***Vano berpikir keras untuk mengambil tindakan. Jika mereka pergi ke kota sekarang, maka nasib buruk ada pada Tirta, tapi jika dia menunda keberangkatan ke kota, khawatir Tomi sedang menunggu keluarganya datang. Tidak bisa dipungkiri, mereka tentu cemas dengan keadaan Tomi yang belum jelas sekarang."Tapi kita buru-buru ke kota, Mbak," kata Halimah. "Mas Tomi butuh kami, bagaimana kalau ada apa-apa dengannya?"Astri menangkupkan tangannya di wajah. Dia menangis karena merasa tidak ada lagi yang bisa membantunya selain keluarga Tomi."Sebentar saja kita jemput Tirta, Hal. Bantu aku ... aku tidak tau harus minta bantuan pada siapa?" Halima menghela napas kasar, nampak Leha dan Karim yang juga merasa kurang nyaman dengan permintaan tolong Astri. Bagaimanapun, mereka dulu pernah berada di situasi yang sama. Tomi menculik Tirta dan Ayah kandungnya sendiri demi menyelamatkan bocah itu dari kebengisan Handoko. Dan sekarang, kejadian ini terulang lagi bahkan Tomi pun menjadi sasaran kedua
***Sementara di tempat lain ...."Siapa, Mas?" tanya Asvia sengit. "Dari Astri?" Bibirnya yang tipis terkesan mencibir. "Jadi dia sudah tau kalau Tirta di rumah kita?"Handoko mengangguk sembari memasukkan kembali ponsel ke dalam saku. Tidak ada banyak kalimat yang keluar dari bibir laki-laki yang kini sudah menginjak kepala empat itu. Tapi yang jelas, kemarahan menguasai dirinya karena Astri yang terdengar begitu berani melawannya."Pokoknya aku nggak mau kalau Tirta pulang ya, Mas. Kamu tau sendiri kan kalau aku ini habis lahiran, suka capek ... lelah. Kalau nggak ada Tirta, siapa yang mau bantuin aku bersih-bersih?" cecarnya sengit. "Pembantu sekarang itu mahal, kalau ada anakmu kenapa harus pakai pembantu. Iya kan?"Handoko mendengus kesal. Sebenarnya dia ingin marah dengan sikap sok mengatur yang Asvia tunjukkan. Tapi dia tidak bisa berbuat banyak, Handoko terlalu mencintai istrinya hingga membuat darah dagingnya sendiri menderita."Mas ....!" Asvia memekik saat melihat Handoko
***Dada Eni naik turun mendengar ucapan menantunya. Dia tau jika apa yang sudah Kusaini lakukan adalah sebuah kesalahan, tapi membenci calon bayi yang tidak bersalah tetap saja tidak benar."Kamu sadar apa yang sudah kamu katakan, Gin?" cecar Eni. "Berdosa sekali jika kamu ....""Jangan membicarakan dosa padaku, Bu!" teriak Gina. "Apa Ibu tau seberapa dosa saat Mas Kus memaksaku melayaninya sementara kami bukan lagi suami istri? Apa Ibu merasakan apa yang aku rasakan saat mengetahui jika aku hamil sementara aku adalah seorang janda? Ibu pikir siapa yang paling berdosa disini, hah?"Gina menggebu-gebu membalas semua ucapan Eni yang terkesan memojokkannya. "Aku dulu mungkin sangat bersalah karena sudah mengkhianati Mas Kus, Bu. Tapi tidakkah Mas Kus bisa melihat jika aku sudah menyesali semuanya? Dan sekarang ... sekarang dia justru kembali membuatku menjadi wanita kotor. Aku benci dengan semua ini, Bu. Aku benci!"Rambut Gina terlihat acak-acakan karena kerap kali dia menariknya kuat
Dikira Miskin (111)***Astri mengendarai motor dengan menahan nyeri di kakinya. Sejak kecelakaan yang menyebabkan kakinya pincang, wanita itu sering mengeluh jika dirasa terlalu banyak bergerak. Dia menerobos jalanan menuju rumah Handoko. Tidak bisa dibayangkan bagaimana pedihnya Tirta menjalani hari-hari di rumah Papanya."Buka pagarnya!" teriak Astri di depan rumah berpagar putih. "Tirta ... keluar, Nak! Mama di depan!"Mendengar teriakan Astri, seorang satpam berbadan tegap gegas keluar dari pos penjagaan dengan membawa sebuah pentungan panjang."Cari siapa, Bu?""Biarkan aku masuk! Anakku ada di dalam, aku mohon," rengek Astri dengan menangis. "Tolong lepaskan anakku, jangan biarkan dia menjadi budak di rumah orang tuanya sendiri. Tolong ...."Satpam dengan paras sangar itu menarik napas dalam. Bayangan wajah anaknya berkelindan di matanya. Pasalnya, dia juga punya seorang anak perempuan seusia Tirta. Dia dibawa pergi oleh istrinya entah kemana. Enggan hidup miskin membuat istrin
***"Tirta dibawa ke rumah Handoko, Mas," papar Halimah ragu. "Sebelum kami berangkat kesini, Mbak Astri sempat datang meminta bantuan untuk membawa Tirta pergi dari rumah mantan suaminya, tapi kita tidak bisa ....""Kamu menolak membantu Astri, Hal?" sela Tomi. "Kenapa?"Leha mengusap lengan Tomi dengan lembut. "Bukan kita menolak, Nak. Tapi mendengar kabar kalau kamu masuk ke rumah sakit, kami tidak bisa mendahulukan Tirta sementara kamu disini menunggu kedatangan kami. Kamu mengerti?""Tapi bagaimana keadaan Tirta, Bu?"Mereka semua diam, hendak menjawab pun sepertinya sama-sama tidak tau bagaimana kabar Tirta saat ini. Melihat keluarganya yang bergeming lantas membuat Tomi merasa khawatir pada keadaan Tirta."Ada baiknya kamu tidak terlalu mencampuri urusan Astri dan anaknya, Tom," tutur Karim memecah keheningan.Tomi melengos. Dia tau keluarganya akan melarang untuk peduli pada Tirta lagi mengingat anak itu bukanlah darah dagingnya, apalagi ada Handoko yang sekarang jelas-jelas b
***"Tidak bisa begitu, Hal ....""Kalau tidak bisa, maka hindari berurusan dengan mereka lagi. Kamu dan dia sudah bukan suami istri, Mas. Dengan kamu mencampuri urusan Mbak Astri dan Handoko, itu sama saja kamu sedang mengantarkan nyawamu sendiri ke tangan Papanya Tirta. Mas sebenarnya ngerti nggak sih posisi Mas itu bagaimana?" Halimah mengeluarkan unek-uneknya dengan menggebu-gebu. Dia geram karena melihat Tomi yang terkesan menyepelekan ancaman Handoko. Wanita itu sudah cukup trauma dengan apa yang pernah dia alami dulu. Ketika Tomi dan Vano harus berkelahi melawan Tarjo hingga memberinya luka tusuk di pinggang sebelah kanan, dan kini pinggangnya sebelah kiri justru menjadi sasaran empuk anak buah Handoko.Tomi tidak berkata-kata lagi. Dia meletakkan ponsel di sisi ranjang dengan tak acuh. Melihat gelagat yang Tomi tunjukkan, seketika Karim mencekal pergelangan tangan sulungnya dan berkata, "Jalan satu-satunya kalau ingin melindungi Tirta adalah dengan menikahi Astri, Tom. Jika ka
***Prak ....Gina melempar ponsel Kusaini tepat di atas meja makan dimana suaminya sedang menyantap makan siang bersama Ibu dan Kakaknya. Ketiganya terlonjak saat mendapati satu buah ponsel mendarat dengan sempurna, bahkan hampir mengenai pelipis Kusaini jika laki-laki itu tidak segera mengelak."Gina!" bentak Kus dengan mata melotot. "Apa-apaan kamu, hah? Disini ada Mba Hesti dan Ibu yang sedang makan, nggak bisa sopan sedikit?" cecarnya. "Kamu boleh membenciku, marah atau memukulku kalau kamu mau, tapi hormati keluargaku!" Dada Kusaini naik turun melihat Gina yang tak jua gentar mendapat bentakan darinya. Bahkan wanita di depannya itu kini menarik ujung bibir hingga membentuk seringaian tipis. Gina marah bukan karena perselingkuhan Kusaini, atau perihal suaminya mencintai wanita lain. Bukan! Tapi yang membuatnya sampai kehilangan kendali adalah karena Kus menikahinya hanya untuk balas dendam atas masa lalu yang pernah dia lakukan. Gina marah sebab pernikahan inilah dia harus merel
***Hesti melihat Kusaini dengan tatapan sendu. Dia tidak menyangka jika adik laki-laki yang dulu dia banggakan dan dianggap paling baik diantara saudara yang lain ternyata sekarang sudah berubah. "Aku tau kalau aku bukan wanita baik-baik, Kus. Tapi ....""Kalau sudah tau maka diamlah, Mbak! Apa kamu tidak malu berusaha menasehati ku sementara masa lalumu begitu buruk?" sindir Kusaini menohok. "Aku benci para wanita yang sok-sokan terlihat baik padahal dulunya mereka adalah lacur!""Kusaini!" bentak Eni. Napasnya memburu mendengar anak lelakinya menghina saudaranya sendiri di depan Sang Ibu. "Jaga mulutmu!"Bukannya takut dan menurut, Kusaini justru mengibaskan tangannya di udara dan berkata, "Ibu dan Mbak Hesti tidak perlu repot-repot mencampuri urusanku. Mau aku menikahi Gina karena kebencian di masa lalu atau dengan alasan lain, kalian tidak perlu tau!"Gina mengepalkan kedua tangannya. Dia sudah bertekad untuk pergi dari rumah Kusaini bagaimanapun resikonya nanti. Bahkan bayangan