Entah sudah berapa lama berlalu, saat Luther tersadar kembali, dia menemukan dirinya sedang terbaring di ranjang. Cahaya matahari bersinar menembus jendela, membuat matanya agak sulit dibuka."Luther, kamu akhirnya sudah sadar!" Belinda yang berjaga di samping langsung menghela napas lega."Sudah berapa lama aku tertidur?" tanya Luther secara spontan. Berhubung baru saja bangun, pikirannya masih agak kacau."Kamu sudah tertidur tiga hari tiga malam. Untungnya, Senior Paulo berkata kamu nggak apa-apa. Kalau nggak, aku sudah mau menyiapkan peti mati untukmu," jawab Belinda."Tiga hari? Sudah selama itu?" Setelah tertegun sejenak, Luther tiba-tiba tersadar, "Oh ya! Bagaimana dengan kakakmu? Apa dia sudah bangun?""Kakakku?" Belinda langsung menjadi muram setelah mendengar pertanyaan itu. Dia menunduk, lalu berkata dengan suara tercekat, "Kakakku ... dia sudah meninggal ....""Apa? Meninggal?" Luther langsung tercengang mendengar perkataan tersebut. Wajahnya yang tadinya sudah muram, kini
Luther hanya bisa memeluk Bianca dengan erat dan merasakan kehangatan serta wangi tubuhnya. Hingga saat ini, beban berat dalam hatinya baru seakan-akan terbebaskan. "Menyenangkan sekali bisa hidup," gumam Luther setelah memeluknya beberapa saat."Sudahlah, jangan peluk lagi. Aku sudah hampir kehabisan napas." Bianca tersenyum tipis sambil menepuk punggung Luther. Bianca memang sangat menikmati detik ini, tetapi pelukan Luther benar-benar terlalu erat."Uhuk uhuk .... Maaf, aku jadi nggak sopan." Luther langsung melepaskan pelukannya setelah tersadar. Tadi dia benar-benar bereaksi secara spontan, sehingga tidak sadar akan hal ini."Melihatmu seperti ini, aku senang sekali. Setidaknya ini membuktikan kamu sangat peduli padaku," balas Bianca sambil tersenyum. Hatinya serasa berbunga-bunga. Kini mereka berdua telah pernah menjalani bahaya bersama-sama. Hanya dari satu hal ini saja, dia sudah unggul jauh dari Ariana. Memangnya kenapa kalau mereka pernah menikah? Sekarang Bianca dan Luther p
"Sayang, sudah saatnya minum obat." Saat Luther masih sedang berbincang dengan Johan, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita. Terlihat Bianca yang berjalan dengan lemah gemulai sambil mengantarkan semangkuk obat yang masih panas. Senyumannya terlihat menawan dan wajahnya merah merona. Dia menyuapkan obat itu ke bibir Luther dengan hati-hati."Mari, Sayang. Ayo diminum obatnya."Luther merasa kehabisan kata-kata. Kenapa adegan ini rasanya familier sekali?"Sayang, kenapa? Ayo diminum." Bianca tersenyum dengan nakal ke arah Luther."Hm, boleh nggak kalau nggak mau minum?" tanya Luther dengan wajah penuh penolakan."Tentu saja nggak boleh, hamba menyiapkan obat ini dengan sepenuh hati." Bianca mengangkat alisnya, lalu melanjutkan, "Kenapa? Apa kamu curiga hamba akan meracunimu? Haeh, lelaki memang semua sama saja."Luther hanya menghela napas, lalu meneguk obat itu hingga habis. Melihat ekspresi Luther seperti ini, Bianca akhirnya tidak kuasa menahan tawanya. "Ya sudah, aku nggak menggo
"Omong kosong!" Clianta memelotot dan memaki, "Mana mungkin anakmu ini bisa dibandingkan dengan anakku! Rambut anakku bahkan jauh lebih berharga dari nyawa anakmu! Cepat berlutut dan minta maaf atau jangan salahkan aku bertindak lancang!""Nyonya Clianta, kamu bisa bersikap masuk akal sedikit nggak? Jelas-jelas anakmu yang salah, kenapa kita harus minta maaf?" balas Junifer sambil mengerutkan dahinya.Plak! Clianta seketika melayangkan tamparan ke wajah Junifer. Dia membentak, "Kalau disuruh minta maaf, ya minta maaf saja! Siapa suruh bicara omong kosong? Kalau berani melawan lagi, aku akan merobek mulutmu itu!""Kamu!" Junifer menggertakkan gigi dengan ekspresi kesal. Dia tidak menduga Clianta akan bersikap segila ini. Sudah melakukan kesalahan, tetapi tidak mau meminta maaf. Sekarang, wanita ini bahkan menamparnya. Sungguh keterlaluan!"Jangan pukul mamaku!" Becca sontak mengadang di depan ibunya, lalu merentangkan tangannya sambil berseru dengan wajah galak, "Dasar wanita jahat! Aku
Kejadian mendadak ini membuat semua orang tercengang. Tidak ada yang menduga bahwa orang yang datang ini berani memukul putra Clianta. Asal tahu saja, Clianta terkenal dengan kegalakannya di sini, tidak ada yang berani mengusiknya."Astaga! Putraku!" Setelah tertegun sesaat, Clianta berseru kaget. Dia bergegas berlari ke depan, lalu memeluk putranya yang tampak linglung.Saat ini, hidung dan mulut si gendut tampak miring. Mulutnya berdarah, bahkan kedua gigi serinya rontok. Terutama bagian wajahnya yang dipukul, sangat bengkak dan merah."Putraku! Jangan membuatku takut! Cepat bangun!" teriak Clianta yang mulai panik sembari memijat putranya. Setelah si gendut siuman, dia baru menghela napas lega.Namun, saat berikutnya, ekspresi Clianta menjadi garang kembali. Dia berseru, "Siapa yang memukul putraku barusan? Cepat keluar!"Clianta sontak berbalik, wajahnya yang galak membuatnya terlihat seperti ingin melahap seseorang hidup-hidup."Aku!" sahut Luther sambil maju selangkah dengan muru
Semua orang sibuk bergosip karena terkejut dengan kelancangan Luther. Awalnya, masalah ini bisa diselesaikan dengan meminta maaf. Namun, masalah malah menjadi makin besar sekarang. Menurut mereka, Luther mungkin akan dipatahkan kaki atau lengannya, bahkan mungkin dikubur hidup-hidup karena perbuatannya ini.Plak! Luther mendaratkan tamparan lagi di wajah Clianta, sampai membuatnya terjatuh. Sesudah itu, dia bertanya, "Cepat beri tahu aku, siapa kamu?"Clianta sudah babak belur. Dia merasa kepalanya sangat pusing hingga tidak bisa mengenal arah lagi."Berhenti!" Tiba-tiba, terlihat seseorang berlari keluar dari kerumunan dengan tergesa-gesa. Setelah melihat wajah Clianta yang begitu bengkak, orang ini pun terkejut. Dia buru-buru memapah Clianta sambil bertanya, "Ya ampun, Nyonya, kenapa kamu terluka sampai begini? Siapa pelakunya?"Clianta mengangkat tangannya yang gemetaran untuk menunjuk Luther. Melihat ini, kepala sekolah wanita itu sontak berbalik dengan murka dan membentak, "Kurang
Luther melontarkan perkataannya dengan lantang dan tegas. Tindakannya ini membuat si kepala sekolah gusar hingga sekujur tubuhnya gemetaran. Raut wajahnya pun tampak tidak karuan.Sementara itu, beberapa orang tua murid yang pernah ditindas oleh kepala sekolah ini diam-diam bersorak gembira dalam hati. Siapa suruh kamu meremehkan orang? Mampus!"Kamu ... kamu berani memakiku? Memangnya siapa kamu? Berani sekali kamu mengajariku! Kamu tunggu saja! Aku pasti akan mengusir Becca dan memboikotnya! Aku akan membuatnya nggak bisa bersekolah untuk seumur hidup!" seru kepala sekolah dengan murka."Memboikot?" Luther mendengus dingin dan menendangnya. Kemudian, dia menantang, "Coba saja kalau kamu berani. Aku justru ingin melihat seberapa hebatnya kamu!"Kepala sekolah pun terjatuh karena tendangan itu. Sesudah bangkit, dia sontak berteriak, "Satpam! Satpam! Ke mana kalian semua? Cepat kemari!"Seiring terdengarnya teriakan ini, terlihat 2 orang satpam buru-buru berlari masuk. Namun, sebelum me
"Istriku?" Lockie mengamati dengan saksama, lalu sontak membelalakkan matanya dan bertanya, "Ke ... kenapa kamu terluka sampai seperti ini?""Semua ini gara-gara dia!" sahut Clianta sambil menunjuk Luther dengan tangan yang gemetaran."Kamu pelakunya?" Lockie memandang ke arah yang ditunjuk oleh Clianta, lalu bertanya dengan raut wajah suram, "Kamu yang memukul istriku?""Ya, aku." Luther mengangguk sambil mengaku dengan terus terang, "Wanita ini bertindak sewenang-wenang, jadi aku memberinya sedikit pelajaran.""Besar sekali nyalimu! Beraninya kamu mendidik istriku!" Lockie pun bertanya dengan murung, "Jadi, gimana kamu ingin menyelesaikan masalah ini?"Semua penduduk di sini selalu menghormatinya. Dengan kata lain, hanya orang dengan latar belakang hebat atau orang bodoh yang berani memukul istrinya. Sebelum mengetahui identitas Luther, Lockie tidak akan bertindak kelewatan."Suruh wanita gila ini meminta maaf kepada kami. Dengan begitu, aku nggak akan mengusut masalah ini lagi," sah