Andri terdiam sebentar. Matanya nampak menerawang jauh memandang langit malam yang penuh bintang. Ia menghembuskan napas pelan, lalu menyandarkan kepalanya di bahu sang suami."Mas, aku ngerti perasaan kamu. Tapi, haruskah kita benar-benar ada di sini? Jujur, aku nggak nyaman di sini. Mungkin, karena aku terbiasa sering ngekost sendiri dulu. Dan lagi, apa Mas nggak khawatir atau mungkin cemburu gitu?" tanya Andri lirih, nada suaranya terdengar begitu putus asa.Arkan menunduk dalam, sambil memainkan cangkirnya. Semilir angin malam, tak mampu menyejukkan hatinya kala itu. Ia tahu, ini adalah keputusan yang sulit.Jika sebelumnya, ia bersikukuh untuk tetap pergi, maka kali ini, tidak. Ia bingung dan juga gamang. Namun, ia juga takut dan pastinya cemburu. Apalagi, saat ini Arsy tak ada disana, sudah pasti, Agra akan terus mengganggu istrinya itu.Andri membelai lembut lengan sang suami, berusaha menenangkan hatinya."Mas, aku tahu dan aku mencoba untuk ngerti. Aku tahu, kalau kamu sayang
Namun, tetap saja Andri merasa sedikit gelisah karenanya. Arkan memang bisa berpikir secara rasional karena dia tidak memiliki hubungan darah dengan Arsy. Namun ia, ia adalah kakaknya, meskipun mereka berbeda ibu, tapi mereka tetap satu ayah."Mas, aku cuma ... aku cuma takut kehilangan Arsy beneran, Mas. Apalagi karena dia lagi hamil itu. Aku takut dia kenapa-napa dan janinnya terganggu," ucap Andri kembali dengan suara yang bergetar.Arkan menghela napas panjang, lalu menghabiskan coklat yang tersisa setengah. Ia tahu, apa yang Andri rasakan adalah benar, namun ia juga tak ingin kekhawatiran itu justru membuat mereka kehilangan fokus terhadap permasalahan mereka sendiri."Dek, aku ngerti kalau kamu khawatir. Aku juga sama, kok. Tapi ... udahlah, Arsy itu udah gede, kenapa kita harus mikirin dia. Mending kita pikirin aja tentang kehidupan kita," ujar Arkan dengan nada yang lebih lembut."Kenapa sama kehidupan kita?" tanya Andri sedikit polos.Arkan menepuk pelan pelipisnya, sepertiny
"Nggak, Oom," jawab Andri cepat.Oom Nathan mengernyitkan dahinya tanda penasaran. Apa iya begitu?"Aku sama Arsy emang dari dulu jarang chat atau telponan kalau nggak penting-penting banget, selain minta uang kuliah atau ngabari dia sakit. Nah, apalagi sejak permasalahan kemarin yang nimpa kita, ya ... aku makin nggak chat dia lah. Tapi, coba nanti aku hubungin, soalnya kemaren Andre juga sempet bilang kalau Arsy tiba-tiba menghilang," ucap Andri menjelaskan.Oom Nathan hanya mengangguk, namun raut wajahnya jelas memancarkan sebuah kekecewaan. Sarapan pun telah selesai, Kakek Gala memutuskan untuk berangkat ke kantor di antar oleh Pak Maman.Andri kembali mengantarkan Arkan hingga ke depan garasinya. Lalu mencium lengan suaminya dengan takzim."Mas, seriusan ini kita masih disini? Mas Agra hari ini akan pulang dan beneran tinggal di sini loh," ucap Andri mengingatkan, sebelum Arkan masuk ke dalam mobilnya.Arkan hanya tersenyum samar lalu mengecup pelan pucuk kepala istrinya."Benera
Andri mengernyitkan sebelah alisnya mencoba mengingat nama itu. Hingga akhirnya, setelah beberapa saat, ia pun lantas menepuk dahinya pelan."Astaga, gua baru inget. Lu, Kevin yang dulu jadi jongosnya Arkan, kan?" tanya Andri, dengan sedikit meledek."Si kamvret, ingetnya jongosnya doang lagi," jawab Kevin sambil tertawa kencang."Ya, soalnya itu doang yang gua inget. Lu gimana kabar? Sama siapa ke sini? Istri?" tanya Andri bertubi-tubi sambil menyalami lelaki itu.Kevin menggeleng pelan, "Gua belom nikah, Ndri. Eh, lu udah bayar belanjaan lu?" tanyanya kembali."Udah, barusan gua bayar. Kenapa emangnya?" tanya Andri balik."Yah, telat berarti gua. Ini tuh toko sayur punya gua. Kalau tau lu yang beli mah, gua gratisin tadi," ucapnya kembali.Andri hanya mengangguk dan tersenyum samar saja. Rasanya sedikit tak nyaman, namun saat melihat Mbok Puji, dia masih nampak sibuk memilih sayuran."Lu tinggal dimana, Ndri, sekarang?" tanya Kevin mengalihkan pembicaraannya."Di komplek belakang, V
Andri menggidikkan bahunya, dan segera masuk ke dalam rumah.Ia melangkah ke dapur, nampak Mbok Puji tengah mengeluarkan sayuran yang tadi mereka beli."Non, mau masak apa emangnya? Kok beli cumi asin segala? Di sini, nggak ada yang doyan cumi asin loj, Non," ucap Mbok Puji memberitahu."Oseng jagung pake cumi asin, Mbok. Aku mau masak buat aku sendiri, sekalian nanti Mas Arkan juga minta dibawain. Kalau gitu, aku masak duluan ya, Mbok. Mbok masih buat nanti sore kan?" tanya Andri.Mbok Puji mengangguk sambil tersenyum. Andri pun segera memakai celemeknya dan mulai mengolah bahan makanan yang tadi ia beli.Tak sampai satu setengah jam, masakan miliknya pun telah tersedia di meja makan."Mbok, ada tempat makan nggak? Aku ke kantor bawanya gimana ya?" tanya Andri sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal."Ada, Non, sebentar ya, Mbok ambilin," jawab Mbok Puji.Tak lama, Mbok Puji pun membawa beberapa tempat makan ke hadapan Andri. Andri pun dengan sigap memasukkan menu ke dalam wadah-
“Ah, Sayang – terus, lebih cepat ....” Andri terdiam di ambang pintu kamar Agra, tunangannya. Tangannya sedikit gemetar sambil memegang gagang pintu, sementara telinganya masih bisa mendengar jelas suara rintihan dan desahan dari dalam kamar. Dengan perlahan, ia mulai membuka pintu kamarnya sedikit, membuat celah agar ia bisa melihat apa yang terjadi disana. Namun, seketika jantungnya pun seolah berhenti saat melihat pemandangan itu Disana, ia melihat Agra tengah memadu kasih dengan seseorang. Dan yang lebih menyesakkannya lagi, perempuan itu adalah Arsy, adiknya sendiri. “Ah, Sayang, aku hampir ....” Andri sudah tak kuasa mendengar kalimat yang menjijikan itu kembali. Ia pun berusaha menguatkan hatinya, hingga akhirnya .... Brak! Pintu kamar pun terbuka cukup lebar, membuat kedua insan yang sedang memadu kasih itu langsung terkesiap kaget dan menoleh ke arah pintu. “Mbak.” “Sayang.” Ucap kedua orang itu secara serempak. Agra segera melepaskan tubuhnya dari tubuh Arsy,
"Apa maksud kamu bilang aku mandul, Mas?" tanya Andri dengan raut wajah yang sedikit syok."Benar. Apa maksudmu, Nak? Kalian saja belum menikah, tapi kamu sudah bisa bilang kalau dia mandul?" tanya Om Nathan seolah tak percaya."Aku punya buktinya, kok. Tunggu sebentar, akan aku ambilkan," ucap Agra angkuh.Agra beranjak dari duduknya dan segera berlalu ke salah satu ruangan yang berada tak jauh dari sana."Nak, apa yang Agra bilang itu benar?" tanya Ayah Revan penasaran.Andri menggeleng pelan lalu mengambil lengan sang ayah dan membelainya dengan lembut."Andri gak tau, Yah. Andri aja bingung kenapa Mas Agra bisa bilang begitu sama Andri," jawab Andri lirih.Ayah Revan pun menggenggam erat lengan sang anak dan tersenyum, seolah memberikan sedikit kekuatan agar sang anak mampu menghadapi ujian ini.Tak lama, Agra pun kembali, membawa dua buah amplop panjang berwarna coklat lalu menaruhnya diatas meja sana."Kalau Papa dan Kakek gak percaya, kalian bisa lihat sendiri disini," ucap Agr
"A-Arkan? Kakek yang bener aja! Masa mau nikahin Andri ke dia sih?" tanya Agra seolah tak terima."Kenapa? Apa ada masalah dengannya? Kakek rasa itu pilihan yang tepat, karena hanya Arkan lah satu-satunya cucu kakek yang belum menikah," ucap Kakek Gala memberitahu."Tapi, Arkan itu bukan cucu kandung Kakek. Dia itu hanya sampah yang kakek pungut dan di jadikan cucu, untuk apa menganggap dia sebagai cucu, hah?! Apalagi, dia bocah idiot yang pasti nyusahin!" sentak Agra kesal."Tutup mulutmu, Agra! Kalau saja bukan karena kelakuanmu, sudah pasti Arkan tak akan menjadi yatim piatu dan berkebutuhan khusus seperti sekarang," ucap Om Nathan menambahkan."Tapi, Pa--," Om Nathan langsung melambaikan tangannya seolah tak ingin dibantah.Agra menggelengkan kepalanya pelan. Wajahnya nampak kecewa berat dengan keputusan yang diberikan oleh sang kakek.Ia pun segera beranjak dari duduknya, dan langsung menghampiri Andri disana. Ia memegang lembut lengan Andri dan membelainya."Ndri, aku mohon, men
Andri menggidikkan bahunya, dan segera masuk ke dalam rumah.Ia melangkah ke dapur, nampak Mbok Puji tengah mengeluarkan sayuran yang tadi mereka beli."Non, mau masak apa emangnya? Kok beli cumi asin segala? Di sini, nggak ada yang doyan cumi asin loj, Non," ucap Mbok Puji memberitahu."Oseng jagung pake cumi asin, Mbok. Aku mau masak buat aku sendiri, sekalian nanti Mas Arkan juga minta dibawain. Kalau gitu, aku masak duluan ya, Mbok. Mbok masih buat nanti sore kan?" tanya Andri.Mbok Puji mengangguk sambil tersenyum. Andri pun segera memakai celemeknya dan mulai mengolah bahan makanan yang tadi ia beli.Tak sampai satu setengah jam, masakan miliknya pun telah tersedia di meja makan."Mbok, ada tempat makan nggak? Aku ke kantor bawanya gimana ya?" tanya Andri sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal."Ada, Non, sebentar ya, Mbok ambilin," jawab Mbok Puji.Tak lama, Mbok Puji pun membawa beberapa tempat makan ke hadapan Andri. Andri pun dengan sigap memasukkan menu ke dalam wadah-
Andri mengernyitkan sebelah alisnya mencoba mengingat nama itu. Hingga akhirnya, setelah beberapa saat, ia pun lantas menepuk dahinya pelan."Astaga, gua baru inget. Lu, Kevin yang dulu jadi jongosnya Arkan, kan?" tanya Andri, dengan sedikit meledek."Si kamvret, ingetnya jongosnya doang lagi," jawab Kevin sambil tertawa kencang."Ya, soalnya itu doang yang gua inget. Lu gimana kabar? Sama siapa ke sini? Istri?" tanya Andri bertubi-tubi sambil menyalami lelaki itu.Kevin menggeleng pelan, "Gua belom nikah, Ndri. Eh, lu udah bayar belanjaan lu?" tanyanya kembali."Udah, barusan gua bayar. Kenapa emangnya?" tanya Andri balik."Yah, telat berarti gua. Ini tuh toko sayur punya gua. Kalau tau lu yang beli mah, gua gratisin tadi," ucapnya kembali.Andri hanya mengangguk dan tersenyum samar saja. Rasanya sedikit tak nyaman, namun saat melihat Mbok Puji, dia masih nampak sibuk memilih sayuran."Lu tinggal dimana, Ndri, sekarang?" tanya Kevin mengalihkan pembicaraannya."Di komplek belakang, V
"Nggak, Oom," jawab Andri cepat.Oom Nathan mengernyitkan dahinya tanda penasaran. Apa iya begitu?"Aku sama Arsy emang dari dulu jarang chat atau telponan kalau nggak penting-penting banget, selain minta uang kuliah atau ngabari dia sakit. Nah, apalagi sejak permasalahan kemarin yang nimpa kita, ya ... aku makin nggak chat dia lah. Tapi, coba nanti aku hubungin, soalnya kemaren Andre juga sempet bilang kalau Arsy tiba-tiba menghilang," ucap Andri menjelaskan.Oom Nathan hanya mengangguk, namun raut wajahnya jelas memancarkan sebuah kekecewaan. Sarapan pun telah selesai, Kakek Gala memutuskan untuk berangkat ke kantor di antar oleh Pak Maman.Andri kembali mengantarkan Arkan hingga ke depan garasinya. Lalu mencium lengan suaminya dengan takzim."Mas, seriusan ini kita masih disini? Mas Agra hari ini akan pulang dan beneran tinggal di sini loh," ucap Andri mengingatkan, sebelum Arkan masuk ke dalam mobilnya.Arkan hanya tersenyum samar lalu mengecup pelan pucuk kepala istrinya."Benera
Namun, tetap saja Andri merasa sedikit gelisah karenanya. Arkan memang bisa berpikir secara rasional karena dia tidak memiliki hubungan darah dengan Arsy. Namun ia, ia adalah kakaknya, meskipun mereka berbeda ibu, tapi mereka tetap satu ayah."Mas, aku cuma ... aku cuma takut kehilangan Arsy beneran, Mas. Apalagi karena dia lagi hamil itu. Aku takut dia kenapa-napa dan janinnya terganggu," ucap Andri kembali dengan suara yang bergetar.Arkan menghela napas panjang, lalu menghabiskan coklat yang tersisa setengah. Ia tahu, apa yang Andri rasakan adalah benar, namun ia juga tak ingin kekhawatiran itu justru membuat mereka kehilangan fokus terhadap permasalahan mereka sendiri."Dek, aku ngerti kalau kamu khawatir. Aku juga sama, kok. Tapi ... udahlah, Arsy itu udah gede, kenapa kita harus mikirin dia. Mending kita pikirin aja tentang kehidupan kita," ujar Arkan dengan nada yang lebih lembut."Kenapa sama kehidupan kita?" tanya Andri sedikit polos.Arkan menepuk pelan pelipisnya, sepertiny
Andri terdiam sebentar. Matanya nampak menerawang jauh memandang langit malam yang penuh bintang. Ia menghembuskan napas pelan, lalu menyandarkan kepalanya di bahu sang suami."Mas, aku ngerti perasaan kamu. Tapi, haruskah kita benar-benar ada di sini? Jujur, aku nggak nyaman di sini. Mungkin, karena aku terbiasa sering ngekost sendiri dulu. Dan lagi, apa Mas nggak khawatir atau mungkin cemburu gitu?" tanya Andri lirih, nada suaranya terdengar begitu putus asa.Arkan menunduk dalam, sambil memainkan cangkirnya. Semilir angin malam, tak mampu menyejukkan hatinya kala itu. Ia tahu, ini adalah keputusan yang sulit.Jika sebelumnya, ia bersikukuh untuk tetap pergi, maka kali ini, tidak. Ia bingung dan juga gamang. Namun, ia juga takut dan pastinya cemburu. Apalagi, saat ini Arsy tak ada disana, sudah pasti, Agra akan terus mengganggu istrinya itu.Andri membelai lembut lengan sang suami, berusaha menenangkan hatinya."Mas, aku tahu dan aku mencoba untuk ngerti. Aku tahu, kalau kamu sayang
Andri menatap layar ponselnya sebentar. Ia masih bimbang harus bagaimana.Ia pun beberapa kali nampak menghembuskan napasnya kasar, lalu mulai membalas pesan itu.[Mas, nggak ada alasan untuk aku bohong. Kalau kamu nggak percaya sama aku, kamu bisa tanya langsung ke Andre dan Ayah. Kita juga sama, lagi nyari dia. Kita juga khawatir sama keadaan dia, apalagi dia lagi hamil muda. Apa kamu pikir, aku bisa bohong kalau masalah kek gini?] pesan Andri.Setelah pesan itu terkirim, ada sedikit beban yang berkurang dihatinya. Ia tak sepenuhnya berbohong, ia memang khawatir dengan keadaan adiknya, namun ia juga tahu bagaimana cara menghubunginya.[Kamu beneran yakin, Ndri, kalau Arsy sama sekali gak ngehubungin kamu?] pesan Agra kembali seolah tak percaya.[Astagfirullah, Mas! Harus kek gimana aku biar kamu percaya. Mending, kamu coba tanya Andre atau Ayah aja. Atau, mungkin Mas Arkan sekalian, dari kemarin dia juga sama pusingnya kek aku] pesan Andri sedikit kesal.[Maaf, aku cuma khawatir sam
Arkan segera bergegas, memakai jasnya dan juga mengambil tas kerjanya. Tak lupa, sebelum ia keluar dari kamarnya, ia mengeluarkan dompetnya dahulu dan memberikan lima lembar uang berwarna merah untuk sang istri."Ini buat apa, Mas?" tanya Andri bingung, seraya mengambil uang itu."Buat kamu, anggep aja itu nafkah pertama dari aku. Aku gak punya uang cash lagi, cuma ada enam ratus ribu di dompet, yang seratus aku bawa buat beli bensin," jawab Arkan seraya memakai sepatunya."Aih, apa gak kebanyakan? Ini buat berapa hari, Mas?" tanya Andri, ia memasukkan uang itu ke saku celananya."Sehari, lah. Besok beda lagi, apa mau aku transfer aja?" tanya Arkan kemudian.Andri menutup mulutnya tak percaya dengan ucapan sang suami."Mas serius sehari lima ratus ribu?" tanya Andri memastikan."Iya, kenapa? Kurang? Apa mau kamu atur aja keuangan aku?" tanya Arkan, nadanya terdengar santai namun ada raut wajah tak suka.Andri menggeleng mantap, tak ingin tahu menahu uang suaminya."Nggak, Mas, aku cum
"Kamu gak coba cari ke temen-temennya Arsy, Dek? Siapa tau, ada petunjuk gitu?" tanya Arkan, mencoba membantu mencari solusi.Andri menggeleng pelan, ia tidak terlalu tahu teman-teman adiknya, karena memang jarang berada di rumah. Kini, ia pun benar-benar menyesali perbuatannya dahulu, fokus bekerja untuk biaya kuliah mereka, sampai tak tahu teman-teman mereka siapa saja.Arkan mengecup kening sang istri lembut, mencoba menenangkan wanitanya itu. Lalu, ia bergegas ke kamar mandi, karena hari sudah beranjak siang.Andri pun memilih untuk menyiapkan pakaian kerja suaminya saja, daripada memikirkan Arsy, pasti tak ada habisnya.Saat tengah menunggu sang suami selesai mandi, tiba-tiba ponsel milik Andri berdering tanda ada panggilan masuk.Andri melihat ponselnya sebentar lalu mengernyitkan dahinya, "nomer baru? Nomer siapa ya?" tanya Andri, kepada dirinya sendiri.Gegas, Andri pun segera mengangkat telponnya itu, siapa tau ada yang penting.["Hallo, Mbak, ini aku Arsy,"] ucap penelpon d
Beberapa kali Andri mencoba untuk memejamkan matanya. Namun, sayangnya tak bisa. Pikirannya terus terbayang pada ucapan Andre tadi. Dan juga, keadaan kamar yang masih berantakan membuat dirinya tak bisa terlelap sama sekali. Dengan perlahan, Andri pun segera bangkit dari tidurnya, lalu mengecup pelan pipi sang suami. Tak ada respon apapun dari Arkan, menandakan bahwa ia sudah benar-benar terlelap. Andri pun segera mengambil ponselnya, lalu mencari nomer Arsy disana. Ia mencoba men-chat nomer itu, namun ternyata sama seperti yang Andre bilang. Hanya ceklis satu dan poto profilnya berwarna abu-abu. 'Apa nomer gua di blokir Arsy ya?' batin Andri. Andri pun segera mengambil hp suaminya, mencoba menghubungi Arsy dari sana. Toh, Arsy tak tahu nomernya Arkan, jadi bisa ketahuan apa nomernya dan Andre di blokir atau tidak. Namun, begitu menyalakan hp suaminya, Andri gagal fokus dengan wallpaper layar kunci dan juga layar utamanya. Di layar kunci, nampak poto Arkan bersama kedua orangtua