Zahra berpikir apakah dia harus menunggu Elena di Victoria Residence.Namun, dia menolak gagasan itu."Jangan cemas, Luna." Zahra menyuruh putrinya untuk tidak khawatir, lalu dia mengeluarkan ponselnya."Karena kita nggak bisa menemuinya di rumahnya, pasti ada tempat lain. Aku akan bertanya kepada seseorang."Tak lama kemudian orang asing di ujung telepon membalas pesan Zahra."Bu Elena adalah karyawan Teknologi Jepson, sekretaris CEO."Zahra agak terkejut mendapati Elena bekerja di Jepson.Kebetulan."Aku akan menemuinya di Teknologi Jepson sekarang.""Ibu, bagaimana kalau Elena menolak untuk mengeluarkan uangnya?" tanya Luna dengan cemas."Jangan khawatir, dia akan setuju." Zahra tersenyum lalu berkata dengan datar. "Kalau dia nggak mau malu, dia akan setuju untuk mengeluarkan uangnya."Zahra rela mempertaruhkan segalanya demi putri kecilnya.Luna bersandar di bahu Zahra, terisak sambil bersikap manja. "Ibu memang baik padaku."...Elena menerima panggilan telepon dari resepsionis ya
"..."Zahra menarik napas dalam-dalam. Sepertinya dia tidak bisa membuat Elena berkompromi dengan budi jasa."Elena, bagaimanapun juga, Luna adalah adikmu. Kalau kamu nggak membantu, dia akan menikah dengan pria yang tiga puluh tahun lebih tua darinya. Nggak bisakah kamu membantunya?""Toh bukan adik kandung. Bagus juga menikah dengan pria yang lebih tua, dia akan disayangi." Elena tersenyum, sama sekali tidak iba.Zahra sangat tidak senang, sikapnya menjadi dingin. "Intinya kamu nggak mau bantu ya?""Ya." Elena mengangguk."Kalau begitu, jangan salahkan aku bersikap kejam."Zahra memandang Elena dengan tatapan rumit, kemudian dia berkata dengan nada dingin. "Kalau kamu nggak mau semua orang tahu kamu pernah dilecehkan oleh dekan panti asuhan, berikan empat belas triliun kepada Keluarga Henzel."Ekspresi santai Elena memudar. "Apa katamu?"Dia bahkan tidak memanggil "Bu Zahra" lagi.Zahra berkata dengan nada dingin. "Meskipun kamu kehilangan ingatan, beberapa hal pernah terjadi. Kenyat
Elena tidak melewatkan tatapan bersalah Zahra.Dia dengan berani menebak, "Dekan yang mengirim foto itu kepadamu, 'kan?"Zahra tidak menjawab pertanyaan Elena. "Jangan pedulikan bagaimana aku mendapatkan foto ini. Intinya, apakah kamu sudah mempertimbangkannya?"Elena terdiam, lalu tersenyum, "Kalau begitu jawab pertanyaanku dulu.""Aku nggak tahu siapa yang mengirimkannya kepadaku," jawab Zahra dengan dingin. "Aku juga lupa tahun berapa foto ini dikirim."Elena melihat ke bawah. "Biarkan aku memikirkannya selama dua hari."Melihat Elena menunjukkan tanda-tanda kompromi, Zahra tersenyum tipis lalu berkata, "Enam triliun sudah cukup untukmu hidup nyaman. Tenang saja, aku nggak akan menyebarkan fotonya.""Kamu pulang dulu, aku harus bekerja." Sikap Elena dingin.Setelah Zahra mendapatkan jawabannya, dia pun membawa tasnya pergi tanpa tinggal lebih lama. Foto itu untuk Elena.Ruang rapat tersisa Elena.Sangat hening.Dia tiba-tiba terkekeh.Sebenarnya Elena punya tebakan lain.Apa pun teb
Mereka berdua tidak terlalu mengenal satu sama lain. Nina agak kesal pada awalnya, tetapi ketika dia membeli sesuatu, lalu Elena pergi untuk menggesek kartu, dia menjadi senang.Doreen tidak menyangka akan bertemu Elena."Bu Elena, aku ingin membeli gaun ini. Pergi bayar."Ketika Elena pergi untuk menggesek kartu, Nina mengambil gaun itu, kemudian bercermin lagi.Doreen melihat rok yang ada di tangan Nina sambil tersenyum padanya. "Gaunnya sangat indah."Nina berbalik, kemudian melihat seorang wanita mengenakan kacamata hitam yang tampak familiar. "Terima kasih.""Apakah kamu teman Elena?""Kamu kenal Bu Elena? Kami bukan teman. Dia adalah sekretarisnya priaku."Mata Doreen sedikit berkedip.Elena benar-benar menyedihkan, bisa-bisanya dia menemani pacar bosnya berbelanja.Elena kembali setelah membayar tagihan. Ketika dia melihat Doreen, dia berpura-pura tidak mengenal Doreen.Dia memandang Nina sembari bertanya, "Nona Lina, apakah kamu masih ingin berbelanja?"Nina masih ingin berbela
Begitu Nathan meletakkan tangannya pada kancing bra Elena, ponsel Elena berdering.Nathan ingin mematikannya.Namun, Elena menghentikannya.Itu adalah panggilan telepon dari Janine.Janine mengajak Elena untuk pergi ke tempat biliar.Teman paling penting.Pria bisa mundur untuk sementara.Elena mengiakan ajakan Janine. Setelah menutup telepon, dia berhasil membujuk Nathan yang memasang ekspresi masam untuk pergi.Dia segera mengganti roknya dan pergi ke ruang biliar untuk menemui Janine."Kak El, di sini."Janine melambaikan tangan kecilnya.Ruang biliar telah dipesan oleh Janine malam ini.Pria dan wanita, semuanya memakai pakaian dan aksesoris bermerek.Orang-orang di tempat itu adalah anak orang kaya dalam lingkaran sosial tersebut.Elena melirik mereka. Dia pernah melihat beberapa orang-orang ini ketika dia menemani Kaedyn ke jamuan makan sebelumnya.Sebenarnya ketika Elena tiba di ruang biliar, ada dua pria menerima kabar tersebut.Salah satunya adalah Nathan yang dibujuk kembali
Kemeja hitam lengan pendek, celana hitam.Mamba hitam di lengannya terlihat.Dia menoleh ke arah Elena.Elena tersenyum lalu berkata, "Tuan Nathan, kamu nakal sekali."Elena jelas membujuk Nathan untuk kembali ke hotel, tetapi pria ini malah datang menjemputnya.Lampu jalan menyinari wajahnya yang cerah.Jantung Kaedyn yang duduk di dalam mobil berdebar kencang. Dia memerintahkan sopir dengan suara serak. "Jalan."Sebuah mobil melaju, melewati pintu masuk tempat biliar.Ada seorang pria yang menggendong seorang wanita di punggungnya.Nathan menahan pantat Elena, menggendongnya dengan mantap. Punggungnya terasa hangat.Punggung Nathan lebar.Napas Elena menerpa telinganya.Nathan menoleh untuk melihat Elena. "Pulang?"Elena tiba-tiba memonyongkan bibir merahnya. "Cium dulu."Nathan mengeluarkan kekehan seksi.Tangannya yang ada di pinggul Elena menegang sejenak, kemudian mengendur. "Jangan cari mati, wanita."Elena menutup mulutnya, lalu tertawa terbahak-bahak.Ucapan taipan yang klasik
Nathan, yang dadanya ditusuk, membuka matanya tanpa daya.Dia terlihat sedikit malas.Dia membangunkan Elena yang ada di dalam pelukannya. "Kamu sudah mau terlambat."Semalam mereka bertarung hingga akhir.Elena benar-benar tidak tahan lagi, jadi dia membuat alasan ada rapat besok pagi agar Nathan berhenti.Elena yang semula ingin lanjut tidur terpaksa bangun karena panggilan telepon Bourne.Bourne mendesaknya untuk pergi ke perusahaan lebih awal hari ini.Orang-orang dari Grup Burchan datang ke perusahaan.Hubungan antara Jepson dan Grup Burchan adalah persaingan sekaligus kerja sama."Kamu nggak mau kerja, ingin aku nafkahi?"Nathan sudah bangun. Dia mengancing kemeja sambil melihat Elena.Elena menyipitkan matanya lalu menguap. "Nggak perlu."Dia bangun sambil memegang selimut.Nathan memakai arlojinya, berjalan mendekat, kemudian menaikkan tali Elena yang melorot dari bahu.Ujung jari Nathan yang sedikit panas menyentuh bahu mulus Elena.Elena gemetar, lalu segera turun dari tempat
Setelah selesai membahas bisnis, dia mulai mengkritik orang.Semua orang tahu bahwa Bourne adalah musuh Kaedyn.Mereka tidak menyukai satu sama lain."Informasi Pak Bourne sangat cepat. Aku sampai curiga ada orang Pak Bourne di Grup Burchan."Kaedyn berkata dengan tenang."Kalau begitu kamu curiga saja." Bourne menyeringai. "Bu Elena, aku lapar. Ayo makan. Apakah Pak Kaedyn mau ikut dengan kami?"Kaedyn mengangguk. "Oke."Bourne mengangkat sebelah alisnya. Dia hanya berbasa-basi.Elena mengirim lokasi restoran itu ke Martin, lalu mereka berkendara ke restoran, Elena dan Bourne naik mobil lain.Elena menelepon restoran untuk melaporkan jumlah orang yang bertambah."Aneh, kenapa Kaedyn tiba-tiba mau makan bersama kita?"Bourne menunggu Elena menutup panggilan telepon sebelum berkomentar.Dia mengunyah permen karet sambil menatap Elena.Elena menjawab dengan malas. "Nggak tahu."Mata Bourne tertuju pada leher Elena, lalu dia tersenyum penuh arti. "Sepertinya Bu Elena mengalami malam yang