Wajah Lucia berubah menjadi pias. Dengan susah payah dia menelan salivanya, kemudian mengatur irama jantungnya yang berdetak dengan cepat. Baru setelah itu, dia memberanikan diri untuk bicara."Dean, aku ..."Melihat wajah bimbang Lucia, sorot mata Dean yang semula menyala karena gairah, seketika meredup. "Aku tidak akan memaksa, jika kau tidak mau." Dia pun melepaskan cengkaram tangannya, lalu menarik diri dari Lucia dan berkata, "Pulanglah."“Lalu bagaimana denganmu?” tanya Lucia seraya bangun dari sofa.“Aku bisa mengatasinya sendiri.” Dean membalik tubuhnya dan berjalan menuju kamar.Lucia yang melihat itu, segera mengejar Dean yang sudah sampai di depan kamarnya. “Dean, apa kau yakin bisa mengatasinya tanpa bantuan Dokter?” tanya Lucia sembari menahan tangan pria itu ketika dia akan memasuki kamarnya. Dia tentu saja tahu bagaimana rasanya saat dipengaruhi oleh obat, karena dia pernah mengalami 3 tahun lalu, ketika dia dan Dean melakukan pertama kalinya. Hanya mendapatkan sentuha
Ceklek!Setelah Tuan Federick membuka pintu kamar Dean, dia dan istrinya langsung melihat ke arah dua orang yang sedang berbaring di ranjang. Ketika melihat pemandangan di depannya, terukir senyuman lebar di bibir Tuan Federick dan Nyonya Sheema. Keduanya nampaknya tersenyim malu ketika melihat Dean dan Lucia sedang tertidur di ranjang. Padahal, posisi keduanya tidak terlihat intim, keduanya hanya tidur saling berhadapan dengan selimut yang menutupi tubuh keduanya.“Dean … Lucia, bangun,” panggil Tuan Fedrick.Karena keduanya masih tertidur pulas, Tuan Federick kembali membangungkan mereka dengan memanggil dengan lebih keras lagi.Detik selanjutnya, kedua orang itu pun mulai membuka mata bersamaan, setelah itu saling menatap sebelum akhirnya mereka menoleh ketika mendengar suara orang berdeham dari arah pintu.“Kakek! … Nenek!” seru keduanya secara bersamaan saat melihat Tuan Federick dan Nyonya Sheema sedang berdiri di depan ranjang. Keduanya pun refleks bangun dari tidurnya. Lucia
“Aku memang ingin mendapatkanmu lagi, tapi bukan dengan cara seperti ini.”Lucia kembali teringat kata-kata Dean yang semalam saat pria itu hampir saja menyentuhnya. Ya, selain tahap terakhir, semua sudah dilakukan oleh Dean. Bahkan pria itu meninggakan banyak jejak kemerahan di beberapa bagian tubuh Lucia, termasuk di leher yang mudah sekali dilihat oleh orang lain. Keduanya pun sudah hampir polos, yang tersisa hanya kain terakhir yang menutup daerah sensitif keduanya.Lucia sempat berpikir kalau Dean pasti akan menyentuhnya semalam, tapi dia cukup terkejut ketika Dean tiba-tiba menghentikan cumbuannya di menit terakhir. Padahal, satu langkah lagi, dia bisa melampiaskan hasratnya.Namun, dia memilih untuk berhenti dan segera keluar dari kamar itu, kemudian menguncinya dari luar. Karena benar-benar tidak tahan, Dean akhirnya menghubungi Dokter pribadinya, dan menyuruhnya datang ke apartemennya. Sebenarnya, dia bisa saja pergi ke rumah sakit terdekat. Namun, dia tidak mau mengundang p
“Selamat malam, Helia.”“Tuan Besar, Nyonya Besar.” Ibu Lucia sangat terkejut ketika melihat kedatangan Tuan Federick dan Nyonya Sheema di apartemennya.“Maaf, kalau kedatangan kami malam ini mengejutkanmu.”Meskipun terkejut, Nyonya Helia masih berusaha untuk terlihat biasa. “Tidak apa-apa.” Dia pun segera mempersilahkan Tuan Federick dan Nyonya Sheema untuk segera masuk ke dalam.Nyonya Helia nampak memperhatikan banyak pria berseragam lengkap ikut masuk ke dalam dan meletakkan banyak sekali kotak transparan di meja serta di lantai. Usai meletakkan barang-barang itu, pria-pria berseragam itu keluar dari sana, menyisakan 4 pria tegap yang berdiri di belakang tempat duduk Nyonya Sheema dan Tuan Federick.“Tuan Besar ini …” Nyonya Helia nampak menunjuk ke kotak yang dibawa oleh pria-pria yang tadi ikut masuk bersama dengan kakek dan nenek Dean.“Ini hanya hadiah kecil kami untuk Lucia.”Bagaimana bisa dikatakan hadiah kecil, semua barang yang dibawa oleh Tuan Federick adalah barang-bar
"Sekarang, katakan pada kami, apa kau sungguh ingin kembali dengan Dean lagi?"Meskipun, pertanyaan yang dilontarkan oleh ibunya terdengar pelan. Namun, Lucia bisa menangkap ada jejak ketidaksukaan dalam nada bicara ibunya."Pikirkan baik-baik lagi, Lucia. Dia sudah pernah mencampakkanmu. Bukan tidak mungkin, pria itu akan kembali menyakitimu. Jangan mau dibodohi lagi olehnya," lanjut Nyonya Helia.Dean sudah dua kali membatalkan 2 acara penting dalam hidupnya. Yang pertama, pernikahannya dengan Lucia, yang kedua pertunangannya dengan Rebecca. Bisa saja, dia kembali mengulang kesalahan yang sama seperti yang dia lakukan di masa lalu.Jika menilai dari pembatalan kedua acara itu penting itu, ibu Lucia bisa menyimpulkan kalau Dean bukanlah pria yang yang bertanggung jawab. Maka dari itu, dia ragu untuk menyerahkan putrinya kembali Dean. Tindakan pria itu di masa lalu membuatnya sangat kecewa.Jelas saja dia sangat kecewa, putrinya yang sangat dia sayangi, dicampakkan begitu saja setelah
“Halo, ada apa, Nenek?” tanya Dean setelah mengangkat panggilan telpon dari Nyonya Sheema.“Cepat kemari, Kakekmu masuk rumah sakit.”Dean yang baru saja akan membuka pintu apartemennya seketika menghentikan gerakan tangannya. "Kenapa Kakek bisa tiba-tiba masuk rumah sakit?"Seingatnya, kakeknya itu baik-baik saja ketika dia datang menemuinya kemarin. Tidak nampak kalau dia sedang sakit."Ke sini saja dulu."Dean pun mengakhiri panggilan telpon itu dan bergegas menuju rumah sakit. Dia tiba di rumah sakit sekitar pukul 10 malam dan langsung menuju ruangan rawat inap di mana kakeknya berada. Di depan ruangan terdapat dua orang pengawal yang berjaga di sana.Ketika melihat Dean, keduanya langsung membungkukkan tubuh dan menyapa Dean dengan hormat. Dean hanya mengangguk dan masuk ke dalam ruangan. Terlihat neneknya sedang duduk di samping ranjang kakeknya seraya berbincang."Kakek, ada apa denganmu?" Dean langsung bertanya setelah berada di samping kanan ranjang kakeknya, bersebelahan deng
"Bagaimana? Apa kau sudah mengurus semuanya?" tanya Dean setelah melihat asistennya berdiri di depan meja kerjanya."Semua pemberitaan sudah dihapus," jawab Nolan. "Tapi, untuk foto ..." Nolan terlihat ragu untuk melanjutkan ucapannya. "Ada apa dengan fotonya?" tanya Dean tidak sabar. "Fotonya sudah tersebar luas dan tidak semua bisa hapus."Foto itu sudah tersebar di group layanan pesan singkat dan juga sudah diunduh oleh banyak pengguna sosial media. Jadi, foto yang sudah diunduh itu, tidak bisa di hapus karena berada di penyimpanan pribadi milik pengguna ponsel.Dean nampak berpikir selama beberapa detik, lalu berkata, "Bagaimanan dengan pelakunya? Sudah kau temukan?""Sudah, tapi dia bukan pelaku asli. Dia hanya dibayar untuk menyebarkan foto dan menulis berita palsu yang menjelekkan nona Lucia.""Apa menurutmu pelakunya sama dengan 3 tahun lalu?"Maksud Dean adalah pelaku yang menyebarkan vidio panasnya bersama Lucia."Saya tidak yakin, Tuan."Dean berpikir kembali dengan wajah
"Naiklah," ucap Dean setelah menurunkan kaca mobilnya.Melihat Lucia berdiri dengan wajah bingung, Dean kembali berkata, "Kakek, memintaku menjemputmu."Ekspresi wajah Lucia seketika berubah menjadi kaku. "Sebenarnya, aku bisa pergi sendiri.""Kakek akan terus menggangguku kalau aku tidak menurutinya," ucap Dean dengan ekspresi datar.."Baiklah." Tanpa banyak bicara lagi, Lucia masuk ke dalam mobil dan duduk di depan, bersebelahan dengan Dean.Hari ini, rencananya Lucia akan pergi mencoba gaun pengantin yang akan dia gunakan di hari pernikahannya 3 hari lagi. Kemarin, Dean berserta kakek dan neneknya sudah mendatangi keluarga Lucia untuk membicarakan mengenai pernikahan. Ibu Dean yang seharusnya datang kemarin, terpaksa membatalkan kedatangannya akibat kondisi putrinya yang belum stabil. Karena ibu Dean harus menjaga putrinya. Jadi, dia tidak bisa hadir di pernikahan putranya. Tuan Federick sudah memberitahukan pada menantunya mengenai pernikahan Dean pada Nyonya Arnetta. Ketika men
"Bernice, maafkan aku. Aku tidak bisa menepati janjiku untuk membawa Jensen." Lucia memeluk adik Dean dengan mata yang memerah. Setelah pulang dari pusat perbelanjaan, Lucia langsung meminta Dean untuk mengantarnya ke rumah sakit tempat Bernice dirawat. Setelah itu, Dean mengantar ibunya untuk pulang ke apartemen. Jadi saat ini, mereka hanya berdua. "Jensen tidak akan kembali. Dia sudah memiliki kehidupan baru dengan orang lain. Tolong relakan dia. Aku yakin suatu saat nanti, kau akan menemukan pria yang tulus mencintaimu," ucap Lucia dengan suara bergetar. "Kau bisa melampiaskan kemarahanmu padaku, kapan pun kau mau. Aku berjanji akan menebus kesalahan kakakku seumur hidupku." Lucia tidak bisa lagi membendung air mata yang sejak tadi dia berusaha tahan. Tubuh bergetar, karena berusaha meredam suara tangisnya. "Akan kulakukan apa pun demi kesembuhanmu." Hening selama beberapa saat. Setelah itu, tiba-tiba saja Lucia mendengar suara lirih Bernice, "Kak, aku mau pulang." Lucia langs
"Lucia, aku ke toilet dulu," kata Dean sambil berdiri. "Kau tunggu di sini dulu." "Baiklah." Saat ini, mereka sedang berada di restoran yang ada di pusat perbelanjaan di kota Bristol. Mereka baru saja dari rumah sakit sebelum ke sana. Rencananya mereka akan kembali ke kota Y tiga hari lagi. Itu sebabnya, mereka ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter kandungan sekaligus meminta surat izin untuk melakukan penerbangan jarak jauh. Untuk pulang ke negaranya, Dean sengaja menyewa seorang Dokter Kandungan selama mereka melakukan penerbangan, karena takut terjadi apa-apa dengan istrinya selama penerbangan. Beruntung Dean menggunakan jet pribadi. Jadi, segala sesuatunya sudah diurus sedemikian rupa demi kenyaman Lucia selama penerbangan. Sudah 4 hari Dean berada di Bristol. Jadi, dia harus segera kembali ke kota Y, dikarenakan banyak pekerjaan yang sudah menunggunya. Sebenarnya, Lucia masih ingin di Bristol menemani Bernice dan ibu mertuanya. Hanya saja, Dean melarangnya, karena
"Kau yakin tidak mau dirawat?" tanya Dean setelah keluar dari ruangan Dokter Kandungan. Mereka baru saja selesai memeriksakan kehamilan Lucia. Setelah istrinya bangun dan selesai sarapan, Dean langsung mengajaknya ke rumah sakit. Dia sangat khawatir dengan kondisi janin dalam perut istrinya, mengingat bagaimana semalam dia menggempur istrinya. Selain itu juga, Lucia belum pernah memeriksakan lagi kehamilannya semenjak mengetahui dirinya hamil seminggu yang lalu. Itu sebabnya, dia mengajak istrinya untuk memeriksakan kondisi kehamilannya. Lucia yang juga ingin tahu tentang janin dalam kandunganya, tidak menolak ketika Dean mengajaknya untuk ke rumah sakit. Lagi pula, dia memang sengaja menunggu Dean karena ingin memeriksakan kehamilannya bersama suaminya. "Aku baik-baik saja, Dean. Kau dengar sendiri bukan apa yang dikatakan oleh Dokter tadi?" Dean mengangguk ringan, kemudian tersenyum tipis. Setelah mengetahui tidak terjadi apa-apa dengan kandungan istrinya, dia baru bisa bernapas
"Bu, di mana istriku?" Dean bertanya sembari berjalan mendekati ibunya yang sedang duduk di sofa ruangan keluarga. Dean baru saja tiba di apartemen yang disewa ibunya selama tinggal di Bristol. "Dia di kamarnya," jawab Nyonya Arnetta. "Kenapa kau baru ke sini?"Dean menggulung lengan kemejanya setelah itu berkata, "Ada sedikit masalah di perusahaan. Jadi, terpaksa aku memundurkan penerbanganku.""Istrimu sudah menunggumu sejak dua hari yang lalu. Kasihan dia kecewa saat tahu kau tidak jadi ke sini. Sudah dua hari ini dia nampak sedih dan lesu."Dean sedikit terkejut mendengar itu. Pasalnya, setiap berkomunikasi dengan istrinya, Lucia tidak pernah menampilkan raut wajah sedih dan kecewa. "Apa dia sedang sakit?""Dia sedang tidak enak badan. Sejak kemarin dia—"Belum usai ibunya bicara, Dean langsung memotongnya setelah mendengar istrinya tidak enak badan. "Aku akan menemuinya.""Dean istrimu sedang ..."Dean bergegas menuju kamar yang ditempati Lucia tanpa menunggu penjelasan lengkap
"Di mana Carissa?" tanya Dean setelah asistennya masuk ke ruangan kerjanya."Sedang dalam perjalanan, Tuan.""Lalu Rebecca?""Sudah di tempat yang Tuan perintahkan."Dean berpikir sebentar, lalu berkata, "Tunggu di bawah. Aku hubungi istriku dulu."Nolan menjawab seraya mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu."Sayang, kau sedang apa?" tanya Dean setelah panggilan telponnya tersambung. "Baru selesai makan. Kau kapan ke sini?" Terdengar suara Lucia di ujung telpon."Belum tahu. Pekerjaanku masih banyak."Tidak terdengar apa pun di sebrang sana, hingga Dean kembali membuka suaranya, "Kenapa? Sudah merindukan aku?""Bekerjalah, aku tutup dulu telponnya."Tahu kalau istrinya sedang marah, Dean segera berbicara, "Aku akan ke sana lusa.""Benarkah?" Suara Lucia terdengar antusias, tidak lesu seperti sebelumnya. "Kau tidak berbohong, kan?""Tidak. Setelah urusanku selesai. Aku akan langsung terbang ke sana."Lucia terdengar memekik kegirangan. Sepertinya dia merasa sangat senang saat t
"Sayang, makanlah. Ini sudah sore." Dean sedang berusaha membujuk istrinya untuk makan, karena sejak pulang dari rumah sakit, Lucia langsung mengurung diri kamar hotel. Dia terus berbaring sambil melamun.Sudah berkali-kali Dean mengajaknya untuk makan, tapi Lucia menolak. Alasannya, karena dia tidak selera makan. Akhirnya Dean membiarkan istrinya untuk sendiri dulu. Dia tahu kalau istrinya itu masih terkejut dengan dengan kondisi Bernice. Jadi, butuh waktu untuk menerima kenyataan yang ada."Aku belum lapar," jawab Lucia tanpa menoleh pada Dean. Lucia nampak sedang duduk di dekat dinding kaca kamarnya sembari menatap ke luar dengan tatapan kosong.Dean akhirnya menghampiri istrinya setelah meletakkan makanan yang tadi baru saja diambil dari atas nakas. "Tapi, kau harus tetap makan. Aku tidak mau kau sakit."Lucia memutar tubuhnya ke samping setelah suaminya berdiri tepat di sampingnya. "Nanti aku akan makan jika sudah lapar."Kau masih memikirkan Bernice?”Lucia mengangguk dengan waj
"Jangan terlalu dipikirkan. Aku akan meminta orang untuk mencarinya lagi." Dean akhirnya angkat bicara setelah melihat istrinya sejak tadi diam saja. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat Bernice dirawat. Semenjak tidak berhasil mengikuti mobil hitam yang diduga dinaiki Jensen, Lucia menjandi murung. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi dia lebih banyak diam sejak kemarin."Kita pasti bisa menemukannya. Jangan cemas lagi," ujar Dean sembari menatap istrinya yang duduk di sebelahnya."Aku tidak mencemaskannya, tapi aku marah padanya." Suara Lucia mulai terdengar bergetar. "Bagaimana bisa dia hidup tanpa beban setelah menghancurkan hidup Bernice." Mata Lucia pun mulai berkaca-kaca, dan tidak lama setelahnya, air matanya pun luruh begitu saja. Entah kenapa, belakangan ini, dia merasa sangat sensitif. Mudah sekali menangis. Padahal, dulu dia tidak begitu."Jika dia tidak peduli denganku, aku masih bisa memakluminya, tapi aku tidak bisa memaafkannya, karena
"Kenapa tidak tidur?" tanya Dean lembut usai menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. "Tidak mengantuk?"Lucia menggeleng pelan seraya memainkan jemari tangannya di dada suaminya. Saat ini, dia sedang berbaring miring dengan kepala yang berada di lengan suaminya. Sementara itu, ada tangan Dean melingkar di pinggangnya."Tidur sebentar. Setelah itu kita makan di bawah."Bagaimanapun, mereka belum istirahat. Dia langsung mengajak istrinya ke rumah sakit tempat adiknya dirawat, setelah tiba di Bristol. Setelah itu, baru membawanya ke hotel. Bukannya membiarkan istrinya istirahat, dia justru menghajar istrinya tanpa ampun. Jadi, dia takut istrinya lelah."Aku tidak mengantuk."Lucia sudah lama tidur di pesawat. Jadi, wajar saja kalau tidak mengantuk. Meskipun dia merasa tubuhnya pegal, tapi matanya tidak mau terpejam."Tidak lelah?" tanya Dean seraya menunduk ke bawah untuk melihat wajah istrinya. "Tidak."Tidak?Dean nampak mengerutkan keningnya. Istrinya terlalu tanggguh atau sta
Lucia mengurai pelukan Dean, mendongakkan kepada hingga netranya bertabrakan dengan mata hitam Dean. "Kau belum menjelaskan mengenai pertemuanmu dengan Carissa. Kenapa kau sering sekali bertemu dengannya di hotel berbeda?"Bukannya menjawab pertanyaan Lucia, Dean justru menarik senyuman sangat tipis di bibirnya, kemudian menggodan Lucia. "Kau sungguh berpikir aku memiliki hubungan dengan Carissa?""Sudahlah. Percuma saja bertanya padamu." Wajah Lucia nampak cemberut, dia mendorong dada suaminya dengan pelan. Saat dia akan bangkit, tangan Dean langsung menahan pinggangnya."Mau ke mana?""Tidak ke mana-mana," jawan Lucia acuh tak acuh."Masih cemburu dengannya?" tanya Dean seraya mengamati eskpresi istrinya. Tatapannya begitu lekat hingga membuat Lucia menjadi salah tingkah.Melihat Lucia bungkam, Dean kembali tersenyum tipis. "Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Carissa. Aku bertemu dengannya, karena ada hal penting yang harus aku bicarakan dengannya.""Hal penting apa?"Dean m