Kemungkinannya hanya satu, yaitu Xena dan rombongannya sudah tiba di Jiman sejak awal. Xena pun tidak membantah. Dia mengamati sekeliling, lalu berkata, "Tebakanmu benar, kami datang karena ada misi penting. Lingkungan tempat ini bagus juga, luas lagi. Apa kami boleh menginap di sini untuk sementara waktu?""Boleh saja, lagian masih ada banyak kamar kosong di sini. Aku akan menyuruh orang mengaturnya," jawab Luther langsung. Entah karena merasa bersalah atau alasan lainnya, Luther sulit untuk menolak permintaan wanita ini."Huh! Baik juga kamu!" Xena mengangguk dengan puas, lalu melemparkan sebutir pil merah sembari berkata, "Ini Pil Peningkat Energi, bisa mengisi kembali energimu, meningkatkan energi internal, juga meningkatkan basis kultivasi. Cocok untuk kamu yang terluka barusan.""Terima kasih," sahut Luther sambil tersenyum tipis. Bisa dilihat bahwa wanita ini tidak berniat jahat."Nggak usah berterima kasih, itu biaya sewaku." Setelah melontarkan itu, Xena mengeluarkan ponsel un
"Nona, ini wilayahku. Aku yang membuat keputusan di sini," ucap Luther sambil menjulurkan satu jarinya untuk menyingkirkan pedang yang begitu dekat dengannya. Kemudian, dia meneruskan dengan tidak acuh, "Kalau aku mengizinkan, berarti kalian boleh tinggal. Kalau nggak, berarti kalian harus pergi. Paham?""Lancang sekali! Memangnya kamu berani menolakku? Aku adalah murid utama Istana Hawa, wanita yang dikagumi oleh semua orang! Apa kamu tahu ada berapa banyak pemuda tampan dan cerdas yang mengejarku? Aku sedang memberimu kesempatan, jangan bersikap nggak tahu diri!" bentak Claudia yang memelotot.Dengan identitas Claudia, dia selalu disanjung tidak peduli pergi ke mana pun. Ada banyak orang yang berusaha memikirkan cara untuk mendekatinya dan tidak ada yang berani membantahnya."Maaf, tapi aku bukan para pria penjilat itu. Aku juga nggak mengagumimu, jadi jangan terlalu percaya diri," timpal Luther dengan tidak acuh."Kamu!" Claudia menggertakkan giginya dengan murka. Pria mana yang tid
"Kalau kamu nggak percaya, silakan pulang saja," ujar Luther yang malas berdebat dengannya. Dia langsung mengusir wanita yang luar biasa narsis itu."Kamu mau main tarik ulur ya? Kekanak-kanakan sekali." Claudia tersenyum sembari menggeleng, "Bisa saja kalau kamu mau main begitu, aku akan meladenimu. Semoga kamu nggak menyesal, ayo kita pergi!" Sambil berbicara, Claudia melangkah keluar."Huh! Sudah diberi kesempatan malah nggak mau dimanfaatkan. Sekarang Kak Claudia sudah marah, kamu nggak sempat menyesalinya lagi!"Kalau tahu diri, cepat minta maaf pada Kak Claudia. Mungkin dia masih bisa memaafkanmu."Para murid Istana Hawa mulai mengejek dengan arogan. Mereka seakan-akan bisa membayangkan ekspresi Luther yang menangis tersedu-sedu. Namun di sela candaan, mereka mulai menyadari ada yang aneh. Pasalnya, Luther kelihatan terlalu tenang. Bahkan setelah Claudia berjalan keluar dari ruangan, dia juga sama sekali tidak bereaksi, seolah-olah tidak peduli."Hei, aku benaran pergi ya!" Saat
"Hah?" Ucapan Luther membuat semua orang tercengang. Secara logika, bukankah dia seharusnya berusaha menahan sambil menangis dan menyesal? Apa maksudnya ucapannya tadi? Pria ini benar-benar tidak bisa ditebak!"Luther, apa-apaan kamu ini? Sengaja mau membuat kakak seniorku marah?" Xena memelototi Luther. Dia menyuruh Luther untuk menahan kakak seniornya, kenapa sekarang malah jadi mengusir orang? Sialan."Kamu, kamu ... benar-benar menindas orang!" Setelah bereaksi, Claudia semakin marah. Saat ini dia tidak peduli lagi dengan citranya. Claudia langsung menghunuskan pedang seolah-olah ingin membunuh orang. Sejak kapan dia pernah dipermainkan seperti ini? Ini benar-benar penghinaan!"Sedang apa kalian?" Tiba-tiba terdengar suara yang berwibawa. Semua orang menoleh ke arah sumber suara dan melihat seorang wanita berusia 40-an yang mengenakan pakaian tradisional yang diikuti oleh seorang wanita tua.Wanita yang lebih muda itu tubuhnya agak berisi dan memesona. Tatapannya sangat tajam, memb
Claudia mendengus, lalu ikut melangkah masuk."Memang guru nggak berkualitas akan menghasilkan murid jelek juga," gumam Luther seraya menggeleng. Dia tiba-tiba paham mengapa Claudia bisa seangkuh itu. Dengan ketua sesombong ini, apa lagi yang bisa diharapkan dari para muridnya?"Anu, guruku memang agak ketus, kamu jangan keberatan ya." Xena merasa agak canggung."Lupakan saja, aku nggak akan perhitungan dengan wanita." Luther melambaikan tangannya. Dia berkata demikian karena menghargai Xena. Kalau tidak, Luther sudah mengusir sekelompok orang itu sedari awal. Membayar utang dalam bentuk materi masih tergolong mudah, tapi sulit sekali membayar utang budi seseorang. Lantaran berutang budi pada Ronald, Luther terpaksa menebusnya kepada keluarga Ronald."Baguslah," kata Xena menghela napas. Setelah itu, dia mengalihkan topiknya, "Oh ya, karena kamu lebih mengenal tempat ini, aku mau tanya satu hal. Apa kamu pernah mendengar tentang Kitab Hawa?""Kitab Hawa? Apaan itu?" Luther mengerutkan
Pukul 8 malam, Café La'vie.Ariana duduk di kursi yang berdekatan dengan jendela. Kedua tangannya memegang cangkir kopi sambil melihat rintik hujan di luar. Perasaannya sangat kalut saat ini. Wajahnya yang cantik menyimpan kelelahan dan kesedihan. Sejak kemarin malam, Ariana jadi tidak fokus dan suasana hatinya sangat buruk.Sosok Luther terus membayang dalam benaknya, begitu juga dengan segala kejadian di masa lalu. Ariana sudah berusaha untuk menebus kesalahannya. Namun, sebesar apa pun usahanya, sepertinya hubungannya dan Luther hanya terus memburuk.Lambat laun, Ariana menyadari bahwa Luther mulai tidak peduli lagi terhadapnya. Ariana bukan lagi pusat perhatian Luther. Pria itu tidak lagi terus memikirkannya. Apalagi setelah melihat tatapan Luther yang beringas kemarin malam, Ariana bahkan merasa ketakutan. Sepertinya, Luther dan dirinya memang sudah menjadi musuh.Ding, ding ....Pada saat ini, lonceng angin di pintu café berbunyi. Ariana menoleh ke arah pintu secara refleks, kemu
"Tunggu dulu!" teriak Ariana sambil menyusul Luther dan menarik pundaknya. "Apa kamu harus begitu? Apa nggak bisa bicarakan baik-baik?""Menurutku nggak perlu lagi. Sia-sia saja dibicarakan lagi. Lagi pula, aku sangat sibuk. Kita nggak usah saling menghabiskan waktu satu sama lain." Luther malas berbicara lebih lanjut lagi, sehingga dia langsung berjalan ke arah pintu."Nggak boleh pergi!" Tiba-tiba Ariana memeluk pinggang Luther dari belakang dengan erat. Gerakannya ini sangat berani. Bagi Ariana yang selama ini bersikap dingin, butuh keberanian besar untuk melakukan hal ini."Aku nggak izinkan kamu pergi!" Ariana kembali memeluk dengan erat hingga pipinya menempel di punggung Luther. Kemudian, dia bergumam, "Anggap saja masalah ini adalah kesalahanku, ya? Aku benar-benar takut akan kehilangan kamu. Kita baikan saja, ya? Aku nggak akan keras kepala dan memukulmu lagi, aku bersumpah.""Aku rela melakukan apa pun, asalkan kamu tetap bersamaku. Aku bisa melepaskan kemewahan, kekuasaan, k
Keesokan paginya di Vila Embun, Luther duduk di atap sambil melihat matahari terbit. Wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun. Sejak perpisahannya dengan Ariana semalam, Luther terus duduk di atap, tidak bergerak sama sekali. Dari tengah malam hingga senja, sampai matahari terbit.Emosinya tetap seperti sebelumnya, tanpa perubahan apa pun. Setelah berpikir semalaman, Luther sudah melepaskan banyak hal. Dia tidak lagi berkelit dengan masa lalu."Tuan Luther ...," panggil Johan yang tiba-tiba muncul di atap. Dia melapor, "Kami baru dapat kabar tentang keberadaan Kitab Hawa yang Anda cari.""Oh ya? Ada di mana?" tanya Luther."Ada di tangan sekelompok pedagang asing. Kami sudah menyelidikinya, mereka tidak mau menjualnya. Katanya mau bicara secara langsung," balas Johan."Mau bicara langsung?" Luther mengangguk. "Boleh juga, panggil Xena. Kita pergi sama-sama.""Baik!" Setelah menanggapi perintah Luther, Johan melompat turun dari atap lagi.Satu jam kemudian di pintu depan Restoran Makmur