Tanpa bisa dicegah, Qiyana mulai gemetar ketakutan. Pikirannya menebak-nebak apa yang akan Kenzo lakukan padanya setelah ini. Matanya terpejam erat, tak berani mengintip sedikitpun. Dirinya benar-benar sudah salah bicara. Selama beberapa saat, Qiyana membeku di tempat dengan kedua tangan mencengkeram sprei di samping tubuhnya. Seolah-olah sedang bersikap siaga dan menunggu serangan yang akan Kenzo lakukan padanya. Anehnya, ia malah tidak merasakan apa pun. Pada akhirnya, Qiyana memberanikan diri untuk membuka mata. Manik matanya langsung terkunci dengan tatapan Kenzo yang masih menyorot tajam ke arahnya. Wanita itu semakin gugup, namun tidak mampu mengalihkan pandangan. “Untung saja kamu sedang mengandung anakku,” ucap Kenzo seraya kembali menutupi dada Qiyana yang terbuka karena ulahnya. “Lain kali, jaga ucapanmu. Belum tentu kesempatan yang sama bisa terulang lagi.” Setelah mengatakan itu, Kenzo langsung bangkit dan pergi begitu saja meninggalkan kamar Qiyana. Yang tentu saja lan
Qiyana mengerjapkan matanya beberapa kali sembari menatap Kenzo dan benda yang baru saja diberikan padanya secara bergantian. Wanita itu mendadak malu sendiri karena terlalu banyak berpikiran yang tidak-tidak. Untung saja ia belum sempat mengatakan apa pun. “Maaf sudah merobek pakaianmu, sekarang kamu ganti baju ya? Sekalian rapikan penampilanmu, setelah itu ikut aku,” tutur Kenzo sembari menggaruk leher belakangnya diiringi dengan senyum canggung yang tersungging di bibirnya. Dalam sekejap, raut marah yang semula terlihat di wajah Kenzo langsung menghilang begitu saja. Berganti dengan ekspresi tak enak sembari mencuri-curi pandang ke arah dada Qiyana yang sedikit terbuka. Qiyana yang sebenarnya masih linglung, sontak menggelengkan kepala, menghalau pikiran aneh yang masih bersarang di kepalanya. Jejak perbuatan Kenzo barusan masih membekas dan membuatnya tidak biasa mencerna yang terjadi dengan cepat. Qiyana langsung mengambil pakaiannya yang Kenzo ambilkan dari lemari seraya bert
[Selamat atas kehamilanmu, ternyata dugaanku waktu itu benar. Apa kamu marah padaku? Maaf, kalau aku terlalu sering mengganggumu belakangan ini.]Qiyana membaca pesan yang Gino kirimkan berulang kali dengan kening berkerut. Pesan tersebut dikirimkan semalam, tetapi ia baru sempat mengecek ponselnya sekarang. Yang membuatnya heran adalah isi pesan yang lelaki itu kirimkan. “Dari mana Gino tahu aku sedang hamil?” gumam Qiyana bertanya-tanya. Beberapa kali, Qiyana memang memiliki niatan memberitahu Gino tentang kehamilannya. Akan tetapi, pada akhirnya rencana itu hanya menjadi wacana saja. Bahkan, ia sudah benar-benar melupakan rencana tersebut. Jangan-jangan ini karena ulah Kenzo. Entah bagaimana caranya lelaki itu memberitahu Gino. Sepertinya Kenzo sengaja melakukan itu. Jangan-jangan, suaminya juga mengatakan sesuatu yang tidak-tidak pada Gino. Ia akan memastikan sendiri nanti pada suaminya itu. Selain itu, Qiyana tidak mengerti mengapa Gino malah menanyakan dirinya marah ata
Senyum yang menghiasi wajah Qiyana langsung memudar setelah mendengar suara familiar itu. Tanpa sadar wanita itu pun mengeratkan rangkulannya pada lengan Gino, seolah-olah sedang mencari kekuatan. Ia tetap bergeming di tempat meski menyadari kehadiran orang lain yang mulai mendekat ke arahnya. “Nah, Qiyana. Kebetulan sekali kamu masih ada di sini. Sebenarnya sudah sejak lama Bibi ingin mengenalkan salah satu keponakan Bibi, tapi selalu saja tidak jadi. Apalagi bocah ini juga selalu menyibukkan diri, entah untuk apa. Kenalkan, ini keponakan Bibi,” ucap wanita paruh baya itu. Qiyana yang tadinya ingin berpura-pura tidak memedulikan kedatangan orang itu, terpaksa menoleh ke samping. Dan ternyata benar saja, dugaannya tidak meleset sama sekali. Orang yang kini sudah berdiri di sampingnya itu adalah Kenzo, suaminya sendiri yang berdampingan dengan Amanda. Kenzo dan Amanda juga tampak serasi dalam balutan pakaian dengan warna senada. Amanda mengapit lengan Kenzo erat dan lelaki itu terlih
Qiyana spontan meringis ketika Kenzo mencengkeram pergelangan tangannya. Tetapi, ia tetap memasang ekspresi menantang dan tidak menunjukkan kesakitannya sama sekali. Wanita itu memang asal bicara, namun melihat Kenzo yang mulai tersulut emosi membuatnya merasa di atas angin. Namun, ekspresi marah di wajah Kenzo hanya bertahan beberapa detik saja. Lelaki itu kembali memasang wajah datar dan tenang andalannya. Seolah-olah kata-kata Qiyana barusan tidak berpengaruh untuknya. “Kamu pikir aku akan percaya semudah itu? Kamu ingin mengatakan kalau kamu sedang mengandung anak mantan kekasihmu itu? Jangan mencoba-coba menipuku!” sahut Kenzo dengan sebelah sudut bibir yang terangkat. “Kalau iya memangnya kenapa? Kamu tahu sendiri kalau belakangan ini aku sering—hmmpph!” Kenzo yang tidak ingin mendengar omong kosong Qiyana langsung membungkam bibir istrinya. Tak membiarkan wanita itu memberi pemberontakan sedikitpun, tetapi tetap tidak menekan area perut Qiyana yang mungkin akan menyakiti cal
Qiyana tak sempat bertanya apa yang terjadi sampai-sampai Kenzo menyuruhnya tetap menunggu di mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah. Namun, pertanyaannya langsung terjawab saat Kenzo kembali keluar dari rumah bersama seseorang. Siapa lagi kalau bukan sepupu kesayangan suaminya. Amanda. Sebelah sudut bibir Qiyana terangkat bersamaan dengan dengusan pelan. Sekarang ia mengerti mengapa Kenzo lebih memilih mengajaknya menginap di hotel alih-alih langsung pulang. Ternyata karena ada seseorang yang spesial di rumah ini. Qiyana mengamati kedua orang yang tampak sedang berbincang itu dari dalam mobil. Sebenarnya ia ingin segera berbaring di ranjang yang empuk. Tetapi, mau bagaimana lagi, keberadaannya tidak jauh lebih penting dari sepupu suaminya itu. Manik mata Qiyana yang semula terpejam sontak kembali terbuka ketika mendengar suara pintu terbuka. Pintu mobil di sampingnya terbuka dan Kenzo sudah berdiri setengah membungkuk di sana. Ia hanya melirik malas ke arah lelaki itu de
Atensi semua orang yang berada di dalam ruang kerja Kenzo serempak teralih ke arah pintu. Sedangkan Qiyana yang kini menjadi pusat perhatian masih saja memasang ekspresi datar. Seolah-olah tidak ada yang salah dari perbuatannya kali ini. Menghiraukan Nadira yang terus berbisik dan memintanya tidak mengganggu kegiatan Kenzo, Qiyana tetap berdiri tegak di depan pintu. Ia tahu sikapnya sangatlah tidak sopan, namun masa bodoh dengan itu. Qiyana tidak akan pergi sekalipun dirinya diusir dari tempat ini. Kalau bisa, sekalian saja ia bongkar kebusukan lelaki itu di depan semua orang yang ada di sini. Sayang sekali barang bukti yang seharusnya berada di tangannya malah hilang entah ke mana. Padahal ia sudah tidak sabar ingin menjebloskan suaminya ke penjara. “Maaf menggangu. Tapi, aku harus membicarakan sesuatu dengan Tuan Kenzo sekarang. Kalau memang kegiatan kalian belum selesai, silakan dilanjutkan saja,” ucap Qiyana yang sebenarnya tidak memiliki niatan beranjak dari pintu ruangan itu s
Kenzo spontan menegakkan kembali tubuhnya dan menoleh ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka pada tidak terdengar ketukan sejak tadi. Lelaki itu nyaris bangkit dari posisinya, namun setelah mengetahui siapa yang datang, Kenzo memilih tetap berada di tempat duduknya. “Ada apa?” tanya Kenzo seraya menyesap kopinya yang masih tersisa. Nada bicaranya tetap santai. Bahkan sebelah tangannya masih mengusap perut Qiyana yang kini tertutup selimut. Tak peduli Nadira akan menyadari itu juga. “Ma-maaf, Tuan. Sejak tadi saya sudah beberapa kali mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Maaf sudah mengganggu waktu Anda. Saya hanya ingin mengantarkan beberapa berkas yang perlu Anda tandatangani,” papar Nadira tanpa berani menatap Kenzo yang bisa dipastikan sedang menatap tajam ke arahnya. Nadira langsung meletakkan setumpuk berkas yang ia bawa di atas meja kerja bosnya. Segala asumsi mulai bermunculan di kepalanya, namun wanita itu tidak ingin terkesan terlalu penasaran apalagi sampai d