"Aku ingin membunuh semua pesilat ini sendiri! Aku ingin membunuh semua orang yang pantas dibunuh di seluruh dunia ini! Aku ingin mengubah sepenuhnya dunia persilatan yang hancur ini!" kata Charlotte dengan tegas dan ekspresinya yakin. Tatapannya dipenuhi dengan aura membunuh, membuat orang yang melihatnya merasa takut."Haeh ...." Mendengar perkataan itu, Luther menghela napas. Dia tahu Charlotte sudah berubah, bukan gadis yang polos dan ramah seperti sebelumnya lagi. Namun, semua ini juga bukan salah Charlotte.Ayah Charlotte sudah mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan semua orang, tetapi akhirnya, didesak untuk mati oleh orang-orang yang diselamatkannya. Salah siapa sebenarnya ini? Jika kebaikan tidak mendapatkan balasannya, terpaksa menyerah menjadi orang baik. Jika keadilan tidak dianggap, lebih baik membiarkan dirinya dipenuhi dengan kejahatan. Dia dipaksa untuk menjadi seperti ini.Luther mengangkat tangannya dan mengelus kepala Charlotte, lalu berkata dengan nada yang lembu
"Oh?"Friscia tersenyum dan berkata dengan semangat, "Anak muda, kamu adalah orang pertama yang berani bicara seperti ini padaku.""Kamu sudah tahu identitasku, jadi kamu juga harusnya mengerti. Anggota Keluarga Bennett selalu menepati perkataannya," kata Luther dengan mata bersinar."Hehehe ... menarik, benar-benar menarik," Friscia tersenyum. Dia bukan hanya tidak marah, malahan lebih merasa kagum. Makin aneh temperamen seseorang, dia makin suka."Charlotte, sampai jumpa lagi." Luther menepuk punggung Charlotte, lalu mengambil bunga bakung lelabah hitam dan berbalik pergi. Setiap orang memiliki jalannya sendiri dan tidak ada seorang pun yang bisa ikut campur. Dia hanya bisa diam-diam mendoakan Charlotte."Guru, sampai jumpa lagi ...." Melihat punggung Luther yang perlahan-lahan menjauh, Charlotte menggigit bibirnya dan air matanya berlinang. Setelah kali ini berpisah, entah kapan lagi mereka bisa bertemu kembali."Charlotte, apa kamu ingin aku membantumu membunuh para sampah ini?" Fr
Charlotte pergi dengan memeluk jasad Harsa. Hanya saja, kalimat terakhir yang diucapkannya menjelang kepergiannya itu membuat semua orang bergidik. Meski beruntung bisa lolos dari bahaya kali ini, semua orang di sekte besar itu sama sekali tidak bisa senang.Tidak ada yang menyangka bahwa ternyata gadis yang tampak biasa-biasa saja itu ternyata adalah wanita suci di Sekte Sihir. Reputasi Sekte Sihir yang mengerikan ini telah membekas di hati semua orang. Menyinggung wanita suci sama saja dengan menginjakkan kaki ke peti mati. Yang paling penting lagi adalah, mereka bahkan mendesak ayah wanita suci itu hingga meninggal.Dendam ayahnya ini pasti tidak akan bisa diampuni. Mulai sekarang, mereka akan terus hidup dalam ketakutan dan dihantui setiap saat. Selain menunggu ajalnya tiba, mereka sepertinya tidak punya pilihan lain lagi."Tuan Raiden, bagaimana sekarang ini? Sepertinya kita terkena masalah besar!" ujar Kitron dengan wajah pucat. Dia berjalan dengan tertatih-tatih ke hadapan Raide
Paulo menghela napas, lalu berkata, "Yang bisa menolongnya sekarang hanya bunga bakung lelabah hitam dan Racun Foniks. Kalau Luther bisa membawanya pulang tepat waktu, maka peluangnya akan lebih besar. Kalau waktunya diundur terlalu lama, harapannya akan semakin menipis.""Luther, Luther, di mana kamu sekarang? Kenapa belum pulang juga?" gumam Belinda dengan wajah sedih. Dia belum memberitahukan masalah ini pada kedua orang tuanya karena takut mereka akan sangat terpukul.Bruk! Tiba-tiba pintu ditendang hingga terbuka. Kemudian, Luther yang dipenuhi dengan noda darah berjalan tertatih-tatih masuk. Penampilannya saat ini sangat mengenaskan."Senior, aku menemukannya! Obat spiritualnya sudah ditemukan!" seru Luther sambil mengeluarkan sekuntum bunga berwarna hitam yang memancarkan cahaya yang aneh."Ketemu?" Paulo melihatnya dengan saksama, lalu ekspresinya berubah menjadi sangat gembira. "Ini beenar-benar bunga bakung lelabah hitam! Bagus sekali ... bagus sekali!""Senior, kalau ada bun
Entah sudah berapa lama berlalu, saat Luther tersadar kembali, dia menemukan dirinya sedang terbaring di ranjang. Cahaya matahari bersinar menembus jendela, membuat matanya agak sulit dibuka."Luther, kamu akhirnya sudah sadar!" Belinda yang berjaga di samping langsung menghela napas lega."Sudah berapa lama aku tertidur?" tanya Luther secara spontan. Berhubung baru saja bangun, pikirannya masih agak kacau."Kamu sudah tertidur tiga hari tiga malam. Untungnya, Senior Paulo berkata kamu nggak apa-apa. Kalau nggak, aku sudah mau menyiapkan peti mati untukmu," jawab Belinda."Tiga hari? Sudah selama itu?" Setelah tertegun sejenak, Luther tiba-tiba tersadar, "Oh ya! Bagaimana dengan kakakmu? Apa dia sudah bangun?""Kakakku?" Belinda langsung menjadi muram setelah mendengar pertanyaan itu. Dia menunduk, lalu berkata dengan suara tercekat, "Kakakku ... dia sudah meninggal ....""Apa? Meninggal?" Luther langsung tercengang mendengar perkataan tersebut. Wajahnya yang tadinya sudah muram, kini
Luther hanya bisa memeluk Bianca dengan erat dan merasakan kehangatan serta wangi tubuhnya. Hingga saat ini, beban berat dalam hatinya baru seakan-akan terbebaskan. "Menyenangkan sekali bisa hidup," gumam Luther setelah memeluknya beberapa saat."Sudahlah, jangan peluk lagi. Aku sudah hampir kehabisan napas." Bianca tersenyum tipis sambil menepuk punggung Luther. Bianca memang sangat menikmati detik ini, tetapi pelukan Luther benar-benar terlalu erat."Uhuk uhuk .... Maaf, aku jadi nggak sopan." Luther langsung melepaskan pelukannya setelah tersadar. Tadi dia benar-benar bereaksi secara spontan, sehingga tidak sadar akan hal ini."Melihatmu seperti ini, aku senang sekali. Setidaknya ini membuktikan kamu sangat peduli padaku," balas Bianca sambil tersenyum. Hatinya serasa berbunga-bunga. Kini mereka berdua telah pernah menjalani bahaya bersama-sama. Hanya dari satu hal ini saja, dia sudah unggul jauh dari Ariana. Memangnya kenapa kalau mereka pernah menikah? Sekarang Bianca dan Luther p
"Sayang, sudah saatnya minum obat." Saat Luther masih sedang berbincang dengan Johan, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita. Terlihat Bianca yang berjalan dengan lemah gemulai sambil mengantarkan semangkuk obat yang masih panas. Senyumannya terlihat menawan dan wajahnya merah merona. Dia menyuapkan obat itu ke bibir Luther dengan hati-hati."Mari, Sayang. Ayo diminum obatnya."Luther merasa kehabisan kata-kata. Kenapa adegan ini rasanya familier sekali?"Sayang, kenapa? Ayo diminum." Bianca tersenyum dengan nakal ke arah Luther."Hm, boleh nggak kalau nggak mau minum?" tanya Luther dengan wajah penuh penolakan."Tentu saja nggak boleh, hamba menyiapkan obat ini dengan sepenuh hati." Bianca mengangkat alisnya, lalu melanjutkan, "Kenapa? Apa kamu curiga hamba akan meracunimu? Haeh, lelaki memang semua sama saja."Luther hanya menghela napas, lalu meneguk obat itu hingga habis. Melihat ekspresi Luther seperti ini, Bianca akhirnya tidak kuasa menahan tawanya. "Ya sudah, aku nggak menggo
"Omong kosong!" Clianta memelotot dan memaki, "Mana mungkin anakmu ini bisa dibandingkan dengan anakku! Rambut anakku bahkan jauh lebih berharga dari nyawa anakmu! Cepat berlutut dan minta maaf atau jangan salahkan aku bertindak lancang!""Nyonya Clianta, kamu bisa bersikap masuk akal sedikit nggak? Jelas-jelas anakmu yang salah, kenapa kita harus minta maaf?" balas Junifer sambil mengerutkan dahinya.Plak! Clianta seketika melayangkan tamparan ke wajah Junifer. Dia membentak, "Kalau disuruh minta maaf, ya minta maaf saja! Siapa suruh bicara omong kosong? Kalau berani melawan lagi, aku akan merobek mulutmu itu!""Kamu!" Junifer menggertakkan gigi dengan ekspresi kesal. Dia tidak menduga Clianta akan bersikap segila ini. Sudah melakukan kesalahan, tetapi tidak mau meminta maaf. Sekarang, wanita ini bahkan menamparnya. Sungguh keterlaluan!"Jangan pukul mamaku!" Becca sontak mengadang di depan ibunya, lalu merentangkan tangannya sambil berseru dengan wajah galak, "Dasar wanita jahat! Aku
Gema kembali mengambil secangkir teh dan meminumnya, "Selera tuan-tuan memang unik. Tapi, aku ini orangnya penakut, nggak tahan ditakut-takuti. Jadi, mohon tuan-tuan kelak jangan bercanda seperti ini lagi."Weker tersenyum dan menganggukkan kepala. "Tentu saja. Ini pertama kalinya kita bertemu, jadi Tuan Loland hanya ingin mencairkan suasana. Kalau ada hal yang nggak berkenan, aku mewakili Tuan Loland minta maaf padamu. Jangan dimasukkan ke hati."Mendengar perkataan itu, ekspresi Gema akhirnya menjadi lebih ramah. Dia sudah berani menghadiri jamuan berbahaya ini, dia tentu saja tidak takut diintimidasi. Jika mereka berbicara baik-baik dengannya, dia tidak keberatan mengungkapkan sedikit informasi.Namun, sikap ketiga orang itu begitu sombong. Begitu membuka mulut, mereka langsung mengintimidasi, memerintah, dan sama sekali tidak menghargainya sama sekali. Hal ini tentu saja membuatnya merasa sangat kesal. Namun, demi menjaga harga dirinya, dia tidak langsung menunjukkan amarahnya."Ng
"Ini .... Ada beberapa hal yang nggak bisa dikatakan, tapi aku yakin kamu pasti mengerti," kata Trisno dengan serius."Aku ini bodoh, jadi nggak tahu apa yang Tuan Trisno maksud. Mohon Tuan Trisno memakluminya," jawab Gema dengan tenang."Kamu!" teriak Trisno yang mulai marah. Melihat sikap Gema saat masuk, dia mengira Gema menyadari situasinya dan pandai membaca keadaan. Namun, dia tidak menyangka Gema malah berpura-pura bodoh, jelas tidak menghargainya."Sudahlah, Trisno. Biar aku saja yang bertanya."Loland mengambil alih pembicaraan dan bertanya dengan terus terang, "Gema, 'kan? Kami nggak akan bertele-tele lagi denganmu. Kami sudah tahu maksud kedatanganmu ke sini, sekarang kami hanya ingin tahu informasi apa saja yang sudah kamu dapatkan.""Informasi tentang apa yang dimaksud Tuan Loland?" tanya Gema lagi.Bang!Loland tiba-tiba memukul meja dan berkata dengan ekspresi muram, "Anak muda, jangan berpura-pura bodoh denganku, kesabaranku ada batasnya. Kalau kamu nggak menjawab denga
Setelah membuat keputusan, Gema tidak ragu-ragu lagi. Dia segera meminta sopirnya untuk berbalik arah dan langsung menuju lokasi pertemuan.Tempat pertemuan berada di sebuah restoran yang tidak jauh dari istana. Perjalanan kembali hanya memakan waktu sekitar 10 menit.Saat Gema dan Loki melangkah masuk ke restoran, mereka langsung menyadari bahwa tempat itu kosong. Selain beberapa pegawai penyambut tamu, tidak ada satu pun pelanggan.Jelas sekali, restoran ini telah dikosongkan."Silakan, Jenderal Loland sudah menunggu di lantai atas."Begitu memasuki ruangan, pemilik restoran sendiri yang menyambut mereka dan mengantar Gema serta Loki ke ruang privat di lantai dua.Saat ini, di dalam ruangan, Loland, Weker, serta Trisno sedang menikmati teh dengan santai.Mereka bertiga mengobrol dengan akrab dan penuh semangat. Namun, begitu Gema dan Loki memasuki ruangan, mereka segera menghentikan pembicaraan dan mengalihkan perhatian mereka kepada Gema.Ketiganya sangat penasaran, siapa sebenarnya
"Apa? Siapa itu?" tanya Trisno segera."Jangan-jangan wakil jenderal yang masuk saat siang tadi?"Loland mengerutkan alisnya. "Aku sudah menyelidiki orang itu. Nggak punya latar belakang, nggak punya dukungan, cuma orang biasa. Jadi, nggak ada yang perlu dikhawatirkan.""Bukan dia, tapi ada hubungannya dengannya." Weker tiba-tiba merendahkan suara. "Masih ingat apa yang dikatakan Pangeran Huston siang tadi? Saat memanggil wakil jenderal itu, Pangeran Huston secara khusus menyebut Keluarga Paliama.""Keluarga Paliama?" Trisno menunjukkan ekspresi terkejut. "Maksudmu Keluarga Paliama dari Midyar sudah bertemu dengan Raja?""Itu belum. Tapi menurut informasiku, seseorang bernama Gema mengobrol dengan Pangeran Huston selama 4 jam hari ini. Mereka berbincang dan tertawa seperti sahabat. Bahkan, Pangeran Huston secara khusus mengundangnya untuk makan malam di istana."Wajah Weker sedikit muram. "Semuanya, coba pikirkan baik-baik. Pada saat genting seperti ini, Keluarga Paliama mengirim seseo
Setelah berbicara sejenak di aula pertemuan, Huston mengundang Gema untuk mulai berkeliling di Kediaman Raja Atlandia. Kediaman itu sangat luas dan memiliki berbagai fasilitas, orang yang tidak mengenal tempat itu akan sangat mudah tersesat.Gema yang merasa dirinya sudah melihat banyak hal pun tetap merasa sangat terkejut saat diajak untuk melihat keadaan Kediaman Raja Atlandia yang sebenarnya. Berbeda dengan kemewahan dari rumah orang kaya baru, kediaman ini bisa dibilang mewah dan berwibawa. Setiap sudut yang terlihat memancarkan aura yang sangat kuat.Yang membuat Gema paling terkesan adalah ada aula pahlawan dengan sembilan lantai di dalam kediaman itu dan terlihat seperti sebuah pagoda kuno dari luar. Isi di dalamnya adalah makam simbolis untuk puluhan ribu para pahlawan yang gugur di medan perang dan memenuhi seluruh ruangan.Para pahlawan itu memiliki batu peringatan dengan catatan jelas kehidupan mereka agar generasi berikutnya bisa mengenangnya. Keluarga Paliama juga memiliki
"Pangeran Huston, hati-hati dengan ucapanmu," kata Gema yang segera memperingatkan sambil melihat ke sekeliling karena khawatir ada yang menguping percakapan mereka.Membahas hidup dan mati anggota keluarga kerajaan secara pribadi adalah pelanggaran besar. Jika hal ini disebarkan oleh orang yang berniat buruk, nama baik hancur masih termasuk hal kecil. Namun, jika nanti diminta pertanggungjawaban, ini akan menjadi masalah besar."Paman Gema, tenang saja. Ini adalah Atlandia, bukan Midyar. Kamu bisa membahas apa pun dengan tenang, nggak perlu khawatir," kata Huston sambil tersenyum, sama sekali tidak peduli apa pun. Dia berpikir hal ini sudah diketahui semua orang, apa salah membicarakannya? Apakah orangnya tidak akan mati jika tidak membicarakannya? Benar-benar konyol."Uhuk uhuk .... Sepertinya aku sudah terlalu banyak berpikir," kata Gema sambil tersenyum dengan canggung. Meskipun tahu apa yang dikatakan Huston benar, dia tetap harus berhati-hati dan tidak berani membicarakan anggota
Huston masuk ke ruang rapat dengan senyuman cerah, sambil menggandeng tangan Gema dengan sikap yang sangat ramah. Sebaliknya, Gema terlihat kebingungan, sama sekali tidak menduga situasi ini.Sebelum masuk, Gema sudah membayangkan berbagai kemungkinan dalam pertemuan mereka. Misalnya, Huston bersikap dingin atau arogan. Semua itu bisa dia terima, bahkan dia sudah siap secara mental.Bagaimanapun menurut rumor, Huston adalah pangeran yang suka membuat onar dan berani melakukan apa saja.Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Bukan hanya tidak ada kesulitan, Huston malah bersikap sangat ramah, membuat Gema bingung bukan main.Seperti kata pepatah, ketika sesuatu terlihat tidak biasa, pasti ada sesuatu yang buruk. Gema tidak tahu apa maksud tersembunyi di balik keramahan ini."Pelayan! Siapkan teh!" Setelah mempersilakan Gema duduk, Huston langsung memerintahkan pelayan untuk menyajikan teh.Teh yang disajikan adalah teh mahal khas Atlandia, yang tidak dijual untuk umum dan hanya diperunt
Setelah mengikuti Huston masuk, Loki merasa sangat cemas. Sebelumnya dia pernah masuk ke istana, tetapi kebanyakan karena urusan resmi dan orang yang memandunya biasanya adalah penjaga atau pelayan.Namun, kali ini berbeda. Kunjungan ini untuk urusan pribadi dan yang memandunya adalah Huston. Hal ini membuatnya merasa sangat terhormat. Dia sangat penasaran, sejak kapan dirinya memiliki pengaruh sebesar ini?Huston bahkan mengabaikan jenderal besar dan hanya bersikap ramah padanya. Apa mungkin kepalanya yang botak terlalu mencolok sehingga menarik perhatian?Dengan segudang pertanyaan di benaknya, Loki mengikuti Huston hingga akhirnya mereka tiba di ruang rapat."Duduk." Setelah Huston duduk di kursi utama, dia memberi isyarat kepada Loki untuk duduk."Nggak perlu, aku berdiri saja," ujar Loki dengan senyuman sungkan."Kalau aku bilang duduk, ya duduk. Kenapa tegang sekali? Aku nggak akan memakanmu," kata Huston dengan nada tidak sabar."Baik, baik." Loki buru-buru mengiakan dan duduk.
Saat pintu gerbang terbuka, semua perhatian langsung tertuju ke sana. Di tengah tatapan semua orang, Huston berjalan keluar dengan tubuh tegap, diikuti dua pengawal di belakangnya."Pangeran Huston?" Melihatnya, semua orang langsung menyambut dengan senyuman ramah. Baik itu Weker, Trisno, maupun Loland, semuanya menunjukkan sikap menyanjung.Huston terkenal kuat dan kejam. Meskipun beberapa tahun terakhir ini, dia sudah lebih terkendali, pengaruh masa lalunya masih membuat orang takut.Jadi, jangan sampai mereka membuat Huston marah. Huston seperti bom waktu berjalan. Banyak dari mereka pernah terkena imbasnya dulu."Pangeran, akhirnya kamu keluar juga. Aku ada urusan penting untuk dilaporkan, tolong ....""Minggir!"Saat Trisno maju untuk berbicara, Huston langsung mendorongnya dengan kasar, hingga tubuhnya yang kurus hampir terjatuh."Trisno, segala sesuatu harus ada urutannya. Pangeran sangat menghargai keadilan, mana mungkin dia membiarkan kebiasaan burukmu itu," ejek Loland yang t