"Nah, si idiot sudah datang." Begitu ucapan Helen dilontarkan, terlihat 3 orang memasuki Restoran Peach. Mereka tidak lain adalah Luther, Ariana, dan Roselyn."Malcom!" Begitu masuk, Roselyn langsung melirik ke sekeliling dan menemukan Malcom yang berada di ruang privat. Jadi, dia langsung menyerbu maju dengan marah."Roselyn, dengarkan penjelasanku dulu ...," ucap Malcolm sembari tersenyum meminta maaf. Ketika dia hendak berbicara, Roselyn sontak melayangkan tamparan kepadanya.Malcolm pun terperangah dibuatnya. Dia memegang pipinya dan tidak bisa bereaksi untuk sesaat. Di sisi lain, Herlina segera menegur, "Roselyn, kenapa kamu menampar orang sembarangan?""Ibu, kenapa kamu masih membelanya? Bukannya penipu ini memang pantas dihajar?" sahut Roselyn dengan kesal. Tidak masalah kalau Malcolm hanya mempermainkan perasaannya, tetapi pria ini malah menipu uangnya juga. Benar-benar kurang ajar!"Kamu sudah salah paham! Malcolm bukan penipu!" seru Herlina sambil buru-buru menarik Roselyn."
Ini baru pria sejati! Ini baru pahlawan!"Luther, kamu sangat beruntung hari ini. Kak Malcolm bersedia membeli rongsokan itu darimu, cepat berterima kasih padanya!" ucap Roselyn dengan bangga."Nggak perlu berterima kasih, kita ini teman. Aku juga nggak ingin melihatmu celaka. Kamu keluarkan sertifikat bangunannya saja, kita langsung transaksi sekarang juga," balas Malcolm sambil tersenyum."Memangnya aku sudah setuju untuk menjualnya?" tanya Luther tiba-tiba."Hah?" Malcolm termangu sejenak karena tidak menduga Luther akan berkata demikian.Roselyn juga tampak kebingungan. Dia tidak mengerti maksud Luther. Apakah pria ini sudah gila? Dia menolak uang untuk bangunan tidak berguna seperti itu?"Luther, apa kamu nggak mendengar jelas barusan? Bangunan mangkrak itu sama sekali nggak bernilai, jadi kenapa nggak menjualnya saja kepadaku?" bujuk Malcolm."Kalau memang nggak bernilai, kenapa kamu mau membelinya?" tanya Luther balik."Tentu saja demi kebaikanmu. Bagaimanapun, aku yang bersalah
Dalam perjalanan pulang, Ariana tampak ragu-ragu untuk berbicara. Luther tentu tahu sehingga dia tertawa dan berkata, "Tanyakan saja kalau ada yang kamu ingin tahu. Nggak usah ragu-ragu begini.""Aku bingung, kenapa kamu menolak Malcolm yang ingin membeli bangunan mangkrak itu? Lagi pula, semua orang tahu bangunan itu nggak bernilai. Kalau menjualnya, kamu nggak akan rugi sebesar itu," tanya Ariana yang penasaran.Sebelumnya, Ariana telah bersumpah tidak akan ikut campur dalam urusan Luther. Namun, dia tetap merasa sayang karena melihat Luther melewatkan kesempatan baik seperti ini."Kalau begitu, kenapa Malcolm bersikeras ingin membelinya?" tanya Luther balik."Bukannya dia sudah bilang, kalian berteman, dia nggak ingin mencelakaimu?" balas Ariana."Hehe. Kamu rasa Malcolm sebaik hati itu?" Luther tersenyum misterius, lalu melanjutkan, "Kalau dia memang bertanggung jawab, mana mungkin dia tiba-tiba menghilang sebelumnya.""Ini ...." Ariana mengerutkan dahinya seperti merenungkan sesua
"Nggak apa-apa, Bibi bisa tinggal di rumah yang lebih kecil. Anak muda seperti kalian menanggung beban yang lebih besar, sudah seharusnya kami membantu meringankan beban kalian," bujuk Helen."Aku nggak punya beban apa pun, kehidupanku sangat baik," timpal Luther.Keduanya terus bersahut-sahutan di telepon, tidak ada yang berkata jujur. Helen menganggap Luther sebagai idiot, jadi Luther pun memilih untuk berpura-pura bodoh.Sementara itu, Ariana yang duduk di samping kursi pengemudi sudah tidak tahan lagi. Kini, dia sudah memercayai ucapan Luther. Jika kebenarannya tidak seperti itu, ibunya tidak mungkin seramah ini.Semua yang dikatakan ibunya ini hanya omong kosong. Ketika hendak mencelakai Luther, Helen jelas-jelas tampak sangat senang.Sesudah mengetahui dirinya rugi, Helen tidak mengungkapkan kebenarannya, bahkan masih berpura-pura baik dengan ingin membeli kembali bangunan tersebut menurut harga jual sebelumnya. Benar-benar menjengkelkan!"Kenapa kamu begitu keras kepala? Bibi me
Sore hari, di sebuah kasino. Keenan sedang asyik bermain poker. Di sampingnya, duduk seorang wanita berambut pendek yang berpakaian seksi. Dilihat dari chip di atas meja, keduanya jelas sudah menang banyak."Aku punya sepasang Queen, giliranmu buka kartu!" Pria berhidung mancung di seberang tiba-tiba membuka kartunya."Berani sekali kamu menantangku dengan kartu begitu! Lihatlah punyaku!" Keenan menyeringai, lalu terlihat 2 lembar kartu berangka 6. Sementara itu, masih ada selembar kartu berangka 6 di kartu yang terletak di depan sehingga membentuk three of a kind.Aturan bermain poker sangat sederhana. Pemain bisa menggabungkan kartu sesuka hati, lalu memilih 5 kartu dengan nilai tertinggi. Straight flush adalah yang tertinggi, lalu diikuti four of a kind, full house, flush, three of a kind, two pairs, one pair, dan high card."Kak Keenan menang lagi! Hebat sekali!" seru wanita berambut pendek itu dengan girang dan raut wajah yang dipenuhi kekaguman."Hehe. Permainan seperti ini bukan
Tanpa membaca surat utang tersebut, Keenan langsung melakukan cap sidik jari dan fokus dengan permainannya. Nahasnya, sebelum 15 menit berlalu, chip senilai 4 miliar itu sudah habis."Kak Keenan, chip-mu habis lagi. Kamu masih mau meminjamnya?" tanya si wanita berambut pendek."Pinjam! Berapa pun akan kupinjam!" teriak Keenan. Dia sudah kehilangan akal sehatnya karena terus kalah. Sekarang, dia hanya ingin menang supaya bisa mempermalukan pria berhidung mancung itu.Dua jam kemudian, Keenan tampak bercucuran keringat. Napasnya memburu, matanya memerah, dan ekspresinya tampak agak ganas."Maaf sekali, kamu kalah lagi," ujar pria berhidung mancung itu sambil tersenyum sinis dan membuka kartunya."Pinjam lagi! Aku yakin dia pasti akan kalah!" teriak Keenan dengan murka."Kak Keenan, kamu sudah kalah terlalu banyak. Kasino nggak bisa meminjam lagi," jelas wanita itu."Kenapa? Mereka takut aku nggak sanggup bayar? Kakakku adalah Presdir Grup Warsono! Dia punya aset sebesar puluhan triliun!"
Di ruang kantor Presdir Grup Warsono, Ariana menyesap kopinya dan kembali fokus bekerja. Akhir-akhir ini, Herbert memang terlihat tidak melakukan apa-apa, tetapi dia diam-diam telah mengambil banyak tindakan. Semua dilimpahkan kepada Ariana sehingga membuatnya sangat sibuk dan terpaksa bekerja lembur setiap hari."Bu Ariana ...." Seorang asisten muda tiba-tiba mengetuk pintu dan masuk."Kenapa?" tanya Ariana seraya mendongak untuk melirik sekilas. Roselyn kurang bisa diandalkan, jadi dia terpaksa mempekerjakan asisten baru agar pembagian tugas tidak begitu berat."Bu Ariana, ada yang mengirim paket untukmu barusan. Katanya, paket ini harus diserahkan langsung kepadamu karena ada kejutan," jelas asisten itu sambil menyerahkan kotak hadiah."Ya, letakkan saja di meja." Ariana mengangguk, lalu teringat pada sesuatu sehingga berucap, "Sudah malam, kamu pulang saja dulu, nggak perlu menungguku.""Baik." Asisten itu mengiakan, lalu berbalik dan keluar. Sementara itu, Ariana mengucek matanya
"Uang tunai?" Ariana mengernyit sambil meneruskan, "Mana mungkin aku bisa mengeluarkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?""Itu urusanmu, pokoknya aku hanya menerima uang tunai," sahut Supri dengan tenang, seakan-akan semua berada dalam kendalinya."Kamu sengaja mempersulit kami!" Wajah cantik Ariana seketika menjadi dingin. Uang tunai sebanyak itu mungkin harus diangkut dengan gerobak."Nona Ariana, jaga ucapanmu. Atau kamu nggak menginginkan tangan adikmu yang satu lagi?" tanya Supri sambil melirik sekilas."Kamu!" Ariana menggertakkan gigi dengan geram dan akhirnya menahan emosinya. "Apa kamu bisa memberiku 2 hari? Aku akan mengumpulkan uang tunainya secepat mungkin.""Boleh saja, tapi kamu harus menemaniku minum dulu." Supri bangkit untuk mengambil 2 gelas dari lemari. Kemudian, dia menuangkan anggur dan menyodorkannya kepada Ariana. "Kalau kamu minum, aku akan memberi kalian waktu 2 hari."Ariana tak kuasa mengernyit melihat gelas yang dituang penuh anggur itu. Pria ini jelas-