Qiyana sudah tahu kalau Kenzo semakin memiliki banyak saham di perusahaan milik mendiang ayahnya dari laporan terbaru yang Widya berikan. Artinya, sebentar lagi lelaki itu pasti bisa menguasai segalanya dan mengambil alih perusahan tersebut. Mengambil alih perusahaan dari Kenzo pasti jauh lebih sulit dibanding merebutnya dari kakak tiri dan mantan tunangannya. Apalagi lelaki yang berstatus sebagai suaminya itu seringkali bertindak di luar dugaan dan kejam jika menginginkan sesuatu. Jangankan untuk persoalan yang sangat besar itu, orang yang dianggap mengganggu saja langsung dibasmi. “Apa aku salah jika bertanya seperti ini? Kenyataannya kamu memang melakukan itu, ‘kan? Kalau kamu memang ingin memberikan semuanya untukku, harusnya kamu tidak menjalankan rencana tanpa melibatkan aku. Bahkan, kamu tidak pernah membahasnya.” Qiyana kembali bersuara dengan sebelah sudut bibir terangkat. “Kamu sedang hamil, aku tidak mau semakin menambah beban pikiranmu,” jawab Kenzo setelah terdiam cukup
“Sepertinya kamu tidak ingin aku tidur lebih lama lagi,” erang Qiyana sembari menggeliat pelan. “Padahal, beberapa jam lalu kamu menolakku. Aku mendadak lupa siapa yang begitu keras mengatakan kita harus menundanya.” Qiyana masih enggan membuka mata apalagi beranjak dari posisi berbaringnya. Ia terlalu nyaman dengan posisinya saat ini. Membiarkan Kenzo yang memberikan kecupan-kecupan seringan bulu di tulang selangka juga leher belakangnya. Semalam Qiyana dan Kenzo benar-benar melakukannya lagi. Tentu saja dengan penuh kehati-hatian supaya tidak menimbulkan masalah baru nantinya. Apalagi saat ini mereka sedang berada di tempat terpencil. Tak mudah menempuh akses keluar dari tempat ini jika terjadi sesuatu tidak diinginkan. Tawa serak lolos dari bibir Kenzo yang sudah kembali membaringkan kepalanya di atas bantal. Sebelah tangannya yang merengkuh perut Qiyana masih tak berhenti mengelus perut wanita itu. Seolah-olah sedang memberikan ucapan selamat pagi pada calon anaknya. “Aku tidak
Gerakan tangan Qiyana yang sedang merapikan berkas di hadapannya terhenti sejenak. Wanita itu mengangkat kepala dengan sebelah alis terangkat. “Kamu memberiku syarat untuk mendapatkan sesuatu yang seharusnya memang menjadi milikku?” Qiyana tak menyangka akan mendapatkan jawaban tidak terduga dari Kenzo. Padahal niatnya memang hanya ingin menyindir lelaki itu atas kerja sama bodong yang pernah dia tawarkan dan ujung-ujungnya malah suaminya sendiri yang ingin menguasai perusahaan ayahnya. Tetapi, tampaknya Kenzo tidak tersinggung sama sekali. Kenzo membalas tatapan Qiyana dengan seringai lebar tanpa memedulikan sang istri yang menatapnya penuh peringatan. Lelaki itu membungkukkan tubuhnya, kemudian mencuri sebuah kecupan dari sudut bibir istrinya. “Kamu yang lebih dulu bertanya dan aku hanya memberi jawaban saja. Lagipula syaratnya sangat sederhana, aku yakin kamu mampu memenuhinya,” sahut Kenzo yang sudah kembali menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. “Memangnya syarat seperti
Qiyana menatap satu per satu kertas foto depan matanya dengan mulut menganga. Sungguh, dari semua gadis yang berada di muka bumi ini, ia tak menyangka Kenzo malah menyimpan foto-foto masa remajanya. Bukan hanya satu, tetapi cukup banyak. Qiyana mengeluarkan semua foto yang ada di dalam amplop di tangannya. Dan benar saja semuanya memang berisi foto-fotonya. Di mulai dari yang mengenakan seragam sekolah hingga ketika dirinya sedang berada di tempat tertentu. Dan semuanya berasal dari akun media sosialnya. Dalam hitungan detik, manik mata Qiyana berubah berkilat dengan ekspresi sinis. Segala asumsi buruk langsung menyerang pikirannya. Jelas-jelas mereka belum saling mengenal saat itu dan seharusnya lelaki itu tidak boleh sembarangan menyimpan fotonya. Apalagi tanpa izin dan secara sembunyi-sembunyi. “Jawab pertanyaanku, jangan diam saja. Untuk apa kamu mengoleksi foto-fotoku dan sejak kapan kamu memilikinya? Apa kamu sengaja mengambil semuanya dari akun media sosialku?” cerca Qiyana s
Qiyana spontan menjatuhkan sebuah teflon yang baru saja ia gunakan untuk memukul seseorang yang tiba-tiba memeluknya. Bunyi nyaring teflon yang jatuh ke lantai terdengar bersamaan dengan pekikan lolos dari bibirnya. Wanita itu terbelalak melihat suaminya yang mengerang kesakitan sembari memegang kepala. Qiyana tidak tahu kalau Kenzo yang kembali ke rumah ini. Ia mengira ada orang jahat yang tiba-tiba masuk dan ingin bersikap kurang ajar padanya. “Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja. Aku sangat terkejut dan panik. Apa boleh aku lihat kepalamu? Kemarilah, aku akan mengobati lukamu,” ucap Qiyana khawatir. Buru-buru ia mematikan kompor sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Qiyana menggandeng suaminya keluar dari dapur, kemudian berlari ke kamar untuk mengambil kotak obat yang kebetulan dirinya miliki. Sembari terus menggumamkan permintaan maaf, wanita itu mengobati luka memar yang muncul di pelipis Kenzo. Kening Kenzo memerah karena luka tersebut. Qiyana menatap benjola
“Kamu yakin kita akan menginap di sini sampai urusanmu selesai? Apa tidak ada tempat yang jauh lebih layak?” tanya Qiyana yang sedikit bergidik ngeri melihat bangunan yang berdiri di depan matanya. Qiyana tahu kalau suaminya itu tidak bisa ditebak. Namun, ia tidak menyangka Kenzo sampai kepikiran membawanya ke tempat yang benar-benar di luar dugaan. Lelaki itu memang membawanya ke hotel setelah mereka sampai di bandara. Tetapi, wanita itu tidak menebak kalau pilihan sang suami malah jatuh ke hotel seperti ini. Qiyana yakin Kenzo tidak mungkin kehabisan uang sampai memilih mengunjungi tempat penginapan seperti ini. Kalaupun memang seperti itu kenyataannya, ia sama sekali tidak keberatan untuk menyumbang. Langkah Kenzo yang sedang menggandeng Qiyana tertahan karena wanita itu tidak mau bergerak dari tempat sebelumnya. Manik mata istrinya masih menatap bangunan di hadapan mereka dengan sorot tak percaya. “Kita masuk dulu ya? Aku akan menjelaskan sambil jalan,” bujuk Kenzo sembari
BYUR!Qiyana tersentak hebat dan spontan membuka mata ketika tubuhnya diguyur air yang sangat dingin. Tubuhnya langsung menggigil karena dingin yang menusuk kulitnya. Wanita itu berusaha bergerak, namun ia malah mendapati tubuhnya diikat di sebuah bangku kayu. Amarah yang berkobar terpatri jelas dari manik mata Qiyana. Wanita itu langsung mengangkat kepala dan menatap tajam sosok yang berdiri di hadapannya. Wanita paruh baya yang baru saja menyiram tubuhnya dengan se ember air. Tubuhnya memang basah kuyup, tetapi amarah yang sangat besar memenuhi dadanya. Seseorang yang membuatnya dihantam berbagai masalah sekaligus, kini malah tega menculik dan menyiramnya tanpa belas kasihan. “Akhirnya kamu bangun juga, Tuan Putri.” Ambar menjatuhkan ember kecil yang ia gunakan untuk menyiram Qiyana. Membiarkan benda itu menggelinding di lantai dan berhenti tepat di pojok ruangan yang penuh dengan tumpukan dus usang. “Apa lagi yang kamu inginkan? Apa belum cukup kamu menghancurkan hidupku s
“Membantu apa?” tanya Qiyana yang mulai panik melihat benda mengkilap di tangan Amanda itu. “Kamu ingin berusaha membunuhku lagi? Sebenarnya apa salahku sampai kalian tega melakukan ini padaku?” Qiyana tak bisa melepas sorot matanya dari benda kecil yang ada dalam genggaman Amanda. Entah apa yang sedang sepupu suaminya itu rencanakan. Namun, sepertinya memang sesuatu yang buruk. Dalam keadaan terikat erat seperti ini, Qiyana benar-benar tidak bisa melakukan perlawanan apa pun. Bahkan, untuk sekadar melindungi janin dalam kandungannya. Diam-diam Qiyana berusaha melepas tali tambang yang mengikat kuat jemarinya. Namun, jangankan terbuka malah hanya perih saja yang semakin terasa. Sepertinya kulit pergelangan terluka, entah hanya lecet atau mungkin berdarah. “Kamu benar-benar pasrah dengan keadaanmu? Tidak ada upaya apa pun untuk melarikan diri? Bagaimana jika kamu tetap dibunuh meski kamu sudah menandatangani berkas itu?” tanya Amanda sembari mengayunkan pisau di tangannya. Aman
“Aku hanya ingin memberi ucapan selamat ulang tahun pada keponakanku, apa itu salah?” sahut Amanda yang tidak terlihat tersinggung sama sekali oleh kata-kata kasar yang Kenzo ucapkan. “Aku tahu keponakanku berulang tahun hari ini dan aku hanya ingin memberi sedikit hadiah untuknya.”“Dari mana kamu tahu kalau ulang tahun putraku dirayakan di sini?” Kenzo kembali mengulang pertanyaannya dengan nada lebih menuntut dan tatapan yang semakin tajam. “Kalau kamu hanya berniat mengacaukan acara ini, lebih baik kamu pergi.”Qiyana yang bingung harus melakukan apa hanya mengelus bahu Kenzo, berusaha menenangkan lelaki itu. Walaupun selama ini Amanda memang sering melakukan hal-hal tak terduga, tetapi ia yakin kali ini Amanda tidak memiliki niatan buruk. “Jangan terlalu keras padanya, mungkin dia memang hanya ingin memberi ucapan selamat untuk Rey,” bisik Qiyana pada Kenzo. “Jangan langsung mengusirnya seperti ini. Setidaknya kita bisa bicara baik-baik dengannya.”Amanda berdeham pelan sera
“Apa kamu yakin acaranya tidak diadakan di rumah saja? Kalau acaranya di luar, bisa saja ada wartawan yang melihat kita. Hari ini sangat spesial dan aku tidak mau terjadi masalah baru,” tutur Qiyana yang sedang menyuapi putranya. “Tentu saja tidak, Sayang. Semuanya sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari, sedikit merepotkan jika tempatnya dipindah. Lagipula Rey sangat menyukai tempatnya dan kamu juga tahu kalau aku tidak mengundang banyak orang. Percayalah tidak akan ada masalah yang terjadi,” sahut Kenzo tanpa keraguan sedikitpun. Tepat hari ini, Reynand Pratama Abimana genap berusia satu tahun. Sejak jauh-jauh hari, Qiyana dan Kenzo telah berencana untuk merayakan hari ulang tahun putra mereka. Tentu saja awalnya Qiyana hanya berniat mengadakan acara di rumah, namun siapa sangka Kenzo malah menawarkan untuk menggunakan salah satu ballroom hotelnya. Meskipun sudah saling terbuka sejak lama, nyatanya sampai saat ini Kenzo belum memiliki niatan untuk membuka hubungan mereka di de
“Aku yakin kamu memang penguntit,” jawab Qiyana sembari melirik foto-fotonya yang pernah Kenzo tunjukkan beberapa waktu lalu. “Kalau tidak, mana mungkin kamu masih menyimpannya. Lagipula tidak ada yang bagus juga dari foto-foto itu. Buang saja.” Akan tetapi, jujur saja sekarang Qiyana malah lebih penasaran dengan foto-foto tersebut daripada dokumen di tangannya. Waktu itu Kenzo sudah berjanji akan memberi penjelasan lebih lanjut, namun akhirnya terlupakan begitu saja. Qiyana yakin ayahnya tidak mungkin memberikan fotonya secara cuma-cuma pada Kenzo. Ayahnya adalah tipe orang yang tidak terlalu terbuka dengan orang lain, apalagi untuk memberikan hal privasi seperti ini. “Buang? Aku tidak mungkin melakukannya, untuk apa aku melakukan itu setelah mendapatkannya dengan susah payah? Aku berbohong tentang ayahmu yang memberikan foto-foto ini padaku. Anggap saja aku memang penguntit,” jawab Kenzo santai tanpa beban. Qiyana kontan menoleh dengan mata terbelalak dan mulut menganga. “Apa?! J
“Aku ingin ikut denganmu,” pinta Qiyana seraya mencekal lengan suaminya. Kekhawatiran terpampang jelas di wajah Qiyana. Terlepas dari segala kejahatan dan luka yang telah ibu tirinya torehkan, ia tetap tidak bisa mengelak kekhawatirannya. Baru minggu lalu mereka bertemu, meski akhirnya juga tidak menyenangkan dan sekarang dirinya mendapat kabar seperti ini. “Tidak bisa, Sayang. Kalau kamu ikut, bagaimana dengan Rey? Kita tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Kamu tunggu di rumah saja ya? Kalau terjadi sesuatu, aku pasti langsung mengabarimu. Aku pergi.” Kenzo mengecup kening Qiyana dan Reynand sekilas sebelum beranjak pergi. “Tapi—”Sebelum Qiyana sempat melanjutkan kalimatnya, Kenzo lebih dulu beranjak pergi tanpa menoleh lagi. Lelaki itu tampak sangat terburu-buru dan kembali bertelepon, sepertinya dengan Rangga. Qiyana pun memilih tidak memaksakan diri karena menyadari jika situasi yang dihadapi saat ini cukup rumit. Qiyana hanya bisa menunggu dengan perasaan campur aduk y
Semua orang yang berada di ruangan itu panik dan langsung berusaha menjauhkan Ambar dari Qiyana. Namun, wanita paruh itu malah semakin mengeratkan cekikannya. Ia nyaris membuat Qiyana terseret dari ranjang karena mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencekik putri sambungnya itu. Qiyana terbatuk dengan napas putus-putus setelah cekikan Ambar terlepas dari lehernya. Wajahnya sudah berubah merah padam. Cekikan itu benar-benar membuatnya nyaris kehabisan napas. Entah bagaimana caranya Ambar membuka borgol yang jelas-jelas masih terpasang di tangan wanita paruh baya itu. Ambar yang masih mengamuk langsung ditarik paksa oleh polisi yang berada di sana. Dengan sigap, para polisi itu memborgol tangan Ambar lagi dan memastikan borgol tersebut tidak akan terlepas lagi. “Panggilkan dokter sekarang!” perintah Kenzo pada sang asisten yang langsung bergegas kelaur dari ruangan tersebut. Lelaki itu menatap sang istri yang masih terbatuk dengan sorot khawatir. “Maaf, Sayang. Aku tidak tahu akhi
Qiyana menatap sosok yang baru saja datang dan kini berdiri tepat di hadapannya dari atas sampai bawah. Tatapan tak percaya masih terlihat sangat jelas dari sorot matanya. Wanita itu mengerjapkan matanya berulang kali, khawatir sesuatu yang terlihat di depan matanya hanya ilusi. “Kamu sudah bisa berjalan?” tanya Qiyana dengan ekspresi campur aduk melihat Kenzo sudah dapat kembali berjalan meski dengan langkah tertatih-tatih. “Ssshhh … di mana kursi rodamu? Jangan memaksakan diri, bagaimana kalau keadaanmu malah semakin parah?” Sejak beberapa hari terakhir, Kenzo memang sangat gencar berlatih agar otot tubuhnya tidak kaku dan dapat segera digerakkan normal lagi seperti sediakala. Namun, sejauh ini belum terlihat hasil yang memuaskan karena lelaki itu masih kesulitan berdiri. Dan seharusnya lelaki itu tidak memaksakan diri sampai seperti ini. “Maaf, aku meninggalkanmu sendirian terlalu lama. Kenapa kamu turun dari brankar? Kamu pasti ingin ke toilet lagi ya?” Alih-alih menanggapi pert
“Apa? Kamu akan melahirkan sekarang?! Bagaimana mungkin? Bukannya dokter mengatakan kamu akan melahirkan minggu depan?” cerca Kenzo seraya berusaha meminta tolong pada orang-orang yang ada di sekitar taman tersebut. Di saat seperti ini, Kenzo merasa dirinya benar-benar tidak berguna. Seharusnya ia langsung bangkit dan menggendong istrinya ke ruang IGD atau ruangan apa pun itu. Namun, untuk bangkit dari kursi rodanya saja dirinya sangat kesulitan. Qiyana yang sudah tidak kuat menahan bobot tubuhnya sudah terduduk di rerumputan sembari mencengkeram blouse selutut yang dikenakannya. Nyeri yang menjalari perutnya semakin kuat dengan sakit yang tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata. “Aku tidak tahu kenapa seperti ini. Sakit sekali, aku tidak kuat,” lirih Qiyana dengan keringat dan air mata yang bercucuran. Sejak bangun tidur pagi ini, Qiyana memang tetalh merasakan sesuatu yang janggal dari tubuhnya. Sejak beberapa jam lalu dirinya selalu bolak-balik ke toilet untuk buang air kecil
“Coba ulangi kata-kata terakhirmu tadi,” cerca Kenzo sembari mencekal lengan Qiyana. Qiyana yang sebenarnya sedang menenangkan debar jantungnya yang menggila tetap memasang senyum di wajahnya. Seolah-olah kata-kata yang barusan terlontar dari mulutnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Padahal sesungguhnya wanita itu ingin segera melarikan diri dari sini karena malu. Kata-kata itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya tanpa bisa dicegah. Tetapi, Qiyana tidak menyesalinya sama sekali. Selama ini ia terlalu banyak bersembunyi di balik gengsi dan harga diri. Tidak ada salahnya mencoba lebih jujur dibanding hanya menyimpannya seorang diri. “Aku hanya mengatakannya sekali dan tidak ada pengulangan lagi. Sekarang bukan waktunya mengobrol, jadi lebih baik kamu tidur saja. Kamu masih dalam masa pemulihan, harus banyak-banyak beristirahat,” sahut Qiyana dengan senyum miring. Kenzo menggeram rendah. “Kamu pikir aku bisa tidur setelah kamu mengatakan itu tanpa kejelasan lagi? Aku tidak akan t
“Ka-kamu sudah sadar?” gumam Qiyana dengan tatapan terbelalak. Sepasang mata berwarna kecokelatan itu berkaca-kaca. “Aku akan—aw!” Wanita refleks meneggakkan kepalanya dan saat itu juga nyeri yang menjalari tengkuknya semakin terasa.Kenzo membuka peralatan medis yang terpasang di mulutnya setelah mengumpulkan tenaga untuk mengangkat tangannya. “Sayang, apa kamu baik-baik saja? Lehermu pasti sakit karena tidur dengan posisi duduk,” tanya lelaki itu dengan suara serak.Suara bariton yang sangat Qiyana rindukan itu kembali terdengar. Meskipun sangat serak dan lirih, itu sudah cukup untuk membayar perasaan campur aduk yang selalu membelenggunya setiap hari selama berbulan-bulan ini. Sekali lagi Qiyana menatap sang suami yang juga menatapnya, memastikan jika ini semua bukanlah halusinasi. Tanpa membalas pertanyaan suaminya, Qiyana langsung merengkuh tubuh lelaki itu dengan isak tangis yang berurai dari bibirnya. Ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit Kenzo, ada kehangatan yang teras