Charlotte merasa mulai terperangkap, itu menakutkan baginya. Karena merasa selalu gagal. Tapi kali ini berbeda, itu pasti karena birnya. Rasa takutnya tak akan pernah berubah. Ia ingin cepat-cepat pergi tapi Kashogie menghalangi niatnya. Charlotte sadar bahwa rasa takut terlihat diwajahnya saat menatap Kashogie. Pria itu menatapnya ragu-ragu. Keheningan berlanjut. Charlotte menatap penuh keberanian selama mungkin sebelum ia berpaling. Charlotte telah membuat Kashogie bingung. Mereka telah tertawa bersama, saling menggoda dan bercanda, namun melihat kemurungan Charlotte, Kashogie tidak mengerti harus bagaimana. Dan Charlotte tidak ingin Kashogie mengetahui alasan kesedihannya, karena kalau tidak hati-hati, pria ini segera akan mengalami apa yang telah dialami orang lain, dan hubungan mereka akan berakhir bahkan sebelum dimulai.Ia menatap pria itu untuk terakhir kali, untuk mengucapkan selamat tinggal, untuk berterimakasih padanya, untuk melarikan diri. Pada saat itu ia bisa tahu bah
Dalam perjalanan pulang ke apartemennya, Kashogie terpaksa mengakui bahwa anak perempuan Charlotte punya keahlian dalam menghadapi hal-hal tidak terduga. Kedatangannya yang tiba-tiba baru merupakan awalnya saja. Tapi menyebut kata pernikahan secara terang-terangan hampir membuat Kashogie histeris.Ia menikah? Benar-benar menggelikan.Kalau dipikir-pikir Kashogie sadar Charlotte sendiri juga menyinggung-nyinggung masalah itu, ingin tahu kenapa Kashogie belum menikah, menanyakan apakah ia pernah jatuh cinta. Pertanyaan-pertanyaan khas wanita.Mungkin ibu dan anak itu bersekongkol, berkomplot untuk menjatuhkan dirinya. Hal itu juga terasa menggelikan.Kashogie bukan jenis orang yang menyukai pernikahan. Bukan karena ia senang mempermainkan wanita atau ada sesuatu yang tidak dia sukai pada wanita. Ada kalanya... ia suka pada wanita, kadang-kadang... senang menghabiskan waktu bersama mereka. Singkatnya, ia sangat mnikmati kebebasan hingga tidak bersedia mengorbankan kebebasannya itu pada k
4 Desember 2020San Donato Hospital, MilanNathaniele Salvatore Andriano melupakan visi dan misi hidupnya, melupakan impian jangka panjang, melupakan resolusi tahun barunya dan pemikiran-pemikiran briliant yang telah didedikasikan kepada perusahaannya.Yang ada dalam pemikirannya saat menatap wanita di sebuah ruang intensif care unit terbaik di kota Milan itu adalah kesembuhannya saja.Ingatan Nathan melayang delapan belas tahun silam, teroris yang telah menjadikan ibunya tawanan demi mendapatkan Euro ayahnya dalam jumlah besar telah terlibat baku tembak dengan kepolisian Italia, dan menewaskan ibunya. Sakit akan ingatan itu merobek sampai ke ulu hatinya. Dia tidak ingin wanita didepannya ini sampai menerima takdir buruk seperti yang dialami Mrs. Vivian Diangello, sang ibu.Anthoni belum bisa mendapatkan bukti keterlibatan Kiara dalam penembakan Audrey Abellard, wanita yang hampir selama setahun belakangan ini dicarinya. Dia berjanji akan mencari bukti itu. Perjalanan selama dua puluh
Setelah turun dari pesawat jet pribadi yang membawa mereka selama dua puluh tujuh jam perjalanan, Yanti yang menggendong Ventria bergantian dengan Bik Andar sudah tiba di sebuah landasan yang tidak terbilang besar, Nathan sengaja tidak mendaratkan pesawat itu di bandara komersil. Dua mobil telah menunggu mereka. Satu mobil membawa Audrey, mobil satunya membawa ketiga orang itu bersama satu orang pria yang duduk disebelah supir, berjalan cepat ke selatan dan meluncur dengan lancar kejalan yang sepi, sepertinya jauh diluar keramaian kota. Jalan raya yang mereka lalui digantikan dengan jalan pedesaan yang berbatu, bebarapa tugu bermunculan sepanjang perjalanan. Sekitar tiga kiloan mereka membelok melewati gapura batu lengkung yang tinggi dan mulai menyusuri jalan berkelok yang dibatasi pepohonan di kanan kirinya. Dedaunan pada puncak musim panas pukul enam pagi itu terlihat indah dengan matahari yang mulai bersinar lembut. Sebuah bangunan tampak didepan mata, setelah lebih dekat Yanti b
20 Maret 2021San Donato Hospital, Milan"Bangun, Cantik. Aku menunggumu.”Audrey sering sekali mendengar suara itu. Kalimat itu selalu ia dengar pada waktu yang sama. Suaranya asing ditelinganya, suara yang berat.Setiap petang dia selalu mendengar kalimat itu. Dan dihari ke 12, kalimat itu mulai ditunggunya, setiap hari.Kalau tidak terdengar ditelinganya, dia akan bertanya kepada wanita berusia enam puluh tahun disampingnya, “Mama, suara-suara itu belum terdengar hari ini. Suara itu selalu ingin aku dengar.”Audrey Abellard berada di padang penuh bunga. Mereka bermekaran dan berwarna warni. Memandangi keindahan alamnya membuat perasaan Audrey merasa tenang. Sebuah sungai dangkal berbatuan mengalirkan air yang sangat jernih, terlihat ikan-ikan berwarna-warni yang berenang sangat indahnya. Kaki jenjang berkulit putih bersih Audrey terjulur di pinggir sungai itu. Duduk berdiam diri. Seorang wanita cantik berusia enam puluhan tahun duduk pula disampingnya. Wanita itu selalu berbicara
Audrey menatap dua wanita yang berpelukan penuh bahagia itu dengan tatapan kosong. Dia tidak tahu sekarang dia sedang berada dimana. Pendengaran dan penglihatannya masih berfungsi dengan baik. Tapi dua wanita didepannya tidak dapat ia kenali. Bik Andar mendekat lalu menghambur memeluknya, begitu juga Yanti. Selang ventilator dan infus telah dilepas paramedis setelah diperiksa untuk memastikan kalau Audrey sudah tidak membutuhkan peralatan-peralatan itu lagi. Audrey berusaha duduk ditempat tidur itu.“Alhamdulillah, Puji Tuhan. Nyonya sudah sadar, sudah sembuh. Terimakasih, Tuhan.”Dengan bersemangat, dia berkata, ”Yanti, cepat hubungi George, kita harus mengatakan tentang berita gembira ini.“Iya, iya, Bik. Saya akan telpon George sekarang juga.”Yanti diberikan sebuah ponsel, untuk mempermudah mereka berkomunikasi.Dia menghubungi George, kepala rumah tangga, salah satu orang kepercayaan Nathan.“Ada kabar baik, George. Nyonya Audrey sudah tersadar.”Bik Andar merengkuh bahu Nyonya Be
Untuk pertama kalinya Audrey memasuki Mansion Batu Bata. Menatap keindahan dan kemegahan bangunannya serta disambut hangat semua pelayan. Mereka dengan sangat sigap melayani Audrey.Hal pertama yang Audrey lakukan adalah menemui Ventria. Walau masih belum bisa mengenali bahkan mengingat siapa dirinya.Ditatapnya bayi itu dalam-dalam, mencoba menggendong. Naluri seorang ibu ternyata masih ia miliki. Pelan-pelan menata hati, tapi kepalanya akan merasa pusing kalau dia mencoba memaksakan diri untuk mencari memorinya yang menghilang.Bik Andar dan Yanti serta beberapa pelayan yang biasanya mengurus semua keperluan Ventria meninggalkannya untuk memberi ruang Audrey menjalin bonding dengan anaknya yang lebih dari tiga bulan tidak bersama. Anak kecil berumur setahun menatap wanita cantik dihadapannya. Seperti sangat mengenali.“Mam---maaa.”Audrey terperanjat. Menatap gadis kecil cantik bermata kehijauan itu.Ia merasa menatap dirinya sendiri didepan cermin.“Betulkah gadis kecil ini anakku
Setelah menyelesaikan makan malam mereka. Nathan memulai pembicaraan yang sejak tadi ia tunda. Ia ingin wanita dihadapannya dapat memberikan reaksi yang baik terhadap apa yang hendak ia sampaikan.Semua peralatan makan telah dibereskan oleh pelayan, meja telah mereka bersihkan. Anna masih menambahkan lagi sepiring kacang almond serta buah anggur berwarna hijau segar dan segelas jus apel untuk mereka.“Miss Audrey Andriano,” ujarnya perlahan. “Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri padamu terlebih dalulu.”“Benarkah itu namaku?” Audrey menatap mata Nathan meminta jawaban jujur.“Benar. Namaku Nahaniele Salvator Diangello”Wajah Audrey masih menatap dan mendengarkan dengan penuh perhatian, apa yang hendak Nathan katakan padanya.“Anda terlahir dari seorang ibu bernama Nyonya Suryani dengan ayah yang adalah temanku.”Disitu Audrey mulai mengerutkan keningnya.“Ayah Anda adalah seorang yang memiliki sejumlah harta sangat tidak ternilai. Mr. Jacob Andriano adalah presiden direktur Grupp