"ada apa, Non?" Anton bertanya dengan panik."Maaf, Pak Anton, tidak ada apa-apa. Saya hanya sangat bahagia karena sahabat baik saya akhirnya akan segera menikah," jawab Syakila."Syukurlah, kalau begitu kami kembali ke depan. Permisi.""Iya, Pak. Maaf bikin panik.""Gak pa-pa, Non."Sepeninggal Anton dan temannya, Syakila kembali memperhatikan kertas yang berhiaskan ukiran indah beserta foto dua sahabatnya yang sedang tersenyum bahagia. "Pantas mereka gak ada kabar akhir-akhir ini, ternyata mereka sedang sibuk mempersiapkan pesta pernikahan. Masya Allah ...." Antara bahagia dan tidak menyangka, Syakila terus memperhatikan."Pantas saja beberapa waktu lalu pas Opa ke butik, Nita gak ada. Katanya sedang cuti beberapa hari. Ternyata ini alasannya," ujar Bamantara."Oma senang, akhirnya Nita menemukan jodohnya. Dia gadis yang baik." Amber ikut membuka suara."Nita memang jagonya bikin kejutan. Tapi kok Mas Ryan ikutan sembunyi-sembunyi, sih? Biasanya kalau ada apa-apa pasti cerita ke ak
Syakila baru saja selesai melakukan kuretase setelah sebelumnya melakukan dilatasi selama lima jam. Saat ini dia belum sadarkan diri dari pengaruh obat bius.Devan dan keluarga masih setia menemani, hingga satu pesan dari orang kepercayaannya berhasil membuat dia harus meninggalkan rumah sakit sebentar."Bu, Opa, Oma, Devan ada urusan penting. Tolong jaga Syakila. Setelah urusan Devan selesai, Devan akan segera kembali," pamitnya."Iya, Nak. Semoga urusanmu cepat selesai," sahut sang ibu sambil mengelus pundak Devan."Iya, Bu."Setelah itu Devan berjalan cepat menuju parkiran. Tak lupa dia juga menyuruh anak buahnya untuk standby di sekitar ruangan istrinya.Dengan kecepatan tinggi, kini Devan telah sampai di markas tempatnya berkumpul dengan anak buahnya.Di sana sudah ada Jo dan Alex yang menunggu."Sorry, Bro. Aku turut berdukacita," ucap Jo."Hmmm. Tak apa. Kau juga sedang bersedih. Kenapa kamu sudah kembali? Bukankah masih ada waktu cuti beberapa hari?" ucap Devan heran, sebab sa
"Eh, anu ... Itu, saya ---""Sudahlah, Dev. Sebaiknya kita segera masuk. Siapa tahu Bu Syakila saat ini sudah sadar." Jo menyela, terkesan melindungi Kamil padahal dia sendiri menaruh rasa curiga pada lelaki bertubuh tinggi kurus itu."Ya, tapi---""Tidak ada tapi-tapian, Bos. Istrimu sudah menunggu di dalam." Lagi-lagi Jo tak membiarkan Devan menginterogasi Kamil. Di otak sahabat Devan itu sudah tersusun rencana matang untuk menyelidiki tentang Kamil. Firasatnya mengatakan ada keanehan pada lelaki yang masih berdiri di depannya dengan gelagat gugup itu."Kamu benar, Jo." Devan lalu berjalan masuk ke rumah sakit, dan berusaha membuang pikirannya tentang Kamil. Mungkin dia hanya menebak, pikirnya.Sementara Jo tersenyum manis pada Kamil agar tak merasa gugup lagi. "Yuk, kita juga ikut masuk," ajaknya."Iya, mari."Kamil dan Jo lalu berjalan beriringan menuju rumah sakit menyusul Devan.Kamil begitu pandai menghilangkan kecemasannya, terbukti dia begitu santai saat berjalan bersama Jo.
Empat laki-laki itu tetap membisu, duduk di kursi tunggu seperti patung tanpa ekspresi. Di tengah keheningan yang tegang, lorong rumah sakit mulai diisi suara langkah tergesa-gesa. Nita dan Ryan datang dengan wajah penuh kecemasan, seolah tak ingin membuang waktu."Kamil! Kamu Kamil kan? Di mana Syakila, bagaimana keadaannya?" Suara Nita pecah, menggema hingga membuat keempat lelaki itu menoleh.Kamil, yang duduk di samping Jo, berdiri seketika. Dalam hati, dia lega mendapat alasan untuk mengalihkan perhatian dari sorotan mata Jo yang sejak tadi menelanjangi kegugupannya."Dia di dalam bersama Pak Devan dan keluarga. Dokter baru saja mengatakan untuk bergantian jika ingin menjenguk," jawab Kamil sambil menunjuk pintu ruang rawat.Belum sempat Nita merespons, pintu itu terbuka. Bamantara dan Amber keluar, wajah mereka menyiratkan kelelahan."Opa, Oma!" Nita langsung berlari menghampiri Amber, memeluk wanita paruh baya itu dengan erat."Kenapa ke sini, Nak? Bukankah kalian seharusnya di
Keheningan di ruang tunggu rumah sakit kembali melingkupi suasana. Kamil kembali datang untuk kedua kalinya setelah kemarin tak bisa bertemu langsung dengan Syakila. Berharap hari ini dia bisa melihat keadaan mantan kekasihnya dulu, Kamil rupanya masih harus menunggu di luar ruangan karena di dalam sudah ada Nita dan Ryan. Sejak tadi dia gelisah, terus memainkan ujung jaketnya. Matanya tak henti melirik pintu ruang rawat Syakila, seakan ingin segera masuk tetapi tak punya keberanian. Jo, yang diutus Devan untuk berjaga duduk di sampingnya, mengamati semua gerak-geriknya dengan seksama. Hari Sabtu itu mereka habiskan di rumah sakit menjaga Syakila.“Ada apa sebenarnya denganmu, Mil? Dari tadi kamu tampak ... berbeda.”Kamil tersentak. Dia mencoba mengalihkan perhatian dengan tertawa kecil, tetapi senyumnya terlihat dipaksakan. “Maksud Anda apa, Pak Jo? Saya hanya khawatir, itu saja. Bukankah kita semua di sini juga khawatir pada Bu Syakila?”Jo menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap
Saat akan memenuhi panggilan Amber, handphone Kamil berdering. Dia pun urung mendekat dan menepi untuk menerima telepon dari mamanya."Kamil, kamu di mana?" "Kamil lagi ada urusan sebentar, Ma. Ada apa?" Kamil berbicara dengan suara pelan dan lirih."Tadi polisi telepon, katanya Jasmin mengalami pendarahan dan sekarang dirawat di rumah sakit.""Apa!" Kamil kaget. Rasanya Tuhan benar-benar tak ingin pikirannya santai hingga ujian tak hentinya berdatangan di hidupnya."Kalau urusanmu sudah selesai, kamu jemput mama ya, kita ke rumah sakit." Nada suara Sundari terdengar pelan dan berbeda dari biasanya."Mama gak pa-pa?" tanya Kamil merasa khawatir."Iya, mama gak pa-pa kok. Mama cuma merasa khawatir pada adikmu. Mama ingin bertemu dengannya.""Iya, Ma. Sebentar lagi Kamil pulang," pungkasnya lalu menutup telepon.Dia menghembuskan napas panjang dan lelah. Kesempatan untuk bertemu Syakila dan menenangkannya terpaksa ia tunda. Jasmin lebih penting saat ini. Adiknya tidak ada yang menunggu
"Apa! Kritis?" Kamil tertegun dan semakin terguncang. "Baik, saya akan segera ke sana," ucapnya lirih.Setelah menutup teleponnya, Kamil meraup wajah yang terasa begitu frustasi. Tak ada tempat bersandar, tak ada teman bercerita, tak ada tempat berkeluh kesah. Satu-satunya orang tua yang ia miliki untuk berbagai cerita kini sedang berbaring tak berdaya di ranjang kesakitan. Kini, deritanya lengkap sudah. Kamil tertawa miris memikirkan hidupnya kini.Namun, dia sadar berdiam diri dan meratapi bukanlah langkah yang tepat saat ini. Keluarganya membutuhkan dirinya. Dia akhirnya menengok Sundari sebentar, lalu menuju ke rumah sakit tempat Jasmin dirawat kini.Lagi-lagi Kamil mengendarai roda empatnya dengan kecepatan tinggi seakan tak peduli lagi dengan nyawa yang masih melekat di raganya. Bahkan jika Tuhan ingin mengambil nyawanya saat ini, mungkin Kamil tak kan keberatan.Sesampainya di rumah sakit, Kamil langsung menemui Jasmin yang saat ini berada di ruang ICU. Kamil langsung bertanya
Acara pemakaman Jasmin berlangsung dalam satu hari itu. Tak banyak pelayat, sebab tak banyak orang yang memang ia dan adiknya kenal. Apalagi akhir-akhir ini keluarganya begitu tertutup dan jarang bersosialisasi. Saat beberapa pelayat yang mengantar Jasmin ke peristirahatan terakhirnya, Kamil masih setia memegangi tanah merah yang masih basah itu. Air matanya kembali mengalir mengingat betapa menyedihkannya hidup sang adik. Dia masih muda, tetapi hidupnya hanya cukup sampai di sini. Ditambah, sang adik sudah lama tidak bertemu dengan kakak perempuan dan mamanya. 'Ah, bahkan di peristirahatan terakhirmu mama dan kak Yumna tak bisa menyaksikannya. Malang sekali nasibmu, Dek,' batin Kamil. "Istirahatlah yang tenang, Jas. Kakak akan membereskan orang yang sudah membuatmu seperti ini." Kamil memegangi papan nisan bertuliskan nama sang adik. Terus menatap dengan tatapan yang sulit diartikan. Lama menunduk dan nelangsa, Kamil akhirnya beranjak. Ada banyak rencana yang tersusun di kepal
“Iya, Sayang. Dia memilih mengakhiri hidupnya di ICU.""Mengakhiri hidup? Maksudnya gimana, Mas?" Syakila benar-benar tak mengerti. Pasalnya saat Kamil ditembak oleh polisi, dia sempat melihatnya."Entahlah, Mas juga tidak begitu paham. Kata polisi dia sempat sadar, dan ketika perawan akan kembali mengeceknya, dia sudah ditemukan tak bernapas. Kamil memotong urat nadinya sendiri.""Innalillahi ...." Syakila menutup mulutnya dengan telapak tangan, merasa tak menyangka pria yang terlihat ambisius itu ternyata begitu rapuh."Oh, iya. Sebelum meninggal, Kamil meninggalkan surat untukmu. Polisi tadi memberitahuku bahwa surat itu akan diserahkan setelah investigasi selesai, tapi Mas sudah memintanya lebih dulu.”"Surat apa itu, Mas?" tanyanya pelan.Perasaan campur aduk muncul di benaknya. Luka di hatinya akibat perbuatan Kamil masih terasa, namun mendengar lelaki itu meninggal dunia membuatnya sulit menahan rasa iba.Devan merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan amplop kusut yang sudah dibe
Perlahan ruangan itu menjadi sunyi. Hanya suara tetes darah yang jatuh ke lantai mengisi kekosongan. Tubuh Kamil mulai dingin, wajahnya pucat, namun ada sedikit senyum tergurat di bibirnya. Itu adalah senyum seorang lelaki yang akhirnya menemukan kelegaan, meski dalam cara yang tragis.Beberapa menit kemudian, seorang perawat masuk ke ruangan untuk mengecek kondisi Kamil. Sontak dia menjerit ketika melihat genangan darah di lantai dan tubuh pasien yang tak lagi bergerak. "Dokter! Pasiennya bunuh diri!" teriaknya memanggil petugas medis melalui alat penghubung di ruang rawat.Dokter dan beberapa perawat segera datang, mencoba menyelamatkan Kamil, namun upaya itu sia-sia. Nadi Kamil sudah berhenti, detak jantungnya tidak terdeteksi. "Kita terlambat," gumam dokter. Polisi yang berjaga di luar ruangan segera masuk setelah mendengar kegaduhan. Mereka juga terkejut melihat kondisi Kamil yang sudah tidak bernyawa. Sementara itu, di lorong yang berbeda, Devan duduk gelisah di ruang tunggu.
"Mas Devan ...!" Suara Syakila melengking, dengan gerakan cepat ia memutar Devan, melindungi lelaki itu dengan dirinya sendiri.Jleb!Semuanya terjadi begitu cepat. Pisau tajam yang digenggam Kamil merobek keras lengan Syakila. Darah segar langsung membasahi kain bajunya.Devan terbelalak tak percaya dengan napas tercekat. "Syakila!" teriaknya dengan panik, tangannya menangkup tubuh istrinya yang sedikit limbung.Dor!Suara tembakan menggema di udara. Dalam hitungan detik Kamil terhuyung mundur. Tangannya yang memegang pisau perlahan melemah bersamaan dengan rasa bersalahnya terhadap Syakila. Dadanya seperti terbakar akibat timah panas yang masuk ke dalam tubuhnya. Darah mengalir deras dari bagian dada.Perlahan tubuh itu jatuh dengan bunyi berat ke tanah, tetapi matanya masih bisa melihat Syakila yang meringis menahan perih. Mungkin, ini adalah untuk terakhir kalinya ia dapat melihat wanita yang begitu didambanya."Maafkan aku Syakila ... Aku, a-aku men-cintai-mu," lirih Kamil dengan
Namun, detik berikutnya Kamil berubah pikiran, ia memutuskan untuk mengambil langkah nekat. Dengan tangan yang masih mencengkeram erat leher Shakila, dia menyeringai penuh keyakinan. "Kalau aku tidak bisa lolos, setidaknya aku akan membawa mereka semua ke neraka bersamaku!" gumamnya, menekan pedal kasih nggak habis. Mesin mobil meraung seperti binatang buas yang terluka, melaju kencang menuju brigade polisi. Syakila panik, tangannya reflek mencoba menggoyang-goyangkan setir agar laju mobil berubah arah, atau berhenti. "Kamil, jangan gila! Kau akan membunuh kita semua!""Memang itu yang aku inginkan. Ha ha ha!"Tangan Kamil memukul keras tangan Syakila yang mengganggu setir. "Kau diam saja, Sayang. Aku pastikan kita akan berakhir dalam keabadian sekarang.""Gak! Aku gak mau! Berhenti, Kamil!""Aku akan berhenti kalau kau mau berjanji untuk bersedia hidup bersamaku selamanya.""Dasar gila! Itu tidak akan terjadi." Syakila memukul-mukul lengan Kamil, tetapi pukulan kecil itu hanya dian
Kamil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memutarnya dengan mata yang menatap lurus ke depan seperti seekor ular yang siap menyemburkan bisanya. Tanpa ekspresi, dia mendekati Syakila yang masih memejamkan mata lalu membopongnya seperti karung beras, membawanya ke dalam mobil.Beberapa minggu lalu, ketika ia berhasil meracuni polisi yang berjaga kemudian kabur dari lapas, Kamil mendatangi salah satu anak buahnya yang tak tertangkap dan meminta mobil untuk dikendarai. Dibantu oleh anak buahnya itulah akhirnya Kamil berhasil menyelinap ke vila yang disewa Devan, menyamar sebagai penjaga keamanan di sana setelah berhasil membuat penjaga aslinya harus cuti.Dalam hatinya, Kamil bertekad untuk dapat bersatu dengan Syakila, apapun caranya. Jika dia tak bisa memiliki, maka orang lainpun tak ada yang boleh memiliki. Jika tak bisa bersatu di dunia, di alam lain pun Kamil tak keberatan. Dan kini, laki-laki yang jiwanya terganggu itu telah bersiap untuk melakukan sesuatu.****"Pasti ada
"Syakila ..." Telinga tajam Devan dapat mendengar suara gelas yang jatuh. Gegas pria bergaya rambut Taper Fade itu naik ke atas kolam dan berjalan ke dapur, tanpa peduli cipratan air yang berjatuhan di lantai."Sayang, kamu gak pa-pa?" teriaknya terus berjalan.Sunyi. Tak ada jawaban apapun. Langkahnya semakin cepat dan pasti. Namun, ketika sampai dapur, tak ada siapapun di sana. Hanya pecahan gelas yang berserakan di lantai.Devan panik. Seketika ia mengitari sekitaran sambil terus memanggil istri tercintanya."Syakila ...""Sayang, kamu di mana?"Terus mencari ke setiap ruangan di vila, tetapi hasilnya nihil. "Sayang, bercandanya gak lucu loh. Kamu di mana ?" Devan masih berfikir positif. Mungkin istrinya ingin bermain-main dengannya."Sayang, ayolah. Keluar dong. Aku dah kedinginan nih, mau ganti baju. Temenin yuk." Devan terus berbicara sendiri sambil terus mencari.Hampir seluruh ruangan ia datangi, dan hasilnya tetap kosong. Panik, Devan mulai sangat panik. Apa yang terjadi de
"Kenapa seperti ada yang mengikuti ya?" gumamnya, lalu menoleh ke belakang. Tetapi tak ada siapapun di sana. Jalanan sepi."Mas, ayok!" teriak Syakila yang sudah lebih dulu berjalan."Eh, iya, Sayang." Devan terkesiap kemudian menyusul, ikut mengantri bersama sang istri.Beberapa orang yang juga membeli bubur mengajak mereka ngobrol. Ada yang sama-sama pendatang, ada juga yang asli penduduk setempat. Syakila dan Devan menyukai keramahan penduduk di sekitar villa yang mereka sewa."Ini buburnya, Neng," ucap si penjual bubur pada Syakila, setelah beberapa waktu mengantri."Iya, Mang. Terima kasih." Syakila menerima kantong kresek berisi bubur, sementara Devan yang membayarnya."Mari, Ibu-ibu, kami duluan," pamitnya pada ibu-ibu yang masih mengantri."Mari, Neng, A, selamat liburan ya, semoga sukses," sahut seseibu dengan lantang."Sukses apa nih, Bu?" Devan sengaja menanggapi, karena tertarik dengan misteri di balik kata 'sukses' itu."Ya sukses jadi belendung atuh, hamil teh. Apalagi c
"Sayang ... Ahh...."Untuk yang kedua kalinya Devan mencapai puncak kenikmatan bersama Syakila di villa. Sepasang suami istri itu benar-benar menikmati bulan madu kedua ini. Hampir tak terlewatkan oleh mereka aktivitas saling mencintai, dan memadu kasih begitu mereka sampai di tempat penginapan itu. Apalagi Devan memilih villa yang lumayan jauh dari keramaian. menurutnya agar aktivitas mereka lebih privasi. Tentu hal itu semakin membuat mereka semakin intens.Dua manusia berlawanan jenis itu masih tersengal dengan napas memburu di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. "Kau benar-benar hebat, Sayang. Terima kasih." Devan memberikan pujian pada sang istri karena berhasil mengimbangi permainannya yang brutal.Lelaki itu betul-betul merindukan momen ini. Bagaimana tidak? Kemarin-kemarin dia terpaksa harus puasa menjamah tubuh indah Syakila. Banyak kejadian tak terduga yang mereka alami."Sama-sama, Mas. Kamu juga hebat. Masih gagah seperti yang dulu," sahut Syakila dengan suara ber
"Bu, Opa, dan Oma, weekend besok aku sama Syakila ada rencana liburan ke villa. Eum, kalau boleh kita mau nitip Aira, gak lama kok, cuma dua hari." Dengan sedikit malu Devan meminta izin saat mereka sedang bersantai di depan televisi.Aira sendiri sudah lebih dulu terlelap ditemani mommy-nya di kamar. Jadi anak itu tidak protes ketika daddy-nya akan pergi berdua saja dengan sang mommy."Tentu saja boleh, Nak. Kalian memang perlu liburan setelah semua yang kalian alami," ucap Sukoco."Ibumu benar, Dev. Pergilah, buat hari-hari kalian menyenangkan." Bamantara menimpali."Sola Aira, kami siap menjaganya. Dia anak yang baik, pasti akan mengerti." Amber juga mengeluarkan pendapatnya."Terima kasih, semuanya. Aku akan beri tahu kabar ini pada Syakila." Devan terlihat bahagia. Bulan madu kedua ini pasti akan menyenangkan."Ah, bagaimana kalau kita ajak Aira menengok rumah kita, Sayang. Supaya dia tidak sedih kalau daddy dan mommy-nya pergi berlibur," usul Amber pada suaminya."Ide yang bagus