Setelah keluar kamarnya, Dean turun ke bawah. Dia berjalan menuju restoran yang berada di hotel itu. Dia memutar pandanganya ke sekeliling sejenak, setelah menemukan apa yang dia cari, dia berjalan menuju meja yang berada di ujung sebelah kanan restoran itu.Di meja yang dituju Dean, nampak seorang pria sudah duduk lebih dulu di sana. Tanpa menyapa pria itu, Dean duduk dengan wajah dinginnya."Apa yang ingin kau bicarakan denganku?" tanya Dean pada pria yang duduk di depannya. Pria itu adalah Julian. Dia datang ke pesta pernikahan Dean bersama Renata. Dia langsung terbang ke kota Y saat tahu kalau Lucia akan menikah dengan Dean. Kabar itu sangat mengejutkan baginya, terlebih Lucia tidak mengatakan apa pun padanya sebelumnya.Julian baru saja tiba sore hari di kota Y dan langsung mengajak Renata untuk bertemu sebelum menghadiri pesta pernikahan Lucia. Dia sengaja mengajak Renata bertemu, karena ingin menanyakan perihal pernikahan Lucia dan Dean yang dilakukan secara mendadak. Sebenar
Usai sarapan, Lucia dan Dean kembali ke kamar. Siang nanti, keluarga Lucia dan Dean akan kembali ke kediaman masing-masing. Sementara pengantin baru masih menginap di sana dan akan kembali esok pagi.“Jika kau tidak ingin berbulan madu. Aku akan mengatakan pada kakek kalau kita tidak bisa pergi,” ucap Lucia setelah duduk di tepi ranjang kamar pengantin mereka.Buka tanpa alasan Lucia mengatakan itu. Dulu, ketika mereka akan menikah, Dean sempat mengatakan kalau dirinya tidak ingin berbulan madu setelah menikah, dan tadi, pria itu kembali menolak karena alasan yang sama, yaitu tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Meskipun pada akhirnya Dean menyetujui rencana bulan madu itu, tapi Lucia tahu, pria itu enggan pergi berbulan madu dengannya. Dia terpaksa menyetujuinya, karena terus didesak oleh kakeknya. Maka dari itu, dia mengatakan itu pada Dean. “Tidak perlu. Cutiku sudah disetujui. Jadi, ikuti saja kemauan Kakek. Dia akan terus mengangguku jika kita tidak pergi.” Dean berjalan menuj
"Dean, sungguh bukan aku yang melakukannya. Itu perbuatan orang lain," sanggah Carissa dengan wajah pucat. Saat ini, keduanya sedang berada di apartemen Carissa."Hanya kau yang memiliki vidio dan foto itu," kata Dean dengan dingin."Selain aku, masih ada satu orang lagi yang memilikinya. Doni juga memiliki salinannya. Tiga tahun lalu, memang aku yang menyebarkan vidio itu, tapi kali ini, bukan aku. Sungguh!"Melihat tatapan tidak percaya dari Dean, Carissa kembali berkata, "Dean, aku sudah berjanji untuk tidak mengganggu Lucia lagi. Aku tidak mungkin melanggar janjiku."Wajah Dean terlihat sangat datar, dan itu justru membuat Carissa semakin takut. "Dean, seharusnya kau pikirkan lagi, siapa yang paling diuntungkan dari tersebarnya foto itu dan juga berita palsu tentang Lucia. Aku memang berharap semua orang membenci dan mencaci Lucia, tapi tidak mungkin aku menampilkan wajahmu."Demi tidak menyinggung Dean, tiga tahun lalu dia sengaja menyebarkan vidio yang wajah Dean tidak tersorot
Dean mengerutkan keningnya saat tidak mendapati keberadaan Lucia. Dia merain ponselnya, lalu menghubungi istrinya."Kau di mana?" tanya Dean setelah panggilan telpon tersambung. "Tungggu di sana." Usai mengakhiri panggilan tersebut, Dean berjalan keluar dari kamarnya.Sementara itu, Lucia yang berada di restoran, segera menatap Julian setelah panggilan terputus. "Julian, kita bicara lain kali. Aku harus kembali ke kamar."Julian yang belum sempat menyelesaikan ucapannya, terpaksa menunda apa yang akan dia beritahukan pada Lucia ketika melihat wanita di depannya itu berdiri."Aku mengantarmu sampai lift."Lucia ingin menolak. Namun, dia takut Julian tersinggung. Jadi, dia membiarkan pria itu mengikutinya keluar. "Lucia, mengenai perasaanku tadi ..." Julian menjeda ucapannya sessat untuk melihat reaksi Lucia. "Jangan terbebani oleh itu. Aku hanya ingin kau tahu saja. Tidak ada maksud lain," kata Julian setelah tiba di depan lift. "Tetaplah bersikap seperti biasa. Aku tetap Julian yang
"Aku bisa mati membeku di sini," ucap Peter sambil melirik pada Dean yang terlihat sedang duduk di sofa paling ujung. Ekspresi wajahnya begitu mengerikan hingga Peter takut untuk sekedar membuka suaranya.Sejak Dean memasuki ruangan VIP yang mereka pesan, suasana menjadi tegang dan juga mencekam. Bahkan Peter merasa sulit bernapas ketika melihat wajah dingin Dean."Sebenarnya, apa yang terjadi dengannya?" bisik Peter pada Fandy yang duduk di samping kirinya. Sejak tadi, mulutnya sudah gatal untuk berbicara. Namun, dia tahan karena takut pada Dean. "Kenapa dia berada di sini?"Peter merasa aneh. Dean baru saja menikah, dan ini malam kedua setelah pernikahannya. Seharusnya Dean sedang menikmati madu pernikahan bersama istrinya. Saat ini adalah momen paling membahagiakan untuk pasangan pengantin baru itu. Apalagi, yang dia tahu dari Fandy, Dean masih mencintai Lucia, seharusnya penerus keluarga Anderson itu senang karena sudah berhasil menikahi wanita yang dia cintai."Apa mereka berten
"Lucia, Dean sedang mabuk."Lucia yang baru saja mengangkat telpon dari Victor nampak terkejut ketika mendengar itu."Di mana dia?""Di club Fandy. Apa kau bisa menjemputnya?'Tanpa banyak tanya, Lucia langsung menyanggupi permintaan Victor. "Iyaa. Tolong jaga dia dulu sebelum aku datang."Setelah panggilan terputus, Lucia segera mengganti pakaianya dengan yang tebal dan bergegas keluar dari kamarnya.Saat Victor menghubunginya, Lucia sedang berada di kamar mandi. Dia belum tidur karena sejak tadi terus menunggu kepulangan Dean. Sambil menunggu Dean, dia terus memikirkan perkataan pria itu sebelum pergi. Kata-kata suaminya itu terus terngiang di telinganya. Entah kenapa, setelah mendengar kata-kata itu, Lucia jadi berpikir kalau Dean cemburu pada Julian, tapi setelah berpikir lagi, Lucia menjadi ragu sendiri dengan dugaannya. Jika memang Dean cemburu dengan Julian, itu artinya pria itu masih mencintainya dan menurut Lucia, tidak mungkin pria itu masih memiliki perasaan terhadapnya.
"Seadainya kau tahu apa yang sudah Jensen lakukan di masa lalu, kau pasti akan merasa sangat bersalah pada Dean dan keluarganya. Jika bukan karena Dean melindungimu dan keluargamu 3 tahun lalu, keluargamu pasti sudah hancur. Dean rela menjadi tameng untukmu agar ibunya tidak bisa menyentuhmu."Itu adalah perkataan Fandy sebelum mereka menyudahi permbicaraan mereka. Entah kenapa, perkataan Fandy itu mengusik hati kecilnya. Selama dalam perjalanan pulang ke hotel, Lucia terus memikirkan perkataan pria itu."Dean juga menderita, bahkan jauh menderita dari pada kau. Tiga tahun lalu adalah masa terberat baginya. Jadi, aku minta padamu, jika kau memang masih memiliki perasaan pada Dean, tolong perbaiki huhunganmu dengannya. Lupakanlah kejadian masa lalu. Jangan pernah mengungkitnya lagi, karena sebenarnya, semuanya berawal dari kakakmu. Dean memang bersalah padamu, tapi kesalahan kakakmu jauh lebih besar. Karena kalian sudah menikah, mulai sekarang, hiduplah dengan baik bersama Dean. Aku me
“Kenapa kita ke sini?” Lucia menatap heran pada Dean ketika mobil yang mereka naiki berhenti di depan rumah sakit. Rumah sakit itu adalah rumah sakit tempat ayahnya biasa berobat.“Nenek masuk rumah sakit,” jawan Dean seraya merapihkan pakaiannya.“Kapan nenek masuk rumah sakit?”“Semalam.”Mata Lucia membola. Dia sama sekali tidak tahu hal itu. Padahal, semalam, dia dan kakek Dean saling berkirim pesan. Tidak ada sedikitpun kakek Dean menyinggung perihanenek Dean yang masuk rumah sakit.Ketika akan memasuki ruangan Tuan Federick, Dean dan Lucia disapa oleh kedua orang pengawal yanhg berdiri di depan pintu. Dean hanya mengangguk dan langsung masuk ke dalam.“Kakek.” Lucia memanggil Tuan Federick dengan pelan ketika melihat kakek Dean sedang duduk bersandar di sofa dengan wajah lelah.Ketika mendengar suara lembut Lucia, Tuan Federick segera membuka matanya yang semula terpejam. “Kalian sudah datang?”Lucia dan Dean mengangguk, kemudian berjalan dengan langkah pelan menuju sofa agar ti
"Bernice, maafkan aku. Aku tidak bisa menepati janjiku untuk membawa Jensen." Lucia memeluk adik Dean dengan mata yang memerah. Setelah pulang dari pusat perbelanjaan, Lucia langsung meminta Dean untuk mengantarnya ke rumah sakit tempat Bernice dirawat. Setelah itu, Dean mengantar ibunya untuk pulang ke apartemen. Jadi saat ini, mereka hanya berdua. "Jensen tidak akan kembali. Dia sudah memiliki kehidupan baru dengan orang lain. Tolong relakan dia. Aku yakin suatu saat nanti, kau akan menemukan pria yang tulus mencintaimu," ucap Lucia dengan suara bergetar. "Kau bisa melampiaskan kemarahanmu padaku, kapan pun kau mau. Aku berjanji akan menebus kesalahan kakakku seumur hidupku." Lucia tidak bisa lagi membendung air mata yang sejak tadi dia berusaha tahan. Tubuh bergetar, karena berusaha meredam suara tangisnya. "Akan kulakukan apa pun demi kesembuhanmu." Hening selama beberapa saat. Setelah itu, tiba-tiba saja Lucia mendengar suara lirih Bernice, "Kak, aku mau pulang." Lucia langs
"Lucia, aku ke toilet dulu," kata Dean sambil berdiri. "Kau tunggu di sini dulu." "Baiklah." Saat ini, mereka sedang berada di restoran yang ada di pusat perbelanjaan di kota Bristol. Mereka baru saja dari rumah sakit sebelum ke sana. Rencananya mereka akan kembali ke kota Y tiga hari lagi. Itu sebabnya, mereka ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter kandungan sekaligus meminta surat izin untuk melakukan penerbangan jarak jauh. Untuk pulang ke negaranya, Dean sengaja menyewa seorang Dokter Kandungan selama mereka melakukan penerbangan, karena takut terjadi apa-apa dengan istrinya selama penerbangan. Beruntung Dean menggunakan jet pribadi. Jadi, segala sesuatunya sudah diurus sedemikian rupa demi kenyaman Lucia selama penerbangan. Sudah 4 hari Dean berada di Bristol. Jadi, dia harus segera kembali ke kota Y, dikarenakan banyak pekerjaan yang sudah menunggunya. Sebenarnya, Lucia masih ingin di Bristol menemani Bernice dan ibu mertuanya. Hanya saja, Dean melarangnya, karena
"Kau yakin tidak mau dirawat?" tanya Dean setelah keluar dari ruangan Dokter Kandungan. Mereka baru saja selesai memeriksakan kehamilan Lucia. Setelah istrinya bangun dan selesai sarapan, Dean langsung mengajaknya ke rumah sakit. Dia sangat khawatir dengan kondisi janin dalam perut istrinya, mengingat bagaimana semalam dia menggempur istrinya. Selain itu juga, Lucia belum pernah memeriksakan lagi kehamilannya semenjak mengetahui dirinya hamil seminggu yang lalu. Itu sebabnya, dia mengajak istrinya untuk memeriksakan kondisi kehamilannya. Lucia yang juga ingin tahu tentang janin dalam kandunganya, tidak menolak ketika Dean mengajaknya untuk ke rumah sakit. Lagi pula, dia memang sengaja menunggu Dean karena ingin memeriksakan kehamilannya bersama suaminya. "Aku baik-baik saja, Dean. Kau dengar sendiri bukan apa yang dikatakan oleh Dokter tadi?" Dean mengangguk ringan, kemudian tersenyum tipis. Setelah mengetahui tidak terjadi apa-apa dengan kandungan istrinya, dia baru bisa bernapas
"Bu, di mana istriku?" Dean bertanya sembari berjalan mendekati ibunya yang sedang duduk di sofa ruangan keluarga. Dean baru saja tiba di apartemen yang disewa ibunya selama tinggal di Bristol. "Dia di kamarnya," jawab Nyonya Arnetta. "Kenapa kau baru ke sini?"Dean menggulung lengan kemejanya setelah itu berkata, "Ada sedikit masalah di perusahaan. Jadi, terpaksa aku memundurkan penerbanganku.""Istrimu sudah menunggumu sejak dua hari yang lalu. Kasihan dia kecewa saat tahu kau tidak jadi ke sini. Sudah dua hari ini dia nampak sedih dan lesu."Dean sedikit terkejut mendengar itu. Pasalnya, setiap berkomunikasi dengan istrinya, Lucia tidak pernah menampilkan raut wajah sedih dan kecewa. "Apa dia sedang sakit?""Dia sedang tidak enak badan. Sejak kemarin dia—"Belum usai ibunya bicara, Dean langsung memotongnya setelah mendengar istrinya tidak enak badan. "Aku akan menemuinya.""Dean istrimu sedang ..."Dean bergegas menuju kamar yang ditempati Lucia tanpa menunggu penjelasan lengkap
"Di mana Carissa?" tanya Dean setelah asistennya masuk ke ruangan kerjanya."Sedang dalam perjalanan, Tuan.""Lalu Rebecca?""Sudah di tempat yang Tuan perintahkan."Dean berpikir sebentar, lalu berkata, "Tunggu di bawah. Aku hubungi istriku dulu."Nolan menjawab seraya mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu."Sayang, kau sedang apa?" tanya Dean setelah panggilan telponnya tersambung. "Baru selesai makan. Kau kapan ke sini?" Terdengar suara Lucia di ujung telpon."Belum tahu. Pekerjaanku masih banyak."Tidak terdengar apa pun di sebrang sana, hingga Dean kembali membuka suaranya, "Kenapa? Sudah merindukan aku?""Bekerjalah, aku tutup dulu telponnya."Tahu kalau istrinya sedang marah, Dean segera berbicara, "Aku akan ke sana lusa.""Benarkah?" Suara Lucia terdengar antusias, tidak lesu seperti sebelumnya. "Kau tidak berbohong, kan?""Tidak. Setelah urusanku selesai. Aku akan langsung terbang ke sana."Lucia terdengar memekik kegirangan. Sepertinya dia merasa sangat senang saat t
"Sayang, makanlah. Ini sudah sore." Dean sedang berusaha membujuk istrinya untuk makan, karena sejak pulang dari rumah sakit, Lucia langsung mengurung diri kamar hotel. Dia terus berbaring sambil melamun.Sudah berkali-kali Dean mengajaknya untuk makan, tapi Lucia menolak. Alasannya, karena dia tidak selera makan. Akhirnya Dean membiarkan istrinya untuk sendiri dulu. Dia tahu kalau istrinya itu masih terkejut dengan dengan kondisi Bernice. Jadi, butuh waktu untuk menerima kenyataan yang ada."Aku belum lapar," jawab Lucia tanpa menoleh pada Dean. Lucia nampak sedang duduk di dekat dinding kaca kamarnya sembari menatap ke luar dengan tatapan kosong.Dean akhirnya menghampiri istrinya setelah meletakkan makanan yang tadi baru saja diambil dari atas nakas. "Tapi, kau harus tetap makan. Aku tidak mau kau sakit."Lucia memutar tubuhnya ke samping setelah suaminya berdiri tepat di sampingnya. "Nanti aku akan makan jika sudah lapar."Kau masih memikirkan Bernice?”Lucia mengangguk dengan waj
"Jangan terlalu dipikirkan. Aku akan meminta orang untuk mencarinya lagi." Dean akhirnya angkat bicara setelah melihat istrinya sejak tadi diam saja. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat Bernice dirawat. Semenjak tidak berhasil mengikuti mobil hitam yang diduga dinaiki Jensen, Lucia menjandi murung. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi dia lebih banyak diam sejak kemarin."Kita pasti bisa menemukannya. Jangan cemas lagi," ujar Dean sembari menatap istrinya yang duduk di sebelahnya."Aku tidak mencemaskannya, tapi aku marah padanya." Suara Lucia mulai terdengar bergetar. "Bagaimana bisa dia hidup tanpa beban setelah menghancurkan hidup Bernice." Mata Lucia pun mulai berkaca-kaca, dan tidak lama setelahnya, air matanya pun luruh begitu saja. Entah kenapa, belakangan ini, dia merasa sangat sensitif. Mudah sekali menangis. Padahal, dulu dia tidak begitu."Jika dia tidak peduli denganku, aku masih bisa memakluminya, tapi aku tidak bisa memaafkannya, karena
"Kenapa tidak tidur?" tanya Dean lembut usai menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. "Tidak mengantuk?"Lucia menggeleng pelan seraya memainkan jemari tangannya di dada suaminya. Saat ini, dia sedang berbaring miring dengan kepala yang berada di lengan suaminya. Sementara itu, ada tangan Dean melingkar di pinggangnya."Tidur sebentar. Setelah itu kita makan di bawah."Bagaimanapun, mereka belum istirahat. Dia langsung mengajak istrinya ke rumah sakit tempat adiknya dirawat, setelah tiba di Bristol. Setelah itu, baru membawanya ke hotel. Bukannya membiarkan istrinya istirahat, dia justru menghajar istrinya tanpa ampun. Jadi, dia takut istrinya lelah."Aku tidak mengantuk."Lucia sudah lama tidur di pesawat. Jadi, wajar saja kalau tidak mengantuk. Meskipun dia merasa tubuhnya pegal, tapi matanya tidak mau terpejam."Tidak lelah?" tanya Dean seraya menunduk ke bawah untuk melihat wajah istrinya. "Tidak."Tidak?Dean nampak mengerutkan keningnya. Istrinya terlalu tanggguh atau sta
Lucia mengurai pelukan Dean, mendongakkan kepada hingga netranya bertabrakan dengan mata hitam Dean. "Kau belum menjelaskan mengenai pertemuanmu dengan Carissa. Kenapa kau sering sekali bertemu dengannya di hotel berbeda?"Bukannya menjawab pertanyaan Lucia, Dean justru menarik senyuman sangat tipis di bibirnya, kemudian menggodan Lucia. "Kau sungguh berpikir aku memiliki hubungan dengan Carissa?""Sudahlah. Percuma saja bertanya padamu." Wajah Lucia nampak cemberut, dia mendorong dada suaminya dengan pelan. Saat dia akan bangkit, tangan Dean langsung menahan pinggangnya."Mau ke mana?""Tidak ke mana-mana," jawan Lucia acuh tak acuh."Masih cemburu dengannya?" tanya Dean seraya mengamati eskpresi istrinya. Tatapannya begitu lekat hingga membuat Lucia menjadi salah tingkah.Melihat Lucia bungkam, Dean kembali tersenyum tipis. "Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Carissa. Aku bertemu dengannya, karena ada hal penting yang harus aku bicarakan dengannya.""Hal penting apa?"Dean m