***"Terima kasih sudah mau percaya padaku, Mas," lirih Kalila di sela-sela tangisnya. Kusaini menggandeng tangan Sang Istri dan membawanya masuk ke dalam rumah disusul oleh Hesti dan juga Eni. Tidak dapat dipungkiri, Eni masih merasa kesal karena dia beranggapan jika perpisahan Gina dan Kus adalah tersebab kehadiran Kalila. Tapi dia pun tidak bisa berbuat apa-apa, kehidupan Kusaini sudah bukan ranahnya lagi."Kenapa Ibu dan Mbak Hesti malah diam saja melihat Kalila hendak dipermalukan di depan tadi?"Hesti menoleh pada Eni yang nampak melengos. Jujur, dia tidak suka dengan pertanyaan Kusaini barusan. "Lalu apa yang kamu harapkan, Kus? Ibu bahkan mulai meragukan jika yang dia kandung adalah anakmu ....""Bu ...," sela Kusaini. "Anakku atau bukan, saat ini Kalila sudah menjadi istriku. Dia adalah tanggung jawabku saat aku meminangnya di depan penghulu. Masa lalu dia biarkan menjadi urusannya dengan Tuhan, saat ini aku hanya ingin menjadi suami dan calon Ayah yang baik. Aku tidak pedul
***"Kamu nggak lagi kesambet kan, Mas?" celetuk Halimah memecah ketegangan di antara Tomi dan kedua orang tuanya."Dek!" Vano menepuk lembut paha istrinya seraya mendelikkan mata. "Jangan kurang ajar sama kakak sendiri!""Bercanda aja kali, Mas," gerutu Halimah mengerucutkan bibirnya. Dia mengelus-elus perut yang semakin membuncit dengan masih mengarahkan pandangan pada Tomi dan kedua orang tuanya."Maafkan Halimah, Mas. Silahkan dilanjut obrolannya."Tomi menjitak kepala adiknya membuat Halimah semakin menggerutu kesal. Entah mengapa, di masa-masa kehamilan ini dia menjadi sedikit kekanak-kanakan. Ada saja hal yang membuatnya marah dan kesal."Apa gadis kota ada yang bisa merebut hatimu, Nak?" goda Karim berusaha membuang pikiran buruk yang selama ini membayanginya.Tomi menunduk malu. Dia meremas sepuluh jemarinya dengan perasaan gusar. Jika kebanyakan laki-laki akan bebas menikahi wanita manapun yang mereka cintai, tapi tidak dengan Tomi. Sejak perceraiannya dengan Astri terjadi,
***Halimah mengangkat kepala memandang Ibu dan Bapaknya bergantian. "Untuk alasan apa aku menolak, Bu? Bukankah Mas Tomi berhak bahagia dengan pilihan hidupnya?""Tapi rumah yang sudah kalian beli ....""Bu ... Mas Vano benar, kita renovasi rumah ini agar lebih nyaman dan calon cucu Ibu ini tumbuh dengan sehat nanti."Leha mengusap air mata yang sudah menganak sungai. Dia tahu jika anak dan menantunya memang pasangan yang cocok lagi baik, tapi siapa sangka jika keduanya berkorban begitu banyak untuk keluarga."Terima kasih sudah memahami Kakakmu, Nak," ungkap Karim jujur. "Maaf karena Bapak dan Ibu masih saja merepotkan kalian."Vano dan Halimah menggeleng tegas. Segera mereka memeluk Leha dan Karim yang masih saja menangis haru dengan kebaikan anak menantunya."Bilang sama Tomi, Bu. Kapan dia mau melamar Gina," titah Karim. "Kita siapkan segera, hasil kebun sepertinya cukup untuk membantu dia meminang anak orang."Leha mengangguk. Meskipun Vano dan Halimah yakin jika uang Tomi lebih
***"Bilang sama Ibu untuk menebus Mas," pinta Handoko pada adiknya. "Mas ingin keluar dari penjara secepatnya, Pau."Paula menatap iba pada Handoko. Dua bersaudara itu larut dalam keheningan dan pikiran masing-masing yang mulai berkecamuk."Ibu sudah berusaha mendatangi Mbak Astri, Mas. Tapi dia menolak membantu kamu untuk keluar.""Astri?"Paula mengangguk mantap. "Lagipula kemana istri yang selama ini kamu bangga-banggakan? Ibu enggan mengeluarkan hartanya karena mengingat perlakuan kamu dulu."Penuturan Paula membawa pikiran Handoko kembali ke masa lalu. Masa dimana dia mendewakan Asvia sampai-sampai rela tidak mengunjungi Sang Ibu hingga bertahun-tahun lamanya. Istrinya akan murka ketika Handoko mengeluarkan uang untuk memberi Ibunya."Mau kemana kamu, Mas?""Ke rumah Ibu. Kasihan dia butuh uang untuk membayar para pekerja di kebun."Kedua mata Asvia melotot. Dia merampas kunci mobil dari tangan suaminya dengan napas menderu. "Kebiasaan! Anak sudah berkeluarga masih saja suka mer
***"Aku seorang janda, Pak. Tidak ada aturan orang tua bisa mengekangku dengan pilihan mereka. Aku berhak menolak atau menerima pinangan laki-laki lain."Dada Ahmad bergemuruh mendengar Gina dengan terang-terangan menolak lamaran tidak langsung yang Hifzi lakukan. "Maaf sekali lagi, Ustad. Tapi saya tidak bisa menerima ....""Janda tapi sok jual mahal," celetuk Hifzi. Mata Gina memicing mendengar cibiran yang keluar dari bibir laki-laki yang baru saja diperkenalkan Bapaknya dengan jabatan Ustad. "Apa kamu pikir dirimu begitu cantik sampai-sampai menolakku di muka umum?"Gina mengedarkan pandangan. Sisa-sisa tamu dan beberapa keluarga dari memperlai wanita sibuk dengan obrolan mereka masing-masing. Mustahil jika ada yang mendengar penuturan Gina karena suaranya cukup teredam dengan alunan musik yang samar-samar masih diputar."Sebelumnya saya minta maaf, tapi saya yakin tidak ada yang mendengar obrolan kita, Ustad."Hifzi membuang muka. "Baru kali ini saya ditolak janda miskin, padah
***Sepulang dari mengunjungi Handoko, Paula mendatangi rumah Astri di kampung. Dia ingin meminta bantuan agar Kakaknya bisa bebas tanpa harus menebus sepeserpun."Untuk apa lagi kamu datang kesini, belum cukup Ibumu menghinaku tempo hari?"Paula yang hendak mengetuk pintu membiarkan tangannya meggantung di udara. Dia menoleh, mendapati sosok Astri tengah berdiri dengan membawa beberapa macam sayuran di dalam keranjang yang lumayan besar sementara Tirta berdiri di belakangnya dengan menggenggam dua buah pisang matang hasil dari memetik di kebun."Maaf, Mbak. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.""Tidak perlu! Aku tidak butuh pembicara apapun apalagi yang menyangkut Handoko. Sampai kapanpun aku tidak akan membuatnya bebas dengan mudah!""Lihat! Lihat dia, dia keponakan kamu yang selama ini mendapat perlakuan buruk dari Handoko dan istrinya yang gila itu! Jika hanya aku yang mereka sakiti, aku tidak peduli, Pau! Tapi ini Tirta. Dia adalah hidupku dan Asvia dengan beraninya ingin membu
***"Bagaimana kabar Handoko, Pau?"Paula yang baru saja membuka pintu langsung diberondong pertanyaan oleh Nani yang sedang duduk di depan TV."Apa dia terlihat hancur, atau justru baik-baik saja dengan hukuman yang dia terima?"Paula terdiam. Dia melepas sepatu dengan tanpa sepatah katapun keluar dari bibirnya."Pau ...?""Biarkan Mas Handoko mendekam di penjara agar dia menyadari kesalahannya, Bu," sahutnya kemudian. "Jangan-jangan Ibu berniat untuk membebaskannya?"Nani membuang muka. Saat setelah dia datang ke rumah Astri tempo hari, dia merasa sakit hati dan ingin mengeluarkan Handoko dengan uangnya. Tapi saat ini masih dia cegah niatnya yang salah itu."Kenapa memangnya?"Paula mendongak menatap Nani dengan sedikit memicingkan mata. "Kenapa Ibu bilang? Mas Handoko sudah berbuat kriminal dan sekarang dia menerima hukuman karena perbuatannya, sekara
***Sepanjang perjalanan Tomi tidak berhenti bercerita mengenai pertemuannya dengan Gina setelah beberapa bulan terpisah. Melihat semburat bahagia di wajah kakaknya membuat hati Halimah seketika menghangat. Teringat masa-masa dimana dia menolak tegas pilihan hati Tomi dengan dalih masa lalu Gina yang begitu kelam. Tapi di lain sisi, yang mereka takutkan adalah kehadiran Kusaini lagi karena rumah Tomi dan Kus memang berdekatan. "Jadi teman kamu kenal sama Mbak Gina, Mas?"Tomi mengangguk. "Dia dijodohkan sama iparnya, Hal. Tapi Alhamdulillah Gina menolak waktu itu. Dia sendiri yang cerita sama Mas kalau sampai saat ini pun masih sering berkunjung ke rumah Gina sekedar memberikan martabak kesukaan Bapaknya.""Wah, saingan berat nih," goda Vano.Tomo tergelak. "Siapa saja berhak mendekati selama janur kuning belum melengkung, Van. Tapi saat Gina sudah menjadi istriku, maka tidak akan kubiarkan laki-laki manapun mendekatinya bahkan menatap wajahnya.""Bucin!" cibir Halimah mencebik.Tomi