***
"Astri," gumam Tomi lirih. Tiba-tiba Tirta berlari memeluk Tomi membuat laki-laki itu meringis kesakitan karena pinggangnya terjepit kedua tangan Tirta sedikit erat.
"Argh," rintih Tomi. Melihat mantan suaminya kesakitan, Astri segera berjalan tergesa-gesa dan seketika melepas pelukan Tirta dengan kasar."Ma-- maaf, Sayang. Mama hanya kasihan pada Ayah," tutur Astri kikuk setelah melihat kedua netra Tirta uang berkaca-kaca.Halimah segera mendekati Tirta dan mengusap pucuk kepala bocah itu dengan lembut. Dia menggandeng tangan keponakan tirinya untuk dibawa masuk ke dalam rumah. Tidak ingin ada tetangga yang berpikiran buruk karena kedatangan Astri dan ...."Mari masuk, Pak Rukun dan Bu Sumi," ajak Vano ramah.Kedua pasangan paruh baya itu mengangguk sungkan dan menyusul langkah Halimah bersama Tirta."Memang ayah kenapa, Tante? Kok Mama kasihan kalau Tirta peluk Ayah?"***"Silahkan masuk, Pak RT!" pinta Eni lemah. Dia benar-benar malu mendapati sikap Kusaini yang sekarang sungguh sangat berbeda dengan Kusaini yang dulu.Pak RT bersama beberapa warga yang menjabat di kampung ini, duduk di ruang tamu rumah Eni ingin meluruskan masalah Gina dan Kus agar tidak larut berkepanjangan sehingga menimbulkan ketidaknyamanan untuk para warga."Langsung ke intinya saja, Pak RT. Kenapa sampai repot-repot mengurus rumah tangga saya, atau jangan-jangan Pak RT pun ada hati dengan Gina?"Pak RT sedikit terkejut mendengar tuduhan Kusaini yang tidak beralasan sedangkan Gina menggeleng tidak percaya jika suaminya bisa mengatakan hal sebodoh itu. Wanita berjilbab yang sedang memeluk Pandu itu segera mengelus dadanya dan membatin, "Sabar!""Tutup mulutmu, Kus!" bentak Eni tidak lagi bisa menahan amarahnya. "Sejak tadi Ibu menahan diri agar tidak mengeluarkan kata-kata menyakitkan untukmu, tapi ternyata kamu cukup tidak tau diri!""Apa Ibu sedang mengatai diri Ibu sendiri
***Kusaini hanya bisa menatap punggung istrinya yang memasuki kamar, lalu keluar dari sana dengan membawa satu tas kecil karena kopernya sudah berada di ruang tamu."Jangan pergi, Gin ...."Gina hanya menoleh sekilas, lalu melengos dan menggandeng tangan Pandu untuk mendekati kedua kakek dan neneknya."Gina ....""Talak adalah pemisah antara aku dan kamu, Mas. Setelah kamu mengucapkan kata talak, maka hubungan diantara kita tinggal menunggu surat perceraian saja. Aku harap kamu bisa bertaubat karena sebaik-baik manusia adalah yang menyesali perbuatannya di masa lalu.Jangan lagi mencariku ataupun mencari Pandu. Aku berjanji akan membesarkan dia dengan baik dan penuh kasih sayang. Aku mohon setelah ini jangan pernah menampakkan wajahmu di hadapanku karena luka yang kamu berikan benar-benar membuatku hancur. Apalagi ada benih yang kau titipkan, benih yang hadir dari perbuatan kotor."Kusaini meratap dan tergugu di sudut ruang. Air matanya tidak lagi bisa membawa Gina kembali karena yan
***Tirta melepas kepergian Tomi dengan kebencian yang mendalam. Siapa sangka, dampak dari kekerasan dan sikap buruk orang tuanya selama ini membuatnya menjadi pribadi yang pendiam dan sulit ditebak. "Kenapa kamu mendorong Tante Gina, hah?" bentak Astri geram."As, tenang!" ujar Rukun seraya menepuk lembut bahu anaknya. Astri menoleh, air matanya menggenang mengingat betapa buruk sikap yang Tirta tunjukkan barusan. "Tenang Bapak bilang? Anakku hampir saja menjadi pembunuh dan Bapak bilang aku harus tenang?" Suara Astri terdengar pilu dan bergetar. Keributan yang terjadi di dalam rumah Leha beruntung tidak terdengar tetangga yang lain. Tapi kepergian Gina dalam gendongan Tomi membuat sepasang mata menatap pedih dari arah rumahnya. Ya, Kusaini memantau kepergian istrinya yang ternyata memasuki rumah Tomi dan keluar dengan posisi dalam gendongan laki-laki lain. Tidak ingin diliputi rasa cemas dan penasaran yang begitu menggebu-gebu, Kus berlari setelah mobil Tomi menghilang dari pandan
***Sesampainya di depan pintu IGD, Tomi berteriak memanggil perawat yang berjaga dan meminta untuk dibawakan brankar. Keringat sebesar biji jagung membasahi pelipisnya apalagi saat kesadaran Gina mulai melemah. Sementara Fatma sejak tadi tiada berhenti menangis melihat wajah putrinya yang memucat dan Ahmad menggendong tubuh Pandu yang sedikit banyak memahami apa yang sedang terjadi pada Ibunya."Cepat, Sus! Saya takut pendarahannya semakin parah!" seru Tomi sembari mendorong brankar lebih cepat.Vano mengurus semua keperluan administrasi sementara Fatma dan Ahmad menunggu di luar ruangan. Setelah memasuki ruang penanganan, Tomi keluar dan duduk berdampingan dengan kedua orang tua Gina."Maaf atas perbuatan anak mantan istri saya, Pak ... Bu, dia belum bisa mengolah emosi, saya benar-benar menyesalkan perbuatannya pada Gina," tutur Tomi dengan kepala menunduk. "Setelah pulang nanti, saya pastikan akan memberikan penjelasan padanya
***"Apa maksud ucapan anak kamu ini, Mbak As?" selidik Kusaini dengan memicingkan matanya. "Siapa yang minta dinikahi, apa Gina?"Astri menoleh pada Halimah yang nampak menatap tajam ke arah Kusaini. "Lebih baik kamu susul istrimu ke rumah sakit, Kus. Anggap saja ucapan Tirta hanyalah bualan anak kecil, kamu tentu ingin tau kabar istri dan calon anakmu kan?"Kusaini tersentak sadar. Tanpa berpamitan dia langsung berlari menuju ke rumahnya. Bahkan ucapan Tirta yang sempat mengganggu pikirannya tadi seketika hilang. Yang ada dalam kekhawatirannya kali ini hanyalah Gina dan calon buah hatinya."Jangan sampai calon anakku kenapa-kenapa Ya Allah, aku mohon!" rintihnya."Mau kemana, Kus?""Ke rumah sakit, Mbak. Gina pendarahan.""Pen-- pendarahan?" Hesti memekik membuat Eni segera keluar dari dalam kamarnya setelah menghapus air mata yang membasahi pipinya."Siapa yang pe
***"Ada apa sebenarnya, apa kalian akan bercerai?" tanya Nani lemah. Kedua maniknya bergetar membayangkan kedua anaknya harus mengalami nasib yang sama, yaitu menjadi duda dan janda."Asvia memutuskan untuk bercerai, Bu. Dia malu karena aku mendekam di penjara."Nani menunduk. Hal yang dia takutkan ternyata benar. Entah apa kata para tetangga nanti jika mereka tau jika kedua anaknya gagal dalam membina rumah tangga, apalagi sekarang Handoko justru harus mendekam di penjara."Bagaimana bisa ada disini, Han? Apa yang sudah kamu lakukan? Kamu mencuri?"Handoko menggeleng lemah, "Aku hampir saja membunuh mantan suami Astri, Bu."Kepala Nani yang sejak tadi menunduk seketika mendongak cepat. Mulutnya menganga mendengar penjelasan Handoko yang menurutnya begitu kriminal."Mantan suami Astri? Tapi kenapa, Han?""Panjang ceritanya, Bu ...."Handoko menceritakan awal
***"Tirta memang bersalah, Kus. Tapi Insyaallah Ibunya akan memberikan dia pelajaran sesuai dengan caranya sendiri. Maafkan dia, aku tau ini semua terjadi karena Tirta yang belum pandai mengolah emosi, dia masih terlalu kecil untuk memahami urusan orang dewasa."Kusaini bergeming. Kedua matanya menatap lantai rumah sakit dengan tajam. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menerima dengan ikhlas apa yang sudah terjadi."Lebih baik kamu pulang, ada aku suaminya sekarang. Terima kasih sudah membawa istrinya kesini.""Jaga bicaramu, Kusaini!" Suara Ahmad penuh penekanan. Wajahnya memerah menatap Kusaini yang berdiri dengan gagah di depan Tomi. "Jika tidak ada Tomi dan Vano, mungkin bukan hanya calon bayimu yang meninggal, tapi aku akan kehilangan anakku!""Ini semua terjadi memang karena Mas Tomi, Pak! Jika saja dia tidak menggoda ....""Aku tidak pernah menggoda istrimu," sela Tomi tegas. "Apa kamu mendadak lupa diri atau lupa berkaca, bukankah kamu yang sudah merebut Gina dariku, Kus?
***"Ibu mau menemaniku bertemu Gina?" Sorot harap terpancar di kedua mata Kusaini. Hidungnya memerah pun berkali-kali dia menyusut ingus yang keluar karena menangis. "Aku ingin meminta maaf dan bertemu dengannya untuk yang kesekian kalinya. Tolong dampingi aku, Bu.""Tapi Gina sudah menolak untuk bertemu denganmu, Kus. Bagaimana jika dia ....""Sekali ini saja, Bu. Aku mohon!" Rengekan Kusaini membuat dada Eni terasa sesak. Sakit sekali takdir kehidupan yang diterima oleh anak-anaknya. Dia sepenuhnya menyadari jika ini semua tidak luput dari kesalahannya di masa lalu. "Bagaimana kalau dia menolak kedatangan kamu?""Kita coba, Bu. Aku tidak akan tenang jika belum bertemu Gina."Mau tidak mau Eni mengangguk. Dia menggandeng tangan putranya dan menyusuri koridor rumah sakit menuju Gina dirawat."Itu Mertua kamu, Nak," kata Eni dengan menunjuk ke arah Fatma yang tengah berdiri di depan ruang rawat inap.Kusaini sedikit berlari mendekati Fatma, saat menyadari jika suami putrinya mendekat