Suara tawa kecil pun meluncur dari bibir Austin. “Saya jadi penasaran seperti apa agresifnya Nona Lorenzo yang dulu,” ledeknya. Namun, Reinhard telah melayangkan tatapan tajam dengan aura membunuh yang sangat kuat, seakan mengatakan bahwa, “Wanita itu adalah milikku. Tidak ada siapa pun yang boleh menggodanya selain aku.” Akan tetapi, Austin tidak peduli dan tetap menertawakannya. Alicia pun mendengus kesal. ia akui kalau dulu ia memang sangat “tidak tahu malu” dan “agresif” saat melakukan pendekatan terhadap Reinhard. Pernah suatu kali ia mecoba untuk mendapatkan ciuman dari Reinhard di tempat umum. Ia menggunakan sedikit trik yang cukup licik. Sayangnya, trik yang dilakukan ternyata tidak berhasil. Namun, ia berhasil mendapatkan kecupan singkat di pipinya waktu itu dan Alicia merasa sangat bahagia. Hanya saja, setelah saat itu Reinhard benar-benar menjaga jarak darinya seolah Alicia adalah rubah liar yang ingin memangsanya setiap waktu. Mengingat kenangan masa lalu yang konyol,
Beberapa waktu kemudian, Alicia dan Reinhard telah tiba di apartemen mereka. Ia disambut oleh sejumlah pengawal yang kehilangan jejaknya seminggu lalu. Para pengawal itu menundukkan wajahnya dan berkata serentak, “Maafkan kami, Nyonya Muda!”Alicia terperangah. Ia menjadi pusat perhatian dari seluruh staff dan penghuni apartemen yang ada di lobi gedung tersebut.“Ka-kalian … kenapa minta maaf?” tanya Alicia dengan bingung. Ia pun menoleh kepada Reinhard dan bertanya, “Kamu yang menyuruh mereka?”Tiba-tiba tangan besar Reinhard merangkul pinggang rampingnya dan bergumam di dekat telinganya, “Ini sudah sepantasnya mereka lakukan karena sudah membuatmu hampir kehilangan nyawa. Tidak membunuh mereka sudah merupakan satu kelonggaran untuk mereka.”Reinhard terlihat sangat tenang saat mengatakan hal tersebut. Namun, di telinga para bawahannya, kalimat itu terdengar seperti ancaman yang mengerikan.Kepala para pengawal itu semakin tertunduk, tak berani me
Di depan Hotel Willow, para awak media telah hadir, berbondong-bondong meliput acara pernikahan tuan muda keluarga Stein dengan putri keluarga Vale. Berita pernikahan mereka telah menjadi buah bibir sejak sebulan lalu.Bagaimana tidak?Reputasi Edwin Stein satu bulan terakhir ini semakin meningkat sejak produk “Shiny” menggebrak pasar kosmetik.Kepala keluarga Vale sendiri, yaitu kakek Thalia, merupakan walikota London dan Edwin menerima cukup banyak bantuan darinya dengan memanfaatkan hubungannya dengan Thalia.Para tamu undangan yang hadir sebagian besar berasal dari keluarga menegah ke atas, termasuk politikus dan selebriti. Tidak ada yang luput dari kilatan kamera para awak media.Tiba-tiba sebuah mobil sedan mewah buatan Jerman keluaran terbaru, berhenti di depan pintu masuk hotel. Sontak, para awak media dan beberapa tamu yang sedang melangkah di red carpet terhenti sejenak, menoleh ke arah mobil yang terlihat misterius.Tidak berapa lama kemudian, sang pengemudi mobil─Owen Scot
“Sebenarnya apa yang kalian bicarakan?” tanya Edwin dengan penuh selidik. Ia memandang Nicholas dan mantan istrinya secara bergantian. Sejak tadi Edwin sama sekali tidak memahami maksud dari sindiran-sindiran terselubung dari Nicholas dan mantan istrinya tersebut. Akan tetapi, ia sangat terkejut karena Nicholas mengenal wanita itu. Pandangan Nicholas beralih kepada Edwin. Ia pun tersenyum remeh. “Kamu tidak tahu?" "Tahu apa?" Edwin mengerutkan keningnya. Nicholas menggelengkan kepalanya dan berkata, "Dia adalah Venus yang kuceritakan waktu itu.” Edwin membelalak kaget, matanya berpindah ke Alicia dengan sorot tak percaya. Sementara itu, Thalia juga ikut terkejut, tapi dengan cepat tersenyum sinis. “Jadi, kalau dia Venus, apa masalahnya? Dia tidak punya pengaruh apa pun terhadap Mirage, Tuan Muda Hernandez," ujarnya, mencoba meredakan kekhawatiran Nicholas. Thalia menoleh ke Edwin, berharap mendapatkan dukungan. “Benar kan, Sayang?” Namun, Edwin tidak menjawab. Tatapannya yan
Cekalan pada tangannya membuat Alicia menoleh. Ia pun bertemu pandang dengan Miranda yang telah menatapnya dengan marah.“Anya, apa yang sudah kamu lakukan pada Thalia?” sergah Miranda dengan suara penuh tuduhan. Tatapannya tajam menusuk, seolah Alicia adalah penyebab semua kekacauan.Alicia memutar mata, mencoba tetap tenang meski suasana semakin memanas. “Lepaskan tanganmu, Nyonya,” desisnya dengan suara yang terdengar dingin.Netra biru Alicia yang menatap langsung ke arah Miranda, memancarkan ketenangan yang terasa berbahaya.Miranda tercekat sejenak. Wanita paruh baya itu merasakan perbedaan yang begitu besar dari perubahan mantan menantunya itu.Namun, Miranda menepis rasa kagetnya dan menyentakkan tangan Alicia, membuat wanita itu terhuyung sedikit, lalu beralih ke Thalia. “Sayang, kamu tidak apa-apa?” tanyanya dengan nada cemas, menggenggam tangan menantunya erat.Thalia mengangguk kecil, tetapi wa
“Oh, ya? Siapa yang akan menikahi wanita gelandangan tidak tahu malu dan mandul sepertimu, Anya,” cetus Miranda yang masih menatap Alicia dengan penuh cemooh. Wajah Alicia berubah nanar dalam sekejap. Kedua tangannya terkepal erat. Ia tidak menyangka Miranda masih saja mencari kesempatan untuk menguak luka lamanya tersebut. “Hah! Orang itu pasti sudah buta dan berselera rendah,” Miranda masih mencibir, berharap Alicia akan tersudutkan dengan penghinaannya. Alih-alih marah, Alicia malah kembali tertawa, membuat Miranda dan yang lainnya menerka-nerka atas hal apa yang akan dilakukan Alicia dalam menghadapi sindiran yang menusuk tersebut. “Buta dan selera rendah katamu?” ujar Alicia di sela-sela tawanya. Ia membayangkan bagaimana Reinhard akan merespon hinaan tersebut. Wajah Miranda pun memerah. “Apa yang kamu tertawakan, Anya? Kamu sudah gila, hah?” hardiknya. Tawa Alicia pun perlahan terhenti. “Aku menertawakan suaramu yang tidak pantas diperdengarkan. Apa kamu tidak tahu kalau su
“Ka-kamu … suaminya?” Pertanyaan Miranda dengan suara yang masih belum sepenuhnya reda dari syok, terdengar memecahkan keheningan yang sempat terjadi beberapa detik di dalam aula resepsi tersebut. Pandangan Reinhard pun beralih kepada wanita paruh baya yang masih berdiri di samping Edwin. Dengan mempertahankan seringai dingin yang terlukis pada wajah angkuhnya, Reinhard menjawab, “Benar. Wanita ini adalah istri saya dan kami datang sebagai tamu terhormat dari Tuan Besar Vale.” Miranda tercengang. Ia pun melirik Thalia, tetapi menantunya itu hanya menggelengkan kepala, memberi isyarat bahwa dia tidak tahu-menahu soal ini. Semua tamu keluarga Vale berada dalam pengaturan kakeknya dan Thalia dapat memastikan bahwa semua tamu kakeknya adalah orang-orang berpengaruh dan berkuasa di kota ini. Thalia semakin penasaran dengan identitas pria yang mengaku sebagai suami Alicia tersebut. Padahal sebelumnya ia mengira Alicia hanyalah wanita jalang yang suka bergonta-ganti pria setelah
Thalia menggigit bibirnya, menahan isak tangis yang ingin meluncur dari kerongkongannya. Dadanya terasa panas karena amarahnya yang mendidih. Ia ingin berteriak, ingin melawan, tetapi tatapan dingin kakeknya seakan mengancamnya untuk tidak lagi berbuat onar.“Sekarang!” Suara berat John Vale memecah kebisuan.Gigi Thalia bergemeretak. Masih dengan satu tangan memegang pipinya, ia berteriak dengan lantang, “Aku tidak bersalah! Kenapa aku harus meminta maaf padanya?”Suasana di aula semakin mencekam. Semua tamu menahan napas, menanti reaksi dari John Vale.Wajah pria tua itu tampak menggelap. Netra senjanya di balik kacamatanya itu telah berkilat tajam. Sebelum John melontarkan amarahnya, Edwin bergegas merangkul pundak Thalia yang masih terguncang dan berkata dengan penuh kekhawatiran, “Sayang, jangan begitu. Sebaiknya kita ikuti kata kakekmu.”Sontak, Thalia pun menoleh ke arah suaminya. Ia tidak menyangka pria itu malah akan memihak kakeknya dalam situasi seperti ini. Mata Thalia mel
Reinhard terlihat kesal. Sebenarnya ia ingin sekali turun tangan sendiri untuk menangani Ken. Akan tetapi, karena ia harus menjalani pemulihan di rumah sakit, Reinhard meminta para bawahan Dark Wolf untuk menggantikannya memberikan pelajaran kepada pria itu.Dalam kondisi terluka parah dan faktor usia yang tak lagi muda, Ken meregang nyawa lebih cepat setelah mengalami berbagai penyiksaan yang diperintahkan Reinhard.Meskipun menyesal tidak dapat menanganinya sendiri, tetapi Reinhard merasakan kelegaan yang luar biasa dengan kematian pria itu. Satu ancaman bagi Alicia telah lenyap, dan Reinhard bisa memenuhi janjinya kepada Regis.“Kamu sudah mengirimkan hasilnya kepada Regis?” tanya Reinhard.Ia memang meminta Austin menyelesaikan tugas itu sebagai bagian dari syarat yang diberikan Regis. Untuk memastikan mayat itu benar-benar Ken Stewart, Reinhard sengaja meminta otopsi. Ia tidak ingin tertipu seperti Alexei dulu, yang sempat terkecoh oleh kematian palsu Ken.“Tenanglah. Aku sudah m
Dua minggu sudah Reinhard dirawat di rumah sakit. Hari ini akhirnya ia sudah diperbolehkan pulang setelah selama seminggu ini ia mengajukan protes dan keluhannya terhadap dokter yang menanganinya. Bahkan ia tak segan-segan mengancam pimpinan rumah sakit.Apa yang terjadi? Kenapa Reinhard melakukannya?Jawabannya sangat sederhana. Reinhard sudah tidak betah berada di rumah sakit itu.Seperti yang diputuskannya dua minggu lalu, ia dan Alicia akhirnya berbagi kamar rawat bersama agar bisa menjalani masa pemulihan bersama.Akan tetapi, Alicia sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit minggu lalu karena kondisinya sudah lebih membaik. Meski demikian, ia tetap diwajibkan menjalani bedrest di rumah hingga benar-benar pulih sepenuhnya.Karena itulah, Reinhard merasa sangat kesepian berada di dalam kamar rawat itu sekarang. Ia berulang kali mengajukan permohonan untuk pulang, tetapi ditolak karena luka-lukanya masih memerlukan perawatan intensif.Hari ini, setelah berbagai protes dan ancama
“Apa yang kamu lamunkan, hum?” Reinhard mengetuk pelan kening Alicia, mengalihkan kembali perhatian wanita itu padanya.Alicia tersentak kecil. Ia menggeleng cepat, lalu memasang senyum lebar seolah tidak ada apa-apa.Reinhard menghela napas pelan. “Aku tahu … meskipun kamu tahu kamu hamil sekalipun, pasti kamu tetap akan mengikutiku, bukan?” terkanya, mengira Alicia masih memikirkan tentang hal yang terjadi sebelumnya.Alicia terkekeh kecil. “Kamu sangat mengenalku dengan baik, Suamiku,” ucapnya, tidak menyangkal sedikit pun tuduhan Reinhard.Saat itu, Alicia memang tidak berpikir panjang. Satu-satunya hal yang dipedulikannya hanyalah keselamatan pria itu.Reinhard mendesah berat, tetapi ada kehangatan dalam sorot matanya. “Sayang, kamu tahu kan kalau aku mencintaimu?”Alicia mengangguk.“Mulai sekarang ada nyawa lain yang harus kamu jaga. Tapi, di atas semua itu, kamu yang menjadi prioritasku. Karena itu, jangan pernah berbuat nekat seperti tadi lagi dan jangan pernah berpikir untuk
“Ah, ya ampun. Turunkan aku, Xavier. Aku pusing,” seru Alicia histeris.Reinhard segera menghentikan putarannya dan menurunkan Alicia dengan hati-hati di atas ranjang. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.“Maafkan aku, Sayang. Aku sampai lupa diri karena terlalu bahagia mendengar kabar ini,” ucap Reinhard seraya menangkup wajah Alicia dengan kedua tangannya, menatapnya seolah-olah wanita itu adalah seluruh dunianya.“Tidak apa-apa. Aku hanya sedikit pusing saja,” timpal Alicia berusaha menunjukkan senyuman meyakinkan, meskipun kepalanya masih sedikit berdenyut.“Kamu yakin?” Reinhard menatapnya lekat-lekat, seolah mencari tanda-tanda ketidaknyamanan yang mungkin disembunyikan Alicia. “Mau aku panggilkan dokter saja?”Alicia tertawa kecil, menggeleng pelan. “Aku baik-baik saja, Xavier. Serius. Jangan berlebihan.”Reinhard mendesah lega, tetapi tidak sepenuhnya puas. Ia duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Alicia dengan lembut.Raut wajah Reinhard berubah sendu dan dipen
Selang beberapa waktu, ciuman mereka semakin dalam, membuat Alicia cukup kewalahan untuk mengikuti liarnya gairah yang diberikan Reinhard melalui ciuman tersebut.“Ummph─”Deru napas Alicia terasa semakin pendek. Ia pun bergegas melepaskan tautan bibir mereka lebih dulu agar bisa menghirup udara secepatnya. Tanpa sengaja ia mendorong dada Reinhard terlalu kuat hingga pria itu meringis perih karena luka di bahunya terasa kembali berdenyut.Mata Alicia pun membelalak panik. “Ah, astaga!”Alicia pun bergegas memeriksa luka pria itu, membuka beberapa kancing baju pasien yang dikenakan Reinhard. Melihat bercak darah yang merembes pada perban di bahu pria itu, rasa bersalah pun menggelayuti hati Alicia. Ia menggigit bibir bawahnya dan menatap Reinhard dengan sorot mata berkaca-kaca.“Maafkan aku … aku─”Sebelum Alicia sempat menyelesaikan ucapannya, Reinhard telah menarik lengannya dan membawanya jatuh ke dalam pelukannya lagi.“Xavier ….” Alicia mengerjap dengan bingung. Ia berniat mendoron
Alicia masih terdiam. Ia berusaha mencerna ucapan yang dilontarkan Reinhard. Kata-kata itu meskipun terdengar sederhana, tetapi entah kenapa Alicia merasa tidak asing seakan menyiratkan sesuatu seperti penolakan.Tiba-tiba hati Alicia terasa teremas. Ia diingatkan kembali dengan kenangan menyakitkan yang dialaminya dulu terkait dengan sikap dingin Reinhard di masa lalu.Cairan bening telah menggenang di pelupuk mata Alicia membuat Reinhard tersentak. “A-Alicia, kamu … kenapa?” tanyanya, panik.Namun, wanita itu tidak menjawab dan malah balik bertanya dengan suara bergetar yang terdengar seperti bisikan yang rapuh, “Tadi kamu bilang ... tidak ingin aku mengejarmu lagi? Maksudmu ... kamu ingin berpisah denganku?”Reinhard menatap wanita itu dengan penuh kebingungan. Namun, seulas senyuman merekah di bibirnya setelah mencerna prasangka buruk yang dilontarkan wanita itu atas ucapannya tadi.Dengan penuh kelembutan, Reinhard mengusap air mata yang hampir tumpah di sudut mata wanita itu. “D
“Memangnya ada hal yang tidak kuketahui?” Regis menyeringai kecil, nada angkuhnya begitu kentara.Reinhard hanya mendesah, menatap pria itu dengan tatapan lelah. "Tentu saja. Tuan Muda Lorenzo selalu tahu segalanya."Regis tertawa pelan, lalu mulai berbicara tanpa niat memancing pertengkaran. Ia pun menceritakan mengenai hal yang didengarnya dua hari lalu—tentang insiden yang menimpa Alicia sebelum mengalami kecelakaan tiga tahun lalu. Cerita yang secara tak sengaja Regis dengar ketika Alicia menceritakannya kepada ayah mereka.Reinhard terdiam mendengarkan cerita tersebut. Amarah di dalam dadanya mulai membara seiring dengan setiap kata yang keluar dari mulut Regis. Rahangnya mengeras, sementara tangan terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih.“Jadi … tiga tahun lalu, kecelakaan itu memang bukan hanya sekadar kecelakaan?” gumam Reinhard berbisik pelan seiring dengan getaran emosi yang dirasakannya.Sebelumnya Reinhard memang telah mendengar pengakuan dari Edwin Stein mengenai p
Reinhard telah sampai di depan pintu kamar Alicia. Koridor di depan ruangan itu sangat sepi. Sebelum masuk, ia menoleh sejenak ke arah Hans yang menemaninya hingga ke tempat itu.“Cukup antar sampai di sini saja. Saya bisa sendiri, Tuan Miller,” ucap Reinhard dengan tegas.Meskipun Hans merasa ragu dan khawatir, tetapi ia tidak dapat menolak permintaan Reinhard. Akhirnya, dengan sedikit bimbang, Hans menundukkan kepalanya dan beranjak pergi, meninggalkan Reinhard sendirian di depan pintu.Setelah Hans pergi, Reinhard pun menggeser pintu di depannya, lalu memutar kursi rodanya masuk ke dalam ruangan itu. Di tengah keheningan itu, hanya terdengar suara roda yang berputar dengan deru napas yang teratur saja.Ia berhenti sejenak. Dari balik tirai tipis yang mengelilingi ranjang, ia bisa melihat sosok Alicia yang terlelap. Dengan pelan, Reinhard berdiri dari kursinya, berjalan mendekat agar bisa melihat wajah istrinya lebih jelas di tengah penerangan temaram dalam ruangan itu.Namun, langk
“Mau ke mana?”Nada suara Reagan yang datar dan tajam, memecahkan keheningan yang terjadi di antara dirinya dan Reinhard. Mata ambernya menilik sikap putranya yang dipenuhi kewaspadaan padanya.Perlahan sudut bibirnya membentuk lengkungan tipis, mencairkan ketegangan di antara mereka. “Mencari Alicia?” tanyanya lebih lanjut.Reinhard mengangguk cepat. “Aku ingin memastikan keadaannya,” jawabnya.Melihat raut wajah putranya yang pucat, Reagan pun tersenyum mencibir, “Aku rasa dibandingkan dia, kondisimu jauh lebih mengkhawatirkan, Rein.”Sejenak, ruangan kembali menjadi sunyi. Nada suara Reagan yang terdengar tajam tersebut membuat Reinhard berpikir ayahnya itu akan menghalangi keinginannya seperti yang biasa dia lakukan.Akan tetapi, Reinhard tidak menyangka sang ayah malah berkata, “Pergilah. Tapi, perhatikan juga kondisimu. Jangan terlalu memaksakan diri.”Mata Reinhard terbelalak, tak percaya dengan pendengarannya tersebut. “Papa ….”“Kenapa? Tidak jadi?” Reagan menaikkan satu ali