4 Desember 2020San Donato Hospital, MilanNathaniele Salvatore Andriano melupakan visi dan misi hidupnya, melupakan impian jangka panjang, melupakan resolusi tahun barunya dan pemikiran-pemikiran briliant yang telah didedikasikan kepada perusahaannya.Yang ada dalam pemikirannya saat menatap wanita di sebuah ruang intensif care unit terbaik di kota Milan itu adalah kesembuhannya saja.Ingatan Nathan melayang delapan belas tahun silam, teroris yang telah menjadikan ibunya tawanan demi mendapatkan Euro ayahnya dalam jumlah besar telah terlibat baku tembak dengan kepolisian Italia, dan menewaskan ibunya. Sakit akan ingatan itu merobek sampai ke ulu hatinya. Dia tidak ingin wanita didepannya ini sampai menerima takdir buruk seperti yang dialami Mrs. Vivian Diangello, sang ibu.Anthoni belum bisa mendapatkan bukti keterlibatan Kiara dalam penembakan Audrey Abellard, wanita yang hampir selama setahun belakangan ini dicarinya. Dia berjanji akan mencari bukti itu. Perjalanan selama dua puluh
Setelah turun dari pesawat jet pribadi yang membawa mereka selama dua puluh tujuh jam perjalanan, Yanti yang menggendong Ventria bergantian dengan Bik Andar sudah tiba di sebuah landasan yang tidak terbilang besar, Nathan sengaja tidak mendaratkan pesawat itu di bandara komersil. Dua mobil telah menunggu mereka. Satu mobil membawa Audrey, mobil satunya membawa ketiga orang itu bersama satu orang pria yang duduk disebelah supir, berjalan cepat ke selatan dan meluncur dengan lancar kejalan yang sepi, sepertinya jauh diluar keramaian kota. Jalan raya yang mereka lalui digantikan dengan jalan pedesaan yang berbatu, bebarapa tugu bermunculan sepanjang perjalanan. Sekitar tiga kiloan mereka membelok melewati gapura batu lengkung yang tinggi dan mulai menyusuri jalan berkelok yang dibatasi pepohonan di kanan kirinya. Dedaunan pada puncak musim panas pukul enam pagi itu terlihat indah dengan matahari yang mulai bersinar lembut. Sebuah bangunan tampak didepan mata, setelah lebih dekat Yanti b
20 Maret 2021San Donato Hospital, Milan"Bangun, Cantik. Aku menunggumu.”Audrey sering sekali mendengar suara itu. Kalimat itu selalu ia dengar pada waktu yang sama. Suaranya asing ditelinganya, suara yang berat.Setiap petang dia selalu mendengar kalimat itu. Dan dihari ke 12, kalimat itu mulai ditunggunya, setiap hari.Kalau tidak terdengar ditelinganya, dia akan bertanya kepada wanita berusia enam puluh tahun disampingnya, “Mama, suara-suara itu belum terdengar hari ini. Suara itu selalu ingin aku dengar.”Audrey Abellard berada di padang penuh bunga. Mereka bermekaran dan berwarna warni. Memandangi keindahan alamnya membuat perasaan Audrey merasa tenang. Sebuah sungai dangkal berbatuan mengalirkan air yang sangat jernih, terlihat ikan-ikan berwarna-warni yang berenang sangat indahnya. Kaki jenjang berkulit putih bersih Audrey terjulur di pinggir sungai itu. Duduk berdiam diri. Seorang wanita cantik berusia enam puluhan tahun duduk pula disampingnya. Wanita itu selalu berbicara
Audrey menatap dua wanita yang berpelukan penuh bahagia itu dengan tatapan kosong. Dia tidak tahu sekarang dia sedang berada dimana. Pendengaran dan penglihatannya masih berfungsi dengan baik. Tapi dua wanita didepannya tidak dapat ia kenali. Bik Andar mendekat lalu menghambur memeluknya, begitu juga Yanti. Selang ventilator dan infus telah dilepas paramedis setelah diperiksa untuk memastikan kalau Audrey sudah tidak membutuhkan peralatan-peralatan itu lagi. Audrey berusaha duduk ditempat tidur itu.“Alhamdulillah, Puji Tuhan. Nyonya sudah sadar, sudah sembuh. Terimakasih, Tuhan.”Dengan bersemangat, dia berkata, ”Yanti, cepat hubungi George, kita harus mengatakan tentang berita gembira ini.“Iya, iya, Bik. Saya akan telpon George sekarang juga.”Yanti diberikan sebuah ponsel, untuk mempermudah mereka berkomunikasi.Dia menghubungi George, kepala rumah tangga, salah satu orang kepercayaan Nathan.“Ada kabar baik, George. Nyonya Audrey sudah tersadar.”Bik Andar merengkuh bahu Nyonya Be
Untuk pertama kalinya Audrey memasuki Mansion Batu Bata. Menatap keindahan dan kemegahan bangunannya serta disambut hangat semua pelayan. Mereka dengan sangat sigap melayani Audrey.Hal pertama yang Audrey lakukan adalah menemui Ventria. Walau masih belum bisa mengenali bahkan mengingat siapa dirinya.Ditatapnya bayi itu dalam-dalam, mencoba menggendong. Naluri seorang ibu ternyata masih ia miliki. Pelan-pelan menata hati, tapi kepalanya akan merasa pusing kalau dia mencoba memaksakan diri untuk mencari memorinya yang menghilang.Bik Andar dan Yanti serta beberapa pelayan yang biasanya mengurus semua keperluan Ventria meninggalkannya untuk memberi ruang Audrey menjalin bonding dengan anaknya yang lebih dari tiga bulan tidak bersama. Anak kecil berumur setahun menatap wanita cantik dihadapannya. Seperti sangat mengenali.“Mam---maaa.”Audrey terperanjat. Menatap gadis kecil cantik bermata kehijauan itu.Ia merasa menatap dirinya sendiri didepan cermin.“Betulkah gadis kecil ini anakku
Setelah menyelesaikan makan malam mereka. Nathan memulai pembicaraan yang sejak tadi ia tunda. Ia ingin wanita dihadapannya dapat memberikan reaksi yang baik terhadap apa yang hendak ia sampaikan.Semua peralatan makan telah dibereskan oleh pelayan, meja telah mereka bersihkan. Anna masih menambahkan lagi sepiring kacang almond serta buah anggur berwarna hijau segar dan segelas jus apel untuk mereka.“Miss Audrey Andriano,” ujarnya perlahan. “Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri padamu terlebih dalulu.”“Benarkah itu namaku?” Audrey menatap mata Nathan meminta jawaban jujur.“Benar. Namaku Nahaniele Salvator Diangello”Wajah Audrey masih menatap dan mendengarkan dengan penuh perhatian, apa yang hendak Nathan katakan padanya.“Anda terlahir dari seorang ibu bernama Nyonya Suryani dengan ayah yang adalah temanku.”Disitu Audrey mulai mengerutkan keningnya.“Ayah Anda adalah seorang yang memiliki sejumlah harta sangat tidak ternilai. Mr. Jacob Andriano adalah presiden direktur Grupp
Sylvia Rutherford memanfaatkan waktu untuk memoleskan lispstik, dia turunkan kaca spion dan berucap, “Kau memang memesona,” katanya pada bayangannya.Ia baru saja memoles lipstik merah muda kecoklatan kebibir sewaktu dia melihat sebuah mobil yang dia kenali melaju kencang kesuatu arah. Mobil kekasihnya. Bukanlah Sylvia Rutherford namanya bila tidak memiliki pemikiran taktis. Gelagat lelaki itu yang berbeda dari biasanya selama lebih dari tiga bulan ini begitu menyita pikiran Sylvia. Nathaniele Salvator Diangello. Memikirkan nama itu saja sudah membuat Sylvia menggertakkan gigi. Sejak pertama kali bertemu tiga tahun lalu, Sylvia bisa memprediksi type seperti apa pria itu, dan segala sesuatu yang ia lihat atau dengar tentang Nathan sesudahnya semakin menegaskan penilaian awal tersebut. Keinginan memiliki sebenarnya begitu dalam. Tapi dia tidak dapat menutup mata. Dia sudah mengalihkan pemikiran-pemikiran buruk itu dengan berolahraga, tentu saja tidak dapat berlangsung lamaTerlalu tam
Tak lama berselang napas Jack menuruni bahkan di depan atasan Sylvia, bibirnya memagut kulit rapuh yang berada persis di atas kelim. Tak kuasa menahan perasaan, dia menyibak blus Sylvia cukup turun untuk mengakses sisi dalamnya. Dengan mengerang, dia melihat dua gundukan wanita itu menyembul dari tepian bra pink yang seksi.Dia harus mendapatkan yang lebih. Menelusurkan ujung lidahnya di garis dalam belahan dada Sylvia, Jack mencengkeram pinggulnya ketika badannya mulai melengkung.“Jack...”“Lagi.” Dia tidak bertanya, tidak berpikir, tidak ragu. Dia meraih bagian bawah baju Sylvia dan mulai menarik naik. Jack begitu berhasrat menyentuh Sylvia, memegang, memainkan lidahnya.Sylvia merintih ketika Jack menyelipkan tangan ke dalam bra, menangkup dua gundukan kembar dadanya, manarik yang teramat lembut dan hangat itu, terbebas dari penahannya.Kemudian Jack menatapnya dan bertanya-tanya dalam hati, apakah dia pernah melihat wanita yng lebih cantik—dengan kepala disentak kebelakang, mata