"Hah?" Ucapan Luther membuat semua orang tercengang. Secara logika, bukankah dia seharusnya berusaha menahan sambil menangis dan menyesal? Apa maksudnya ucapannya tadi? Pria ini benar-benar tidak bisa ditebak!"Luther, apa-apaan kamu ini? Sengaja mau membuat kakak seniorku marah?" Xena memelototi Luther. Dia menyuruh Luther untuk menahan kakak seniornya, kenapa sekarang malah jadi mengusir orang? Sialan."Kamu, kamu ... benar-benar menindas orang!" Setelah bereaksi, Claudia semakin marah. Saat ini dia tidak peduli lagi dengan citranya. Claudia langsung menghunuskan pedang seolah-olah ingin membunuh orang. Sejak kapan dia pernah dipermainkan seperti ini? Ini benar-benar penghinaan!"Sedang apa kalian?" Tiba-tiba terdengar suara yang berwibawa. Semua orang menoleh ke arah sumber suara dan melihat seorang wanita berusia 40-an yang mengenakan pakaian tradisional yang diikuti oleh seorang wanita tua.Wanita yang lebih muda itu tubuhnya agak berisi dan memesona. Tatapannya sangat tajam, memb
Claudia mendengus, lalu ikut melangkah masuk."Memang guru nggak berkualitas akan menghasilkan murid jelek juga," gumam Luther seraya menggeleng. Dia tiba-tiba paham mengapa Claudia bisa seangkuh itu. Dengan ketua sesombong ini, apa lagi yang bisa diharapkan dari para muridnya?"Anu, guruku memang agak ketus, kamu jangan keberatan ya." Xena merasa agak canggung."Lupakan saja, aku nggak akan perhitungan dengan wanita." Luther melambaikan tangannya. Dia berkata demikian karena menghargai Xena. Kalau tidak, Luther sudah mengusir sekelompok orang itu sedari awal. Membayar utang dalam bentuk materi masih tergolong mudah, tapi sulit sekali membayar utang budi seseorang. Lantaran berutang budi pada Ronald, Luther terpaksa menebusnya kepada keluarga Ronald."Baguslah," kata Xena menghela napas. Setelah itu, dia mengalihkan topiknya, "Oh ya, karena kamu lebih mengenal tempat ini, aku mau tanya satu hal. Apa kamu pernah mendengar tentang Kitab Hawa?""Kitab Hawa? Apaan itu?" Luther mengerutkan
Pukul 8 malam, Café La'vie.Ariana duduk di kursi yang berdekatan dengan jendela. Kedua tangannya memegang cangkir kopi sambil melihat rintik hujan di luar. Perasaannya sangat kalut saat ini. Wajahnya yang cantik menyimpan kelelahan dan kesedihan. Sejak kemarin malam, Ariana jadi tidak fokus dan suasana hatinya sangat buruk.Sosok Luther terus membayang dalam benaknya, begitu juga dengan segala kejadian di masa lalu. Ariana sudah berusaha untuk menebus kesalahannya. Namun, sebesar apa pun usahanya, sepertinya hubungannya dan Luther hanya terus memburuk.Lambat laun, Ariana menyadari bahwa Luther mulai tidak peduli lagi terhadapnya. Ariana bukan lagi pusat perhatian Luther. Pria itu tidak lagi terus memikirkannya. Apalagi setelah melihat tatapan Luther yang beringas kemarin malam, Ariana bahkan merasa ketakutan. Sepertinya, Luther dan dirinya memang sudah menjadi musuh.Ding, ding ....Pada saat ini, lonceng angin di pintu café berbunyi. Ariana menoleh ke arah pintu secara refleks, kemu
"Tunggu dulu!" teriak Ariana sambil menyusul Luther dan menarik pundaknya. "Apa kamu harus begitu? Apa nggak bisa bicarakan baik-baik?""Menurutku nggak perlu lagi. Sia-sia saja dibicarakan lagi. Lagi pula, aku sangat sibuk. Kita nggak usah saling menghabiskan waktu satu sama lain." Luther malas berbicara lebih lanjut lagi, sehingga dia langsung berjalan ke arah pintu."Nggak boleh pergi!" Tiba-tiba Ariana memeluk pinggang Luther dari belakang dengan erat. Gerakannya ini sangat berani. Bagi Ariana yang selama ini bersikap dingin, butuh keberanian besar untuk melakukan hal ini."Aku nggak izinkan kamu pergi!" Ariana kembali memeluk dengan erat hingga pipinya menempel di punggung Luther. Kemudian, dia bergumam, "Anggap saja masalah ini adalah kesalahanku, ya? Aku benar-benar takut akan kehilangan kamu. Kita baikan saja, ya? Aku nggak akan keras kepala dan memukulmu lagi, aku bersumpah.""Aku rela melakukan apa pun, asalkan kamu tetap bersamaku. Aku bisa melepaskan kemewahan, kekuasaan, k
Keesokan paginya di Vila Embun, Luther duduk di atap sambil melihat matahari terbit. Wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun. Sejak perpisahannya dengan Ariana semalam, Luther terus duduk di atap, tidak bergerak sama sekali. Dari tengah malam hingga senja, sampai matahari terbit.Emosinya tetap seperti sebelumnya, tanpa perubahan apa pun. Setelah berpikir semalaman, Luther sudah melepaskan banyak hal. Dia tidak lagi berkelit dengan masa lalu."Tuan Luther ...," panggil Johan yang tiba-tiba muncul di atap. Dia melapor, "Kami baru dapat kabar tentang keberadaan Kitab Hawa yang Anda cari.""Oh ya? Ada di mana?" tanya Luther."Ada di tangan sekelompok pedagang asing. Kami sudah menyelidikinya, mereka tidak mau menjualnya. Katanya mau bicara secara langsung," balas Johan."Mau bicara langsung?" Luther mengangguk. "Boleh juga, panggil Xena. Kita pergi sama-sama.""Baik!" Setelah menanggapi perintah Luther, Johan melompat turun dari atap lagi.Satu jam kemudian di pintu depan Restoran Makmur
Xena mengernyit saat bertanya, "Apa maksudmu? Bukannya kamu mau langsung menjualnya pada kami?""Belakangan ini banyak sekali orang yang mencari tahu Kitab Hawa, aku juga kesulitan menentukan pembelinya. Jadi, aku mengundang semuanya untuk bertemu secara langsung dan membahas harganya agar lebih adil," ujar Shafri menjelaskan."Adil?" Luther menggeleng sambil tertawa, "Bos Shafri benar-benar pandai bicara. Kamu bisa membuat pelelangan terdengar begitu indah." Jika dia mengundang semua pembeli untuk bertemu langsung, sama saja dengan menyuruh mereka untuk bersaing harga. Dengan demikian, harga Kitab Hawa juga akan naik berkali-kali lipat. Ini benar-benar rencana yang bagus."Anda terlalu memuji. Aku ini hanya pedagang biasa, tentu saja berharap bisa dapat lebih banyak untung." Shafri masih tetap tersenyum seperti sebelumnya. Ekspresinya tetap tidak berubah bahkan setelah disindir oleh Luther. Hal ini membuktikan bahwa Shafri punya mental yang cukup kuat."Huh! Aku paling nggak suka deng
"Hei, kuperingatkan jangan bertindak sembarangan!" Melihat gerakan Luther yang seolah-olah mau memukulnya, Venick kaget hingga mundur beberapa langkah. Dia tidak membawa pengawal hari ini, hanya ada beberapa wanita cantik yang menemaninya. Sulit sekali baginya untuk berhadapan dengan pria kasar ini."Para tamu sekalian, mohon jaga perdamaian." Melihat situasi yang kurang bagus, Shafri langsung tersenyum melerainya, "Tujuan kedatangan kita hari ini adalah untuk berbisnis, jangan sampai merusak suasana hati kalian. Kalau ada masalah, bisa dibicarakan pelan-pelan.""Baiklah, kalau Bos Shafri sudah angkat bicara, aku akan menghargaimu." Luther mengangguk, lalu kembali duduk di kursinya. Hari ini mereka datang demi Kitab Hawa, memang tidak terlalu baik jika Luther bersikap kasar. Cecunguk seperti Venick ini bisa dihabisi kapan saja."Huh! Kukira sehebat apa kamu, ternyata hanya berlagak saja!" Venick mencibir. Dia mengira Luther takut akan statusnya sehingga tidak berani turun tangan."Paka
Orang-orang di sekitarnya mulai melihat penampilan Xena dari atas hingga ke bawah."Huh! Memangnya sudah hebat ya bisa menawar 2 triliun? Aku tawar 3 triliun!" ucap Venick kembali bersaing harga. Keluarga Warsono bergelimang harta, apalagi belakangan ini dia mendapat rezeki durian runtuh sebanyak beberapa triliun. Saking kayanya, Venick sudah bingung menghambur-hamburkan uangnya."Aku tawar 4 triliun!" Xena tidak mau mengalah. Istana Hawa bisa mengeluarkan dana sekitar 10 triliun. Asalkan bisa mendapatkan Kitab Hawa, tidak masalah jika mereka harus menghabiskan 10 triliun."Wah, mau bersaing denganku? Aku mau lihat seberapa hebatnya dirimu. Aku tawar 6 triliun!" ujar Venick kembali dengan yakin. Setelah mendengar penawaran harganya, beberapa tamu lainnya memilih untuk menyerah dan meninggalkan tempat itu.Meski Kitab Hawa adalah benda berharga, benda itu punya kelemahan terbesar, yaitu hanya bisa digunakan kaum wanita. Tidak masalah kalau hanya menghabiskan ratusan miliar untuk menghib