***"Siapa lagi, Yu Eni ... ya menantumu itu toh," celetuk Diah tanpa aling-aling. Ia seakan ingin memancing emosi Eni saat ini. "Aneh aja ya kan, kemarin lusa Bapak Ibunya Gina datang, eh tau-tau hari ini Kusaini pulang bawa Gina ngakunya sudah menikah kemarin di rumah si wanita. Aku jadi curiga ....""Jangan sibuk mengurus keluargaku, urus saja anakmu yang tidak mau mengakui darah dagingnya sendiri itu. Dan ya, cari menantumu Yu Diah, jangan-jangan dia hilang digondol wanita yang lebih tegas dan cantik. Nggak kaya anakmu yang belepotan dandanannya tapi emaknya jago nyinyir!"Diah dibuat melongo oleh balasan menohok dari Eni. Anak Diah memang baru berusia 23 tahun, tapi gemar sekali berdandan dan terlihat sedikit menor untuk wanita seusianya. Apalagi kabar tentang menantunya tidak pernah jelas. Setelah menikah dan Arum-- anak Diah melahirkan, menantunya pergi dan tidak pernah lagi kembali hingga saat ini. Itulah yang mendasari sikap Diah begitu membenci para pasangan yang saling menc
***Hari berganti bulan ... Kandungan Halimah sudah semakin terlihat. Teringat saat acara syukuran tiga bulanan, Diah dibuat mati kutu dengan kabar kehamilan Halimah yang tiba-tiba sudah menginjak usia empat bulan.Vano mulai menjalankan bisnisnya di kota sebelah, kota yang tidak terlalu jauh dari kampung tempat tinggalnya sekarang. Berkat doa istri, orang tua dan mertuanya, bisnis yang kembangkan berjalan pesat. Tempat cuci mobil yang cukup besar itu tidak pernah sepi pengunjung.Tomi sudah kembali ke kota sejak tiga Minggu yang lalu. Dia ingin menghindari Gina karena setiap hari harus dibakar cemburu melihat kebersamaan Gina dan Kusaini."Sehat-sehat ya, Hal. Jangan terlalu lelah, bahaya kalau masih trimester pertama begini," kata Bu Gun sembari mengusap perut Halimah lembut."Halah! Dulu juga aku hamil malah banyak gerak, Bu Gun. Kalau terlalu banyak rebahan dan malas, bisa-bisa lahiran Caesar nanti. Awas, belum jadi Ibu kalau belum bisa lahiran normal!" cerocos Diah. "Lihat tuh, A
***"Handoko ...."Mata Tomi tertutup rapat dan setelahnya dia tidak ingat apa-apa lagi.Tring ... Tring ... Tring ...."Assalamualaikum.""Selamat siang, Bu. Dengan kerabat saudara Tomi?"Dada Halimah berdegup kencang mendengar nama disebut."Saya adiknya, Pak. Maaf kalau boleh tau kenapa, ada apa dengan Kakak saya?"Halimah menutup mulut seraya menangis saat mendengar penjelasan dari salah seorang petugas kepolisian. Setelah menerima informasi tentang keadaan Tomi, gegas dia menutup telepon dan menekan nomor Vano saat itu juga."Assalamualaikum, Dek. Tumben siang-siang telepon. Nggak tidur?""Mas ... Mas Tomi, Mas ...."Vano yang sedang merekap data pemasukan bulan ini di tempat pencucian mobil dan motor yang dia miliki seketika menghentikan aktifitasnya. Dia menyimak kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir Halimah."Mas pulang sekarang juga. Kamu yang tenang ya!"Halimah mengangguk. Setelah sambungan telepon terputus, dia segera berlari menemui Bapak dan Ibunya yang sedang beri
***Vano berpikir keras untuk mengambil tindakan. Jika mereka pergi ke kota sekarang, maka nasib buruk ada pada Tirta, tapi jika dia menunda keberangkatan ke kota, khawatir Tomi sedang menunggu keluarganya datang. Tidak bisa dipungkiri, mereka tentu cemas dengan keadaan Tomi yang belum jelas sekarang."Tapi kita buru-buru ke kota, Mbak," kata Halimah. "Mas Tomi butuh kami, bagaimana kalau ada apa-apa dengannya?"Astri menangkupkan tangannya di wajah. Dia menangis karena merasa tidak ada lagi yang bisa membantunya selain keluarga Tomi."Sebentar saja kita jemput Tirta, Hal. Bantu aku ... aku tidak tau harus minta bantuan pada siapa?" Halima menghela napas kasar, nampak Leha dan Karim yang juga merasa kurang nyaman dengan permintaan tolong Astri. Bagaimanapun, mereka dulu pernah berada di situasi yang sama. Tomi menculik Tirta dan Ayah kandungnya sendiri demi menyelamatkan bocah itu dari kebengisan Handoko. Dan sekarang, kejadian ini terulang lagi bahkan Tomi pun menjadi sasaran kedua
***Sementara di tempat lain ...."Siapa, Mas?" tanya Asvia sengit. "Dari Astri?" Bibirnya yang tipis terkesan mencibir. "Jadi dia sudah tau kalau Tirta di rumah kita?"Handoko mengangguk sembari memasukkan kembali ponsel ke dalam saku. Tidak ada banyak kalimat yang keluar dari bibir laki-laki yang kini sudah menginjak kepala empat itu. Tapi yang jelas, kemarahan menguasai dirinya karena Astri yang terdengar begitu berani melawannya."Pokoknya aku nggak mau kalau Tirta pulang ya, Mas. Kamu tau sendiri kan kalau aku ini habis lahiran, suka capek ... lelah. Kalau nggak ada Tirta, siapa yang mau bantuin aku bersih-bersih?" cecarnya sengit. "Pembantu sekarang itu mahal, kalau ada anakmu kenapa harus pakai pembantu. Iya kan?"Handoko mendengus kesal. Sebenarnya dia ingin marah dengan sikap sok mengatur yang Asvia tunjukkan. Tapi dia tidak bisa berbuat banyak, Handoko terlalu mencintai istrinya hingga membuat darah dagingnya sendiri menderita."Mas ....!" Asvia memekik saat melihat Handoko
***Dada Eni naik turun mendengar ucapan menantunya. Dia tau jika apa yang sudah Kusaini lakukan adalah sebuah kesalahan, tapi membenci calon bayi yang tidak bersalah tetap saja tidak benar."Kamu sadar apa yang sudah kamu katakan, Gin?" cecar Eni. "Berdosa sekali jika kamu ....""Jangan membicarakan dosa padaku, Bu!" teriak Gina. "Apa Ibu tau seberapa dosa saat Mas Kus memaksaku melayaninya sementara kami bukan lagi suami istri? Apa Ibu merasakan apa yang aku rasakan saat mengetahui jika aku hamil sementara aku adalah seorang janda? Ibu pikir siapa yang paling berdosa disini, hah?"Gina menggebu-gebu membalas semua ucapan Eni yang terkesan memojokkannya. "Aku dulu mungkin sangat bersalah karena sudah mengkhianati Mas Kus, Bu. Tapi tidakkah Mas Kus bisa melihat jika aku sudah menyesali semuanya? Dan sekarang ... sekarang dia justru kembali membuatku menjadi wanita kotor. Aku benci dengan semua ini, Bu. Aku benci!"Rambut Gina terlihat acak-acakan karena kerap kali dia menariknya kuat
Dikira Miskin (111)***Astri mengendarai motor dengan menahan nyeri di kakinya. Sejak kecelakaan yang menyebabkan kakinya pincang, wanita itu sering mengeluh jika dirasa terlalu banyak bergerak. Dia menerobos jalanan menuju rumah Handoko. Tidak bisa dibayangkan bagaimana pedihnya Tirta menjalani hari-hari di rumah Papanya."Buka pagarnya!" teriak Astri di depan rumah berpagar putih. "Tirta ... keluar, Nak! Mama di depan!"Mendengar teriakan Astri, seorang satpam berbadan tegap gegas keluar dari pos penjagaan dengan membawa sebuah pentungan panjang."Cari siapa, Bu?""Biarkan aku masuk! Anakku ada di dalam, aku mohon," rengek Astri dengan menangis. "Tolong lepaskan anakku, jangan biarkan dia menjadi budak di rumah orang tuanya sendiri. Tolong ...."Satpam dengan paras sangar itu menarik napas dalam. Bayangan wajah anaknya berkelindan di matanya. Pasalnya, dia juga punya seorang anak perempuan seusia Tirta. Dia dibawa pergi oleh istrinya entah kemana. Enggan hidup miskin membuat istrin
***"Tirta dibawa ke rumah Handoko, Mas," papar Halimah ragu. "Sebelum kami berangkat kesini, Mbak Astri sempat datang meminta bantuan untuk membawa Tirta pergi dari rumah mantan suaminya, tapi kita tidak bisa ....""Kamu menolak membantu Astri, Hal?" sela Tomi. "Kenapa?"Leha mengusap lengan Tomi dengan lembut. "Bukan kita menolak, Nak. Tapi mendengar kabar kalau kamu masuk ke rumah sakit, kami tidak bisa mendahulukan Tirta sementara kamu disini menunggu kedatangan kami. Kamu mengerti?""Tapi bagaimana keadaan Tirta, Bu?"Mereka semua diam, hendak menjawab pun sepertinya sama-sama tidak tau bagaimana kabar Tirta saat ini. Melihat keluarganya yang bergeming lantas membuat Tomi merasa khawatir pada keadaan Tirta."Ada baiknya kamu tidak terlalu mencampuri urusan Astri dan anaknya, Tom," tutur Karim memecah keheningan.Tomi melengos. Dia tau keluarganya akan melarang untuk peduli pada Tirta lagi mengingat anak itu bukanlah darah dagingnya, apalagi ada Handoko yang sekarang jelas-jelas b