"Bu, cukup." Arnetta menatap putranya dan bertanya padanya dengan tidak senang, "Sampai kapan kau mau menyembunyikan darinya?" Dean merendahkan suaranya agar tidak terdengar jelas oleh Lucia. "Bu, masalah juga tidak akan selesai jika kita memberitahunya." "Setidaknya dia harus tahu kalau Jensen adalah penyebab utamanya. Dia yang sudah mengacaukan semuanya." Mendengar nama kakaknya disebut, Lucia menjadi semakin heran. "Kenapa Bibi menyalahkan kakakku? Sementara anakmu sendiri yang sudah menghancurkan hidupku. Dia yang sudah membatalkan pernikahan kami." Dan juga, pria itu yang sudah mengambil kesuciannya. Tidak terima anaknya disalahkan, Nyonya Arnetta akhirnya melangkah melewati Dean dan berhenti tepat di depan Lucia. "Jika kau tidak lari keluar negeri, kalian pasti sudah menikah saat ini. Jika kau bisa bersabar sedikit saja, hubungan kalian—" "Bu, sudah cukup!" potong Dean, "jangan membahas itu lagi. Semunya sudah berlalu." Meskipun tidak setuju dengan perkataan anaknya, Nyon
"Bibi, di mana Dean?" Rebecca yang sejak tadi mencari keberadaan Dean, akhirnya bertanya pada Nyonya Arnetta ketika melihatnya sedang berjalan menuju kamar Nyonya Sheema. "Dia sepertinya sedang bersama tamu lain," jawab Arnetta. Dia sengaja berbohong pada Rebecca karena tidak ingin dia tahu kalau Dean sedang bersama Lucia saat ini. "Aku sudah mencarinya ke seluruh tempat Bibi, tapi Dean tidak ada." Dia hanya melihat Tuan Federick sedang mengobrol dengan tamunya tadi. "Mungkin dia sedang pergi dengan Nolan. Kau coba saja hubungi dia," saran Nyonya Arnetta. "Aku sudah menghubunginya tadi, tapi tidak diangkat." Dia bahkan sudah menelponnya hingga sepuluh kali, tapi tidak ada satu pun yang dijawab oleh Dean. Begitupun pesan yang dia kirim. "Kau tunggu saja dulu. Nanti bibi bantu hubungi Dean." Nyonya Arnetta menghampiri Tuan Federick setelah berbicara pada Rebecca. Kalau Rebecca mengatakan Dean tidak ada di seluruh tempat, itu artinya putranya itu pergi bersama Lucia. "Ayah, di man
Dean meneliti wajah Lucia sejenak sebelum menjawab pertanyaannya. "Karena kakakmu yang memintaku untuk membatalkan pernikahan kita." Mata Lucia langsung membelalak setelah mendengar jawaban dari Dean. "Dia melarangku untuk menikahimu." "Tidak mungkin," sanggah Lucia seraya menggeleng kuat. "Kakakku tidak mungkin melakukan itu." Jensen dan Dean berteman dekat, tidak mungkin kakaknya menentang pernikahan mereka. Dan lagi, Jensen sudah lama menghilang. Kakaknya itu, tidak tahu mengenai hubungannya dengan Dean, karena keduanya menjalin hubungan setelah kakaknya menghilang. "Aku sudah mengatakan yang sesungguhnya. Terserah kau mau percaya atau tidak," ujar Dean dengan acuh tak acuh. Menjelaskan secara panjang lebar bukanlah kebiasaannya. "Kakakku tidak tahu kalau kita akan menikah. Jensen sudah menghilang sebelum kita menjalin hubungan Bagaimana mungkin dia melarangmu menikahiku?" Dean menatap Lucia cukup lama, sebelum akhirnya dia membuka suara dengan ekspresi datarnya. "Lucia, penj
Lucia yang mendapatkan serangan secara tiba-tiba dari Dean, hanya bisa mematung dengan iris yang melebar. Beberapa detik berlalu, kesadaran Lucia akhirnya kembali, dia segera mendorong tubuh pria yang sejak tadi terus melumat bibirnya dengan kasar. “Dean berhenti!” Tubuh keduanya pun terurai. Namun, hanya sesaat, karena setelah itu, Dean kembali mendekati Lucia dan merengkuh pinggangnya. “Jangan pernah mengatakan itu lagi. Aku tidak suka.” Dean kembali menyatukan bibir keduanya. Kali ini, Dean menekan bibirnya lebih dalam dari sebelumnya. Lucia terus berusaha mendorong tubuh Dean, tapi pria itu justru semakin merapatkan tubuh keduanya sambil menekan pinggang ramping Lucia ke arahnya. Entah apa yang merasuki pria itu, hingga dia seperti hilang akal. Karena Dean tidak juga melepaskan dirinya, Lucia akhirnya menggigit bibir pria itu, hingga membuatnya merintih dan refleks menjauhkan diri darinya. Bibir bawah Dean nampak terluka dan mengeluarkan cairan merah. Melihat bibir Dean berd
Ketika mendengar itu, mata Lucia mulai mengembun lagi. Namun, dia terus menatap pria yang wajahnya terlihat sangat marah saat ini. "Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya Lucia dengan raut wajah putus asa, "bahkan jika aku menjual diri, belum tentu aku bisa menghasilkan uang sebanyak itu. Tubuhku sudah tidak berharga lagi. Tidak akan ada yang mau mengeluarkan uang yang banyak hanya demi tubuh kotor ini." Dia sudah tidak suci lagi, tubuhnya pun sudah dilihat oleh semua orang, jadi Lucia merasa kalau dirinya tidak memiliki nilai lagi. Setelah vidionya tersebar, Lucia merasa sangat malu karena tubuhnya sudah menjadi tontonnya semua orang. Padahal, hanya siluetnya saja yang terlihat di vidio itu. Tubuhnya aslinya tidak terlihat jelas karena karena pencahayaan di kamar itu redup bahkan cenderung gelap. Tubuhnya pun sebenarnya tertutupi oleh Dean, jadi tidak nampak apa pun di vidio itu, kecuali siluet dua orang yang sedang melakukan hal intim. "Lucia, sebaiknya kau buang jauh-jauh p
"Masuk," titah Dean setelah membuka pintu mobil bagian depan. "Kau tidak perlu mengantarku, aku bisa minta Renata untuk menjemputku," tolak Lucia dengan halus. "Masuk." Melihat wajah Dean yang tidak ingin dibantah, Lucia akhirnya masuk ke dalam mobil. Tidak lama setelah itu, Dean melakukan hal yang sama. Mobil pun melaju meninggalkan tempat itu dengan kecepatan sedang. Butuh waktu satu setengah jam untuk tiba di kediaman Lucia. Setelah mobil berhenti, Dean menatap rumah di depannya sejenak sebelum memutuskan untuk turun bersama dengan Lucia. "Aku beri waktu 3 hari untuk berpikir," ucap Dean setelah berdiri di hadapan Lucia. Itu mengenai kesepakatan yang Dean tawarkan tadi. "Ya. Aku akan—" "Lucia!" Suara teriakan dari belakang menginterupsi ucapan Lucia. Ternyata Nyonya Helia yang memanggil nama putrinya. "Bibi," sapa Dean setelah Ibu Lucia berdiri di depan Lucia. Nyonya Helia hanya mengangguk dengan raut wajah tidak mengenakkan, setelah itu dia beralih pada putrinya. "Kau k
Di dalam kamarnya, Dean sedang menerima telpon dari seseorang. Dia berdiri di depan jendela kamarnya dengan satu tangan yang berada di saku celananya, sementara tangan lainnya memegang benda pipih berwarna hitam dan menempelkan di telingannya."Apa kau yakin?"Setelah mendengar jawaban dari ujung telpon, Dean kembali berkata, "Biarkan saja." Panggilan langsung diputus oleh Dean.Dia memasukkan ponsel ke saku celana, melepas dasinya dengan kasar, kemudian melemparnya ke lantai dengan ekspresi kesal. Baru setelah itu, dia berjalan keluar lagi dari kamarnya.Saat akan melewati ruangan tengah, Dean berpapasan dengan ibunya yang baru akan pergi ke kamar."Kau mau ke mana, Dean?""Keluar."Hanya itu jawaban Dean, dia melewati ibunya dengan raut wajah dinginnya.“Ini sudah malam, kenapa keluar lagi?”Dean mengabaikan pertanyaan ibunya dan terus berjalan keluar. Dia melajukan mobilnya, hingga berhenti di depan club malam milik Fandy.Tidak seperti biasanya yang selalu memesan ruangan VIP, kali
Ketika akan melewati meja Dean dan Rebecca, Lucia langsung memalingkan wajahnya ke samping, memutus kontak mata keduanya. Julian sendiri, sempat melirik sekilas pada Dean dan sempat bertemu pandang dengan pria itu sebentar. "Kau ingin pesan apa?" tanya Julian setelah keduanya duduk di meja paling ujung. "Apa saja." Saat ini, dia sedang tidak berada dalam keadaan ingin memakan sesuatu. Napsu makannya langsung hilang saat melihat keberadaan Dean dan Rebecca di restoran itu. Sementara di meja lainnya, Dean terlihat menyantap makanannya kembali dengan wajah acuh tak acuh. "Dean, bukankah itu, Lucia?" Rebecca bertanya pada Dean. Namun, pandangannya tertuju pada Lucia dan Julian yang mejanya berjarak 3 meja di belakang Dean. "Habiskan makananmu, jangan pedulikan lainnya." Suara dingin Dean membuat Rebecca langsung menutup mulutnya. Dia tidak lagi bicara dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Dean. Di meja Lucia, mereka baru saja selesai memesan makanan. "Lucia, acara nanti malam p