."Mau kemana kamu, Mas?""Ke rumah Ibu. Kasihan dia butuh uang untuk membayar para pekerja di kebun."Kedua mata Asvia melotot. Dia merampas kunci mobil dari tangan suaminya dengan napas menderu. "Kebiasaan! Anak sudah berkeluarga masih saja suka mer
***"Aku seorang janda, Pak. Tidak ada aturan orang tua bisa mengekangku dengan pilihan mereka. Aku berhak menolak atau menerima pinangan laki-laki lain."Dada Ahmad bergemuruh mendengar Gina dengan terang-terangan menolak lamaran tidak langsung yang Hifzi lakukan. "Maaf sekali lagi, Ustad. Tapi saya tidak bisa menerima ....""Janda tapi sok jual mahal," celetuk Hifzi. Mata Gina memicing mendengar cibiran yang keluar dari bibir laki-laki yang baru saja diperkenalkan Bapaknya dengan jabatan Ustad. "Apa kamu pikir dirimu begitu cantik sampai-sampai menolakku di muka umum?"Gina mengedarkan pandangan. Sisa-sisa tamu dan beberapa keluarga dari memperlai wanita sibuk dengan obrolan mereka masing-masing. Mustahil jika ada yang mendengar penuturan Gina karena suaranya cukup teredam dengan alunan musik yang samar-samar masih diputar."Sebelumnya saya minta maaf, tapi saya yakin tidak ada yang mendengar obrolan kita, Ustad."Hifzi membuang muka. "Baru kali ini saya ditolak janda miskin, padah