Nathan menatap Janine, kemudian berkata dengan suara rendah, "Kalau kamu mau, tanya pada Briana."Nathan menatap Elena sekilas, kemudian berjalan keluar.Ketika Janine mendengar jawaban Nathan, dia sangat kesal. Dia menyusul mereka, kemudian berdiskusi dengan Briana. "Nona Briana, aku mau membeli Berlian Hati Biru dengan harga dua kali lipat. Bolehkah?"Janine dengan santainya akan mengeluarkan uang dua kali lipat harga berlian ini. Briana tidak bodoh. Gadis ini pasti memiliki latar belakang yang baik. Selain itu, Janine juga mengenal Nathan.Briana ragu sejenak, lalu dia menatap Nathan. "Kak Nathan, siapa dia?""Adik sepupu."Ternyata adik sepupu.Briana tersenyum, matanya berbinar. "Dik, ini hadiah ulang tahun dari Kak Nathan. Aku punya koleksi berlian merah muda. Aku bisa memberikannya kepadamu, bagaimana?"Janine bukanlah tipe orang yang tidak tahu malu. Karena berlian itu adalah hadiah ulang tahun Briana, maka dia tidak akan meminta paksa."Nggak perlu, terima kasih."Briana terse
Separuh tubuh Elena mencuat dari pagar, terlihat agak berbahaya.Sebuah mobil berwarna perak lewat, berhenti, lalu melaju mundur.Mata gelap Nathan menatap wanita yang separuh tubuhnya terentang dari pagar itu. Dia menjentikkan puntung rokok, kemudian membuka pintu mobil dan keluar. "Mau terjun?"Ketika Elena mendengar suara itu, dia berbalik, lalu terkejut melihat Nathan.Dia terdiam sejenak. "Tuan Nathan."Nathan menatap Elena dengan lekat, kemudian menyapa dengan sama asingnya. "Nona Elena.""Sangat nggak aman bergelantungan di pagar malam begini." Suara Nathan terdengar malas.Elena tertegun sejenak, lalu tersenyum. "Kamu pikir aku akan terjun dari sini? Bagaimana mungkin?"Elena meletakkan sikunya di pagar lalu tertawa terbahak-bahak.Nathan mengangguk. "Kalau begitu aku salah paham, maaf."Jendela mobil diturunkan, kemudian suara wanita terdengar dari dalam mobil. Briana melihat ke luar jendela sembari berteriak, "Kak Nathan, waktunya sudah mau sampai."Mata Briana menatap Elena
"Bu Elena, apakah menurutmu Pak Kaedyn akan terkejut melihatmu hari ini?"Elena meletakkan kopi sembari menjawab, "Nggak tahu."CEO Teknologi Jepson bernama Bourne Edkins, putra tertua Keluarga Edkins.Elena meminta sopir untuk menjemputnya pukul satu. Bourne duduk di kursi sambil menatap Elena.Elena mengenakan rok merah yang memeluk pinggulnya dan kemeja putih dengan dua kancing teratas terbuka. Dia benar-benar berbeda dengan Elena yang sebelumnya dingin dan serius.Sekarang Elena tampak seperti sekretaris centil.Tentu saja, meski Elena kehilangan ingatannya, dia memiliki kemampuan belajar yang kuat. Hanya satu minggu di Teknologi Jepson, Bourne sudah sangat puas dengan kinerja Elena.Dia tiba-tiba mendekati Elena, kemudian berbicara di telinga Elena sambil mengangkat alisnya. "Parfum apa yang kamu pakai? Baunya enak."Elena menutup telepon, menoleh tanpa menjauhkan tubuhnya. Dia mengangkat alisnya sambil tersenyum. "Eau de toilette-nya Dvlgari."Bourne mengangguk. "Belikan sebotol
Dia melirik ke arah Kaedyn. Mereka berdua selalu berselisih. Jika mereka tidak kerja sama, mereka tidak akan duduk bersama untuk bicara.Kaedyn melirik Bourne dengan dingin.Bourne menarik kursi, mendekati Kaedyn. "Apakah Pak Kaedyn keberatan kalau aku mengejarnya?"Bourne tidak memiliki prinsip "tidak berhubungan dengan wanita teman". Hubungan antara laki-laki dan perempuan itu tergantung masing-masing.Kaedyn berkata dengan suara rendah. "Kamu nggak bisa mendapatkannya."Bourne mendengus dingin. "Bagaimana kamu tahu aku nggak bisa mendapatkannya? Aku jauh lebih baik daripada kepribadianmu yang dingin."Bos lain tersenyum, tidak menyela topik pembicaraan.Kaedyn tersenyum tipis. "Dia tahu kamu punya simpanan."Bourne" "..."...Elena kembali dari membeli rokok. Dia mengambil satu untuk Bourne, menekan korek api, kemudian membungkuk untuk menyalakan rokok Bourne.Gaun merah memeluk pinggulnya yang menggoda.Kaedyn bersandar di kursi, memegang sebatang rokok di antara ujung jarinya tanp
Bourne dan Kaedyn memiliki gaya kerja yang berbeda.Kaedyn tidak melakukan apa pun selain bekerja sepanjang hari, sementara Bourne bisa menggabungkan kerja dan istirahat.Elena duduk di sofa sambil bermain gim memotong semangka di ponselnya.Pintu kamar tidur terbuka.Bourne yang tahu menyeimbangkan kerja dan istirahat, sedang bermesraan dengan simpanannya, Minnie.Sebagai sekretarisnya, Elena menunggu Bourne di sofa untuk menghadiri pesta bersama bosnya itu.Dia cukup berdedikasi.Bunyi derit kasur di kamar akhirnya berhenti.Elena tanpa sadar melihat arloji di pergelangan tangannya.Belum terlalu malam.Bourne menjepit rokok di bibirnya. Dia tampak dingin ketika membungkuk untuk mengambil celananya dari lantai, kemudian memakainya.Dua lengan ramping memeluk lengan Bourne. Suaranya lembut ketika bertanya, "Apakah kamu tinggal malam ini?"Minnie memandang tubuh berotot pria itu, lalu mengulurkan tangan untuk menyentuhnya.Bourne mengencangkan ikat pinggangnya, menjauhkan tangan Minnie
Elena tersenyum sembari membalas, "Nona Briana."Bourne dan Brandon duduk, Elena berdiri di belakang sofa, tidak mengganggu obrolan mereka.Di tempat seperti ini, Elena yang hanya merupakan seorang sekretaris, tidak boleh duduk bersama mereka.Brandon melihat kalung yang dipegang Briana. "Kenapa kamu nggak memakainya?""Kalian datang terlalu cepat. Aku hendak meminta Kak Nathan membantuku memakaikannya." Nada Briana terdengar manis dan manja, tetapi tidak menyebalkan. "Sayang sekali."Brandon merasa geli. "Apakah aku punya kehormatan membantu Nona Briana memakaikan kalung itu?""Nggak mau." Briana memutar matanya ke arah Brandon, kemudian menarik lengan baju Nathan. "Kak Nathan, bantu aku pakaikan, oke?"Elena berdiri di belakang sofa. Dia mendengar kata-kata manja Briana, lalu melirik ke arah Nathan.Kerah pria itu sedikit terbuka. Dia meletakkan rokoknya di dalam asbak, kemudian mematikannya. "Aku mau ke kamar mandi."Briana tidak berkecil hati, dia mengangkat bahu. "Kak Nathan benar
Tempat parkir makin sepi.Suara napas pria dan wanita terdengar sangat jelas.Nathan menjauh sedikit, kancing kemeja bagian dadanya telah dibuka.Rautnya tampak dingin dan agak marah.Nathan menunduk, menatap tatapan Elena yang linglung.Tadi Elena memanggil Nathan dengan Kaedyn.Tatapan Nathan tampak dalam.Dia menggendong Elena."Buka pintunya."Suara Nathan terdengar serak dan dingin.Pengawal itu berlari mendekat, kemudian membuka pintu mobil tanpa berani melihat ke arah Nathan dan Elena.Nathan menggendong Elena ke dalam mobil, kemudian duduk."Ke Victoria Residence."Kompleks apartemen yang dihuni Elena bernama Victoria Residence.Mobil menyala, kemudian melaju keluar dari tempat parkir.Lampu jalan di luar menyinari mobil.Terang dan gelap bergantian.Nathan menatap wanita yang ada di dalam pelukannya, kemudian mengusap bibir merah Elena.Mobil tiba di lantai bawah Victoria Residence.Janine baru saja pulang. Dia melihat mobil Nathan dan merasa pelatnya tampak familier. Dia berj
"Sedikit."Janine pergi mencari obat pereda sakit kepala.Setelah Elena selesai mandi, dia berjalan ke ruang tamu lalu duduk. Dia minum obat, kemudian menggosok pelipisnya dengan tidak nyaman.Janine menuangkan segelas air untuknya. "Kak El, apakah kamu merasa nggak nyaman?""Hm, beri aku satu masker wajah." Elena mengambil masker wajah, menempelkannya di wajahnya, kemudian memeluk bantal.Mata Janine tertuju pada cupang di leher putih Elena. "Kak El, apakah kamu tahu siapa yang mengantarmu pulang malam ini?""Hm.""Kalau begitu kamu dan Kak Nathan ...?""Aku salah orang karena minum terlalu banyak.""...""Cepat tidur, ini sudah larut." Elena menyentuh kepala Janine, kemudian berjalan ke kamar tidur dengan masker di wajahnya.Dia menutup pintu kamar tidur, menarik napas dalam-dalam, kemudian membuka laci.Elena mengambil foto Joshua yang berdarah itu.Malam ini hampir saja ....Maaf, Josh, aku salah.Elena menyimpan foto-foto itu, kemudian mengeluarkan ponselnya untuk mengirim pesan k