"Ke-- Kevin?" tanya Andri dengan sedikit tergagap.Driver itu hanya tersenyum lalu melepas helm yang ada di kepalanya."Hay, Ndri. Kita ketemu lagi, mau nganter makan siang buat Arkan?" tanya Kevin sambil tersenyum.Meskipun ia nampak tersenyum, tapi entah mengapa Andri merasa sedikit takut karenanya."Nih, helmnya, ayo naik," ucap Kevin membuyarkan lamunan Andri.Andri tergagap karenanya dan segera mengambil helm itu. Setelah itu, ia segera naik ke atas motornya."Ndri, tas bekel lu taro depan aja sini, biar lebih enak duduknya," ucap Kevin memberi usul."Nggak usah, Vin. Taro tengah aja, buat pembatas. Maaf ya," ucap Andri dengan hati-hati.Kevin hanya mengangguk, lalu segera menyalakan motornya. Motor pun mulai melaju meninggalkan kompleks perumahan itu.Di sepanjang perjalanan, Kevin nampak bercerita banyak hal, sementara Andri hanya mendengarkan saja. Ingin rasanya ia cepat sampai namun entah kenapa Kevin seolah memelankan laju motornya itu.Saat tiba di dekat lampu merah, lengan
"Kenapa, Mbak? Ada yang salah?" tanya Andri balik.Sang resepsionis menggeleng pelan, lalu segera menelpon seseorang disana entah siapa. Andri menatap cermin yang terletak tak begitu jauh dari meja resepsionis. Ia melihat dirinya sendiri di sana, tak ada yang salah. Ia nampak rapih meskipun hanya mengenakan celana jeans dan juga kemeja panjang. Tapi, kanapa sang resepsionis nampak tak percaya?"Adek," panggil seseorang dari arah belakang.Refleks, Andri menoleh saat mendengar suara itu. Ia tahu betul jika itu adalah suara suaminya. Begitu melihat Arkan di pintu masuk ia pun segera tersenyum dan bergegas menyalami lengan lelakinya."Mas kemana aja? Aku telpon nggak di angkat-angkat!" rajuk Andri seraya memanyunkan bibirnya kesal.Arkan tersenyum gemas melihat kelakuan istrinya itu, ia pun lalu mencubit pipi sang istri dan mengecupnya pelan."Maaf. Tadi, Mas ada keperluan dadakan di lantai atas. Eh, hpnya ketinggalan di ruangan, jadi ya ... nggak tau kalau kamu telpon," ucap Arkan sambi
"Ngambil baju aku, Mas. Udah nggak ada baju lagi di lemari, semua udah masuk ke cucian," ucap Andri pelan. "Aku juga nggak punya sendal lagi, kalau kemana-mana bingung. Untung aja, tadi Mbok Puji ngasih tau kalau misalnya sepatu kamu ukurannya cocok sama aku. Jadi, bisa deh aku pake," ujarnya kembali.Arkan menautkan sebelah alisnya, lalu melihat ke arah kaki Andri. Ia malah baru sadar jika sang istri memakai sepatunya juga.Arkan terkekeh pelan karenanya lalu mengangguk mantap."Boleh. Kalau mau belanja baju juga boleh, terserah kamu maunya kemana," ucap Arkan sambil tersenyum.Mendengar ucapan belanja, wajah Andri pun langsung berbinar karenanya. Bohong jika ia tak suka belanja, semua kaum hawa pasti menyukainya, termasuk dirinya."Yes! Aku boleh beli apapun yang aku mau nggak?" tanya Andri memastikan."Boleh, Dek, bebas. Tapi, aku boleh request nggak? Aku pingin kamu beli baju haram, Dek," jawab Arkan, nada suaranya sedikit menggoda.Mendengar baju haram, bayangan Andri langsung ke
Andri berdecak kesal, sepertinya suaminya ini sedikit amnesia pada teman karibnya itu."Ck! Itu lohh, Kevin yang jongosmu jaman sekolah dulu. Yang suka kamu suruh-suruh," ucap Andri mengingatkan.Arkan mengangguk, bayang memori tentang lelaki itu pun kembali berputar di otaknya."Oh, kenapa dia?" tanya Arkan datar, seolah itu adalah hal yang tidak menarik.Andri menautkan sebelah alisnya. Ia merasa aneh, bukankah mereka teman dekat? Tapi, kenapa responnya biasa saja."Tadi aku ketemu sama dia," jawab Andri.Arkan yang semula tampak santai mendadak tegang. Ia mengerjap beberapa kali, lalu menatap Andri lekat-lekat, seolah ingin memastikan maksud ucapannya.“Ketemu di mana?” tanyanya, suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya. Ada ketegangan dalam nada bicaranya, meskipun ia berusaha menyembunyikannya.Andri menghela napas pelan."Tukang sayur depan komplek. Ternyata, dia pemilik rukonya," jawab Andri lirih. "Terus, pas aku pesen gocek, juga dapet dia," ujarnya kembali dengan suara
Kini, gantian Arkan yang sedikit kesal."Andriyani Eka Devandra. Puas?!" tanya Arkan sedikit kesal.Andri menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Aih, itu kan namaku, Mas".Arkan hanya mencebik kesal, lalu segera beranjak dari duduknya. Ia memilih kembali ke kursi kebesarannya untuk melanjutkan pekerjaannya."Mas! Hayoo, ngaku. Jangan-jangan ... kamu dari dulu udah bucin yah sama aku," ucap Andri, dengan nada sedikit menggoda.Arkan menggeleng pelan, tak menggubris ucapan sang istri."Bohong dosa loh, Mas haha," ledek Andri kembali sambil terkekeh pelan."Siapa bilang, kalau bohong itu nggak dosa? Terus, kenapa? Masalah? Toh, sekarang kamu juga jadi istri aku kok," ujarnya datar, namun masih ada nada kesal di dalamnya.Andri tertawa mendengar itu, lalu segera beranjak dan berlari ke kursi suaminya. Ia pun memeluk lelakinya dan langsung mengecup kedua pipinya bertubi-tubi."Adek, ini kantor," ujar Arkan mengingatkan.Namun, Andri seakan tak peduli, ia tetap mengecup pipi sang suami, hing
"Siapa, Mbak? Apa Mbak kenal seseorang?" tanya Sinta, nada suaranya terdengar penasaran.Andri menggeleng pelan, memilih menyimpan jawabannya sendiri. Ia memilih untuk melangkah menuju kantor suaminya saja. Di perjalanan menuju lantai atas, suasana antara keduanya nampak hening, hanya suara langkah kaki yang menggema di lorong itu, mungkin karena sudah masuk jam kerja lagi.Sesekali, Sinta melirik ke arah Andri. Ia ingin mengajaknya berbicara, namun sepertinya Andri sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, membuat ia mengurungkan niatnya.Sesampainya mereka di depan ruangan Arkan, Andri pun berhenti sebentar di meja Sinta. Ia mengeluarkan cemilan serta minuman dari kantong plastiknya lalu meletakkannya di sana."Ini buat kamu ya, Sin. Semoga kamu suka sama cemilannya," ujar Andri sambil tersenyum ramah."Eh, aku dapet jatah juga, Mbak?" tanya Sinta dengan wajah yang berbinar, seraya menarik kursinya dan duduk di sana. "Wah, kalau gitu sering-sering ke sini ya, Mbak, terutama kalau akhi
Andri menyesap cola yang tinggal separuh, sambil memakan kripik kentang yang rasanya terasa sedikit hambar. Padahal, biasanya, ia sangat suka kripik kentang ini. Tapi entah mengapa, kali ini rasanya begitu hambar, mungkin karena memang perasaannya juga sedang tak enak.Sesekali, ia mencuri pandang ke arah sang suami yang masih fokus dengan layar laptopnya. Diagram dan deretan angka di layar itu, sepertinya lebih menarik perhatian Arkan dibanding dengan kehadiran istrinya saat itu.Tak lama, pintu ruangan Arkan pun di ketuk oleh seseorang. Setelah mempersilahkan masuk, Sinta datang membawa beberapa berkas di tangannya."Apa lagi ini?" tanya Arkan sambil memijat pelan pelipisnya begitu tumpakan kertas itu di taruh Sinta."Laporan bulanan. Waktunya tanda tangan. Bapak nggak lupa kan sekarang tanggal 20?" tanya Sinta balik.Arkan mendengus kesal, ia melirik sekilas ke arah sang istri yang tengah anteng menonton serial Desa Konoha itu di layar televisinya."Nggak bisa besok, kah?" tanya Ar
Andri masih terdiam dipangkuan Arkan. Rasanya, akan ada badai besar kembali yang menghadang rumah tangga mereka."Mas, sebenernya, itu surat dari siapa?" tanya Andri penasaran sambil membelai lembut kemeja sang suami.Arkan hanya tersenyum lalu membelai lembut pucuk kepala sang istri."Bukan siapa-siapa. Hanya seseorang yang iri sama hubungan kita aja, Dek," ujar Arkan pelan.Namun, Andri masih tak percaya. Ia segera melerai pelukannya. Lalu bangkit dari pangkuan sang suami.Ia duduk di atas mejanya, sehingga posisi duduknya kini berhadapan dengan Arkan."Mas ...," panggil Andri lirih.Arkan hanya menyunggingkan sedikit senyumnya lalu menarik wajah sang istri. Ia mengecup pelan bibir istrinya yang menggoda itu.Awalnya, hanya kecupan pelan, namun makin lama, ia makin tergoda. Apalagi, Andri begitu seksi meskipun memakai celana panjang dan kaos yang sedikit kebesaran."Mas, nggak ada pintu merah tah di sini?" tanya Andri yang hampir terbakar birahi.Arkan menggeleng. Ia tak tahu, kare
Arkan mengalihkan pandangannya ke arah langit-langit. Ia memijat pelan pelipisnya, mencoba mencerna setiap kata-kata yang ada. Ia bukanlah orang bodoh meskipun sedikit idiot terkadang. Namun, kata-kata Agra tadi jelas bukan hanya sekedar nasihat. Namun, ada juga sebuah peringatan di dalamnya."Kau terlalu naif, Arkan. Kau terlalu polos dan mudah percaya," kata-kata itu kembali Agra ucapkan, membuat Arkan benar-benar tertekan karenanya.Namun, Arkan tahu jelas, kedua orang itu hanya memperingatkannya, namun juga menasihatinya. Menjadi pion atau pemain, itulah yang Arkan pertanyakan sekarang.Agra mengetuk jari jarinya di meja kerja Arkan, membuat suasana di sana semakin canggung dan juga tegang.Namun, sebelum Arkan bisa menjawab, sebuah suara berat kembali terdengar dari arah pintu"Ikut saja dulu permainannya."Mereka bertiga langsung menoleh dengan cepat. Kakek Gala berdiri di sana, lalu segera melangkah dengan tegas dan juga perlahan. Meskipun jalannya sudah menggunakan tongkat, n
Arkan mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, menahan gemuruh di dadanya. Ia menatap Oom Nathan dengan tajam, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik kata-kata yabg terlontar dari mulut lelaki itu "Apa maksud Oom?" tanya Arkan tak paham, bahkan suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.Oom Nathan melangkah lebih dekat, lalu segera menarik kursi yang berada di depan Arkan. Ia mengamati wajah keponakannya itu, seolah ingin menilai seberapa jauh ia akan tenggelam dalam kekacauan ini."Arkan, bukankah kau telah lama bersahabat dengan Kevin?" tanyanya datar, namun penuh penekanan. "Coba kau pikirkan, apa mungkin Kevin bisa melakukan semuanya sendiri? Maksud Oom, Oom tak yakin jika dia cukup berani untuk melakukan ini semua. Pasti ada sosok lain dibelakangnya," jawabnya menganalisa.Arkan mengerutkan kening, mencoba mengingat semua memori tentang Kevin."Tapi, bukan kah seseorang bisa berubah? Maksud Arkan, jika ia terbakar dendam, maka ia akan berubah menjadi jahat? Bukankah banya
["Arkan, bagaimana?"] tanya Kevin kembali dari seberang telpon sana.Arkan mendengus pelan, menatap layar laptop dengan tatapan kosong."Kau bawel sekali, Kevin! Bukan kah kau memberikanku waktu 3x24 jam untuk berpikir? Ini baru 1x24 jam!" gerutu Arkan kesal.Tawa Kevin terdengar begitu jelas dari sana.["Kau masih sama seperti dulu, Arkan. Selalu polos dan mudah percaya. Ah, sayang sekali Andri harus menikah dengan pria idiot macam kau,",] ucapnya kembali.Gigi Arkan nampak gemertluk mendengar hinaan itu kembali. Ia menghela napas panjang dan dengan berat hati akhirnya ia memberikan keputusan."Hanya PT Dirgantara, kan?" tanya Arkan memastikan.["Ya, karena perusahaan itu yang paling besar di antara perusahaanmu. Meskipun anak cabang, tapi perusahaan itu paling banyak memiliki saham dan juga keuntungan, benarkan?"] tanya Kevin penuh percaya diri."Sepertinya kau tahu banyak tentang perusahaan ku yah? Oke, baiklah, aku akan menyerahkannya. Tapi, aku mohon beri aku waktu," jawab Arkan
Setelah menuntaskan hasratnya, Andri kembali tertidur. Mungkin ia sedikit kelelahan karena permainan mereka kali ini terasa lebih panas dan juga bergairah.Sepertinya, benar kata orang, apapun masalah yang terjadi dalam rumah tangga, ranjang adalah tempat mereka kembali menemukan suatu kedamaian.Melihat sang istri yang nampak begitu terlelap, Arkan pun ikut tertidur sebentar. Siapa tau, setelah beristirahat pikirannya bisa lebih fress dan juga lebih tenang.Namun, tidur Arkan tidak lah lama, hanya sekitar tiga puluh menit saja, karena ponselnya terus berdering menandakan panggilan.Arkan terpaksa bangun untuk mengambil ponselnya. Di layar sana, nama 'Sinta' tertera dengan jelas.Arkan segera mengangkat telponnya dan tak lama Sinta nampak marah-marah dari sebrang sana.["Bapak tuh kenapa sih? Kenapa harus nggak masuk? Bapak nggak tahu apa kalau ada banyak laporan yang perlu di tandatangani dan di cek?"] omel Sinta panjang lebar."Ck! Saya jadi heran, sebenernya disini yang bosnya kamu
"Kamu serius dengan apa yang kamu ucapkan itu, Dek?" tanya Arkan masih belum percaya sepenuhnya kepada sang istri.Andri tersenyum lembut, ia tahu, tak mudah bagi Arkan untuk kehilangan semuanya. Ia pernah kehilangan kedua orangtuanya, kehilangan sedikit ingatan dan juga mentalnya, dan kali ini ia kembali di hadapkan dengan sesuatu yang mungkin sedikit sulit ia terima, dan Andri paham akan semua itu.Andri kembali membelai lengan sang suami, dan tersenyum lembut. Ia mengecup pelan pipi Arkan sebentar lalu kembali masuk ke dalam pelikan lelakinya."Mas, jangan pernah merasa sendiri lagi sekarang. Kamu punya aku sekarang, Mas," lirih Andri pelan seraya keluar dari pelukan suaminya."Aku memang hanya orang baru yang kebetulan datang di dalam hidupmu. Tapi aku, aku nggak akan membiarkanmu menghadapi semuanya sendiri kembali, Mas. Aku akan selalu ada di sampingmu dalam suka maupun duka mu," ujar Andri kembali.Arkan menarik napas dalam, lalu mencium pucuk kepala istrinya. "Terimakasih suda
Sekan terdiam dan terpaku mendengar jawaban yang terlontar dari mulut istrinya itu. Andri melangkah lebih dahulu ke gazebo halaman belakang, lalu menepuk pinggiran yang masih kosong.Arkan mengerti apa yang dimaksud istrinya. Ia pun segera melangkah dan duduk bersama wanitanya itu."Apa yang sebenernya terjadi, Mas? Dari semalam kamu selalu bertanya seperti itu? Apa yang kamu sembunyikan sebenernya, Mas?" tanya Andri bertubi-tubi.Arkan menunduk sebentar, memainkan jari jemarinya, seolah menguatkan hatinya dahulu sebelum akhirnya ia bercerita kepada sang istri.Andri menunggunya dengan sabar, membelai lembut lengan sang suami seolah memberinya sedikit ketenangan.Arkan mengangkat wajahnya, menatap wajah wanita didepannya yang terlihat begitu kuat dan juga tegar."Aku ... Kevin kemarin ngancem aku, Dek," ucap Arkan pada akhirnya."Kevin? Apa ancaman Kevin ke kamu, Mas?" tanya Andri penasaran.Arkan pun lalu menceritakan tentang telpon Kevin kemarin di kantor. Tentang ancamannya dan jug
"Mas, gua mau nanya sesuatu sama lu. Tapi, janji ya jangan diketawain," ucap Arkan tiba-tiba memecah keheningan diantara mereka berdua.Agra mengernyitkan dahinya sebentar, lalu mengangguk mantap. "Ada apa?" tanyanya datar."Gimana kalau misalnya lu di suruh milih antara dua hal sesuatu yang sulit?" tanya Arkan kembali."Apa dulu sesuatunya itu?" tanya Agra balik, suaranya terdengar santai dan juga datar.Arkan kembali menatap langit malam yang begitu terang. Ia menghembuskan napasnya pelan sebelum akhirnya ia kembali berbicara."Kalau misalnya lu disuruh milih antara wanita yang lu cintai sama perusahan yang udah dibangun susah payah sama ortu lu, lu bakal milih mana?" tanya Arkan ambigu.Agra memiringkan kepalanya untuk melihat raut wajah Arkan. Wajahnya terlihat menyimpan suatu beban yang begitu berat sepertinya."Siapa saingan gua yang mau ngerebut Andri dari lu? Emang ada? Wah, nggak bisa dibiarin ini. Harusnya, saingan lu dalam merebut Andri cuma gua aja," ujar Agra sambil terke
"Nggak apa-apa kok, Dek. Mas cuma mau nanya doang," ucap Arkan sambil tersenyum masam.Andri menghembuskan napas panjang, lalu mengecup pelan pipi sang suami."Yakin cuma nanya doang? Nggak ada yang lain?" tanya Andri mulai curiga.Arkan kembali menggelengkan kepalanya pelan. Namun sepertinya Andri mulai cukup peka terhadap apa yang terjadi dengan suaminya.Dengan lembut ia mulai mengambil lengan Arkan dan membelainya dengan mesra."Apapun yang terjadi, aku akan mencintaimu, Mas. Aku akan selalu bersama denganmu dalam suka dan duka. Aku tak masalah hidup susah ataupun jatuh miskin," ucap Andri pelan."Mas, asal kamu tahu, aku sudah terbiasa hidup susah. Jadi, kamu nggak perlu khawatirkan aku. Justru, aku yang harus khawatirin kamu, sanggup atau nggak? Asal kamu tau, Mas, bahkan dulu sehari cuma makan sekali saja aku pernah merasakannya. Kamu tenang saja, Mas, jika hanya harta dunia, kita bisa cari bersama-sama. Kita akan kerja sama-sama untuk kembali mengembalikan keadaan," ucapnya pe
Arkan masih terdiam di mejanya. Kepalanya ia tangkupkan ke atas meja, seolah ia tiduran disana. Kepalanya sedikit pening sekarang. Keputusan apa yang harus ia ambil kini, semuanya terasa begitu berat.Dalam lamunannya, tiba-tiba belaian lembut hinggap di punggungnya. Arkan mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum tenang, meskipun sorot matanya masih menyimpan badai.Nampak Andri disana dengan wajah teduhnya."Mas, ada apa? Siapa yang telpon?" tanya Andri lembut, suaranya pelan dan penuh kekhawatiran."Nggak ada apa-apa, Dek. Hanya telpon iseng yang mencoba menguji kesabaranku," ucap Arkan dengan tenang.Andri mengernyitkan dahinya. Tentu saja ia tak percaya begitu saja. Tak mungkin ada apa-apa, wajah Arkan tidak bisa bohong jika ia memendam suatu masalah yang besar.Andri menghela napas pelan, lalu kembali membelai lembut pundak sang suami, "Kalau Mas sudah siap cerita, cerita aja, ya. Adek akan selalu siap untuk denger semua keluh kesah Mas," ucap Andri sambil tersenyum.Arkan mengangg