Winda yang sempat mendengar gumaman anaknya, lantas buka suara.“Mau saja, Kia.” Winda berkata sambil mengulum senyuman dan mengedipkan sebelah matanya.“Mama semangat sekali. Padahal yang dikirimi pesan aku, tapi Mama yang heboh,” ucap Saskia dengan tawanya.“Namanya juga orang tua, Kia. Waktu kamu menangis dan mengadu pada Mama kalau Raka berselingkuh, Mama ikutan sakit hati. Bahkan mungkin hati Mama lebih sakit dari kamu. Makanya Mama memaksa kamu untuk kasih tahu siapa selingkuhannya si Raka itu. Mama mau datangi perempuan itu. Tapi, kamu melarang. Kamu lebih memilih cara kamu sendiri untuk membalas sakit hati kamu. Begitu yang kamu bilang saat itu. Jadi Mama menurut saja, yang penting hati kamu bisa tenang,” sahut Winda. Dia mengusap lembut pipi mulus Saskia seraya berkata, “Mama nggak menyangka, kalau kamu berhasil membalas sakit hati kamu pada perempuan itu. Jujur saja, cara kamu itu elegan sekali, Kia. Kamu nggak perlu marah-marah pada perempuan itu. Tapi, pada akhirnya peremp
Seorang pria tampan bertubuh tinggi tegap baru saja keluar kantor, dan kini sedang melangkah ke area parkiran mobil. Waktu baru menunjukkan pukul lima sore, namun karena mendung yang kini menghiasi langit, membuat suasana terasa lebih gelap. Pria itu berlari kecil menuju mobilnya karena gerimis mulai membasahi bumi.Tepat ketika pria itu tiba di sisi mobilnya, tiba-tiba dua orang pria bertubuh kekar menghampirinya.“Sebaiknya Anda tinggalkan dulu mobil Anda di sini. Kami ada perlu penting, dan silakan masuk ke dalam mobil yang sudah tersedia!” ucap salah seorang pria bertubuh kekar itu.“Hei, kalian ini siapa? Kenapa datang-datang langsung main perintah begitu saja sih?” sentak pria muda itu dengan tatapan tajam ke arah dua pria kekar, yang sekarang justru mengapit dirinya.“Sudah jangan banyak tanya. Sekarang ikuti saja perintah kami kalau Anda mau selamat,” sahut salah satu pria kekar itu.“Ya nggak bisa begini juga dong. Masak kenal juga nggak, tiba-tiba mau bawa saya ke mobil itu
Diah tersenyum mendengar ucapan Anwar. Dia lalu berkata lirih. “Biarlah aku edan, War. Yang penting aku nggak punya cucu haram. Kalau bayi itu anak Pasya, aku lega. Bukan karena Pasya adalah orang kaya, tapi karena nantinya status cucuku jelas. Tumbuh di rahim Irene karena pernikahan yang sah, meski sekarang sudah berakhir pernikahan itu karena kebodohan anakku sendiri.”Anwar menganggukkan kepalanya, paham akan maksud Diah. Namun untuk melenyapkan bayi itu, rasanya dirinya tak tega. Selain itu, perbuatan tersebut bertentangan dengan hati nuraninya serta melanggar kode etik. “Semoga hasilnya nanti, bayi nya Irene adalah anak mantan suaminya,” ucap Anwar dengan senyuman.“Aamiin,” sahut Diah dengan senyuman.Setelah segala urusan di rumah sakit selesai, mereka pun kembali ke mobil. Tampak Raka yang mulai kurang nyaman dengan situasi di dalam mobil, ketika mobil bergerak meninggalkan area rumah sakit.“Ren, aku berhenti di depan aja. Aku naik taksi aja ke kantor. Mobilku masih ada di p
Mata Irene berkaca-kaca kala dia dan Pasya bersitatap di jarak beberapa meter dari meja yang dia tempati.Diah yang melihat anaknya kini berwajah sendu, lantas mengusap punggung Irene. Berusaha menguatkan anaknya. Dia juga melihat kalau Pasya sama sekali tak berniat untuk menghampiri Irene. Bahkan kini Pasya sudah bersama dengan wanita lain. Diah tak menyalahkan Pasya, karena saat ini status pria itu adalah seorang duda. Hanya yang dia sayangkan adalah sikap Pasya yang sepertinya tak ingin menjalin silaturahmi dengannya. Meskipun dirinya kini adalah seorang mantan mertua bagi Pasya, seharusnya pria itu tetaplah bersilaturahmi dengannya. Marah pada Irene, tentu tidak dengannya karena dirinya juga tak tahu menahu perihal perselingkuhan yang dilakukan anaknya. Begitu menurut pemikiran Diah.“Sudahlah, Ren. Kamu jangan bersedih lagi. Sekarang kamu harus ikhlas menjalani semua ini. Jangan menyiksa diri sendiri dengan terus bersedih. Menyesal sih boleh saja. Tapi, semua sudah terjadi kan. S
Seto lalu menyerahkan amplop berisi hasil tes DNA itu pada Haikal.Haikal dengan tangan gemetar, segera membuka amplop dan langsung membaca hasil tes DNA tersebut. Begitu juga dengan Amanda yang merapat ke sisi suaminya, agar bisa ikut membaca isi dari kertas yang sedang dipegang oleh Haikal.“Mas, bagaimana ini?” tanya Amanda berbisik.Haikal terdiam dan menghela napas panjang. Dia lalu melipat kertas itu dan menyerahkan kembali pada Seto.“Saya akan sampaikan hal ini pada Pasya. Dia nggak tinggal lagi bersama kami. Jadi nanti keputusannya ada pada Pasya. Apakah dia akan melakukan tes DNA juga atau bagaimana? Kita tunggu saja reaksinya. Kalau saya pribadi, maka saya akan sarankan Pasya untuk lakukan tes DNA juga. Agar dapat bukti akurat kalau bayi itu memang seratus persen anak Pasya, cucu saya. Maaf ya, Pak, Bu, bukan saya merendahkan Irene. Tapi, anak kita bercerai kan karena Irene yang terbukti...maaf, berselingkuh. Jadi setelah itu tiba-tiba hamil, wajar kalau kami masih ragu. Ja
“Ren...”Pasya perlahan menarik tangannya dari tangan Irene, dengan tatapan masih terarah pada perut mantan istrinya.“Iya, Mas. Ini anak kita. Aku sudah tes DNA sebelumnya dengan dia, dan hasilnya dia bukan ayah biologis bayi yang ada di rahimku ini. Dia anakmu, Mas,” ucap Irene lirih. Wajahnya tampak tegang ketika melihat ekspresi mantan suaminya. Ekspresi yang menyiratkan keraguan.“Aku sudah diberitahu orang tuaku soal hasil tes DNA itu. Tapi, aku perlu bukti akurat, Ren. Maaf, aku lakukan ini karena aku ingin kepastian saja. Soalnya...” Pasya menggantung kalimatnya karena tak ingin menyinggung perasaan Irene. Apalagi mantan istrinya itu sedang hamil. Dia tentunya tak ingin membuat kacau hati Irene karena perkataannya.“Kenapa nggak dilanjutkan? Bilang saja kalau kamu ingin kepastian tentang bayi ini, karena aku telah berselingkuh. Aku terima semua apa yang akan kamu katakan, Mas. Aku memang salah, dan tolong maafkan aku.” Irene berkata dengan mata yang mulai berembun, dan sambil
Sekitar lima menit kemudian, Irene telah siuman. Pasya mengulas senyum dan menarik napas lega. “Bi, ikut saya ke rumah sakit! Nanti temani Ibu Irene di jok belakang, ya!” titah Pasya. “Baik, Pak,” sahut si bibi patuh. “Mas...” Irene berkata lirih sambil memegang lengan Pasya. “Kamu tenang saja. Aku akan bawa kamu ke rumah sakit. Biar tahu apa yang menyebabkan kamu pingsan tadi. Kasihan bayi yang ada di kandungan kamu,” sahut Pasya. Dia lalu memapah Irene menuju ke teras. “Duduk dulu di sini. Aku akan memasukkan mobilku dulu. Biar kamu nggak usah jalan jauh ke depan,” ucap Pasya setelah tiba di teras. Dia lalu mengalihkan tatapan pada si bibi. “Bi, temani Ibu Irene, ya.” Asisten rumah tangga itu mengangguk patuh dan duduk di samping Irene. Tak lama, mobil Pasya sudah masuk ke halaman rumah dan berhenti tepat di dekat teras. “Ayo, Ren!” ajak Pasya ketika sudah kembali berada di dekat sang mantan istri. Dia lalu memapah Irene ke mobil, dan merebahkan tubuh Irene di jok belakang. “
Pasya langsung memeluk erat tubuh mantan istrinya. Dia sangat khawatir melihat wajah Irene yang pucat saat ini.“Tenang dulu, Pak. Saya akan memeriksanya. Silakan Bapak rebahkan lagi istri Bapak ke ranjang pemeriksaan!” ucap dokter, berusaha menenangkan Pasya. Pria itu menyebut Irene sebagai istri Pasya karena menurutnya, seorang pria dan wanita yang datang ke ruang praktiknya adalah sepasang suami istri. Seperti halnya pasiennya yang lain.Pasya mengangguk dan segera memapah tubuh Irene ke ranjang pemeriksaan, dan merebahkan tubuh sang mantan istri di sana.“Kuat ya, Ren,” pinta Pasya melirih.Irene hanya bisa mengangguk lemah. Dia ingin memuntahkan sesuatu yang membuatnya mual saat ini. Tapi, rasanya sulit. Kepalanya juga terasa pening saat ini.Suster pun sigap membantu sang dokter. Sedang Pasya hanya termangu di samping ranjang pemeriksaan.“Bagaimana, Dok? Apa yang terjadi? Apa karena tes tadi yang menyebabkan dia seperti ini?” cecar Pasya agak panik, meski dia berusaha untuk tet
Seto yang tak ingin keadaan menjadi memanas, lantas tampil sebagai penengah.“Irene, Papa rasa yang diucapkan Pasya itu benar. Kamu sabar dulu untuk sementara waktu. Video call adalah cara yang tepat. Tapi, kamu juga harus rutin mengunjungi Ayesha, dan pelan-pelan mendekatinya. Nanti juga lama-lama dia akan luluh sama kamu,” ucap Seto lembut. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Pasya. “Kamu nggak masalah kan kalau Irene nantinya akan rutin datang kemari untuk menemui Ayesha?”“Tentu saya nggak akan keberatan. Irene adalah ibu kandungnya Ayesha, Pak. Saya nggak mungkin memisahkan Ayesha dan ibu kandungnya. Jadi silakan Irene datang kapan pun dia mau. Hanya satu pesan saya, jangan memaksakan kehendak yang bikin Ayesha nggak nyaman. Itu saja sih permintaan saya, dan saya berharap kalau Irene bisa mengerti,” sahut Pasya.Seto lalu kembali menatap anaknya seraya berkata, “Ren, itu Pasya sudah bilang kalau dia sama sekali nggak keberatan, kalau kamu rutin datang kemari. Jadi solusinya begi
Tak lama, Saskia datang sambil menggendong Ayesha. Dia tampak sedang mengajak bercanda Ayesha sambil berjalan menuju sofa tempat Irene duduk.“Nah, ini ada mama, Sayang. Yesha sekarang dipangku sama mama, ya,” ucap Saskia dengan suara lembut.Ayesha yang sebelumnya tertawa, tiba-tiba merengek ketika Saskia meletakkannya di atas pangkuan Irene. Dia juga berpegangan pada blus Saskia, kode kalau dia tak ingin dilepaskan dari pelukan Saskia.“Ayesha, Sayang. Ini Mama, Nak. Mama kangen sama kamu. Semenjak kamu lahir, Mama belum peluk kamu,” ucap Irene lirih dengan kedua bola mata yang mulai berkaca-kaca, karena sedih mendapat penolakan dari anak kandungnya sendiri.Pasya yang melihat itu pun jadi tak tega. Dia membantu membujuk Ayesha.“Yesha...ayo, mau ya dipangku sama mama. Nanti mimik susu lagi sama mama,” ucap Pasya, yang membuat Saskia serta Irene kompak menoleh padanya.‘Mas Pasya kenapa ngomongnya soal menyusu sih? Apa memang itu yang sekarang ada di kepalanya. Mentang-mentang Irene
Saskia lalu beringsut menjauhi suaminya dengan wajah tertekuk. Dia mendadak diam seribu bahasa.Pasya yang mengetahui perubahan sang istri, lantas tersenyum dan meraih tangan Saskia.“Cemburu?” tanya Pasya dengan tatapan menggoda.Hening.Saskia sepertinya malas memberi tanggapan. Dia malah sibuk merapatkan selimut di tubuh Ayesha, yang terbaring di sebelahnya duduk.“Irene sudah pulih dari koma, Kia. Dia menanyakan tentang bayinya. Tadi papanya telepon saat kita masih di bandara. Kamu sedang sibuk sendiri dengan Ayesha, makanya nggak tahu kalau aku menerima telepon dari mantan mertua,” jelas Pasya dengan nada lembut.Saskia sontak menatap sang suami. “Irene mau mengambil Ayesha ya, Mas?”Pasya mengangguk seraya berkata, “Iya, Sayang. Dia kan ibunya. Dia juga taruhan nyawa saat melahirkan Ayesha. Lagi pula aku dan Irene sudah berkomitmen untuk mengasuh anak kami, meski di tempat yang berbeda.”Saskia tampak muram. Meskipun dia hanya sebatas ibu sambung, namun dia sangat menyayangi Aye
“Pa, kok diam saja?” tanya Irene lagi dengan nada mendesak.“Eh, kamu kan masih harus banyak istirahat, Ren. Nanti dilanjut lagi ngobrolnya, ya,” sahut Seto sedikit gugup. Membuat Irene curiga.“Pa, Ma, sebenarnya ini ada apa sih? Kok aku merasa kalau Mama dan Papa sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Ngomong saja sih terus terang. Ada apa?” desak Irene dengan wajah memelas.Seto dan Diah saling tatap. Mereka seolah sedang berdiskusi melalui tatapan mata. Hingga akhirnya Diah menganggukkan kepalanya pada sang suami.“Ren, kamu kan baru saja pulih dari koma. Lebih baik nanti saja Papa beritahunya. Papa khawatir kalau nanti kamu...” Seto menghentikan kata-katanya ketika Irene menyela ucapannya.“Ini ada hubungannya dengan Ayesha dan Mas Pasya? Kalau iya, nggak apa katakan saja sekarang. Aku merasa sudah lebih baik kok sekarang, Pa,” ucap Irene yakin.“Ya sudah, kamu kasih tahu saja sekarang, Mas,” timpal Diah.Seto mengangguk. Dia lalu menatap wajah cantik Irene yang terliha
Kini kedua bola mata Irene mulai membuka secara perlahan. Tatapan wanita itu menyisir ke sekitarnya.“Selamat malam, Bu Irene,” sapa dokter dengan suara perlahan. Pria itu memperhatikan setiap respons pasiennya, untuk mengetahui sejauh mana perkembangan Irene.“Ma-malam,” sahut Irene lirih dan terbata.“Ibu baru saja siuman setelah tak sadarkan diri selama empat bulan lamanya. Selamat datang, Bu Irene. Semoga kondisi Ibu semakin membaik,” ucap dokter dengan senyuman.“S-saya ta-tak s-sadar kan di-ri s-selama em-pat bu-lan?” sahut Irene masih dengan suara terbata-bata.“Iya dan alhamdulillah, sekarang Ibu sudah melewati masa kritis. Tapi, setelah ini tolong jangan banyak bicara dulu. Ibu istirahat dulu yang cukup supaya kesehatannya lekas pulih,” ucap dokter, yang diangguki oleh Irene.Setelah selesai memeriksa Irene, dokter lalu mengalihkan tatapan pada suster. “Sus, satu jam lagi kalau nggak ada keluhan dari pasien, silakan pasiennya dipindahkan ke ruang perawatan. Masa kritisnya sud
Empat bulan berlalu, kini saatnya pernikahan Pasya dan Saskia digelar. Acara akad nikah dilangsungkan di kediaman orang tua Saskia. Sedangkan resepsinya nanti akan dirayakan di salah satu hotel berbintang lima.Saskia tampil cantik dan anggun dengan kebaya putih dan kain jarik coklat tua. Wajah Saskia dipoles dengan riasan yang natural, tapi tetap terlihat cantik dan elegan.Sedangkan Pasya sendiri tampil gagah dengan setelan jas warna hitam dan kemeja putih, lengkap lengan peci hitamnya. Pasya juga sudah menyiapkan mahar berupa satu set perhiasan emas berhiaskan berlian. Meski ini bukan yang pertama, tapi tetap saja Pasya merasa gugup. Hal itu diketahui Haikal.Haikal berpindah duduknya di sebelah anak sulungnya. Mumpung Saskia belum tiba di ruangan itu. Begitu menurut pemikiran Haikal.“Sya, tenang saja kenapa sih. Jangan gugup begitu! Kayak yang baru pertama kali saja,” bisik Haikal.Pasya menghela napas panjang dan melirik pada papanya. “Namanya pengantin, mau pertama kali atau ke
Pasya masih berada di ruang keluarga menemani Amanda, ketika sebuah suara membuatnya tertegun dan menoleh ke arah sumber suara itu.“Assalamualaikum.”“Wa’ alaikumsalam,” sahut Amanda dan Pasya secara bersamaan.“Wah, tamu jauh ini yang datang. Sini duduk, Kia,” sapa Amanda dengan senyum mengembang di bibirnya.“Apa kabar, Tante? Ini aku bawain kado untuk Ayesha. Semoga suka.” Saskia berkata sambil meletakkan paper bag berukuran besar di atas meja. Setelahnya, dia mengecup pipi Amanda karena tangan wanita paruh baya itu sedang memegang botol susu.“Yesha, ada Tante Kia datang. Dia bawa kado untuk kamu tuh,” bisik Amanda pada cucunya yang sedang asyik menyusu.Ayesha seketika menghentikan aktivitasnya menyusu, dan sontak menoleh ke arah Saskia yang kini sudah duduk di sebelah Amanda. Bayi itu seolah tahu kalau wanita yang ada di sebelah neneknya, adalah wanita yang sedang dekat dengan papanya. Setelah itu, Ayesha kembali lagi menyusu.“Kamu tadi berhenti menyusu sebentar karena mau men
Amanda yang dari tadi diam, kini merasa kesal juga dengan ucapan mantan besannya. Dia menatap Diah seraya berkata, “Bu, tolong jangan begitu. Pasya ini kan orang tuanya Ayesha. Ada mantan istri dan mantan suami. Tapi, nggak ada mantan anak dan mantan orang tua. Sekarang kondisi Irene sedang tak memungkinkan untuk mengasuh anak. Jadi sudah seharusnya Pasya mengambil alih. Apa salah seorang ayah mengasuh anaknya? Saya rasa nggak juga, Bu. Apalagi Ibu dan Bapak pernah datang ke rumah kami, untuk sekedar memberitahu kalau Irene hamil anaknya Pasya. Nah, sekarang kenapa dipersulit saat Pasya hendak mengasuh anaknya?”Hening. Tak ada sepatah kata lagi yang terucap dari bibir Diah maupun Seto. Hanya hembusan napas kasar yang terdengar dari mulut keduanya.Akhirnya Seto mengeluarkan kata setelah sesaat terdiam.“Tapi, Pasya kan nggak setiap waktu ada di samping...siapa tadi nama cucuku?” ucap Seto dengan tatapan pada Amanda serta Pasya secara bergantian.“Ayesha,” sahut Pasya.“Iya, Ayesha. P
Pasya dan kedua orang tuanya kini berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Tujuan mereka pertama kali adalah ke ruang bayi, di mana bayi Pasya berada.“Mama sudah nggak sabar mau melihat cucu Mama, Sya,” ucap Amanda dengan senyuman ketika di jarak beberapa meter dari posisi mereka saat ini, sudah terlihat ruangan bayi.“Iya, tapi Mama untuk sementara ini hanya bisa melihat Ayesha dari balik kaca saja. Bantu doanya ya, Ma, supaya bayiku bisa segera keluar dari inkubator. Jadi kita bisa menggendongnya nanti,” sahut Pasya, yang diangguki oleh Amanda.“Tentu dong, Sayang. Kamu nggak minta pun, Mama sudah pasti akan mendoakan cucu Mama,” sahut Amanda masih dengan senyum yang tersungging di bibirnya.Tak lama, langkah mereka terhenti di depan ruang bayi. Amanda dan Haikal yang ingin melihat cucu mereka, segera menghampiri suster jaga.“Sus, kami ingin melihat cucu kami yang baru lahir kemarin, boleh kan?” ucap Amanda dengan nada suara memohon.Suster itu terdiam sejenak, sebelum dia akhirnya