***
Sesampainya di depan pintu IGD, Tomi berteriak memanggil perawat yang berjaga dan meminta untuk dibawakan brankar. Keringat sebesar biji jagung membasahi pelipisnya apalagi saat kesadaran Gina mulai melemah. Sementara Fatma sejak tadi tiada berhenti menangis melihat wajah putrinya yang memucat dan Ahmad menggendong tubuh Pandu yang sedikit banyak memahami apa yang sedang terjadi pada Ibunya."Cepat, Sus! Saya takut pendarahannya semakin parah!" seru Tomi sembari mendorong brankar lebih cepat.Vano mengurus semua keperluan administrasi sementara Fatma dan Ahmad menunggu di luar ruangan. Setelah memasuki ruang penanganan, Tomi keluar dan duduk berdampingan dengan kedua orang tua Gina."Maaf atas perbuatan anak mantan istri saya, Pak ... Bu, dia belum bisa mengolah emosi, saya benar-benar menyesalkan perbuatannya pada Gina," tutur Tomi dengan kepala menunduk. "Setelah pulang nanti, saya pastikan akan memberikan penjelasan padanya***"Apa maksud ucapan anak kamu ini, Mbak As?" selidik Kusaini dengan memicingkan matanya. "Siapa yang minta dinikahi, apa Gina?"Astri menoleh pada Halimah yang nampak menatap tajam ke arah Kusaini. "Lebih baik kamu susul istrimu ke rumah sakit, Kus. Anggap saja ucapan Tirta hanyalah bualan anak kecil, kamu tentu ingin tau kabar istri dan calon anakmu kan?"Kusaini tersentak sadar. Tanpa berpamitan dia langsung berlari menuju ke rumahnya. Bahkan ucapan Tirta yang sempat mengganggu pikirannya tadi seketika hilang. Yang ada dalam kekhawatirannya kali ini hanyalah Gina dan calon buah hatinya."Jangan sampai calon anakku kenapa-kenapa Ya Allah, aku mohon!" rintihnya."Mau kemana, Kus?""Ke rumah sakit, Mbak. Gina pendarahan.""Pen-- pendarahan?" Hesti memekik membuat Eni segera keluar dari dalam kamarnya setelah menghapus air mata yang membasahi pipinya."Siapa yang pe
***"Ada apa sebenarnya, apa kalian akan bercerai?" tanya Nani lemah. Kedua maniknya bergetar membayangkan kedua anaknya harus mengalami nasib yang sama, yaitu menjadi duda dan janda."Asvia memutuskan untuk bercerai, Bu. Dia malu karena aku mendekam di penjara."Nani menunduk. Hal yang dia takutkan ternyata benar. Entah apa kata para tetangga nanti jika mereka tau jika kedua anaknya gagal dalam membina rumah tangga, apalagi sekarang Handoko justru harus mendekam di penjara."Bagaimana bisa ada disini, Han? Apa yang sudah kamu lakukan? Kamu mencuri?"Handoko menggeleng lemah, "Aku hampir saja membunuh mantan suami Astri, Bu."Kepala Nani yang sejak tadi menunduk seketika mendongak cepat. Mulutnya menganga mendengar penjelasan Handoko yang menurutnya begitu kriminal."Mantan suami Astri? Tapi kenapa, Han?""Panjang ceritanya, Bu ...."Handoko menceritakan awal
***"Tirta memang bersalah, Kus. Tapi Insyaallah Ibunya akan memberikan dia pelajaran sesuai dengan caranya sendiri. Maafkan dia, aku tau ini semua terjadi karena Tirta yang belum pandai mengolah emosi, dia masih terlalu kecil untuk memahami urusan orang dewasa."Kusaini bergeming. Kedua matanya menatap lantai rumah sakit dengan tajam. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menerima dengan ikhlas apa yang sudah terjadi."Lebih baik kamu pulang, ada aku suaminya sekarang. Terima kasih sudah membawa istrinya kesini.""Jaga bicaramu, Kusaini!" Suara Ahmad penuh penekanan. Wajahnya memerah menatap Kusaini yang berdiri dengan gagah di depan Tomi. "Jika tidak ada Tomi dan Vano, mungkin bukan hanya calon bayimu yang meninggal, tapi aku akan kehilangan anakku!""Ini semua terjadi memang karena Mas Tomi, Pak! Jika saja dia tidak menggoda ....""Aku tidak pernah menggoda istrimu," sela Tomi tegas. "Apa kamu mendadak lupa diri atau lupa berkaca, bukankah kamu yang sudah merebut Gina dariku, Kus?
***"Ibu mau menemaniku bertemu Gina?" Sorot harap terpancar di kedua mata Kusaini. Hidungnya memerah pun berkali-kali dia menyusut ingus yang keluar karena menangis. "Aku ingin meminta maaf dan bertemu dengannya untuk yang kesekian kalinya. Tolong dampingi aku, Bu.""Tapi Gina sudah menolak untuk bertemu denganmu, Kus. Bagaimana jika dia ....""Sekali ini saja, Bu. Aku mohon!" Rengekan Kusaini membuat dada Eni terasa sesak. Sakit sekali takdir kehidupan yang diterima oleh anak-anaknya. Dia sepenuhnya menyadari jika ini semua tidak luput dari kesalahannya di masa lalu. "Bagaimana kalau dia menolak kedatangan kamu?""Kita coba, Bu. Aku tidak akan tenang jika belum bertemu Gina."Mau tidak mau Eni mengangguk. Dia menggandeng tangan putranya dan menyusuri koridor rumah sakit menuju Gina dirawat."Itu Mertua kamu, Nak," kata Eni dengan menunjuk ke arah Fatma yang tengah berdiri di depan ruang rawat inap.Kusaini sedikit berlari mendekati Fatma, saat menyadari jika suami putrinya mendekat
***Ucapan Gina meluncur begitu saja seolah-olah dia tidak melihat jika Kusaini ada di depannya. Atau mungkin juga dia sedang berusaha menunjukkan pada Kusaini jika kehadirannya di dalam ruangan ini tidak berarti apa-apa bagi Gina."Apa yang kamu katakan, Gin?" tanya Kus dengan suara seraknya. "Kamu senang karena keguguran ini?""Bu, tidak perlu meminta maaf lagi karena aku sudah memaafkan semuanya. Dan aku mohon, jangan pernah biarkan dia menemuiku setelah ini karena aku ingin hidup tenang tanpa bayang-bayang masa lalu." Gina tidak menggubris pertanyaan Kusaini tapi justru berkata hal lain pada Eni. Sontak saja sikap Gina membuat Kus tertampar. Dia benar-benar merasakan jika istrinya itu begitu membencinya. Ya. Dia memang pantas dibenci."Maafkan Kus, Nak," lirih Eni. "Ibu tau kamu sangat membencinya saat ini. Tapi tolong, jangan pisahkan dia dengan Pandu, ijinkan dia sesekali bertemu dengan anaknya.""Tolong jangan meminta sesuatu yang bagiku sangat berlebihan. Bukankah dia sudah ti
***"Bagaimana jika Gina keguguran, Bu? Aku takut sekali kalau Mas Tomi marah dan menolak untuk bertemu aku dan Tirta," keluh Astri saat mereka sudah sampai di kampung halaman. Sepanjang perjalanan pulang dia tidak banyak bicara karena sedang menahan kesal pada Tirta. Pasalnya, anak itu tidak mau mengakui kesalahannya dan kekeuh menuduh jika Gina adalah dalang di balik berpisahnya Mama dan Ayahnya. "Jangan mengharapkan sesuatu yang kamu sendiri sudah mengetahui jawabannya, As. Untuk apa lagi Tomi menemui kamu dan Tirta sementara tidak ada ikatan diantara kalian. Tanpa terlukanya Gina pun Tomi pasti akan mulai menjaga jarak dengan kamu dan anakmu."Sumi berbicara pelan tapi menohok. Dia ingin membuat Astri benar-benar tersadar jika dirinya bukanlah orang penting di kehidupan Tomi. Pun Tirta, selama ini yang Tomi lakukan hanyalah karena rasa simpati dan kasihan semata. "Tapi Mas Tomi sudah menyayangi Tirta seperti anaknya sendiri, Bu. Tidak mungkin jika dia melupakan ....""Kenapa tid
***Sesampainya di depan rumah, Vano segera memarkirkan mobil ke halaman samping yang memang digunakan untuk garasi terbuka mobilnya. Terlihat Hesti sedang berdiri cemas sembari menggendong Felisha yang nampak tertidur dalam dekapan Hesti."Tom ...!" Dia berteriak memanggil dan segera berlari mendekat. "Bagaimana keadaan Gina, Tom?"Tomi menutup pintu mobil dan berbalik menghadap Hesti. "Dia baik-baik saja kan, kandungannya baik kan, Tom? Apa kamu melihat Ibu dan Kusaini datang kesana? Apa Gina mau bertemu dengan Kus, Tom?"Hesti mencecar Tomi dengan banyak pertanyaan. Jujur saja, wanita itu begitu mengkhawatirkan keadaan adik iparnya, calon mantan adik ipar lebih tepatnya."Satu-satu, Mbak Hes! Mas Tomi sampai bingung mau jawab yang mana dulu," kelakar Vano. "Gina baik-baik saja. Saat kita pulang dia sudah proses pindah ke rawat inap. Tapi ....""Tapi apa? Katakan!""Calon bayinya tidak selamat," sahut Tomi datar. "Dia mengalami keguguran, Mbak."Mata Hesti berembun. Dia segera meny
***"Ada apa sebenarnya, Mas?"Halimah mencecar Vano yang masih saja bungkam meskipun keduanya sudah berada di dalam rumah. Melihat kedatangan Vano sontak Leha dan Karim mendekat, keduanya ingin bertanya apakah Gina dan calon bayinya baik-baik saja. Mereka tetap saja khawatir karena menyangkut nyawa orang lain."Mas!" pekik Halimah kesal. Pasalnya sedari tadi dia bertanya namun bibir suaminya masih saja mengatup.Vano menoleh. Dia mengusap wajahnya kasar kemudian merengkuh bahu Halimah dan membawa istrinya duduk di ruang tamu. "Kamu yang tenang dong, Dek!" rutuknya."Habis dari tadi diajakin ngomong malah diam saja. Kamu sama Mas Tomi ngapain nggak gegas masuk ke rumah malah ngobrol sama Mbak Hesti? Gimana kabar calon bayi Mbak Gina, baik-baik saja kan?""Satu-satu dong!" sela Vano. Menyadari wajah suaminya yang berubah masam, barulah Halimah nyengir dan menggaruk sebelah alisnya yang tidak gatal. "Gina dan calon bayinya baik-baik saja kan, Van?" Kini Leha yang beralih bertanya. Keti
Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf
Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse
***"Darimana kamu tahu kalau Bang Nando menaruh hati pada Sea, Sayang?"Anita mengedikkan bahu. Dia bangkit dan berjalan menjauhi Bagas yang saat ini nampak cengo karena keterkejutannya barusan."Anita ...," pekik Bagas tertahan mengingat sekarang dia sedang berada diantara banyak tamu undangan.Anita menghentikan langkah dan bergelayut manja di lengan Halimah. Wanita cantik itu sekarang tidak segan-segan untuk memeluk mertuanya karena selama ini Halimah memang mencurahkan perhatiannya pada Anita."Bawa Anita pulang, Gas. Dia pucat sekali," ucap Halimah panik. Dia mengusap-usap pipi menantunya dengan lembut. "Pulanglah, acaranya mungkin akan selesai agak malam. Kamu istirahat saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Sea nanti."Anita mengangguk patuh. Dia mengikuti langkah Bagas dengan jemari yang saling bertaut. Acara pernikahan Sea memang di adakan di sebuah hotel ternama, perjalanan untuk pulang ke rumah mereka pun menempuh waktu sekitar dua puluh menit."Kamu belum menjawab pertanyaa
***"Nit, kami ...."Anita beralih menatap Tomi dan Gina. Sorot matanya penuh selidik sampai suara Sea membuatnya tiba-tiba terpekik dan berjingkrak bahagia seperti gadis kecil yang mendapat mainan. "Kami ... sebentar lagi akan menikah.""Hah? Serius, kalian ... tidak lagi membohongi aku kan?"Sea menggeleng. Dia merentangkan tangan untuk menyambut tubuh Anita, sahabat yang paling baik yang ia punya selama ini. Sea dan Tirta tertawa ketika Anita jingkrak-jingkrak senang dengan kabar yang ia dengar."Kamu membuatku takut, Se!" Anita mengusap air mata sambil memeluk Sea. "Kalian ... akhirnya. Ya Tuhan!" Anita kembali memekik bahagia. Dia mengurai pelukan dan berlari menuju Gina. Tanpa aba-aba lagi, kedua wanita beda generasi itu saling memeluk dan menangis lirih. Betapa Tomi merasa haru dengan suasana di depan matanya. Siapa sangka, restu yang ia berikan justru memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya Sea dan Tirta. "Kami sudah lelah menangis, Nit. Ayolah, kalau kamu masi
***"Brengsek! Berani-beraninya dia ngusir kita, Mas?!" jerit Nayna marah. Bibirnya mengerucut sembari satu tangan mengusap dahi yang mulai berpeluh. "Harusnya kamu bisa tegas sama istrimu itu, Mas! Bagaimanapun kamu adalah kepala keluarga, jangan lembek gini dong!" Suara Nayna semakin membuat kepala Rayan berdenyut nyeri. "Diam, Nay!""Kenapa kamu malah bentak aku? Harusnya kamu bentak saja di Prisa yang kurang ajar itu!""Semua ini salah kamu! Murahan! Kamu bisa kan bersikap baik di depan Prisa bukan malah menyulut pertengkaran seperti ini!""Ya, ya! Salahkan saja aku terus, Mas! Bela wanita mandul yang tidak berguna itu! Aku muak melihat sikapmu yang lemah di depan Prisa!"Plak ....Nayna memegang pipi kanannya yang terasa panas. Tidak ada air mata melainkan hanya kemarahan yang bersarang di dadanya saat ini. "Tampak! Tampar yang banyak kalau perlu bunuh sekalian bayimu ini! Pria miskin! Aku menyesal mau mengakui anak ini sebagai darah dagingmu!"Rayan mengusap wajahnya kasar. Pe
***Tirta dan Sea bergeming. Ucapan Tomi membuat rasa percaya diri Tirta yang sempat tumbuh terasa dihempas begitu saja. Ternyata, setelah bisa mendapatkan kembali hati Sea, ia harus melalui satu jalan lagi yaitu Tomi dan Gina. "Ada banyak pria di luaran sana, Sea! Kamu cantik, mandiri dan ... kamu bisa mencari pria lain tanpa harus terjebak dengan pria yang sama!" ucap Tomi marah. "Kamu lupa ... dia bahkan rela memohon agar wanita yang sudah membuatmu celaka itu bebas. Jangan bodoh!"Sea menunduk. Bodoh! Ya, dia memang sudah bodoh karena setelah berbulan-bulan terlewati, perasaannya pada Tirta terus saja tumbuh tanpa sedikitpun berkurang. Gina mengusap lengan Tomi dengan lembut. Kedua matanya menatap Sea dengan nanar. Putri yang ia anggap sudah melupakan Tirta ternyata masih memiliki perasaan yang begitu besar untuk pria itu."Dia sudah membuatmu terluka, Se. Apa kamu pikir Ayah akan melepaskanmu dengan pria yang sudah pernah membuatmu kecewa?""Yah ....""Tidak!" sahut Tomi tegas.
***Sea dan Tirta terlonjak. Wanita itu mengurai pelukan saat kedua matanya mulai terbuka dan mendapati sosok Freya berdiri di ambang pintu dengan air muka kebingungan."Fre mau ikut peluk," ucapnya polos. Sea merentangkan tangan dan menghambur di pelukan Sea. Bibirnya terus mengukir senyum seolah-olah dua pasangan di depannya bukanlah sebuah ancaman bagi Papanya. "Ini siapa, Tante? Papa ...." Freya memanggil Hamka ketika pertanyaannya tidak kunjung mendapat jawaban dari mulut Sea. "Ayo, sini! Kita pelukan sama-sama!"Brenda membuang muka. Sedikit banyak dia mulai mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya. Melihat Freya yang begitu dekat dengan Sea sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Brenda pada Hamka tadi."Kalian ... di-- dia kenal Sea?" tanya Brenda terbata. "Kalian ... sudah saling mengenal?"Hamka mengangguk sambil tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Freya dan meninggalkan Brenda di depan toko dengan rasa cemas yang luar biasa."Hai ...," sapa Hamka. "Maaf
***"Se, tolong dengarkan aku!" pinta Tirta memelas. Dia melangkah mendekati Sea yang memunggunginya sembari menutup telinga dengan dua tangan seakan-akan tidak ada yang ingin dia dengarkan dari mulut Tirta. "Aku datang hanya ingin menjelaskan semuanya. Setelah itu semua keputusan terserah padamu. Aku ... hanya ingin meminta maaf atas semua rasa kecewa yang kamu rasakan.""Untuk apa meminta keputusan dariku, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan semuanya sendiri? Kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang ... aku yang tidak sedang mengandung anakmu!" "Dia bukan anakku, Sea!""Dan aku tidak peduli!" teriak Sea. Air matanya berlomba-lomba untuk meluncur bebas ke pipi. "Anakmu atau bukan, yang jelas kamu sudah memilih Nayna daripada aku! Dan itu ... sudah cukup membuatku paham jika nama Nayna berada di posisi tertinggi dalam hatimu."Tirta menunduk. Langkahnya terhenti ketika Sea sudah berada tepat di depan matanya. "Bahkan setelah melukai hatiku berkali-kali, kamu datang dengan wani
***"Mana sarapan untukku?"Nayna duduk di kursi makan dengan melipat tangan. Persis seperti seorang anak kecil yang sedang menunggu sarapannya tersaji."Coba ulangi lagi!"Nayna mendengus kesal. "Ck! Jangan cari gara-gara ya, Mbak. Ini masih pagi, mood ku juga sedang buruk, kamu nggak mau kan kalau sampai aku ngadu ke Mas ....""Kamu pikir aku takut?""Ouh, jadi nantangin? Kamu mau tau siapa yang akan dipilih oleh suami kamu, begitu?" angkuh Nayna. "Lihat! Di perutku ada kehidupan lain, dia yang bertahun-tahun lamanya sangat diinginkan oleh Mas Rayan, yakin kalau aku merajuk dia bakalan lepas kamu begitu saja?"Wanita yang usianya jauh lebih tua di banding Nayna itu tertawa sumbang. Ya, tidak mengelak jika hadirnya seorang bayi adalah keinginan dia dan Rayan selama bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga. Tapi tidak dengan bayi dalam hubungan yang kotor. Rayan sudah mencurangi pernikahan mereka."Kenapa diam,