Saat ini, di Vila Embun, beberapa mobil yang dipenuhi bekas tembakan dan asap hitam berhenti di depan. Begitu pintu mobil dibuka, Bianca, Ronald, dan lainnya segera keluar."Nona, kamu baik-baik saja, 'kan?" tanya Ronald dengan cemas. Entah berapa banyak peluru yang menembak mobil mereka saat menerobos kepungan barusan."Aku baik-baik saja, cepat utus orang untuk membantu Luther," desak Bianca."Oh, Nona benar." Ronald buru-buru berteriak, "Kerahkan semua anggota Faksi Kirin. Ambil senjata kalian masing-masing. Kalian harus selamatkan Tuan Luther!""Baik!" Anggota kepercayaan Ronald segera mengiakan, lalu berlari masuk untuk memanggil orang. Tidak berselang lama, sekelompok anggota Faksi Kirin langsung menyerbu ke Gunung Akua."Nona, Tuan Luther sangat kuat, apalagi ada begitu banyak orang yang membantunya. Dia pasti akan baik-baik saja. Kamu istirahat dulu di vila ini." Ronald menyeka keringat, lalu membawa Bianca masuk ke ruang rapat."Ronald, sebenarnya Luther sudah menyinggung siap
"Nona Bianca, cepat lari!" Ronald menggertakkan giginya sambil menghunuskan pedangnya untuk membuka jalan demi Bianca. Bianca juga tidak berani ragu-ragu, dia langsung berlari keluar dari ruang rapat. Saat berbalik melihat situasinya lagi, Ronald dan beberapa orang lainnya telah terbaring dalam genangan darah."Tangkap wanita itu, jangan biarkan dia lolos!" teriak Welton. Dalam hatinya sangat mengerti bahwa Bianca adalah kelemahan Luther. Kalaupun Luther tidak meninggal, dia masih menggunakan Bianca sebagai sandera."Kejar!" teriak sekelompok murid Aula Puma saat mengejarnya. Ronald yang tubuhnya telah bersimbah darah, tiba-tiba bangkit. Dia menerobos beberapa orang itu dan berlari hingga ke paling depan untuk menutup pintu ruang rapat."Nona Bianca, cepat lari!" teriak Ronald seraya menutup pintu."Sialan, cari mati kamu!" Welton sangat murka. Dia merebut pisau dari bawahannya, lalu menebas Ronald berulang kali. Namun, Ronald tetap bersikeras menutup pintu. Dia tidak mau melepaskan ta
"Ronald!" panggil Luther setelah bisa bereaksi. Ekspresinya berubah drastis. Dia buru-buru mengeluarkan jarum peraknya untuk mengunci titik meridian Ronald dan menghentikan darah. Namun, luka di tubuh Ronald terlalu banyak, darahnya sama sekali tidak bisa dihentikan.Melihat kondisi seperti ini, Luther bergegas menyalurkan energi sejati ke tubuh Ronald. Dia berusaha memperpanjang hidup Ronald untuk mencari secercah kesempatan agar bisa menyelamatkannya. Saat energi sejati memasuki tubuh, mata Ronald terbuka dengan perlahan-lahan."Tu ... Tuan Luther .... Akhirnya kamu kembali juga." Ronald bertanya dengan suara lirih, "No ... Nona Bianca ... baik-baik saja?""Nggak masalah, dia sangat aman." Luther memaksakan senyuman."Syukurlah ... kalau baik-baik saja." Ronald tersenyum tipis. "Tuan Luther, aku nggak ingkar janji. Sesuai perintahmu, aku telah ... melindungi Nona Bianca.""Ya, kamu sudah bekerja keras. Kamu telah menepati janjimu," kata Luther mengangguk. Meski sudah banyak sekali en
Setelahnya, ponsel Ronald tidak bisa dihubungi sama sekali. Lantaran merasa khawatir, istrinya langsung membawa putrinya untuk bergegas ke sini. Saat melihat darah di depan pintu, hatinya sudah tidak karuan."Kak Ronald! Kak Ronald, di mana kamu?" teriak wanita hamil itu. Namun, semua anggota Faksi Kirin hanya berdiri sambil menunduk, tidak bersuara sama sekali. Keheningan yang mencekam meliputi seluruh Vila Embun."Kak Ronald?" Saat wanita hamil itu tiba di depan pintu ruang rapat, dia langsung mematung di tempat. Jasad yang bermandikan darah di lantai itu suaminya? Wanita itu berjalan perlahan-lahan dengan tercengang. Dia tidak berani percaya dengan apa yang dilihatnya. Saat memastikan wajah Ronald, wanita itu baru menangis histeris karena tertampar kenyataan."Kak Ronald! Sadarlah .... Sadarlah! Buka matamu, lihat kami! Kenapa? Kenapa bisa begini?" Wanita hamil itu menangis tersedu-sedu. Air mata membanjiri wajahnya.Becca juga menangis, dia berlari ke hadapan Ronald dan mengguncang
Di sebuah vila mewah di timur kota. Welton sedang berbaring di sofa sambil merokok. Kakinya diangkat di meja teh. Pergelangan kakinya masih menggantung tangan Ronald yang bersimbah darah. Dua orang bawahannya sedang berjongkok di samping meja untuk melepaskan tangan itu dengan berhati-hati. Karena cengkeramannya terlalu kuat, kuku tangan itu telah menancap di kaki Welton."Sialan, pelan-pelan!" teriak Welton sambil menendang bawahannya karena kesakitan."Sudah hampir selesai," jawab bawahan itu. Setelah berusaha keras, mereka akhirnya berhasil melepaskan tangan itu."Ronald sialan, bahkan sudah mati pun nggak mau lepaskan tangannya. Apa perlu sampai begitu demi seorang bocah sialan?" maki Welton. Setelah Faksi Kirin berdiri, dia selalu menunggu kesempatan ini. Meski jabatannya sebagai ketua saat ini lumayan bagus, bahkan mendapat keuntungan yang lebih besar dibandingkan dulu, tidak berarti Welton rela bekerja di bawah orang lain.Selama ini, Welton adalah orang yang ambisius. Dia selal
"Kami menginginkan uang, tapi lebih menginginkan nyawamu! Kalau nggak menangkapmu hari ini, Ketua nggak akan mengampuni kami," kata pria kekar sambil menggeleng."Tuan Welton, cepat pergi! Serahkan di sini pada kami!" ujar beberapa bawahan kepercayaannya seraya bergerak maju. Mereka mengonfrontasi bawahan Aula Puma lainnya secara langsung."Setia kawan! Kalian harus bertahan!" Welton menepuk pundak beberapa orang itu, lalu membawa wanita itu untuk pergi."Bunuh!" teriak pria kekar seraya memimpin pasukan untuk menyerang. Beberapa bawahan kepercayaan Welton berusaha untuk melawan, tetapi tidak berhasil karena jumlah mereka terlalu banyak. Beberapa orang itu akhirnya tergeletak di tanah."Kejar!" Pria kekar tidak menunda-nunda, dia langsung mengejar Welton."Aduh ...." Pada saat ini, tiba-tiba kaki istri Welton terpelintir. Dia langsung terjatuh di lantai sambil berteriak, "Sayang, kakiku keseleo! Cepat gendong aku!""Sialan, kau benar-benar merepotkan!" Baru saja Welton hendak mengulurk
Di dalam mobil berwarna hitam yang sedang melaju, Luther bersandar di kursi sambil memejamkan matanya. Meski ekspresinya terlihat tenang, tatapan Luther memancarkan kilatan dingin saat membuka matanya sesekali karena guncangan mobil. Itu adalah tatapan beringas yang ingin membantai orang.Kring ....Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Begitu diangkat, ternyata itu adalah panggilan dari Johan. "Tuan Luther, Welton telah dihabisi. Sesuai perintah Anda, kini hanya tersisa kepalanya.""Ya," balas Luther dengan ekspresi datar."Tuan Luther, istri dan anak Welton sudah tertangkap juga. Mau bagaimana menangani mereka?" tanya Johan."Bunuh saja semuanya," balas Luther dengan tenang."Baik," jawab Johan."Ada satu hal lagi." Luther mengalihkan topik. "Suruh orang selidiki di mana Andrew sekarang.""Tuan Luther, latar belakang Andrew tidak sederhana, posisinya juga sangat tinggi. Apa Anda yakin mau berbuat begitu?" tanya Johan ragu-ragu."Aku nggak peduli dengan identitasnya. Orang yang membunuh teman
"Ariana, kenapa kamu masih saja nggak mengerti?" Helen melanjutkan dengan serius, "Kalau kamu menikah dengan Andrew, bukankah kamu akan mendapat semua yang kamu inginkan? Siapa lagi yang bisa menindasmu?""Aku bisa mengandalkan kemampuanku sendiri, nggak perlu menikah ke keluarga kaya." Ariana menggelengkan kepalanya."Anak ini benar-benar ...." Helen sangat kesal, tetapi tidak berdaya."Sudahlah, nggak ada gunanya dipaksakan. Jalani saja," kata Herlina menasihati. Saat ini, dia sudah merasa sangat gembira. Jika Ariana tidak menyukai Andrew, bukankah artinya Roselyn punya kesempatan?"Lihat, Jenderal Andrew sudah datang!" teriak Roselyn tiba-tiba. Semua orang melihat ke arah pintu depan. Muncul seorang pria berjas dengan wajah tampan. Andrew membawa sekelompok bawahannya berjalan dengan santai masuk ke ruangan itu.Para tamu lainnya langsung menyingkir saat Andrew berjalan di sisi mereka. Auranya yang kuat dan elegan itu menjadi pusat perhatian seisi ruangan."Lho, Jenderal Andrew, And