Pov Author
Tidak ada yang tau bagaimana perasaan mereka masing-masing. Baik, Winda mau pun Nia. Kedua sahabat itu sedang dilanda kegalauan dalam hatinya. Winda masih ragu mengartikan perasaannya pada Hanan. Begitu pula dengan Nia yang tiba-tiba saja memiliki perasaan aneh di dalam hatinya untuk Ferdi.Saat Ferdi memeluk Nia, gadis itu merasakan kehangatan dan kenyamanan yang selama ini ia cari. Meski ia sudah memiliki Winda sebagai sahabat terbaiknya, tempat berkeluh kesah membagi suka dan duka, tapi tetap saja ada yang kurang.
Dan pelukan Ferdi itu seakan menutupi kekurangan yang selama ini ia rasakan. Nia merasakan hatinya tersentuh oleh pelukan Ferdi.
"Gimana? Udah mulai nyaman rasanya?" tanya Ferdi pada Nia.
Nia yang tersadar oleh pertanyaan Ferdi, bergegas melepas pelukan itu dan menjadi salah tingkah. Ferdi yang melihat sikap lucu Nia malah tertawa dan mengusap lembut puncak kepala Nia.
"Tumben, salah tingkah gitu di de
"Sa, aku keluar makan siang dulu, ya. Nanti kalau ada yang penting banget, baru telpon aku. Oke?" ucapku pada Salsa. "Oke. Tenang aja, aku bisa kok handle di sini selama kamu kencan." jawab Salsa dengan senyum yang sengaja meledekku. "Bisa aja kamu, Sa. Tapi, makasih lho. Kamu pengertian banget." balasku sambil bersiap menjemput Winda di butik. "Iya dong, Nan. Aku tu kenal kamu bukan baru kemarin sore. Aku tau lah gimana kamu. Selama ini, yang ada dalam pikiran kamu kan cuma belajar dan bekerja. Baru kali ini aku liat kamu bersemangat untuk keluar, padahal cuma pergi makan siang. Jadi, aku yakin ini bukan makan siang biasa," tebak Salsa tidak salah lagi. "Yap, kamu benar. Aku lagi deketin perempuan yang udah lama banget aku suka. Dia dulu pasien aku, Sa." "Jadi, ceritanya pasienku idolaku nih?" "Ya, namanya juga usaha. Soalnya dia pernah gagal berumah tangga. Dan parahnya lagi, mantan suaminya hampir aja ngebunuh dia. Itu m
Pov Hanan Winda menatapku dengan lekat seolah sedang mencari sesuatu di dalam sana. Mungkin sebuah kejujuran atau ketulusan dari ucapanku tadi. Dan akhirnya Winda mengangguk dengan sangat yakin dan mengukir senyum di bibirnya yang mungil. Tak dapat aku ungkapkan bagaimana rasa bahagianya diriku saat ini. Saat melihat Winda mengangguk dengan sangat yakin dan tulus. Kugenggam tangannya erat. "Terima kasih, Win. Aku berjanji akan membayar semua kesedihan yang pernah kamu rasakan di masa lalu. Alu akan berusaha untuk selalu membahagiakan dirimu dengan caraku sendiri," jelasku pada Winda. "Lakukan saja semua seperti seharusnya. Aku akan menunggu dan melihat apakah ucapanmu itu bisa aku percaya atau tidak," jawab Winda dengan bijaksana. "Baik. Aku akan membuktikannya padamu, saat kamu sudah resmi menjadi istriku." "Kugantungkan segala impian dan kebahagiaan terakhirku pada hatimu. Tolong jangan perna
Pov Hanan Winda masuk ke mobil dengan wajah cemberut. Ia bahkan meletakkan kotak kue di dashbord dengan kasar. Wanita memang sangat sulit dimengerti. Salahku juga yang tiba-tiba memutuskan panggilan seperti orang tertangkap basah sedang berselingkuh. "Udah beli semuanya?" aku bertanya dengan nada selembut mungkin dan memberikan senyuman terbaikku. "Udah." jawabnya singkat, padat, jelas dan ketus tentunya. Aku mulai menjalankan mobil kembali ke butik. Sepanjang jalan, Winda hanya diam sambil menggeser-geser layar ponselnya. Ada apa dengan Winda sebenarnya? Apa dia marah saat aku tadi menerima panggilan telpon dari Salsa? Tapi kan, dia tidak tau siapa yang aku telpon. Aku berusaha mencari cara agar Winda tidak lagi marah padaku. Aku bingung harus bertanya apa atau membahas tentang masalah apa lagi agar suasana beku ini bisa kembali mencair. Namun, karena aku tidak menemukan cara lain, tidak ada salahnya jika aku ber
Pov Winda "Maafkan aku ya, Nan. Mungkin aku bukan lah wanita yang baik untukmu. Aku belum bisa menjadi wanita yang sesuai dengan keinginanmu. Aku penuh kekurangan." Aku berkata dengan suara pelan dan wajah yang sayu mendayu. Kulihat Hanan masih menatapku dengan lembut. Selalu seperti itu sejak tadi. Sejak aku mengeluarkan ratusan kata ocehan yang tak berguna. Aku sungguh menyesal memperlihatkan sisi burukku pada Hanan di hari pertama hubungan kami menjadi resmi seperti ini. Apakah nantinya dia akan berubah feeling padaku. Karena Winda yang selama ini dia kenal tidak pernah menunjukkan sisi cerewet dan kecemburuan hakiki seperti ini. Aku akui, memang aku tipe wanita pencemburu. Terlebih setelah kejadian di masa lalu yang memnuatku masih sedikit trauma dalam menjalani hubungan. Belum lagi, Hanan memang seorang pria muda dengan postur tubuh yang pastinya menjadi incaran para gadis-gadis. Jujur, Mas Heru yang begitu sem
Pov Nia Kami sudah mendengar kabar bahagia yang dibagikan Winda melalui akun sosial medianya. Winda akan segera mengadakan pertemuan keluarga dengan Dokter Hanan. Aku turut bahagia, akhirnya sahabatku itu menemukan kembali alasannya untuk tetap tersenyum dan bahagia. Bagiku, Winda lebih dari sekedar teman dan sahabat. Lukanya juga akan menjadi lukaku. Bahagianya, juga adalah kebahagiaan bagi diriku. Aku bisa merasakan bahwa sejak awal kedekatan mereka, mereka mempunya perasaan satu sama lain. Tapi, aku enggan berkomentar bukan karena aku tak peduli pada Winda. Hanya saja, aku ingin dia merasakan sendiri perasaannya. Meyakinkan sendiri hatinya. "Hai, Manis. Ngapain siang bolong gini melamun?" tegur Ferdi yang tiba-tiba sudah berada di depanku. Entah kapan pria ini duduk berhadapan denganku. Aku tersenyum kecut melihat ke arahnya lalu menyesap jus yang masih tersisa setengah lagi. "Ga ada. Aku cuma capek aja tadi, lagian mal
Pov Ferdi Aku masih bingung dengan maksud ucapan Nia yang terakhir kali tadi. Tapi gadis itu sudah tak ada lagi di parkiran. Pun, aku telpon nomornya selalu sibuk atau dia dengan sengaja merijeknya. Ada apa sebenarnya dengan Nia? Aku tau ada yang berubah dari dirinya. Terutama sikapnya padaku yang tidak seperti dulu lagi. Dia terkesan seperti menjaga jarak dariku. Apa aku melakukan kesalahan padanya? Atau mungkin dia ada kekasih baru, sehingga ia takut jika kekasihnya tau dia punya teman dekat seorang pria yang sembrono seperti aku? Deg... Punya kekasih? Kenapa hatiku terasa sedikit sakit saat membayangkannya? Apa benar Nia sudah punya pacar? Tapi, aku tidak pernah mendengarnya bercerita mengenai hal itu. Winda pun tidak pernah membahasnya. Bukan kah dia dan Winda tak akan pernah ada rahasia? Atau memang hanya Winda yang tau? "Kekasih? Siapa?" gumamku dengan perasaan tak menentu saat membayangkannya.
Pov Ferdi Aku sudah rapi dengan pakaian santaiku. Sejak jam 5 aku sudah melihat jam tangan tiap menit. Tak sabar rasanya ingin menginjak gas mobil menuju rumah Nia. Entah lah, rasanya seperti akan pergi menjemput cinta pertama untuk pergi malam mingguan. Kenapa bisa begini, dan kenapa ada rasa ini, jangan tanyakan mengapa. Karena ku tak tau jawabnya. (Hehehe) Semua rasa mengalir begitu saja, tanpa diduga dan direncanakan. Tanpa diminta dan tak bisa dihindari. Namun, aku tak ingin terlalu cepat mengartikan semua perasaan pada Nia ini. Jangan-jangan ini hanya perasaan sesaat karena aku baru saja patah hati karena pujaan hatiku akan dipinang oleh pria lain. Atau bisa jadi, selama ini aku hanya terobsesi pada Winda. Hanya sekedar kagum dan hasrat ingin memiliki. Yang bahkan, perasaan sayang dan cinta itu tak jelas dimana posisinya. Sementara, pada Nia yang kuanggap sebagai teman biasa tempat berkeluh kesah dan berbagi cerita, ternyata rasa
Pov Winda "Kak, ada pelakor tuh. Ngapain dia datang lagi ke sini. Dasar ga tau malu. Sinting!" umpat Putri, karyawanku yang paling setia selama ini. Terang saja, aku menoleh ke arah pintu masuk untuk melihat orang yang di maksud Putri. Ternyata, ada Ranisa yang berjalan ke arahku dengan menggendong seorang bayi laki-laki yang cukup imut menurutku. Bagaimana pun juga, bayi itu tidak pernah salah dan tidak pernah tau apa yang terjadi di antara kami. "Hai, Put. Masih betah kamu kerja di sini?" sapanya pada Putri yang sudah kembali ke rak pakaian yang tadi ia bereskan. "Hai, Ran. Ya masih lah. Gimana aku ga betah kerja di sini coba, orang majikannya aja baiknya ga abis-abis. Orang bego aja yang nyia-nyiain kesempatan emas begini." jawab Putri dengan sengit dan pedas. Sepertinya Putri sangat marah pada Ranisa. Sementara, Ranisa hanya menanggapinya dengan senyum sinis. Terlihat sombong dan tak pada tempatnya. Aku hanya