Sekitar lima menit kemudian, Irene telah siuman. Pasya mengulas senyum dan menarik napas lega. “Bi, ikut saya ke rumah sakit! Nanti temani Ibu Irene di jok belakang, ya!” titah Pasya. “Baik, Pak,” sahut si bibi patuh. “Mas...” Irene berkata lirih sambil memegang lengan Pasya. “Kamu tenang saja. Aku akan bawa kamu ke rumah sakit. Biar tahu apa yang menyebabkan kamu pingsan tadi. Kasihan bayi yang ada di kandungan kamu,” sahut Pasya. Dia lalu memapah Irene menuju ke teras. “Duduk dulu di sini. Aku akan memasukkan mobilku dulu. Biar kamu nggak usah jalan jauh ke depan,” ucap Pasya setelah tiba di teras. Dia lalu mengalihkan tatapan pada si bibi. “Bi, temani Ibu Irene, ya.” Asisten rumah tangga itu mengangguk patuh dan duduk di samping Irene. Tak lama, mobil Pasya sudah masuk ke halaman rumah dan berhenti tepat di dekat teras. “Ayo, Ren!” ajak Pasya ketika sudah kembali berada di dekat sang mantan istri. Dia lalu memapah Irene ke mobil, dan merebahkan tubuh Irene di jok belakang. “
Pasya langsung memeluk erat tubuh mantan istrinya. Dia sangat khawatir melihat wajah Irene yang pucat saat ini.“Tenang dulu, Pak. Saya akan memeriksanya. Silakan Bapak rebahkan lagi istri Bapak ke ranjang pemeriksaan!” ucap dokter, berusaha menenangkan Pasya. Pria itu menyebut Irene sebagai istri Pasya karena menurutnya, seorang pria dan wanita yang datang ke ruang praktiknya adalah sepasang suami istri. Seperti halnya pasiennya yang lain.Pasya mengangguk dan segera memapah tubuh Irene ke ranjang pemeriksaan, dan merebahkan tubuh sang mantan istri di sana.“Kuat ya, Ren,” pinta Pasya melirih.Irene hanya bisa mengangguk lemah. Dia ingin memuntahkan sesuatu yang membuatnya mual saat ini. Tapi, rasanya sulit. Kepalanya juga terasa pening saat ini.Suster pun sigap membantu sang dokter. Sedang Pasya hanya termangu di samping ranjang pemeriksaan.“Bagaimana, Dok? Apa yang terjadi? Apa karena tes tadi yang menyebabkan dia seperti ini?” cecar Pasya agak panik, meski dia berusaha untuk tet
Setelah menata hatinya agar lebih tenang, Pasya beranjak dari kursi dan melangkah menuju ke ruang rawat di mana Irene berada. Dia ingin membicarakan sesuatu yang penting terkait bayi mereka, pada mantan istrinya itu.Setibanya di ruang rawat Irene, Pasya bertemu dengan kedua mantan mertuanya.“Assalamualaikum,” sapa Pasya dengan senyuman.“Wa’ alaikumsalam,” sahut Seto dan Diah bersamaan.“Bagaimana? Sudah lihat hasil tes DNA nya?” tanya Seto datar. Tampak kalau dia kesal dan kecewa dengan sikap Pasya dan orang tuanya yang sempat meragukan Irene. Dia tahu kalau Pasya sudah mengetahui hasil tes DNA, karena terlihat dari ekspresi Pasya yang melunak.Pasya melangkah masuk ke dalam ruangan, setelah dia menutup rapat pintu ruang rawat itu. Dia lalu duduk di sofa, di hadapan Seto dan Diah.“Iya, saya sudah baca hasil tes itu dan sudah yakin kalau bayi yang di kandungan Irene adalah bayi saya. Jadi saya akan bertanggung jawab penuh atas anak saya mulai saat ini,” ucap Pasya dengan tatapan pa
Pasya tersenyum menatap kedua orang tuanya secara bergantian.“Aku kan sejak awal sudah bilang, kalau aku akan memaafkan setiap kesalahan. Tapi, tidak dengan perselingkuhan! Jadi jawabannya sudah jelas, kalau aku nggak akan pernah merujuk Irene. Sekarang ini aku memberikan perhatian padanya, karena dia sedang mengandung anakku. Aku nggak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada bayiku, Pa, Ma. Aku nggak akan pernah memaafkan diriku sendiri andaikan terjadi sesuatu yang buruk pada bayiku, kalau aku abai pada Irene,” papar Pasya.Amanda dan Haikal saling tatap. Keduanya kini hanya bisa menghela napas panjang, mendengar penjelasan anak sulung mereka.“Sya, apa nggak ada kesempatan kedua yang bisa kamu berikan untuk Irene? Apa kamu nggak kasihan pada bayi kamu, yang pastinya akan kurang kasih sayang dari papanya? Mama juga dulu pernah merasakan sakit hati seperti yang kamu alami sekarang. Tapi, akhirnya Mama memberikan kesempatan papa kamu untuk rujuk. Jujur sih, kalau dulu Mama juga punya p
Pasya tersenyum tipis menatap Irene. Dia juga sebenarnya ingin berlama-lama bersama wanita itu. Bukan karena cinta pastinya, karena sudah tak ada lagi rasa tersisa untuk sang mantan. Tapi, karena ada keterikatan antara dirinya dengan bayi yang dikandung mantan istrinya, Pasya bersedia bersama dengan Irene. Namun, karena status sudah berbeda, maka tak elok rasanya mereka berada di tempat yang sama dalam waktu yang cukup lama. Pasya tak ingin ada fitnah nantinya.“Ren, aku kan sudah bilang kalau akan sering datang berkunjung. Maafkan aku kalau nggak bisa berlama-lama di sini,” ucap Pasya lembut.Air mata Irene kini sudah tak terbendung lagi. Dia menangis sesenggukan sambil mengusap perutnya.“Apa nggak ada pintu maaf untukku, Mas? Apa nggak bisa kita rujuk demi anak kita?” rengek Irene terdengar pilu. Dia tak lagi memikirkan gengsi yang selama ini dia kedepankan. Dia saat ini bersedia apabila Pasya mengajukan permintaan agar dirinya bersujud di kakinya, sebagai syarat rujuk. Namun, dia
“Ma, kita pindah restoran saja deh. Aku nggak jadi makan di sini,” ucap Irene. Dia lantas membalikkan tubuhnya dan melangkah ke arah pintu.“Ren...”Irene tak menyahut. Dia tetap melangkah menuju keluar restoran sambil bercucuran air mata.Diah yang melihat Pasya sedang bercengkerama bersama seorang wanita, merasa kesal juga. Tapi, dia tak bisa berbuat banyak karena status Pasya kini bukan suami Irene lagi. Sehingga yang bisa dia lakukan saat ini adalah menyusul anaknya yang berjalan mendahuluinya.“Tunggu dulu, Ren! Kamu mau makan di mana sekarang?” tanya Diah setelah dapat menyejajarkan langkahnya dan kini berada di samping Irene.“Di mana saja, asal aku nggak melihat Mas Pasya dan perempuan lain. Dadaku sesak ini, Ma. Dia nggak mau mengantar aku beli perlengkapan bayi, tapi sekarang malah asyik sama perempuan lain. Mungkin itu pacarnya. Padahal dia sudah tahu kalau bayi yang di perutku ini adalah anaknya. Keterlaluan kan si Mas Pasya itu, Ma. Katanya mau tanggung jawab sama anak in
Diah tergopoh menghampiri suaminya. Kedua orang tua Irene tampak panik saat ini. Mereka lalu segera membawa Irene ke rumah sakit.Beberapa menit kemudian, mobil yang dikemudikan Seto tiba di depan UGD. Petugas medis lantas membantu dengan memindahkan tubuh Irene ke atas brankar, dan membawanya ke ruang pemeriksaan.Seto dan Diah dengan harap-harap cemas, menunggu anak mereka di depan pintu ruang pemeriksaan.“Apa kita telepon si Pasya sekarang ya, Mas?” tanya Diah setelah mereka terdiam beberapa saat.“Nggak usah! Kita masih bisa menjaga Irene di sini. Andaikan diperlukan tindakan, aku sebagai papanya Irene masih bisa membiayai dia. Aku sudah kecewa saja dengan perilaku Pasya, yang nggak menjaga perasaan anak kita. Aku tahu Irene bersalah, tapi setidaknya temanilah Irene membeli peralatan bayi. Itu kan untuk keperluan anaknya juga. Eh, dia malah asyik kencan dengan perempuan lain. Jujur saja kalau aku emosi saat kamu cerita kejadian di mall tadi. Tapi, aku nggak bisa berbuat banyak la
Dokter tersenyum menatap ketiga orang yang kini menatapnya dengan tatapan cemas.“Baik, saya jawab satu-satu ya, Pak, Bu. Kondisi bayi dalam keadaan sehat. Tapi, harus dimasukkan ke dalam inkubator karena berat badannya yang rendah, sebab lahir prematur. Bayi Bapak baru bisa keluar dari dalam inkubator, setelah nanti berat badannya mulai normal. Sedangkan untuk ibunya...” Dokter tak melanjutkan kalimatnya ketika Diah menginterupsi.“Bagaimana dengan kondisi ibu si bayi, Dok? Bagaimana dengan kondisi anak saya, Dokter?” cecar Diah dengan kedua kelopak mata yang mulai basah.“Kondisi ibu si bayi dalam keadaan kritis. Oleh karenanya akan ditempatkan di ruang ICU. Semoga setelah mendapatkan perawatan intensif di sana, kondisinya bisa berangsur-angsur membaik. Bantu doanya ya, Ibu, Bapak,” sahut dokter.Pasya hanya diam saja, dan tampak syok juga mendengar kabar mengenai mantan istrinya. Bagaimana pun Irene adalah ibu dari bayinya. Wanita itu sudah berjuang agar bayinya terlahir ke dunia i