"Tenang saja. Polisi pasti akan menutupi masalah ini. Yakin, deh, polisi pasti akan mengatakan kalau Jasmin itu keguguran biasa, apalagi dulu dia pernah mencoba melakukan BunDir, itu semakin menguntungkan kita." Seseorang bernama Rani, yang mengaku ketua geng itu berkata dengan percaya diri."Iya juga, ya. Berarti kita tetap aman 'kan?""Aman, tenang saja."Kelimanya lalu kembali tersenyum simpul sembari melirik satu sama lain, merasa aman dan puas dengan apa yang telah mereka lakukan.Beberapa menit berada di sel, Kamil telah selesai mengemasi barang Jasmin. Dia pun berpamitan untuk pulang pada teman-teman Jasmin dan polisi. Tentunya setelah menyerahkan makanan yang ia bawa.Sepeninggal Kamil, kelima orang yang sering membuat onar mendekati teman-teman sel Jasmin yang sedang membuka kantong pemberian Kamil, lalu merebutnya dengan kasar dan tiba-tiba."Hei, itu milik kami!" seru seorang wanita berbadan kurus."Tapi sekarang sudah berpindah ke tanganku, artinya ini sudah menjadi milikk
"Apa ini, Sayang? Kamu dapat dari mana foto-foto itu?" Devan bertanya dengan menahan sabar yang hampir habis."Gak penting aku dapat dari mana. Yang jelas, aku tahu kalau sebenarnya Mas gak tulus sama aku. Atau jangan-jangan ... Kamu yang sudah sengaja mencampur penggugur kandungan ke dalam bubur yang kumakan?! Bukankah penjagaan sangat ketat? Jadi cuma kamu yang bisa melakukan itu!" Syakila mulai berapi-api."Ada apa denganmu? Foto-foto itu fitnah, Sya? Bagaimana mungkin kamu bisa segampang itu mempercayainya?! Dan tuduhanmu sangat tidak berdasar! Mas gak mungkin menggugurkan darah daging Mas sendiri.""Tentu saja supaya kamu bebas menikah lagi dengan Renata kan!""Astaghfirullah, Sya ... Kamu ini kenapa sih? Kenapa bisa berfikir seperti itu?" Terkikis sudah kesabaran Devan."Aku ... Aarrggg ... Aku tidak tahu!" Syakila tiba-tiba menjatuhkan diri di atas kasur sambil menjambak rambutnya sendiri.Kepalanya terasa panas dan rasanya seperti ingin meledak. Penyakit yang sudah lama hilang
Suster menjawab sembari tersenyum. "Anda bisa tanyakan pada dokter Tommy, beliau mungkin sudah menunggu Anda di ruangannya.""Iya. Tolong jagain mama saya dulu, Sus, saya mau menemui dokter dulu," pinta Kamil."Tentu, Pak, Anda tidak perlu khawatir."Kemudian Kamil dengan langkah cepatnya mencari ruangan dokter yang menangani mamanya.Tak sulit baginya menemukan ruangan itu, sebab rumah sakit itu ibarat rumah keduanya semenjak Yumna dirawat di sana beberapa bulan belakangan.Kamil segera mengetuk pintu begitu sampai di depan pintu dengan plang nama 'Dr. Tommy Kurniawan.'Dia kemudian membuka pintu lalu masuk sesuai instruksi dari dalam."Selamat siang, Dok." Kamil menyapa terlebih dahulu."Siang Pak Kamil, silakan duduk," sahut dokter yang diangguki Kamil, kemudian duduk sesuai perintah, di hadapan dokter itu."Begini, Pak Kamil. Ibu Anda mengalami cedera otak traumatik (TBI), akibat tekanan darah rendah karena perdarahan dan benturan cukup keras di kepalanya. Sehingga setelah sadar,
"Aku tunggu di tempat biasa, sekarang!" pungkas Jo yang kemudian mengakhiri panggilan.Sejenak Devan terpekur di sana, mencoba menyatukan pazel demi pazel permasalahan yang menimpanya, tetapi kepala justru hampir pecah. Dia akhirnya memutuskan untuk pergi meski malam sudah menunjukkan pukul sepuluh.Dengan gerakan pelan, Devan kembali masuk ke kamar, mendekati Syakila dan melambaikan tangan di depan wajahnya untuk mengecek apakah istrinya itu sudah terlelap atau belum.Setelah memastikan Syakila benar-benar terlelap, Devan mengganti piyamanya dan pergi ke tempat di mana Jo sudah menunggu. Sepeninggal Devan, mata Syakila terbuka. "Hal apa lagi yang tidak boleh aku ketahui, Mas?" gumamnya sembari memandang pintu yang sudah tertutupIa duduk, menghela napas lelah. Dia seakan tak mengenali Devan yang sekarang. Pesan-pesan dari seseorang itu benar-benar mengubah pemikirannya."Ah, iya, aku baru ingat!" Syakila teringat sesuatu. Dia pun beranjak untuk mengambil gadget miliknya yang ia simp
Di sebuah kafe 24 jam, Kamil duduk ditemani secangkir kopi hitam panas yang masih mengepulkan asap. Tangannya mengetuk-ngetuk meja, nampak tak sabar menunggu seseorang. Bibirnya tersungging tipis ketika membayangkan betapa indah hari-harinya esok, ditemani sang pujaan hati."Mas Kamil." Seseorang yang ditunggu akhirnya tiba. Dengan napas ngos-ngosan dia menemui pria berjaket hitam itu sambil mengedarkan pandangan. "Di mana mereka?" tanyanya."Tenang dulu, Sya. Kamu tidak mungkin akan menemukan mereka dalam keadaan panik seperti ini," ujar Kamil."Bagaimana aku bisa tenang. Mas Devan tega melakukan ini padaku.""Baiklah. Tadi aku lihat mereka sudah keluar. Aku curiga, mereka akan pergi ke hotel.""Ap-apa! Hotel? Sudah sejauh itu kah?" Bagai tersayat pisau, dada Syakila sakit dan perih. Raganya seolah tak bertulang mendengar suaminya pergi ke hotel bersama wanita lain."Maaf, Sya. Itu hanya perkiraan saja. Aku tidak bermaksud membuatmu bersedih.""Tidak apa-apa, Mas. Aku hanya ..." Syak
Hari sudah pagi, tetapi Devan dan orang-orang suruhannya belum juga menemukan keberadaan Syakila. Ibu mertua, kakek dan neneknya tak luput dari khawatir atas hilangnya wanita berhijab yang mereka sayangi."Dev, apa belum ada kabar apapun tentang keberadaan Syakila?" tanya Sukoco saat mereka duduk di ruang tengah."Belum, Bu. Devan gak tahu lagi harus cari ke mana. Hampir seluruh kota Jakarta Devan kerahkan orang untuk mencari, tetapi sampai sekarang masih saja belum ada kabar.""Apa kamu sudah mencarinya di perkampungan? Mungkin saja Kamil sengaja memilih tempat terpencil untuk bersembunyi." Bamantara yang sudah berpengalaman memberikan usulan."Opa benar. Devan tidak kepikiran malah." Devan mengambil handphone dan menyuruh anak buahnya untuk berkumpul di markas. Strategi baru akan ia kerahkan agar lebih mudah menemukan tempat persembunyian Kamil."Aku pergi dulu. Doakan agar Syakila segera ditemukan." Kamil berdiri dan bersiap untuk pergi lagi."Kamu baru pulang, Dev. Kau bahkan belu
"Shit!" Kamil mengumpat. Dia baru saja mendapat pesan bahwa anak buah Devan sedang menuju tempat persembunyiannya.Dia menyesap sebatang rokok dalam-dalam. Menghembuskan asapnya sampai memenuhi ruangan itu, kemudian beranjak. Dibuangnya batang rokok yang masih menyala, dan menginjak hingga padam. Kakinya terayun mendekati Syakila yang sesenggukan di atas kasur. Setelah drama penyuapan paksa itu, Kamil memberikan hadiah tamparan pada pipi mulus Syakila.Perempuan bermata lentik itu bahkan masih merasa perih sampai sekarang."Apa masih sakit?" Kamil membelai pelan pipi Syakila. "Maafkan aku, ya. Aku tidak sengaja."Syakila tak menjawab. Wanita itu terisak, meringkuk sambil memejamkan mata. Rasanya dia tak sudi melihat wajah Kamil."Bukalah matamu, Sya. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat."Lagi-lagi Syakila tak mengindahkan. Dia justru merapatkan pejamannya."Aku tidak suka dibantah, Syakila! Tuturi atau aku akan kembali khilaf menyakitimu."Syakila ketakutan. Dia pun perlahan membuk
"Kamu tahu kenapa aku membawa kamu ke sini?"Syakila diam, matanya menatap nisan-nisan tua yang berjejer. Tangan Kamil menariknya lebih dekat ke tengah area pemakaman itu. Ia hanya bisa mengikuti, tak punya pilihan lain."Kamu tahu kabar tentang adikku?""Jasmin?""Ya. Dia adikku yang malang."Langkah Syakila terhenti. Ia menggeleng. Kamil tertawa kecil, nada yang dingin dan penuh kebencian. "Tentu saja. Karena kamu tidak pernah peduli denganku, dan hidupku yang seperti di neraka! Kau hanya sibuk dengan Devan! Devan! Dan Devan!""Apa hubungannya Mas Devan dengan hidupmu? Dia suamiku, sudah tentu dia yang menjadi prioritas untukku." Syakila mengumpulkan keberanian untuk membalas setiap kata yang Kamil lontarkan."Tunggu. Jangan buru-buru. Aku mau kamu tahu semuanya, tapi lihat ini dulu." Kamil menunjuk sebuah nisan. Ia mendorong Syakila untuk berlutut di depan batu nisan bertuliskan nama 'Jasmin.'"Makam adikku," bisiknya tepat di telinga Syakila.Ibu sambung Aira itu terdiam. Tangann
“Iya, Sayang. Dia memilih mengakhiri hidupnya di ICU.""Mengakhiri hidup? Maksudnya gimana, Mas?" Syakila benar-benar tak mengerti. Pasalnya saat Kamil ditembak oleh polisi, dia sempat melihatnya."Entahlah, Mas juga tidak begitu paham. Kata polisi dia sempat sadar, dan ketika perawan akan kembali mengeceknya, dia sudah ditemukan tak bernapas. Kamil memotong urat nadinya sendiri.""Innalillahi ...." Syakila menutup mulutnya dengan telapak tangan, merasa tak menyangka pria yang terlihat ambisius itu ternyata begitu rapuh."Oh, iya. Sebelum meninggal, Kamil meninggalkan surat untukmu. Polisi tadi memberitahuku bahwa surat itu akan diserahkan setelah investigasi selesai, tapi Mas sudah memintanya lebih dulu.”"Surat apa itu, Mas?" tanyanya pelan.Perasaan campur aduk muncul di benaknya. Luka di hatinya akibat perbuatan Kamil masih terasa, namun mendengar lelaki itu meninggal dunia membuatnya sulit menahan rasa iba.Devan merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan amplop kusut yang sudah dibe
Perlahan ruangan itu menjadi sunyi. Hanya suara tetes darah yang jatuh ke lantai mengisi kekosongan. Tubuh Kamil mulai dingin, wajahnya pucat, namun ada sedikit senyum tergurat di bibirnya. Itu adalah senyum seorang lelaki yang akhirnya menemukan kelegaan, meski dalam cara yang tragis.Beberapa menit kemudian, seorang perawat masuk ke ruangan untuk mengecek kondisi Kamil. Sontak dia menjerit ketika melihat genangan darah di lantai dan tubuh pasien yang tak lagi bergerak. "Dokter! Pasiennya bunuh diri!" teriaknya memanggil petugas medis melalui alat penghubung di ruang rawat.Dokter dan beberapa perawat segera datang, mencoba menyelamatkan Kamil, namun upaya itu sia-sia. Nadi Kamil sudah berhenti, detak jantungnya tidak terdeteksi. "Kita terlambat," gumam dokter. Polisi yang berjaga di luar ruangan segera masuk setelah mendengar kegaduhan. Mereka juga terkejut melihat kondisi Kamil yang sudah tidak bernyawa. Sementara itu, di lorong yang berbeda, Devan duduk gelisah di ruang tunggu.
"Mas Devan ...!" Suara Syakila melengking, dengan gerakan cepat ia memutar Devan, melindungi lelaki itu dengan dirinya sendiri.Jleb!Semuanya terjadi begitu cepat. Pisau tajam yang digenggam Kamil merobek keras lengan Syakila. Darah segar langsung membasahi kain bajunya.Devan terbelalak tak percaya dengan napas tercekat. "Syakila!" teriaknya dengan panik, tangannya menangkup tubuh istrinya yang sedikit limbung.Dor!Suara tembakan menggema di udara. Dalam hitungan detik Kamil terhuyung mundur. Tangannya yang memegang pisau perlahan melemah bersamaan dengan rasa bersalahnya terhadap Syakila. Dadanya seperti terbakar akibat timah panas yang masuk ke dalam tubuhnya. Darah mengalir deras dari bagian dada.Perlahan tubuh itu jatuh dengan bunyi berat ke tanah, tetapi matanya masih bisa melihat Syakila yang meringis menahan perih. Mungkin, ini adalah untuk terakhir kalinya ia dapat melihat wanita yang begitu didambanya."Maafkan aku Syakila ... Aku, a-aku men-cintai-mu," lirih Kamil dengan
Namun, detik berikutnya Kamil berubah pikiran, ia memutuskan untuk mengambil langkah nekat. Dengan tangan yang masih mencengkeram erat leher Shakila, dia menyeringai penuh keyakinan. "Kalau aku tidak bisa lolos, setidaknya aku akan membawa mereka semua ke neraka bersamaku!" gumamnya, menekan pedal kasih nggak habis. Mesin mobil meraung seperti binatang buas yang terluka, melaju kencang menuju brigade polisi. Syakila panik, tangannya reflek mencoba menggoyang-goyangkan setir agar laju mobil berubah arah, atau berhenti. "Kamil, jangan gila! Kau akan membunuh kita semua!""Memang itu yang aku inginkan. Ha ha ha!"Tangan Kamil memukul keras tangan Syakila yang mengganggu setir. "Kau diam saja, Sayang. Aku pastikan kita akan berakhir dalam keabadian sekarang.""Gak! Aku gak mau! Berhenti, Kamil!""Aku akan berhenti kalau kau mau berjanji untuk bersedia hidup bersamaku selamanya.""Dasar gila! Itu tidak akan terjadi." Syakila memukul-mukul lengan Kamil, tetapi pukulan kecil itu hanya dian
Kamil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memutarnya dengan mata yang menatap lurus ke depan seperti seekor ular yang siap menyemburkan bisanya. Tanpa ekspresi, dia mendekati Syakila yang masih memejamkan mata lalu membopongnya seperti karung beras, membawanya ke dalam mobil.Beberapa minggu lalu, ketika ia berhasil meracuni polisi yang berjaga kemudian kabur dari lapas, Kamil mendatangi salah satu anak buahnya yang tak tertangkap dan meminta mobil untuk dikendarai. Dibantu oleh anak buahnya itulah akhirnya Kamil berhasil menyelinap ke vila yang disewa Devan, menyamar sebagai penjaga keamanan di sana setelah berhasil membuat penjaga aslinya harus cuti.Dalam hatinya, Kamil bertekad untuk dapat bersatu dengan Syakila, apapun caranya. Jika dia tak bisa memiliki, maka orang lainpun tak ada yang boleh memiliki. Jika tak bisa bersatu di dunia, di alam lain pun Kamil tak keberatan. Dan kini, laki-laki yang jiwanya terganggu itu telah bersiap untuk melakukan sesuatu.****"Pasti ada
"Syakila ..." Telinga tajam Devan dapat mendengar suara gelas yang jatuh. Gegas pria bergaya rambut Taper Fade itu naik ke atas kolam dan berjalan ke dapur, tanpa peduli cipratan air yang berjatuhan di lantai."Sayang, kamu gak pa-pa?" teriaknya terus berjalan.Sunyi. Tak ada jawaban apapun. Langkahnya semakin cepat dan pasti. Namun, ketika sampai dapur, tak ada siapapun di sana. Hanya pecahan gelas yang berserakan di lantai.Devan panik. Seketika ia mengitari sekitaran sambil terus memanggil istri tercintanya."Syakila ...""Sayang, kamu di mana?"Terus mencari ke setiap ruangan di vila, tetapi hasilnya nihil. "Sayang, bercandanya gak lucu loh. Kamu di mana ?" Devan masih berfikir positif. Mungkin istrinya ingin bermain-main dengannya."Sayang, ayolah. Keluar dong. Aku dah kedinginan nih, mau ganti baju. Temenin yuk." Devan terus berbicara sendiri sambil terus mencari.Hampir seluruh ruangan ia datangi, dan hasilnya tetap kosong. Panik, Devan mulai sangat panik. Apa yang terjadi de
"Kenapa seperti ada yang mengikuti ya?" gumamnya, lalu menoleh ke belakang. Tetapi tak ada siapapun di sana. Jalanan sepi."Mas, ayok!" teriak Syakila yang sudah lebih dulu berjalan."Eh, iya, Sayang." Devan terkesiap kemudian menyusul, ikut mengantri bersama sang istri.Beberapa orang yang juga membeli bubur mengajak mereka ngobrol. Ada yang sama-sama pendatang, ada juga yang asli penduduk setempat. Syakila dan Devan menyukai keramahan penduduk di sekitar villa yang mereka sewa."Ini buburnya, Neng," ucap si penjual bubur pada Syakila, setelah beberapa waktu mengantri."Iya, Mang. Terima kasih." Syakila menerima kantong kresek berisi bubur, sementara Devan yang membayarnya."Mari, Ibu-ibu, kami duluan," pamitnya pada ibu-ibu yang masih mengantri."Mari, Neng, A, selamat liburan ya, semoga sukses," sahut seseibu dengan lantang."Sukses apa nih, Bu?" Devan sengaja menanggapi, karena tertarik dengan misteri di balik kata 'sukses' itu."Ya sukses jadi belendung atuh, hamil teh. Apalagi c
"Sayang ... Ahh...."Untuk yang kedua kalinya Devan mencapai puncak kenikmatan bersama Syakila di villa. Sepasang suami istri itu benar-benar menikmati bulan madu kedua ini. Hampir tak terlewatkan oleh mereka aktivitas saling mencintai, dan memadu kasih begitu mereka sampai di tempat penginapan itu. Apalagi Devan memilih villa yang lumayan jauh dari keramaian. menurutnya agar aktivitas mereka lebih privasi. Tentu hal itu semakin membuat mereka semakin intens.Dua manusia berlawanan jenis itu masih tersengal dengan napas memburu di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. "Kau benar-benar hebat, Sayang. Terima kasih." Devan memberikan pujian pada sang istri karena berhasil mengimbangi permainannya yang brutal.Lelaki itu betul-betul merindukan momen ini. Bagaimana tidak? Kemarin-kemarin dia terpaksa harus puasa menjamah tubuh indah Syakila. Banyak kejadian tak terduga yang mereka alami."Sama-sama, Mas. Kamu juga hebat. Masih gagah seperti yang dulu," sahut Syakila dengan suara ber
"Bu, Opa, dan Oma, weekend besok aku sama Syakila ada rencana liburan ke villa. Eum, kalau boleh kita mau nitip Aira, gak lama kok, cuma dua hari." Dengan sedikit malu Devan meminta izin saat mereka sedang bersantai di depan televisi.Aira sendiri sudah lebih dulu terlelap ditemani mommy-nya di kamar. Jadi anak itu tidak protes ketika daddy-nya akan pergi berdua saja dengan sang mommy."Tentu saja boleh, Nak. Kalian memang perlu liburan setelah semua yang kalian alami," ucap Sukoco."Ibumu benar, Dev. Pergilah, buat hari-hari kalian menyenangkan." Bamantara menimpali."Sola Aira, kami siap menjaganya. Dia anak yang baik, pasti akan mengerti." Amber juga mengeluarkan pendapatnya."Terima kasih, semuanya. Aku akan beri tahu kabar ini pada Syakila." Devan terlihat bahagia. Bulan madu kedua ini pasti akan menyenangkan."Ah, bagaimana kalau kita ajak Aira menengok rumah kita, Sayang. Supaya dia tidak sedih kalau daddy dan mommy-nya pergi berlibur," usul Amber pada suaminya."Ide yang bagus