“Jangan membual! Aku tidak percaya dengan omong kosong apa pun yang keluar dari mulutmu!” sahut Qiyana seraya membereskan barang-barangnya yang ada di meja. Lebih baik ia segera pergi sebelum emosinya terpancing. Qiyana sengaja memblokir nomor telepon Feli agar wanita itu tidak bisa mengganggunya lagi. Sayangnya, mereka malah bertemu di sini. Lebih parahnya lagi di saat suasana hatinya sedang hancur berantakan. Feli yang menyadari itu tentu saja tidak tinggal diam. “Kamu akan menyesal seumur hidup kalau tidak mau mendengar fakta yang akan aku katakan. Kalau kamu tetap pergi juga, berarti kamu memang pengecut. Atau jangan-jangan kamu tidak menyayangi ayahmu sebesar itu!” Kalimat yang Feli lontarkan berhasil membuat Qiyana menghentikan langkah. Meskipun belum membalikkan tubuhnya apalagi kembali melangkah ke meja itu, kata-kata Feli mampu menggoyahkan keputusannya untuk pergi. Selama beberapa saat Qiyana menimbang-nimbang, kalau dirinya tetap memilih pergi, Feli pasti akan semakin me
Tak ingin rencananya kembali gagal hanya karena menyepelekan keadaan sekitarnya, kali ini Qiyana tidak lagi keluar menggunakan pintu depan. Berbulan-bulan tinggal di rumah ini membuatnya cukup familiar dengan area tertentu yang benar-benar jarang sekali dilewati orang lain. Sama seperti saat berusaha menerobos masuk ke ruang kerja Kenzo tadi, Qiyana memilih melalui kawasan yang tidak terpantau kamera pengawas. Untung saja ia sudah membawa barang-barang pentingnya sebelum masuk ke ruang kerja Kenzo. Jadi, sekarang dirinya bisa langsung pergi tanpa perlu kembali ke kamar. Qiyana menyeka air mata yang masih saja membanjiri wajahnya. Ia memang berhasil menahan isakan, namun tidak dengan tangis. Kenyataan yang baru saja dirinya dapatkan benar-benar menghancurkan hatinya. “Maafkan aku, Yah,” lirih Qiyana dalam hati. Seandainya Qiyana mengetahui semuanya sejak awal, ia tidak mungkin sudi bekerja sama apalagi sampai menikah dengan lelaki yang sudah mencelakai ayahnya sampai meninggal dunia
Suara ketukan itu membuat Qiyana menegang selama beberapa saat. Wanita itu berusaha tenang dan menepis pikiran negatif dari kepalanya. Tidak mungkin juga anak buah Kenzo bisa menemukan dirinya secepat ini. Tadinya Qiyana tidak akan membuka pintu dan membiarkan siapa pun pengetuk itu sampai pergi sendiri. Tetapi, ia malah semakin tidak bisa tenang karena mungkin saja orang itu memiliki urusan yang penting dengannya. Setelah merapikan penampilannya, Qiyana memutuskan langsung melangkah menuju pintu dan menemui orang itu. Sebelum membuka pintu, ia menyempatkan mengintip dari lubang kecil yang berada di tengah-tengah pintu. Helaan napas lega lolos dari bibirnya saat mengetahui kalau yang mengetuk pintu kamarnya adalah petugas hotel ini. “Maaf mengganggu pagi-pagi begini, Mbak. Saya hanya ingin mengantarkan name tag ini. Apa name tag ini milik, Mbak? Saya menemukannya di lobi depan semalam. Setelah saya menanyakan pada teman saya di resepsionis, identitasnya sama seperti milik Mbak,”
Qiyana ingin menutup pintu kamar kosnya lagi, namun Kenzo dapat dengan mudah menahannya. Wanita itu pun akhirnya melangkah mundur dengan tatapan yang masih terbelalak. Manik matanya bergulir mencari celah untuk melarikan diri, sayangnya kemungkinan tersebut pasti sulit dirinya dapatkan. Qiyana yakin sudah pergi cukup jauh dan pastinya memilih tempat yang aman. Namun, ternyata ia masih saja menyepelekan koneksi yang suaminya miliki. Belum genap seminggu setelah pelariannya dan sekarang Kenzo sudah kembali menemukannya. Tatapan penuh amarah yang terlihat dari manik mata Kenzo membuat Qiyana menelan salivanya susah payah. Seharusnya ia yang marah karena lelaki itu kembali mengganggunya, tetapi nyalinya malah menciut seperti ini. Qiyana menghentikan langkahnya di tengah-tengah ruangan setelah berhasil mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. “Untuk apa kamu datang kemari? Tolong jangan ganggu aku lagi, urusan kita sudah selesai!” tegasnya menyiratkan pengusiran. Qiyana tahu jika Kenz
Qiyana yang tadinya ingin bangkit dari posisinya langsung meringis. Ketika menoleh ke samping, ia baru menyadari kalau tangannya dipasangi infus. Kerutan di keningnya semakin dalam, ia tidak mengerti mengapa tangannya sampai dipasangi infus. Padahal jelas-jelas sekarang dirinya tidak berada di rumah sakit. Qiyana tersentak saat pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka. Seorang wanita paruh baya dengan snelli putih dan stetoskop yang menggantung di leher lah yang membuka pintu tersebut. Di belakang dokter itu, terdapat seorang pelayan yang membawakan sebuah nampan besar penuh makanan. “Nyonya, sudah bangun? Bagaimana keadaan Anda sekarang? Ada yang sakit?” tanya dokter itu sembari melangkah menghampiri Qiyana. “Saya periksa dulu ya. Kalau Nyonya merasakan sesuatu, katakan saja.”Qiyana membiarkan dokter itu memeriksa keadaannya juga memeriksa bagian perutnya. Dokter ini berbeda dari dokter pribadi Kenzo yang pernha menanganinya. Sepertinya dokter ini merupakan dokter kandungan.Bertep
“Sebenarnya siapa yang meracuni pikiranmu?! Feli lagi? Tolonglah, Qiyana, kamu tidak bisa asal mempercayai sesuatu tanpa bukti yang jelas! Kapan kamu bertemu Feli atau dia menghubungimu? Aku akan memberi ponsel baru untukmu supaya dia tidak mengganggumu lagi,” sahut Kenzo sembari berusaha menggapai tangan Qiyana. Sementara Qiyana terus menghindar dengan melangkah mundur. Decih sinis lolos dari bibirnya, wanita itu tidak akan mempercayai pembelaan apa pun yang Kenzo lakukan. Apalagi dirinya sudah memiliki bukti yang sangat akurat. Qiyana pikir Kenzo akan langsung mengaku, ternyata ia salah besar. Lelaki itu kembali mengelak, seolah-olah Feli hanya memfitnah saja. Topeng yang Kenzo gunakan benar-benar mampu menutupi tabiat asli lelaki itu tanpa celah. Namun, ia tidak akan semudah itu tertipu. “Tidak perlu mengelak dan berpura-pura tidak tahu! Aku sudah tahu semua tabiat busukmu! Kenapa kamu sejahat itu pada keluargaku?! Apa salah ayahku sampai kamu tega menghabisi nyawanya tanpa belas
Qiyana menyadari kalau atensi semua orang kini beralih ke arahnya. Alih-alih merasa malu, wanita itu malah mengangkat dagunya tinggi-tinggi dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Tentu saja tak ada niatan sedikitpun untuk meralat permintaan yang baru saja meluncur dari bibirnya. Sebelah alis Qiyana terangkat dengan tatapan tertuju pada Kenzo yang terlihat terkejut mendengar permintaannya. “Kenapa? Kalau kamu tidak mau juga tidak masalah, aku tidak pernah memintamu mengikuti keinginanku.”Sorot mata wanita itu beralih ke arah perutnya yang masih datar dan belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Dielusnya permukaan perut yang masih tertutup blouse itu seraya berkata, “Aku bisa meminta tolong pada orang lain untuk mengambilkan buah itu.”Kedua tangan Kenzo yang berada di sisi tubuh perlahan-lahan mulai mengepal. Seolah-olah lelaki itu mengetahui siapa ‘orang lain' yang Qiyana maksud dalam kalimat barusan. Padahal sebenarnya wanita itu hanya asal bicara saja. Qiyana tidak memi
Tanpa bisa dicegah, Qiyana mulai gemetar ketakutan. Pikirannya menebak-nebak apa yang akan Kenzo lakukan padanya setelah ini. Matanya terpejam erat, tak berani mengintip sedikitpun. Dirinya benar-benar sudah salah bicara. Selama beberapa saat, Qiyana membeku di tempat dengan kedua tangan mencengkeram sprei di samping tubuhnya. Seolah-olah sedang bersikap siaga dan menunggu serangan yang akan Kenzo lakukan padanya. Anehnya, ia malah tidak merasakan apa pun. Pada akhirnya, Qiyana memberanikan diri untuk membuka mata. Manik matanya langsung terkunci dengan tatapan Kenzo yang masih menyorot tajam ke arahnya. Wanita itu semakin gugup, namun tidak mampu mengalihkan pandangan. “Untung saja kamu sedang mengandung anakku,” ucap Kenzo seraya kembali menutupi dada Qiyana yang terbuka karena ulahnya. “Lain kali, jaga ucapanmu. Belum tentu kesempatan yang sama bisa terulang lagi.” Setelah mengatakan itu, Kenzo langsung bangkit dan pergi begitu saja meninggalkan kamar Qiyana. Yang tentu saja lan
“Aku hanya ingin memberi ucapan selamat ulang tahun pada keponakanku, apa itu salah?” sahut Amanda yang tidak terlihat tersinggung sama sekali oleh kata-kata kasar yang Kenzo ucapkan. “Aku tahu keponakanku berulang tahun hari ini dan aku hanya ingin memberi sedikit hadiah untuknya.”“Dari mana kamu tahu kalau ulang tahun putraku dirayakan di sini?” Kenzo kembali mengulang pertanyaannya dengan nada lebih menuntut dan tatapan yang semakin tajam. “Kalau kamu hanya berniat mengacaukan acara ini, lebih baik kamu pergi.”Qiyana yang bingung harus melakukan apa hanya mengelus bahu Kenzo, berusaha menenangkan lelaki itu. Walaupun selama ini Amanda memang sering melakukan hal-hal tak terduga, tetapi ia yakin kali ini Amanda tidak memiliki niatan buruk. “Jangan terlalu keras padanya, mungkin dia memang hanya ingin memberi ucapan selamat untuk Rey,” bisik Qiyana pada Kenzo. “Jangan langsung mengusirnya seperti ini. Setidaknya kita bisa bicara baik-baik dengannya.”Amanda berdeham pelan sera
“Apa kamu yakin acaranya tidak diadakan di rumah saja? Kalau acaranya di luar, bisa saja ada wartawan yang melihat kita. Hari ini sangat spesial dan aku tidak mau terjadi masalah baru,” tutur Qiyana yang sedang menyuapi putranya. “Tentu saja tidak, Sayang. Semuanya sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari, sedikit merepotkan jika tempatnya dipindah. Lagipula Rey sangat menyukai tempatnya dan kamu juga tahu kalau aku tidak mengundang banyak orang. Percayalah tidak akan ada masalah yang terjadi,” sahut Kenzo tanpa keraguan sedikitpun. Tepat hari ini, Reynand Pratama Abimana genap berusia satu tahun. Sejak jauh-jauh hari, Qiyana dan Kenzo telah berencana untuk merayakan hari ulang tahun putra mereka. Tentu saja awalnya Qiyana hanya berniat mengadakan acara di rumah, namun siapa sangka Kenzo malah menawarkan untuk menggunakan salah satu ballroom hotelnya. Meskipun sudah saling terbuka sejak lama, nyatanya sampai saat ini Kenzo belum memiliki niatan untuk membuka hubungan mereka di de
“Aku yakin kamu memang penguntit,” jawab Qiyana sembari melirik foto-fotonya yang pernah Kenzo tunjukkan beberapa waktu lalu. “Kalau tidak, mana mungkin kamu masih menyimpannya. Lagipula tidak ada yang bagus juga dari foto-foto itu. Buang saja.” Akan tetapi, jujur saja sekarang Qiyana malah lebih penasaran dengan foto-foto tersebut daripada dokumen di tangannya. Waktu itu Kenzo sudah berjanji akan memberi penjelasan lebih lanjut, namun akhirnya terlupakan begitu saja. Qiyana yakin ayahnya tidak mungkin memberikan fotonya secara cuma-cuma pada Kenzo. Ayahnya adalah tipe orang yang tidak terlalu terbuka dengan orang lain, apalagi untuk memberikan hal privasi seperti ini. “Buang? Aku tidak mungkin melakukannya, untuk apa aku melakukan itu setelah mendapatkannya dengan susah payah? Aku berbohong tentang ayahmu yang memberikan foto-foto ini padaku. Anggap saja aku memang penguntit,” jawab Kenzo santai tanpa beban. Qiyana kontan menoleh dengan mata terbelalak dan mulut menganga. “Apa?! J
“Aku ingin ikut denganmu,” pinta Qiyana seraya mencekal lengan suaminya. Kekhawatiran terpampang jelas di wajah Qiyana. Terlepas dari segala kejahatan dan luka yang telah ibu tirinya torehkan, ia tetap tidak bisa mengelak kekhawatirannya. Baru minggu lalu mereka bertemu, meski akhirnya juga tidak menyenangkan dan sekarang dirinya mendapat kabar seperti ini. “Tidak bisa, Sayang. Kalau kamu ikut, bagaimana dengan Rey? Kita tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Kamu tunggu di rumah saja ya? Kalau terjadi sesuatu, aku pasti langsung mengabarimu. Aku pergi.” Kenzo mengecup kening Qiyana dan Reynand sekilas sebelum beranjak pergi. “Tapi—”Sebelum Qiyana sempat melanjutkan kalimatnya, Kenzo lebih dulu beranjak pergi tanpa menoleh lagi. Lelaki itu tampak sangat terburu-buru dan kembali bertelepon, sepertinya dengan Rangga. Qiyana pun memilih tidak memaksakan diri karena menyadari jika situasi yang dihadapi saat ini cukup rumit. Qiyana hanya bisa menunggu dengan perasaan campur aduk y
Semua orang yang berada di ruangan itu panik dan langsung berusaha menjauhkan Ambar dari Qiyana. Namun, wanita paruh itu malah semakin mengeratkan cekikannya. Ia nyaris membuat Qiyana terseret dari ranjang karena mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencekik putri sambungnya itu. Qiyana terbatuk dengan napas putus-putus setelah cekikan Ambar terlepas dari lehernya. Wajahnya sudah berubah merah padam. Cekikan itu benar-benar membuatnya nyaris kehabisan napas. Entah bagaimana caranya Ambar membuka borgol yang jelas-jelas masih terpasang di tangan wanita paruh baya itu. Ambar yang masih mengamuk langsung ditarik paksa oleh polisi yang berada di sana. Dengan sigap, para polisi itu memborgol tangan Ambar lagi dan memastikan borgol tersebut tidak akan terlepas lagi. “Panggilkan dokter sekarang!” perintah Kenzo pada sang asisten yang langsung bergegas kelaur dari ruangan tersebut. Lelaki itu menatap sang istri yang masih terbatuk dengan sorot khawatir. “Maaf, Sayang. Aku tidak tahu akhi
Qiyana menatap sosok yang baru saja datang dan kini berdiri tepat di hadapannya dari atas sampai bawah. Tatapan tak percaya masih terlihat sangat jelas dari sorot matanya. Wanita itu mengerjapkan matanya berulang kali, khawatir sesuatu yang terlihat di depan matanya hanya ilusi. “Kamu sudah bisa berjalan?” tanya Qiyana dengan ekspresi campur aduk melihat Kenzo sudah dapat kembali berjalan meski dengan langkah tertatih-tatih. “Ssshhh … di mana kursi rodamu? Jangan memaksakan diri, bagaimana kalau keadaanmu malah semakin parah?” Sejak beberapa hari terakhir, Kenzo memang sangat gencar berlatih agar otot tubuhnya tidak kaku dan dapat segera digerakkan normal lagi seperti sediakala. Namun, sejauh ini belum terlihat hasil yang memuaskan karena lelaki itu masih kesulitan berdiri. Dan seharusnya lelaki itu tidak memaksakan diri sampai seperti ini. “Maaf, aku meninggalkanmu sendirian terlalu lama. Kenapa kamu turun dari brankar? Kamu pasti ingin ke toilet lagi ya?” Alih-alih menanggapi pert
“Apa? Kamu akan melahirkan sekarang?! Bagaimana mungkin? Bukannya dokter mengatakan kamu akan melahirkan minggu depan?” cerca Kenzo seraya berusaha meminta tolong pada orang-orang yang ada di sekitar taman tersebut. Di saat seperti ini, Kenzo merasa dirinya benar-benar tidak berguna. Seharusnya ia langsung bangkit dan menggendong istrinya ke ruang IGD atau ruangan apa pun itu. Namun, untuk bangkit dari kursi rodanya saja dirinya sangat kesulitan. Qiyana yang sudah tidak kuat menahan bobot tubuhnya sudah terduduk di rerumputan sembari mencengkeram blouse selutut yang dikenakannya. Nyeri yang menjalari perutnya semakin kuat dengan sakit yang tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata. “Aku tidak tahu kenapa seperti ini. Sakit sekali, aku tidak kuat,” lirih Qiyana dengan keringat dan air mata yang bercucuran. Sejak bangun tidur pagi ini, Qiyana memang tetalh merasakan sesuatu yang janggal dari tubuhnya. Sejak beberapa jam lalu dirinya selalu bolak-balik ke toilet untuk buang air kecil
“Coba ulangi kata-kata terakhirmu tadi,” cerca Kenzo sembari mencekal lengan Qiyana. Qiyana yang sebenarnya sedang menenangkan debar jantungnya yang menggila tetap memasang senyum di wajahnya. Seolah-olah kata-kata yang barusan terlontar dari mulutnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Padahal sesungguhnya wanita itu ingin segera melarikan diri dari sini karena malu. Kata-kata itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya tanpa bisa dicegah. Tetapi, Qiyana tidak menyesalinya sama sekali. Selama ini ia terlalu banyak bersembunyi di balik gengsi dan harga diri. Tidak ada salahnya mencoba lebih jujur dibanding hanya menyimpannya seorang diri. “Aku hanya mengatakannya sekali dan tidak ada pengulangan lagi. Sekarang bukan waktunya mengobrol, jadi lebih baik kamu tidur saja. Kamu masih dalam masa pemulihan, harus banyak-banyak beristirahat,” sahut Qiyana dengan senyum miring. Kenzo menggeram rendah. “Kamu pikir aku bisa tidur setelah kamu mengatakan itu tanpa kejelasan lagi? Aku tidak akan t
“Ka-kamu sudah sadar?” gumam Qiyana dengan tatapan terbelalak. Sepasang mata berwarna kecokelatan itu berkaca-kaca. “Aku akan—aw!” Wanita refleks meneggakkan kepalanya dan saat itu juga nyeri yang menjalari tengkuknya semakin terasa.Kenzo membuka peralatan medis yang terpasang di mulutnya setelah mengumpulkan tenaga untuk mengangkat tangannya. “Sayang, apa kamu baik-baik saja? Lehermu pasti sakit karena tidur dengan posisi duduk,” tanya lelaki itu dengan suara serak.Suara bariton yang sangat Qiyana rindukan itu kembali terdengar. Meskipun sangat serak dan lirih, itu sudah cukup untuk membayar perasaan campur aduk yang selalu membelenggunya setiap hari selama berbulan-bulan ini. Sekali lagi Qiyana menatap sang suami yang juga menatapnya, memastikan jika ini semua bukanlah halusinasi. Tanpa membalas pertanyaan suaminya, Qiyana langsung merengkuh tubuh lelaki itu dengan isak tangis yang berurai dari bibirnya. Ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit Kenzo, ada kehangatan yang teras