***Tirta melepas kepergian Tomi dengan kebencian yang mendalam. Siapa sangka, dampak dari kekerasan dan sikap buruk orang tuanya selama ini membuatnya menjadi pribadi yang pendiam dan sulit ditebak. "Kenapa kamu mendorong Tante Gina, hah?" bentak Astri geram."As, tenang!" ujar Rukun seraya menepuk lembut bahu anaknya. Astri menoleh, air matanya menggenang mengingat betapa buruk sikap yang Tirta tunjukkan barusan. "Tenang Bapak bilang? Anakku hampir saja menjadi pembunuh dan Bapak bilang aku harus tenang?" Suara Astri terdengar pilu dan bergetar. Keributan yang terjadi di dalam rumah Leha beruntung tidak terdengar tetangga yang lain. Tapi kepergian Gina dalam gendongan Tomi membuat sepasang mata menatap pedih dari arah rumahnya. Ya, Kusaini memantau kepergian istrinya yang ternyata memasuki rumah Tomi dan keluar dengan posisi dalam gendongan laki-laki lain. Tidak ingin diliputi rasa cemas dan penasaran yang begitu menggebu-gebu, Kus berlari setelah mobil Tomi menghilang dari pandan
***Sesampainya di depan pintu IGD, Tomi berteriak memanggil perawat yang berjaga dan meminta untuk dibawakan brankar. Keringat sebesar biji jagung membasahi pelipisnya apalagi saat kesadaran Gina mulai melemah. Sementara Fatma sejak tadi tiada berhenti menangis melihat wajah putrinya yang memucat dan Ahmad menggendong tubuh Pandu yang sedikit banyak memahami apa yang sedang terjadi pada Ibunya."Cepat, Sus! Saya takut pendarahannya semakin parah!" seru Tomi sembari mendorong brankar lebih cepat.Vano mengurus semua keperluan administrasi sementara Fatma dan Ahmad menunggu di luar ruangan. Setelah memasuki ruang penanganan, Tomi keluar dan duduk berdampingan dengan kedua orang tua Gina."Maaf atas perbuatan anak mantan istri saya, Pak ... Bu, dia belum bisa mengolah emosi, saya benar-benar menyesalkan perbuatannya pada Gina," tutur Tomi dengan kepala menunduk. "Setelah pulang nanti, saya pastikan akan memberikan penjelasan padanya
***"Apa maksud ucapan anak kamu ini, Mbak As?" selidik Kusaini dengan memicingkan matanya. "Siapa yang minta dinikahi, apa Gina?"Astri menoleh pada Halimah yang nampak menatap tajam ke arah Kusaini. "Lebih baik kamu susul istrimu ke rumah sakit, Kus. Anggap saja ucapan Tirta hanyalah bualan anak kecil, kamu tentu ingin tau kabar istri dan calon anakmu kan?"Kusaini tersentak sadar. Tanpa berpamitan dia langsung berlari menuju ke rumahnya. Bahkan ucapan Tirta yang sempat mengganggu pikirannya tadi seketika hilang. Yang ada dalam kekhawatirannya kali ini hanyalah Gina dan calon buah hatinya."Jangan sampai calon anakku kenapa-kenapa Ya Allah, aku mohon!" rintihnya."Mau kemana, Kus?""Ke rumah sakit, Mbak. Gina pendarahan.""Pen-- pendarahan?" Hesti memekik membuat Eni segera keluar dari dalam kamarnya setelah menghapus air mata yang membasahi pipinya."Siapa yang pe
***"Ada apa sebenarnya, apa kalian akan bercerai?" tanya Nani lemah. Kedua maniknya bergetar membayangkan kedua anaknya harus mengalami nasib yang sama, yaitu menjadi duda dan janda."Asvia memutuskan untuk bercerai, Bu. Dia malu karena aku mendekam di penjara."Nani menunduk. Hal yang dia takutkan ternyata benar. Entah apa kata para tetangga nanti jika mereka tau jika kedua anaknya gagal dalam membina rumah tangga, apalagi sekarang Handoko justru harus mendekam di penjara."Bagaimana bisa ada disini, Han? Apa yang sudah kamu lakukan? Kamu mencuri?"Handoko menggeleng lemah, "Aku hampir saja membunuh mantan suami Astri, Bu."Kepala Nani yang sejak tadi menunduk seketika mendongak cepat. Mulutnya menganga mendengar penjelasan Handoko yang menurutnya begitu kriminal."Mantan suami Astri? Tapi kenapa, Han?""Panjang ceritanya, Bu ...."Handoko menceritakan awal
***"Tirta memang bersalah, Kus. Tapi Insyaallah Ibunya akan memberikan dia pelajaran sesuai dengan caranya sendiri. Maafkan dia, aku tau ini semua terjadi karena Tirta yang belum pandai mengolah emosi, dia masih terlalu kecil untuk memahami urusan orang dewasa."Kusaini bergeming. Kedua matanya menatap lantai rumah sakit dengan tajam. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menerima dengan ikhlas apa yang sudah terjadi."Lebih baik kamu pulang, ada aku suaminya sekarang. Terima kasih sudah membawa istrinya kesini.""Jaga bicaramu, Kusaini!" Suara Ahmad penuh penekanan. Wajahnya memerah menatap Kusaini yang berdiri dengan gagah di depan Tomi. "Jika tidak ada Tomi dan Vano, mungkin bukan hanya calon bayimu yang meninggal, tapi aku akan kehilangan anakku!""Ini semua terjadi memang karena Mas Tomi, Pak! Jika saja dia tidak menggoda ....""Aku tidak pernah menggoda istrimu," sela Tomi tegas. "Apa kamu mendadak lupa diri atau lupa berkaca, bukankah kamu yang sudah merebut Gina dariku, Kus?
***"Ibu mau menemaniku bertemu Gina?" Sorot harap terpancar di kedua mata Kusaini. Hidungnya memerah pun berkali-kali dia menyusut ingus yang keluar karena menangis. "Aku ingin meminta maaf dan bertemu dengannya untuk yang kesekian kalinya. Tolong dampingi aku, Bu.""Tapi Gina sudah menolak untuk bertemu denganmu, Kus. Bagaimana jika dia ....""Sekali ini saja, Bu. Aku mohon!" Rengekan Kusaini membuat dada Eni terasa sesak. Sakit sekali takdir kehidupan yang diterima oleh anak-anaknya. Dia sepenuhnya menyadari jika ini semua tidak luput dari kesalahannya di masa lalu. "Bagaimana kalau dia menolak kedatangan kamu?""Kita coba, Bu. Aku tidak akan tenang jika belum bertemu Gina."Mau tidak mau Eni mengangguk. Dia menggandeng tangan putranya dan menyusuri koridor rumah sakit menuju Gina dirawat."Itu Mertua kamu, Nak," kata Eni dengan menunjuk ke arah Fatma yang tengah berdiri di depan ruang rawat inap.Kusaini sedikit berlari mendekati Fatma, saat menyadari jika suami putrinya mendekat
***Ucapan Gina meluncur begitu saja seolah-olah dia tidak melihat jika Kusaini ada di depannya. Atau mungkin juga dia sedang berusaha menunjukkan pada Kusaini jika kehadirannya di dalam ruangan ini tidak berarti apa-apa bagi Gina."Apa yang kamu katakan, Gin?" tanya Kus dengan suara seraknya. "Kamu senang karena keguguran ini?""Bu, tidak perlu meminta maaf lagi karena aku sudah memaafkan semuanya. Dan aku mohon, jangan pernah biarkan dia menemuiku setelah ini karena aku ingin hidup tenang tanpa bayang-bayang masa lalu." Gina tidak menggubris pertanyaan Kusaini tapi justru berkata hal lain pada Eni. Sontak saja sikap Gina membuat Kus tertampar. Dia benar-benar merasakan jika istrinya itu begitu membencinya. Ya. Dia memang pantas dibenci."Maafkan Kus, Nak," lirih Eni. "Ibu tau kamu sangat membencinya saat ini. Tapi tolong, jangan pisahkan dia dengan Pandu, ijinkan dia sesekali bertemu dengan anaknya.""Tolong jangan meminta sesuatu yang bagiku sangat berlebihan. Bukankah dia sudah ti
***"Bagaimana jika Gina keguguran, Bu? Aku takut sekali kalau Mas Tomi marah dan menolak untuk bertemu aku dan Tirta," keluh Astri saat mereka sudah sampai di kampung halaman. Sepanjang perjalanan pulang dia tidak banyak bicara karena sedang menahan kesal pada Tirta. Pasalnya, anak itu tidak mau mengakui kesalahannya dan kekeuh menuduh jika Gina adalah dalang di balik berpisahnya Mama dan Ayahnya. "Jangan mengharapkan sesuatu yang kamu sendiri sudah mengetahui jawabannya, As. Untuk apa lagi Tomi menemui kamu dan Tirta sementara tidak ada ikatan diantara kalian. Tanpa terlukanya Gina pun Tomi pasti akan mulai menjaga jarak dengan kamu dan anakmu."Sumi berbicara pelan tapi menohok. Dia ingin membuat Astri benar-benar tersadar jika dirinya bukanlah orang penting di kehidupan Tomi. Pun Tirta, selama ini yang Tomi lakukan hanyalah karena rasa simpati dan kasihan semata. "Tapi Mas Tomi sudah menyayangi Tirta seperti anaknya sendiri, Bu. Tidak mungkin jika dia melupakan ....""Kenapa tid