Saat ini, Larry yang sedari tadi diam akhirnya berbicara, "Cukup. Tuan Alan, kamu nggak seharusnya merusak aturan dunia persilatan. Karena mereka melangsungkan duel, nasib mereka tergantung pada kemampuan masing-masing.""Tapi, putraku ...." Alan masih ingin membantah, tetapi Larry meliriknya sekilas dan menyela, "Kenapa? Kamu ingin melanggar aturan?""Nggak, aku nggak berani," sahut Alan dengan geram. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya. Status Larry jelas-jelas begitu tinggi, tidak ada yang berani melawannya, termasuk Keluarga Oscario."Tuan Alan, sebaiknya cepat bawa putramu ke Lembah Obat. Mungkin, dia masih bisa diselamatkan," ujar Larry untuk memperingatkan."Pengawal! Cepat siapkan mobil!" Sesudah menyadari hal ini, Alan buru-buru menggendong putranya keluar dan tidak berani menunda sedikit pun.Sementara itu, anggota keluarga lainnya segera mengikuti. Dibandingkan dengan membalas dendam, mengobati Terry jelas lebih penting untuk sekarang."Sobat, kita bisa bicara sebentar?" ta
Di luar kediaman Keluarga Oscario, sebuah mobil Maybach melaju dengan kencang untuk mengusir sekelompok orang yang mengejar."Untung saja kita cepat. Kalau nggak, aku nggak punya waktu untuk mengobrol denganmu," ujar Larry sambil menoleh untuk menatap orang-orang yang tampak kesal itu. Pada saat yang sama, dia memuji dirinya yang berpikiran jauh ke depan."Seharusnya nggak separah itu," sahut Luther yang merasa agak heran mendengarnya."Hehe, sepertinya kamu masih belum mengetahui nilaimu sendiri." Larry menggeleng, lalu terkekeh-kekeh dan berkata, "Kemenangan barusan telah membuktikan kemampuan dan bakatmu. Di seluruh Jiman, generasi muda yang bisa bersanding denganmu bahkan nggak sampai 5 orang. Jadi, ada banyak sekte besar yang ingin merekrutmu sekarang.""Benar-benar merepotkan. Kalau tahu hasilnya begini, aku nggak akan memperlihatkan kekuatanku," balas Luther sambil menghela napas.Luther menantang Terry hanya untuk memperingatkan Keluarga Oscario agar tidak mengusiknya lagi. Dia
Luther tersenyum getir sambil berkata, "Baiklah, lagi pula hanya bertarung. Aku setuju."Semua hal yang bisa diatasi dengan kemampuan bela diri bukanlah masalah."Oke, kita sepakat!" seru Larry sambil tersenyum gembira."Tuan Larry, kamu sudah pensiun, kenapa masih mengurus aliansi?" tanya Luther tanpa daya."Ya, hatiku nggak akan pernah terlepas dari aliansi. Apalagi ketua sekarang adalah murid pertamaku, aku tentu senang bisa membantunya mencari kandidat yang berbakat," jawab Larry yang tersenyum."Tuan Larry memang berintegritas!" puji Luther sambil menangkupkan tangannya."Sudahlah, jangan menyanjungku. Mau ke mana? Aku akan mengantarmu," ujar Larry."Aku mau kembali ke Faksi Draco," jawab Luther.....Siang harinya, di Lembah Obat. Terry berbaring dengan wajah pucat pasi dan tubuh yang bercucuran keringat.Beberapa ahli obat yang mengenakan pakaian putih berdiri di samping sambil mengobatinya dengan hati-hati. Sementara itu, Alan hanya bisa menunggu dengan cemas. Dia tidak berani
Malam hari, di ruang kantor lantai 2 Sekolah Bela Diri Draco."Tuan Luther, kamu benar-benar keren hari ini! Kamu bukan hanya menjatuhkan Keluarga Oscario, tapi juga membuat Faksi Draco menjadi sangat terkenal! Semua anggota kita benar-benar mengagumimu sekarang!" puji Ronald sambil menuangkan teh untuk Luther. Dia benar-benar gembira.Sebelumnya, Ronald sangat mencemaskan pertarungan tersebut. Dia khawatir Keluarga Oscario akan membalas dendam jika Luther kalah. Tanpa diduga, ketuanya ini begitu luar biasa. Ketika semua orang mengira Luther akan kalah, dia justru berhasil mengalahkan Terry. Pertarungan itu pun membuatnya menjadi sangat terkenal!"Sudahlah, kamu terus mengulangi perkataan ini sejak tadi. Apa kamu bisa mengatakan hal lain?" ujar Luther yang merasa tidak berdaya.Sejak Luther pulang, Ronald terus menyanjungnya dengan berbagai cara. Pria ini melontarkan semua pujian yang ada di pikirannya. Orang yang tidak tahu mungkin akan mengiranya jatuh hati pada Luther."Tuan ingin d
"Bukti? Di mana buktinya?" tanya Ariana yang tertegun sesaat."Aku membawanya." Luther seperti telah membuat persiapan. Dia memperlihatkan kedua bukti yang ada sambil menjelaskan, "Ini adalah hasil otopsi yang bisa membuktikan kematian Keenan disebabkan oleh racun. Sementara itu, jarum hitam ini adalah senjatanya."Ariana mulai merasa ada yang aneh sehingga memeriksa dengan cermat. Luther melanjutkan, "Kalau kamu meragukanku, silakan cari orang untuk melakukan tes sendiri."Luther memang memiliki bukti, tetapi belum menemukan pelakunya. Jadi, masih sulit baginya untuk meyakinkan Ariana."Nggak perlu, aku percaya padamu." Ariana berkata dengan ekspresi yang tampak rumit, "Sebenarnya, aku tahu kamu bukan pelakunya. Masalah ini hanya kesalahpahaman.""Bagus kalau kamu berpikir begitu," ucap Luther sambil tersenyum."Maaf, aku sudah salah paham padamu sebelumnya. Tolong maklumi sikapku. Aku benar-benar sedih dan bingung dengan kematian adikku. Aku nggak tahu harus bagaimana," jelas Ariana.
"Kamu ... apa yang kamu lakukan?!" Ekspresi Ariana langsung berubah, tubuhnya mulai meronta-ronta. Guncangan dadanya semakin memikat."Kamu suka bermain, 'kan? Akan kuladeni sampai selesai!" kata Luther dengan wajah acuh tak acuh."Kamu sudah gila, ya? Hentikan sekarang juga!" teriak Ariana dengan marah."Masih mau berpura-pura? Kamu nggak sadar kulit wajahmu sudah terkelupas?" kata Luther."Apa?" Ariana memicingkan matanya, dia refleks mencoba menyentuh wajahnya. Namun, saat sedang menyentuh wajahnya, Ariana tiba-tiba menyadari kesalahannya. Terlepas dari apakah kulit wajahnya terkelupas atau tidak, refleksnya ini telah membongkar kebohongannya."Kukira aktingku sudah cukup bagus, nggak kusangka akan ketahuan secepat ini," kata "Ariana". Setelah itu, dia menghentikan aksinya dan melepas topeng wajahnya.Kini, wajah yang muncul di hadapan Luther adalah wajah seorang wanita asing. Parasnya tidak jelek, tetapi memiliki warna kulit yang sangat pucat. Terutama pada bagian matanya, wanita i
Sekelompok wanita bertopeng itu langsung menaruh pisau di leher Ariana. Ujung pisau yang tajam menyayat kulitnya, dan darah segar mulai menetes. Mereka terlihat cukup tegas, jika Luther berani bergerak, Ariana bisa tewas seketika. Luther mengernyit, lalu akhirnya melepaskan tangannya. Jumlah mereka terlalu banyak, dia tidak berani mengambil risiko dengan nyawa Ariana."Bagus," kata Zain dengan nada yang meyakinkan. "Luther, guruku bisa tertarik padamu, itu adalah kehormatan bagimu. Kamu hanya perlu menyetujuinya, kita akan menjadi keluarga. Tapi, kalau kamu berani menolak, bukan hanya kamu yang akan mati, semua orang di sekitarmu juga akan mati!""Apa harus sampai begini?" tanya Luther dengan ekspresi dingin."Ini adalah prinsip kami dalam menjalankan tugas. Orang-orang sepertimu yang tak bisa kami dapatkan, harus dihancurkan," kata Zain."Memangnya kalian sanggup membunuhku?" tanya Luther."Hehe ... aku tahu kamu hebat, tapi aku datang dengan persiapan," kata Zain sambil tertawa sinis
"Ugh ...." Tubuh Zain langsung menjadi kaku. Dia melihat wajah Maple yang masih tersenyum, lalu melihat dadanya yang telah tertancap pisau. Ekspresi Zain penuh dengan ketidakpercayaan. Dia tidak pernah menyangka bahwa adik junior yang tadinya masih tersenyum beberapa detik yang lalu, kini malah membunuhnya dengan begitu tegas. Maple bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun sebelumnya."Hm?" Melihat perubahan situasi yang begitu mendadak, Luther juga menjadi kebingungan. Padahal tadinya dia tidak menaruh harapan sama sekali. Tak disangka Maple malah benar-benar menganggap serius perkataannya. Bukan hanya menganggap serius, Maple bahkan melaksanakannya dengan begitu cepat.Hanya dalam sekali tusukan, Maple membunuh kakak seniornya sendiri. Apakah wanita ini memang sekejam itu? Atau terlalu gila?"Ke ... kenapa?" tanya Zain dengan bersusah payah sambil membelalakkan matanya. Wajahnya penuh dengan rasa kaget, marah, dendam, tidak rela, dan bingung. Dia benar-benar tidak mengerti mengap