***"Ada apa sebenarnya, Mas?"Halimah mencecar Vano yang masih saja bungkam meskipun keduanya sudah berada di dalam rumah. Melihat kedatangan Vano sontak Leha dan Karim mendekat, keduanya ingin bertanya apakah Gina dan calon bayinya baik-baik saja. Mereka tetap saja khawatir karena menyangkut nyawa orang lain."Mas!" pekik Halimah kesal. Pasalnya sedari tadi dia bertanya namun bibir suaminya masih saja mengatup.Vano menoleh. Dia mengusap wajahnya kasar kemudian merengkuh bahu Halimah dan membawa istrinya duduk di ruang tamu. "Kamu yang tenang dong, Dek!" rutuknya."Habis dari tadi diajakin ngomong malah diam saja. Kamu sama Mas Tomi ngapain nggak gegas masuk ke rumah malah ngobrol sama Mbak Hesti? Gimana kabar calon bayi Mbak Gina, baik-baik saja kan?""Satu-satu dong!" sela Vano. Menyadari wajah suaminya yang berubah masam, barulah Halimah nyengir dan menggaruk sebelah alisnya yang tidak gatal. "Gina dan calon bayinya baik-baik saja kan, Van?" Kini Leha yang beralih bertanya. Keti
***"Ibu yakin yang dia kandung bukan anakmu, Kus. Dia bukan wanita baik-baik.""Ibu," panggil Hesti lirih namun tegas. Dia berada di depan pintu rumah dengan menatap wajah Ibunya begitu tajam. "Biarkan Kusaini yang memutuskan. Dia lebih tau apa benar benih itu dia yang menanam."Eni berjalan mendekati Hesti. Dadanya bergemuruh hebat melihat anak sulungnya membela Kalila yang begitu tidak Eni sukai. "Hes, dia bukan wanita baik-baik. Kamu tau itu kan?""Bukan ranah kita menilai baik dan buruknya orang lain, Bu. Apa Ibu lupa bagaimana aku di masa lalu, bagaimana Gina, bagaimana Kang Tarjo? Semua orang memiliki masa lalu baik itu kelam atau tidak, tapi kita tidak tau bagaimana masa depannya bukan?""Tuh, denger apa kata Mbak Hesti," sindir Kalila."Aku bukan membelamu, Lil. Aku hanya tidak mau adikku menjadi laki-laki pengecut. Satu lagi ... jika ingin diterima ini keluarga ini, jangan sekali-kali menunjukkan sikap tidak sopanmu di depan Ibuku," tegas Hesti membuat Kalila mati kutu.Kusa
***"Masak apa, Dek?" tanya Vano sembari melingkarkan tangannya ke pinggang Halimah. "Opor ayam. Kenapa, udah lapar?"Vano terkikik. Kebetulan kedua mertuanya sedang berada di ladang untuk memantau pekerjaan para tani. Vano dan Halimah sudah melarang, tapi keduanya bersikeras ingin melakukan aktifitas ringan sebelum nanti tidak bisa melihat keadaan kebun karena adanya cucu, calon bayi Halimah."Adek nggak mau ditengokin apa?"Mendengar godaan sang suami seketika Halimah melepaskan pelukan dan memukul Vano dengan sedikit keras. "Aduh, bercanda kali, Dek," gerutunya. "Lagian kan nggak papa juga nengokin utun.""Mas ...," pekik Halimah membuat Vano lari terbirit-birit menuju kamarnya. Melihat tingkah Sang Suami membuat wajah Halimah bersemu merah. Dia menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum malu-malu dalam keheningan.***"Kenapa kalian tertawa?" tanya Tomi bingung. Dia menatap Gina yang sedang menertawakan ucapan selamat darinya. Semakin cantik, itulah yang ada di dalam benak Tomi.
***Setelah menemui Gina, Tomi kembali ke bengkel dan mengatakan pada salah satu rekan kerjanya kalau dia akan pulang ke kampung siang ini. Ya. Sejak memutuskan untuk kembali mengurus bengkelnya di kota, Tomi mendapat rekan baru yang akan membantunya menghandle usaha kecil-kecilan ini, tentu saja dengan kesepakatan pembayaran sesuai yang mereka berdua tentukan. Apalagi mengingat jika bengkel yang dia kelola saat ini mulai berkembang pesat, tentu akan kerepotan jika dia yang bergerak sendiri."Gue mau pulang ke kampung, Ta. Lo bisa kan jaga bengkel ini sendiri sementara?"Ata menoleh dengan heran. "Tiba-tiba banget. Ada masala?"Tomi menggeleng. Dia duduk di kursi kasir dengan bersiul dan mengangkat dua kakinya di atas meja. Kebetulan suasana bengkel sedang sepi karena istirahat siang."Tom!" Ata menepuk pundak Tomi kuat sekali. "Lo nggak kenapa-kenapa kan? Masih waras kan?"Tomi meninju lengan Ata bercanda. Dia kembali memejamkan mata dan bersiul sembari membayangkan wajah ayu Gina y
***"Kamu barusan nyebut nama siapa, Ta?"Ata menoleh. Dia mengerutkan keningnya di depan Tomi yang juga nampak kebingungan. "Janda yang Lo maksud itu Gina, Tom?""Kok Lo bisa kenal Gina?" selidik Tomi dengan perasaan tidak enak."Iyalah gue kenal. Dia cewek yang ngejar-ngejar gue selama ini."Kedua mata Tomi melebar merasa tidak percaya pada yang Ata katakan. "Jangan ngaco deh, Ta!" seru Tomi. "Dia wanita dari pinggiran kota, darimana kamu kenal Gina. Plis, jangan bikin gue pingin nonjok muka Lo, dan apa tadi Lo bilang ... Gina itu wanita yang ngejar-ngejar Lo? Omong kosong!" seloroh Tomi sembari membuang muka dan meremas rambutnya kuat. Tiba-tiba dia mencengkeram kerah baju Ata dan berbisik, "Ada hubungan apa Lo dengan Gina, Ta!"Melihat kekalutan di wajah Tomi membuat Ata seketika meledakkan tawanya. Dia melepas cengkeraman tangan Tomi dan meninju rekan kerjanya itu dengan kasar. Ata berjalan menuju ruang tunggu yang memang sedang lengang karena pintu ruko bengkel sedang ditutup se
***"Laki-laki bodoh yang nggak terpesona sama kecantikan Gina, Tom."Wajah Tomi memerah. Antara ingin marah dan bangga karena bisa mendapatkan cinta Gina."Tenang, Bro. Lo udah kayak mau ngajakin gue duel nih!""Kesel gue kalau dengar laki-laki memuji wanita yang gue cintai, Ta," sahut Tomi ketus. "Setelah penuturan Lo kali ini, gua janji nggak akan melepaskan Gina lagi.""Harus! Memang harus begitu," seloroh Ata. "Kalau sampai Lo berani nyakitin Gina, gue yang bakalan maju!""Jangan mimpi!" ketus Tomi. "Nanti Lo yang nutup bengkel ya, gue mau pulang hari ini!"Ata mengangguk tanpa berkata-kata lagi. Hatinya patah sepatah-patahnya karena bahkan sampai hari ini dia belum bisa melupakan Gina. Wanita itu sudah membuat Ata jatuh cinta pada pandangan pertama. "Mungkin emang bukan jodoh gue," gumamnya seraya menggeleng pelan. Gegas dia membuka ruko bengkel dan memulai pekerjaannya hari ini tanpa Tomi. Sepanjang perjalanan, Tomi mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Meskipun hatinya
***"Terima kasih sudah mau percaya padaku, Mas," lirih Kalila di sela-sela tangisnya. Kusaini menggandeng tangan Sang Istri dan membawanya masuk ke dalam rumah disusul oleh Hesti dan juga Eni. Tidak dapat dipungkiri, Eni masih merasa kesal karena dia beranggapan jika perpisahan Gina dan Kus adalah tersebab kehadiran Kalila. Tapi dia pun tidak bisa berbuat apa-apa, kehidupan Kusaini sudah bukan ranahnya lagi."Kenapa Ibu dan Mbak Hesti malah diam saja melihat Kalila hendak dipermalukan di depan tadi?"Hesti menoleh pada Eni yang nampak melengos. Jujur, dia tidak suka dengan pertanyaan Kusaini barusan. "Lalu apa yang kamu harapkan, Kus? Ibu bahkan mulai meragukan jika yang dia kandung adalah anakmu ....""Bu ...," sela Kusaini. "Anakku atau bukan, saat ini Kalila sudah menjadi istriku. Dia adalah tanggung jawabku saat aku meminangnya di depan penghulu. Masa lalu dia biarkan menjadi urusannya dengan Tuhan, saat ini aku hanya ingin menjadi suami dan calon Ayah yang baik. Aku tidak pedul
***"Kamu nggak lagi kesambet kan, Mas?" celetuk Halimah memecah ketegangan di antara Tomi dan kedua orang tuanya."Dek!" Vano menepuk lembut paha istrinya seraya mendelikkan mata. "Jangan kurang ajar sama kakak sendiri!""Bercanda aja kali, Mas," gerutu Halimah mengerucutkan bibirnya. Dia mengelus-elus perut yang semakin membuncit dengan masih mengarahkan pandangan pada Tomi dan kedua orang tuanya."Maafkan Halimah, Mas. Silahkan dilanjut obrolannya."Tomi menjitak kepala adiknya membuat Halimah semakin menggerutu kesal. Entah mengapa, di masa-masa kehamilan ini dia menjadi sedikit kekanak-kanakan. Ada saja hal yang membuatnya marah dan kesal."Apa gadis kota ada yang bisa merebut hatimu, Nak?" goda Karim berusaha membuang pikiran buruk yang selama ini membayanginya.Tomi menunduk malu. Dia meremas sepuluh jemarinya dengan perasaan gusar. Jika kebanyakan laki-laki akan bebas menikahi wanita manapun yang mereka cintai, tapi tidak dengan Tomi. Sejak perceraiannya dengan Astri terjadi,