Mobil melaju tanpa henti, melewati jalanan yang semakin sepi. Syakila duduk diam di kursi sebelah kemudi, matanya terus memandang jendela dengan pemandangan di sekitarnya. Awalnya dia lega karena berpikir akan segera pulang, tapi rute yang diambil Kamil terasa aneh.“Ini bukan seperti jalan menuju rumaku,” ujarnya pelan. Lalu menoleh dan bertanya pada lelaki yang duduk di sampingnya, "Kita mau ke mana?"Kamil tidak menjawab. Fokusnya tertuju pada jalan di depannya, tangan menggenggam erat setir.“Kamil, aku tanya. Kamu mau bawa aku ke mana?” Kali ini nada Syakila lebih tegas.“Diam saja dulu, Syakila. Kamu akan tahu sebentar lagi,” jawabnya singkat, masih dengan nada dingin.Perasaan tidak enak menyergap Syakila. Tangannya gemetar, tapi dia mencoba tetap tenang. Ketika mobil akhirnya berhenti di depan sebuah gedung rumah sakit, Syakila semakin merasa aneh.“Rumah sakit?” gumamnya.Kamil keluar dari mobil, berjalan ke sisi pintu penumpang, dan membukanya. “Turun,” perintahnya.“Tapi in
"Hmmmphh!" Syakila berusaha mengeluarkan suaranya, tetapi tertahan oleh telapak besar Kamil yang menutup mulutnya. "Ada apa?" Jo bertanya saat melihat Devan berhenti. "Aku seperti mendengar suara Syakila di sekitar sini," jawab Devan. Matanya nyalang menelisik setiap sudut lobby tempatnya kini berada. Jo pun penasaran. Meski sebenarnya dia tak mendengar sedikitpun suara yang Devan maksud, tetapi ia juga turut memindai sekitar. "Tidak ada, Dev. Mungkin hanya perasaanmu saja. Sebaiknya kita harus cepat sebelum dia menyadari kedatangan kita," bisik Jo. Tetapi Devan tetap bersikeras dengan pendengarannya. Dia masih mencari, bahkan kini mulai menjelajahi tiap sudut lobby dan ruangan di sekitarnya. Derap langkah Devan semakin mendekati Kamil yang bersembunyi di ruangan kosong.Kamil mempertajam pendengaran. Pupil matanya memicing bersamaan dengan langkah kaki Devan yang semakin dekat.'Sial!' umpat Kamil dalam hati. Syakila yang juga menyadari ada suara langkah kaki seseorang mendeka
"Tuhan? Di mana Tuhan? Apakah dia benar-benar ada?" Kamil berjongkok di depan Syakila sambil tersenyum miring."Tuhan pasti akan membalas semua kejahatanmu! Bertaubatlah sebelum terlambat!" Syakila masih mengingatkan tentang Tuhan, berharap laki-laki itu sadar."Jangan berbicara tentang Tuhan di depanku. Di mana Tuhan saat aku membutuhkannya? Aku pernah melakukan perintahnya, menjadi orang baik, bertaubat karena punya salah padamu, tapi apa yang Tuhan berikan padaku? Dia mengirim orang seperti Della dan keluarganya untuk menghancurkan harga diriku. Mereka menginjak-injakku seperti sampah! Apakah Tuhan peduli? Tidak! Dia diam saja bahkan menambah penderitaanku setiap harinya. Kalau pun Tuhan itu memang ada, dia gak adil padaku. Tuhan selalu memberikan Devan kebahagiaan, sementara aku? Derita, derit, dan derita yang selalu Tuhan berikan! Kau tahu itu, Syakila!?" Napas Kamil memburu.Sejenak keheningan menyelimuti. Hanya deru napas Kamil yang terdengar naik turun. Sedangkan Syakila memil
"Itu ganjaran yang sangat setimpal atas perbuatan mereka. Tadinya cuma pengen mereka cacat sepertiku, tapi uang mereka banyak. Pasti mereka akan mengusahakan segala cara untuk sembuh. Dan lagi, aku kasihan sama Zia kalau mamanya cacat, makanya aku kirim saja dia menyusul ayahnya," terang Kamil dengan santai, tanpa ada penyesalan sedikitpun."Kau pem-bun-uh!" ucap Syakila terbata."Bukan, Sya, bukan. Aku bukan pembunuh. Aku hanya memberikan balasan atas apa yang mereka perbuat padaku. Kau tahu ....?" Kamil menjeda, dia berdiri lalu membuka baju dan celananya, menyisakan bokser yang menutupi kemaluannya. "Aaaaaa ..." Syakila sontak menutup wajahnya menghilangkan tangan."Kau benar, Syakila. Aku memang gila! Aku gila karena mereka. Aku gila menahan semua ini sendirian. Sakit, Sya ... Sakit sekali." Suara Kamil melemah seiring kakinya yang menekuk lutut di hadapan Syakila, sambil menangis.Agaknya apa yang dia ungkapkan sungguh-sungguh. Hidup dalam ketidak normalan memang tidak mudah, ap
"Aku mendukungmu, Dev. Masalahnya, Kamil selalu tahu setiap pergerakan kita. Aku curiga, selain Anton ada lagi mata-matanya yang berkeliaran di antara kita." Dengan suara pelan Jo mengutarakan kecurigaannya.Alex mengerti. Kemudian dia menyuruh anak buahnya yang berada di sekitar mereka untuk keluar. Matanya beredar menelisik setiap sudut ruangan yang mereka tempati kini, khawatir ada kamera pengintai yang tidak ia ketahui.Sejurus kemudian bibirnya tersungging tipis. Sangat tipis. 'Ada nyamuk rupanya.' Hatinya bermonolog ketika menemukan benda kecil yang mencurigakan."Eum, sebentar, aku lihat handphone dulu, sepertinya ada pesan," ucap Alex sambil mengambil alat komunikasi itu di saku jaketnya.Dia mengirim pesan pada Jo yang hanya duduk beberapa centimeter dari tempatnya berada.[Ada nyamuk. Kita cari tempat aman. Jangan sampai membuat mereka curiga.]Jo melirik sekilas pada rekannya sesaat setelah membaca pesan itu, lalu kembali bersikap biasa seolah tidak ada pesan yang penting.
"Lihatlah, Sya. Baju pengantin ini sangat indah, pasti akan sangat cantik jika kamu yang memakainya." Kamil datang menenteng satu kebaya putih yang indah dan menunjukkannya pada Syakila yang tengah duduk memeluk lutut di atas kasur."Ayok, pakailah! Sebentar lagi kita akan menikah. Semuanya sudah siap, termasuk walinya," sambung Kamil meski tak mendapat tanggapan apapun dari Syakila.Wanita cantik tanpa hiasa makeup sedikitpun itu masih menunduk, sama sekali tidak tertarik dengan apa yang Kamil tunjukkan padanya. Sudah berpuluh-puluh kali Syakila mengatakan bahwa sampai kapanpun dirinya tidak akan pernah mau menikah dengan Kamil. Terlebih dengan cara menculik seperti ini.Geram dicueki, Kamil memutar kepalanya, kebiasaan yang ia lakukan di saat menahan emosi. "Kau ingin tahu siapa yang menjadi wali nikahnya?" Kamil tetap mengajaknya bicara. "Opa. Dia yang akan menjadi wali nikahnya. Kamu pasti senang bukan?"Barulah Syakila mengangkat kepalanya dan memandang Kamil. "Kamu sudah janji
Tak sampai satu jam obat dalam makanan itu mulai bekerja. Perut Abas mulai terasa melilit bersamaan gas berbau tak sedap keluar dari area belakangnya. Abas kelimpungan, wajahnya memerah seiring perutnya yang semakin mulas.Untunglah Devan dan Jo sudah menyiapkan Respirator untuk menutup hidungnya dari bau tak sedap itu."Bos, tolong lepaskan-ikatannya. Saya-tidak-tahan lagi." Abas memohon dengan terbata seraya menahan rasa buang air yang sudah diujung tanduk."Tentu saja," jawab Devan, dan langsung dilaksanakan oleh Jo. "Toiletnya di sebelah sana."Abas segera berlari ke toilet yang tidak terlalu jauh dari tempatnya berada. Sementara Devan dan Jo melempar pandang dengan senyum kemenangan yang terbit di bibir keduanya. Setelah memastikan pengkhianat itu masuk ke toilet, Devan menguncinya dari luar.Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi diketuk dari dalam. "Buka pintunya, Bos--"Namun, belum selesai Abas mengucapkan kalimat, perutnya sudah kembali tak bisa kompromi. Alhasil pria ya
"Kamu nampak semakin cantik dengan riasan itu, Sayang. Aku jadi semakin tergila-gila padamu." Tangan Kamil terulur hendak menyentuh pipi mulus Syakila setelah selesai dirias oleh MUA yang disewanya."Jangan sentuh aku!" Syakila memalingkan muka, menghindar."Baiklah. Aku menghargai kamu karena kita belum menikah. Setelah akad, tidak ada lagi alasan bagimu menolakku.""Sadar Kamil! Mau berpuluh-puluh kali pun kamu mengucapkan ijab qobul untuk menikahiku, itu tidak akan pernah sah karena aku masih sah menjadi istri Mas Devan.""Kata siapa? Laki-laki itu sendiri yang sudah menandatangani gugatanmu. Kamu tidak percaya? Sebentar aku punya buktinya." Kamil beranjak mengambil sesuatu di dalam lemari.Sebuah map merah ia bawa ke hadapan Syakila, dan menyodorkannya. "Ini, lihatlah." Wanita berbalut kebaya putih itu mengernyit, tetapi tidak menolak untuk melihat ketika isi map itu dikeluarkan oleh Kamil."Gak mungkin." Syakila merebut kertas itu, membacanya dengan saksama. "Pasti ini rekayasam
Bamantara segera memanggil dokter. Sementara Sukoco, Amber dan Devan berdiri di sisi ranjang persalinan Syakila."Silakan menunggu di luar. Kami akan segera melakukan tindakan. Cukup suaminya saja yang berada di sini," ucap dokter sesaat setelah ia memeriksa pembukaan Syakila yang sudah genap."Baik, Dok." Mereka semua keluar, menyisakan Devan yang gemetar menemani Syakila.Dibantu beberapa perawat, dokter perempuan spesialis kandungan mengarahkan Syakila untuk mengatur napas.Suara erangan Syakila terus menggema di ruang bersalin. Devan tidak melepaskan genggaman tangannya, matanya memerah, dan hatinya penuh doa yang tak putus. Keringat deras membasahi dahi Syakila, tetapi semangatnya tak tergoyahkan."Sayang, kamu kuat. Sebentar lagi selesai," bisik Devan, suaranya bergetar menahan rasa cemas yang menyelubungi hatinya.Dokter memberi isyarat kepada Syakila untuk kembali mendorong dengan tenaga terakhir. "Ayo, Bu, sekali lagi! Tarik napas dalam dan dorong sekuat tenaga!"Dengan satu
Mendengar teriakkan Renata, seketika membuat Devan dan ibunya panik. Sementara dokter segera mengambil tindakan dengan memberikan obat penenang. Terpaksa hal itu harus dilakukan kembali karena keadaan Renata yang belum bisa stabil mengontrol dirinya.Perlahan tapi pasti, teriakan Renata melemah dan akhirnya dia terbaring dengan mata terpejam di tempat tidur."Kira-kira, apa Renata bisa sembuh, Dok?" tanya Sukoco setelah mereka berada di luar ruangan."Semua kemungkinan tetap ada, Bu. Kita hanya bisa berusaha, selebihnya Tuhan yang akan menentukan," sahut dokter."Lakukan yang terbaik untuk Renata, Dok. Saya serahkan pada tim dokter di sini sembari membantu dengan doa," timpal Devan."Tentu, kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien.""Terima kasih. Kalau begitu, kami pamit dulu, Dok. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi saya.""Baik, Pak Devan. Terima kasih kembali."Kemudian mereka berpisah di lorong yang berbeda tujuan. Devan dan Sukoco berjalan pulang, sementara
Suasana mendadak sunyi seakan menunggu jawaban Devan. Entah karena memang ingin mengetahui kabar Renata, atau karena bingung dengan reaksi Devan yang berubah mimik ketika ibunya bertanya, semua yang duduk lesehan di ruang tengah menatapnya.Menghembuskan napas panjang, Devan pun akhirnya menjawab setelah beberapa saat terdiam, "Renata sekarang berada di rumah sakit, Bu. Keadaannya tidak baik-baik saja.""Innalillahi ... Apa dia sakit di penjara?" Dengan keterkejutan yang tak dapat disembunyikan, Sukoco kembali bertanya."Devan juga kurang tahu, Bu. Rencananya besok Devan akan menjenguk untuk melihat keadaannya. Semoga dia baik-baik saja.""Kasihan sekali dia. Lalu, apakah Rosa tahu kalau Renata sakit?""Sepertinya belum, karena Tante Rosa sudah lama pindah dan Devan tidak tahu tempat tinggalnya yang baru."Sukoco mendesah pelan. Rasa iba seketika menghinggapi mengingat Renata pernah tinggal bersamanya. Meskipun akhir-akhir ini sikap gadis itu melewati batas, tetapi Sukoco tahu bahwa s
"Maafkan aku, Veen. Aku gak tega menyembunyikan dari mereka, terlebih kamu harus melewatinya hanya bersama Mas Devan. Ya, meskipun aku tahu, kalian pasti bisa melewati semuanya," terang Nita menyela ucapan Syakila.Sahabatnya itu benar-benar tak tega saat menjenguknya beberapa waktu lalu di rumah sakit, sehingga keceplosan bilang pada Bamantara saat bertemu di butik. Nita pikir, dengan adanya do'a dari keluarganya, mungkin bisa mengurangi rasa sakit Syakila."Jangan salahkan Nita, Nak. Kita yang memaksanya untuk bicara," timpal Bamantara, memandang cucu angkatnya dengan sendu. Rasanya tak tega melihat wanita itu diuji terus menerus sejak dulu. Walaupun cuma cucu angkat, tapi Bamantara benar-benar menyayanginya."Lagian, kenapa kamu menyembunyikannya dari kami, hem?" tanya Amber sembari mengusap kepala Syakila.Istri dari Devan itu hanya menunduk. "Kila hanya tidak ingin terus menerus menambah beban pikiran kalian," lirihnya."Apa yang kamu katakan, Sayang. Kamu ini bukan beban, tapi k
Devan meletakkan ponselnya di meja dengan tangan bergetar. Napasnya terasa berat, dan pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang membingungkan. Wajahnya pucat, membuat Syakila semakin cemas.“Mas, apa yang mereka katakan?” tanyanya dengan nada panik.Devan menghela napas panjang sebelum menjawab. “Polisi bilang... Renata dalam kondisi buruk di penjara. Dia sering membuat keributan, dan itu membuat dia harus ditempatkan di ruang isolasi dan kemungkinan akan dipindahkan ke tahanan rumah sakit kejiwaan. Mereka minta aku datang.”“Astaghfirullah. Kenapa bisa begitu, Mas?" ucap Syakila tak kalah terkejut."Mas juga gak tahu, Sayang. Mas akan telepon Pak Herman saja untuk mengurusnya."Syakila tertegun sejenak. Ia tak tega melihat suaminya dilanda banyak masalah dan tanggung jawab. Andai bisa, ia ingin sekali membantu, tetapi kondisinya yang lemah mungkin hanya akan memperburuk keadaan. Untuk itu Syakila ingin mengurangi beban pikiran suaminya dengan pulang dan istirahat di Jakarta saja supaya l
Renata duduk di sudut ruangan. Tubuhnya yang dulu anggun kini hanya menyisakan bayang-bayang kesengsaraan dengan rambutnya yang kusut."Mas Devan... tolong aku," lirihnya, hampir tak terdengar. Namun, suara itu terus diulang-ulang, seolah menjadi satu-satunya pegangan di tengah kegelapan.Para narapidana lain di sel besar itu menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang iba, tapi lebih banyak yang mencemooh. Salah satu dari mereka, wanita bertubuh kekar dengan tato di lehernya, mendekat sambil menyeringai."Kau pikir orang yang kau sebut namanya itu akan menyelamatkanmu? Hah! Kau ini cuma boneka yang sudah dibuang. Lihat dirimu sekarang!" Wanita itu meludahi tanah, matanya memandang Renata dengan jijik.Renata memejamkan matanya, mencoba mengabaikan ejekan itu. Tapi pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang ingatan tentang Devan. Pria itu—satu-satunya yang dia anggap mampu menyelamatkannya dari tempat ini."Mas Devan pasti akan datang," gumam Renata. Suaranya nyaris tak terdengar, t
Meski sudah berbulan-bulan tak sadarkan diri, kakak kandung almarhum Kamil itu masih sangat mengenali pria gagah di hadapannya. Pria yang dulu begitu didambanya, tetapi pada akhirnya dia harus merelakan ia berjodoh dengan yang lain meskipun awalnya penuh ketidakrelaan."Syukurlah akhirnya kamu sadar, Yum. Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa yang kamu keluhkan?" Devan memberondong Yumna dengan pertanyaan setelah dokter selesai memeriksanya.Tak menjawab, Yumna menyunggingkan senyum tipis. Dokter kemudian menjelaskan bahwa kondisi Yumna sudah lebih baik, hanya saja ada beberapa hal yang ingin dokter sampaikan pada Devan tetapi tanpa sepengetahuan Yumna. Melalui sebuah kode, dokter itu menyuruh Devan untuk ikut dengannya ke ruangan."Kamu istirahatlah, aku keluar dulu," ucap Devan. Yumna mengangguk lemah.***"Maaf sebelumnya, apakah Anda suami dari pasien?" tanya dokter ketika mereka sudah berada di ruangan konsultasi."Bukan, Dok. Saya temannya. Atas permintaan almarhum adiknya, saya ya
Di lorong rumah sakit, Devan duduk termenung di salah satu bangku, menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Pikirannya berkelana, memikirkan dua wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya—Sundari dan Yumna. Pesan terakhir Kamil masih terngiang jelas dalam ingatannya."Tolong jaga mamaku yang sedang struk, juga Kak Yumna yang masih koma."Suara langkah kaki membuat Devan menoleh. Perawat yang tadi menangani Sundari datang menghampirinya."Pak Devan, saya sudah memeriksa keadaan Bu Sundari. Sejauh ini stabil, tapi... sepertinya beliau sangat berharap Pak Kamil datang," ujar perawat itu hati-hati.Devan mengangguk lemah. "Saya mengerti. Saya akan mencari waktu yang tepat untuk bicara dengannya."Perawat itu ragu sejenak sebelum melanjutkan. "Saya yakin Pak Kamil ingin yang terbaik untuk keluarganya. Tapi beban ini tentu tidak mudah bagi Anda. Jika butuh bantuan, kami di sini siap mendukung."Devan tersenyum tipis, merasa sedikit terhibur oleh perhatian perawat itu. "Terima kasih. Sa
Beberapa saat kemudian, perawat yang tadi berjanji kembali memasuki ruangan. Wajahnya tampak sedikit tegang, tapi dia mencoba tersenyum agar tidak menambah kecemasan pasiennya."Ibu, saya sudah coba hubungi Pak Kamil," katanya lembut.Sundari, yang terbaring di tempat tidur, berusaha menggerakkan bibirnya untuk bertanya. Namun, hanya gumaman lemah yang keluar. Perawat itu segera mendekat, menggenggam tangan Sundari dengan hati-hati."Pak Kamil sedang sibuk, Bu. Tapi beliau titip pesan bahwa beliau sangat sayang sama Ibu dan akan segera datang jika urusannya selesai," lanjutnya dengan suara penuh kebohongan yang terdengar begitu tulus.Mata Sundari sedikit berkaca-kaca. Meskipun tidak bisa berkata-kata, ia mencoba menunjukkan rasa terima kasih dengan menggenggam lemah tangan perawat tersebut."Tenang saja, Bu. Saya akan pastikan Ibu tetap sehat supaya bisa bertemu beliau nanti," ucap perawat itu sambil menyeka sudut matanya yang mulai basah.Namun di dalam hatinya, perawat itu merasa s