Rani mengejar Aulia setelah melihat Aulia dan Ganendra berjalan dengan arah yang berlawanan. Ia merangkul Aulia yang sudah menjadi sahabatnya selama hampir tiga tahun ini.
"Aulia, kau kenal di mana CEO yampan itu?" tanya Rani penasaran.
"Siapa maksudmu, Ran?" tanya Aulia bingung.
"Kau ini, jangan berpura-pura tidak tahu begini!" keluh Rani. "Maksudku, Pak Ganendra Bamantara. CEO yang memberikan kita bimbingan tadi. Jelas, sekarang?" jelas Rani menekankan kata-katanya.
"Aku tidak kenal dengannya" jawab Aulia seadanya.
"Lalu kenapa dia tadi mengatakan kalau kalian sudah bertemu tiga kali?" tanya Rani semakin penasaran.
"Tidak sengaja" jawab Aulia singkat sambil berjalan dengan santai ke bangkunya.
Rani mengejar Aulia karena masih penasaran dengan pertemuan yang tidak sengaja yang dimaksudkan Aulia padanya.
"Maksudmu tidak sengaja bagaimana, Ya?" tanyanya.
"Sudahlah, ceritanya panjang!" kata Aulia yang enggan menanggapi rasa penasaran temannya itu.
"Sebentar, ya. Aku mau nelpon nenekku dulu" ujar Aulia yang teringat kembali akan neneknya.
Aulia keluar kelas untuk mencari tempat yang cukup tenang untuk menelpon neneknya. Aulia duduk di sebuah bangku yang tak jauh dari kantor para dosen. Dengan tenang ia mendial nomor telepon neneknya. Tidak lama panggilan itu tersambung dan segera di jawab dari si empunya nomor.
"Halo, Nek" ucap Aulia dengan nada lembut.
',,'
"Aku sedang di kampus. Nenek gimana? Sudah lebih baik?" tanya Aulia.
',,'
"Baguslah kalau begitu. Aulia tenang mendengarnya" lanjut Aulia.
',,'
"Jangan, Nek. Sabar dulu. Tunggu Dokter yang memang sudah izinkan pulang, baru kita pulang. Kalau sekarang, Nenek sabar sedikit, ya" bujuk Aulia
',,'
"Nenek jangan khawatir dengan hal itu. Aulia pasti dapatkan uangnya dengan cepat. Percaya dengandengan. Yang penting Nenek sehat dulu" kata Aulia menenangkan neneknya itu.
"Ya, sudah kalau begitu. Nenek istirahat. Sore nanti setelah pulang dari cafe Aku ke rumah sakit" ujar Aulia mengakhiri percakapannya.
Aulia menarik nafas panjang sambil melihat kearah ponsel yang baru saja ia kunci. Bayangan tentang tagihan rumah sakit membuat Aulia sedikit pusing. Tapi bagiamana pun ini sudah menjadi kewajibannya yang harus merawat dan mengurus serta mencukupi kebutuhan neneknya. Keluarga satu-satunya itu.
Setelah di rasa tenang, Aulia berbalik. Namun saat ia berbalik, Aulia terkejut mendapati seorang pria berdiri sambil memandang kearahnya.
"Kau ..., Sedang apa kau di situ?" tanya Aulia kaget.
"Mendengarkanmu bicara!" jawabnya santai.
"Dasar tidak waras!" keluh Aulia yang kemudian mengabaikan pria yang tak lain adalah Ganendra sendiri.
"Kau butuh uang?" tanya Ganendra mencegah Aulia pergi.
Aulia yang hendak melanjutkan langkahnya pun berhenti. Ia sedikit menatap tidak suka karena pembicaraannya tadi berhasil diketahui Ganendra dengan kata lain, Ganendra menguping pembicaraannya.
"Pak, setahu saya. Seorang CEO seperti Bapak itu memiliki begitu banyak pekerjaan, kenapa masih sempat menguping pembicaraan orang? Apa Bapak tidak memiliki pekerjaan yang lebih baik untuk mengisi waktu senggang Bapak?" tanya Aulia dengan nada ketus namun tetap dalam bahasa sopan.
Ganendra tersenyum tipis. Ia melipatkan kedua tangannya di dada, menyandarkan punggungnya pada dinding ruangan dengan kaki menyilang. Penampakan ini membuatnya kian terlihat gagah dan keren namun tetap hal itu tidak berhasil menarik perhatian Aulia.
"Saya tidak menguping. Tadi saya cuma lewat dan tidak sengaja mendengar percakapan seorang gadis yang berusaha menenangkan neneknya. Menurut saya ini lucu, karena dia memenangkan neneknya sementara dia sendiri terlihat lemah dan tidak berdaya!" ujar Ganendra.
Aulia membulatkan mata mendengar kata demi kata yang Ganendra sematkan pada dirinya. Lemah, tidak berdaya! Kata-kata itu sangat menyakitkan bagi Aulia meski sepenuhnya itu benar.
"Mungkin untuk orang kaya seperti Bapak, hal seperti ini lucu. Tapi tidak bagi kami. Terimakasih sudah menyadarkan saya bahwa saya cukup beruntung menjadi seperti ini. Setidaknya saya punya etika untuk bicara dengan sopan pada orang yang asing alih-alih menyematkan kata-kata menyakitkan padanya" kata Aulia yang kemudian melewati Ganendra dengan angkuhnya.
Ganendra sedikit tersentak mendengar kata-kata Aulia. Tidak disangka jika Aulia bisa bicara dengan kata pedas padanya saat orang lain malah memilih berhati-hati untuk bicara dengannya.
"Sepertinya aku tertarik denganmu, Baby" gumam Ganendra.
* * *
Aulia baru saja hendak memasuki kelasnya, namun seroang teman lelaki menghampirinya.
"Aulia, di panggil Dosen pembimbing kita ke ruangannya sekarang!" ujarnya pada Aulia.
"Astaga, aku lupa!" kata Aulia sambil menepuk dahinya keras. Dengan cepat ia menemui Dosen pembimbingnya.
Tok ... Tok ... Tok ...
Aulia mengetuk pintu ruangan dosennya itu.
"Masuk!" terdengar suara dari dalam ruangan yang mengizinkan Aulia untuk masuk.
"Permisi, Pak" ujar Aulia masih berdiri di muka pintu.
"Masuk, Aulia. Bapak punya kabar gembira untukmu" ujarnya sambil tersenyum lebar pada Aulia.
"Ada apa, ya Pak?" tanya Aulia bingung.
"Selamat, Aulia. Kau terpilih untuk magang di perusahaan Golden Grup. Kamu tidak sendirian karena ada dua teman kamu yang lainnya. Rani dan Rafael" ujarnya pada Aulia.
Aulia tak percaya mendengarnya. Pekerjaan yang ia inginkan kini terwujud. Tapi Aulia tidak sepenuhnya senang karena ia tahu bahwa itu perusahaan Ganendra.
"Kenapa? Kau tidak suka dengan kabar gembiranya?" tanya Dosen Aulia padanya.
"Bu-bukan, Pak. Kaget saja karena saya diterima" jawab Aulia.
"Pasti tidak menyangka, bukan. Maka dari itu gunakan kesempatan ini baik-baik. Siapa tahu kalau kinerjamu bagus, kau akan di pilih sebagai pegawai tetap" kata Dosen Aulia.
"Iya, Pak. Semoga saja" jawab Aulia penuh harap.
"Ya, sudah. Besok kau dengan teman-temanmu kunjungi perusahannya. Bawa ini" kata Dosen Aulia memberikan sebuah map pada Aulia.
"Terimakasih, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu" ujar Aulia sopan.
Aulia keluar dengan membawa map rekomendasi ditangannya. Jujur saja, ia sekarang ragu untuk melanjutkan keinginannya itu. Pertemuan yang tidak mengenakkan membuat Aulia merasa tidak akan bisa bekerja dengan baik. Tapi bayangan neneknya tiba-tiba memenuhi otaknya. Mau tidak mau ia harus menerimanya.
"Semangat, Aulia. Lagipula kau tidak akan bertemu dengannya selalu. Dia 'kan orang penting tieak mungkin bertemu denganmu yang cuma pegawai magang" ujar Aulia menenangkan hatinya sendiri.
* * *
Aulia melihat jam ditangannya yang sudah menunjukkan pukul satu siang. Aulia pun terburu-buru meninggalkan kampusnya karena memang sudah tidak ada pelajaran yang harus ia ikuti lagi. Kini ia bersiap menuju ke cafe tempat ia bekerja.
"Aulia ...," panggil teman laki-laki Aulia.
Aulia menoleh pada sumber suara. Dan ternyata Rafael yang memanggilnya sambil berlari kecil menuju padanya.
"Ada apa, Raf?" tanya Aulia.
"Mau pulang?" tanya Rafael.
"Tidak. Aku mau ke cafe. Aku masuk shif siang" jawab Aulia seadanya sambil melanjutkan langkahnya keluar gerbang kampus.
"Kebetulan kalau begitu, aku juga mau kearah sana. Perlu tumpangan?" tanya Rafael menawarkan diri.
Kebetulan yang sangat ditunggu oleh Aulia. Jika ia menumpang pada Rafael, maka ia bisa menghemat waktu dan uangnya juga. Tadi pagi ia sudah mengeluarkan uang yang cukup besar. Akhirnya Aulia menyetujui tawaran Rafael padanya.
"Sungguh, aku tidak akan merepotkanmu, Raf?" tanya Aulia basa-basi.
"Sudahlah ..., kau seperti orang asing aja" kekeh Rafael.
"Tunggu sebentar, aku akan ambil motorku dulu" ujar Rafael yang langsung beranjak ke parkiran tempatnya biasa memarkirkan motor maticnya.
"Ayo!" kata Rafael pada Aulia setelah ia kembali dengan motornya.
Aulia pun naik ke atas motor Rafael.
Aulia dan Rafael berboncengan menuju tempat bekerja Aulia. Sesekali mereka berbincang tentang pelajaran yang tidak mereka sukai. Kadang mereka tertawa dengan senangnya karena obrolan konyol mereka. Keduanya nampak tak ada beban padahal saat ini Aulia tengah menghadapi masalah yang cukup membebani pikirannya.Tak lama mereka pun tiba di cafe tempat Aulia bekerja. Aulia turun dan memberikan helm yang ia pakai pada Rafael."Terimakasih ya, Raf. Karena kau aku jadi cepat sampainya" ujar Aulia tulus."Santai, kau adalah temenku. Sudah sewajarnya aku membantumu. Nanti kalau aku sedajg butuh bantuan, giliran kau yang membantuku" jawab Rafael."Oke ..., oke ...," ujar Aulia mengerti.Rafael tengah menggantungkan helm yang tadi dipakai Aulia, namun tiba-tiba ponsel Aulia berdering. Aulia pun mengambil ponselnya dari dalam tas dan melihat nama neneknya di layar ponselnya."Nenekku" ujar Aulia sedikit panik karena neneknya menghubungi dia di jam kerjan
Ganendra mendekat pada kakeknya yang juga membawanya mendekat pada Aulia. Dengan tegap di berdiri sambil memandang sinis pada Aulia."Aku juga menolak perjodohan ini, Kek" ujar Ganendra."Kau tidak boleh menolak Ganendra, karena kalau kau menolak maka saham yang berada atas namamu akan diberikan seluruhnya pada Aulia. Itulah perjanjian yang kami buat bersama orang tua kalian!" jelas Opa Hendra.Ganendra terkejut bukan kepalang mendengarnya. Bagaimana mungkin keluarganya akan memberikan semua sahamnya pada Aulia jika ia menolak perjodohan tersebut. Dan tentu saja, perjanjian seperti itu tidak ada. Itu hanya alasan Opa Hendra untuk membuat Ganendra mau menerima perjodohan tersebut dan berharap jika mereka menikah, Ganendra perlahan akan merubah kebiasaan buruknya."Tidak bisa, Opa. Itu milikku! Aku tidak akan memberikannya pada orang lain!" sanggah Ganendra."Jika kau tidak ingin kehilangan apa yang sudah menjadi milikmu. maka kau harus menikah. Kala
Malam harinya, Ganendra masih berada dikediaman utama keluarga Bamantara. Dan saat ini ia tengah bersiap-siap untuk keluar menikmati rutinitas malamnya di bar ataupun klub malam. Menghabiskan waktu dengan minuman beralkohol atau dengan wanita-wanita pramunikmat di sana. Tapi baru saja Ganendra turun dari tangga, Kakeknya sudah menahan dia."Mau kemana kau, Gane?" tanya Opa Hendra dengan suara lantang dan tegasnya."Mau keluar. Cari angin!" jawab Ganendra berbohong."Jangan bodohi Opa. Kau kira Opa tidak tahu apa yang kau lakukan di luaran sana setiap malam, hah?" teriak Opa Hendra keras."Apa salahnya, Opa? Aku anak muda. Wajar saja aku menikmati masa mudaku!" jawab Ganendra santai."Menikmati masa muda dengan pramunikmat atau minuman keras? Itu yang kau maksud masa mudamu?" sinis Opa.Ganendra diam, ia tahu kakeknya itu tidak pernah menyukai kehidupan malam yang ia jalani."Ke rumah sakit sekarang! Temani Aulia menjaga neneknya. Kala
"Di sini dingin, aku tidak memakai jaket. Lebih baik kita masuk!" ujar Aulia memutuskan untuk kembali ke ruangan neneknya. Namun saat ia sedang berdiri, dengan cepat Ganendra menarik tangannya dan membuat Aulia terjatuh ke dalam pangkuannya."Apa yang kau lakukan? Di sini banyak orang!" kata Aulia berusaha untuk bangkit namun tidak bisa karena Ganendra sudah memeluk tubuhnya."Terima pernikahan ini, maka aku pastikan kehidupanmu dan Nenekmu akan aman dan baik-baik saja!" kata Ganendra."Apa kau gila? Menurutmu masa depanku harus aku pertaruhkan hanya dengan selembar uang?" tanya Aulia tajam."Tapi setidaknya kau dan nenekmu tidak akan kesusahan lagi? Kau tahu, penyakit nenekmu semakin lama semakin parah. Itu membutuhkan banyak biaya, apa kau kira dengan bekerja siang malam bisa mencukupi semuanya?" jelas Ganendra."Kau menyelidikiku dan Nenek?" tanya Aulia tidak percaya."Aku harus tahu wanita yang akan menikah denganku. Tidak salah, bukan?"
Pagi ini Ganendra kembali mendatangi rumah sakit. Ia akan mengantar Aulia dan pergi bersama ke kantor.Tok ... Tok ... Tok ...Ganendra mengetuk pintu yang memang sudah sedikit terbuka. Kedua orang yang berada dalam ruangan tersebut menoleh bersamaan."Nak Ganendra, masuklah!" kata Nenek Aulia memberi izin."Terimakasih, Nek." Ganendra masuk dan mendekat pada keduanya. Nenek Aulia tersenyum hangat hanya Aulia saja yang memalingkan wajah, menolak melihat Ganendra."Ada apa kau pagi-pagi sekali ke sini?" tanya Nenek Aulia."Saya di suruh Opa untuk mengantar Aulia. Kebetulan hari ini hari pertamanya magang di kantorku" jelas Ganendra."Wah, kebetulan sekali. Aulia, cepat bersiap!" titah Nenek Aulia pada Aulia."Aku sudah siap, Nek. Aku pergi dulu, Nek. Jaga diri Nenek. Kalau ada apa-apa telepon aku secepatnya!" ujar Aulia dan neneknya hanya mengangguk menanggapinya.Aulia dan Ganendra pamit. Mereka meninggalkan ruang perawa
Aulia baru saja hendak meninggalkan perusahaan Ganendra namun Rani memanggilnya dengan suara yang cukup keras hingga membuat semua pandangan tertuju pada mereka. "Rani, kenapa teriak-teriak?" kesal Aulia. "Kau mau kemana, Ya? Kita di suruh menghadap HRD untuk laporan!" ujar Rani dengan nafas tersengal-sengal. Tak lama Rafael ikut bergabung dengan mereka. "Dia tidak perlu melapor, Ran. Aulia sudah pasti di terima" celetuk Rafael dengan muka masam. "Apa maksudmu, Raf?" tanya Rani bingung. Rafael memandang sekilas pada Aulia. Raut wajahnya menampakkan kekecewaan mendapatkan wanita yang ia cintai sudah menjadi tunangan orang lain. "Dia tunangan Pak Ganendra" ujar Rafael lemah. "Tunangan?" teriak Rani terkejut. Ia menatap pada Aulia, namun Aulia hanya tertunduk lesu. "Benar apa yang Rafael katakan, Ya?" tanya Rani memastikan. Dengan anggukan pelan Aulia menjawabnya. Mata Rani pun membulat sempurna. Ia tidak menyangka
Aulia bergegas ke kantin untuk menemui Rani. Dan kini Rani tengah mengantri untuk makan siangnya. Aulia pun segera menyusul dibelakangnya."Kau lambat sekali, aku terpaksa memesan lebih dulu" kata Rani saat menyadari kehadiran Aulia dibelakangnya."Maaf, tadi aku ...," Aulia tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia tidak ingin membahas semua yang berkaitan dengan Ganendra. Itu terlalu membuatnya muak."Kau kenapa?" tanya Rani bingung."Aku tadi ke toilet!" dusta Aulia.Rani pun tidak membahas lebih jauh. Sementara Aulia terlihat mengamati sekelilingnya, ia mencari seseorang yang seharusnya bergabung dengan mereka."Kau mencari Rafael?" tanya Rani tiba-tiba."Di mana dia?" tanya Aulia langsung."Itu ...," Rani menunjuk pada pojok kantin yang terdapat sebuah meja. Di sana ada Rafael yang tengah makan dan berbincang dengan rekan kerjanya. Terlihat sekali Rafael sangat senang bergabung dengan rekan-rekan Devisinya. Aulia pun hanya b
Ganendra mengurai pelukannya dari Aulia. Aulia masih tertunduk dengan wajah basahnya. Ganendra memegang kedua pundaknya dan berkata, "Bujuklah Nenek, aku akan mengurus semuanya. Jika Opa tahu dia pasti akan melakukan hal yang sama" ujar Ganendra pada Aulia.Aulia mengangguk pelan. Ia mengusap wajahnya yang basah dan berlari ke dalam toilet untuk membasuh wajahnya. Ganendra masih setia menunggunya.Tak lama Aulia keluar dan melihat Ganendra masih menunggu dirinya."Kenapa kau masih di sini?" tanya Aulia."Pulanglah, kau mungkin butuh waktu untuk menenangkan diri" jawab Ganendra.Aulia tersenyum kecil. Ia memandang pada Ganendra dengan tatapan tidak dimengerti Ganendra."Kau menyuruhku meninggalkan kantor di hari pertamaku bekerja? Apa kau ingin aku dipecat, hah?" tanya Aulia tajam."Jangan khawatir untuk hal itu, aku akan mengurusnya dengan kepala devisimu. Jadi pulanglah!" titah Ganendra."Aku akan tetap bekerja seperti seharus
Ganendra sudah pulang dari mengantar Aulia. Kini ia mencari keberadaan kakaknya untuk membicarakan keinginannya menikahi Aulia dalam waktu dekat. Entah mengapa melihat Aulia terus bersikap dingin dan acuh membuat hatinya sakit juga tertantang untuk memilikinya."Di mana Opa?" Tanya Ganendra gusar."Bapak ada di ruang kerja, Den."Ganendra melangkah dengan cepat, menaiki anak tangga untuk menuju ke ruangan kerja Hendra. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu Ganendra langsung masuk. Hendra yang sedang menatap layar laptopnya seketika mengernyitkan dahi melihat sikap Ganendra tersebut."Opa, aku ingin segera menikah dengan Aulia. Aku tidak mau tunangan, tapi langsung menikah!" Tegas Ganendra dalam satu tarikan nafas panjang.Hendra tertegun sejenak, memindai wajah Ganendra untuk mencari tahu penyebab keinginan Ganendra tersebut."Opa, kenapa diam saja! Katakan sesuatu!" Sentak Ganendra tak sabar."Kenapa?" Tanya Hendra penuh selidik."Apanya yang kenapa, hah? Aku mau menikah dengan Aulia
Di ruangan, Ganendra sudah duduk di kursi kebesarannya. Saat Aulia masuk ke ruangannya, ia tersenyum kecil."Ada apa?" Tanya Aulia berdiri tepat di depan meja Ganendra.Ganendra tak menjawab, hanya memindai tubuh Aulia dari atas hingga bawah, membuat Aulia risih dengan tatapan Ganendra tersebut."Kenapa kau menatapku begitu?" Tanya Aulia heran."Aku mendengar seluruh percakapan kau dan rekanmu," ujar Ganendra dengan santainya, matanya masih menatap lekat pada raut wajah Aulia yang bingung."Lalu?" Tanya Aulia bingung."Kau tak ingat dengan kata-katamu sebelumnya?"Aulia memutar matanya dengan malas, ia tahu kemana arah pembicaraan Ganendra meskipun ia tak ingin peduli."Jika kau tidak ada hal yang lebih bermanfaat untuk dibicarakan, maka aku akan kembali. Kau dengar sendiri bahwa pegawaimu merendahkanku karena aku dinilai tidak kompeten dalam bekerja. Aku malas berdebat, Gane. Aku ingin tenang," ungkap Aulia.Ganendra mengangguk paham, "Boleh aku bertanya sesuatu padamu?" Tanyanya pad
Keesokan paginya Ganendra mengantar Aulia dan nenek Winda ke rumah sakit, menemani Aulia hingga pemeriksaan Nenek Winda selesai. Namun seorang pria menghampirinya sambil tersenyum lebar."Siapa gadis itu?" Tanyanya pada Ganendra.Ganendra menoleh sekilas dan berkata, "Kau, Jack. Kenapa kau ada disini?" Tanyanya pada seorang pria yang dulu menjadi temannya."Aku sedang membawa ibuku kemari," jawabnya. "Kau sendiri bagaimana?""Aku sedang mengantar nenekku," jawab Ganendra seadanya.Jack tersenyum kecil mendengarnya. "Nenek?" Tanyanya dengan dahi yang berkerut dalam. "Bukankah nenekmu sudah lama meninggal? Atau aku salah mendapat berita?"Ganendra tersenyum kecil, menepuk pundak Jack karena tak tahu harus menjawab apa. Tak lama Aulia mendekat dan menghampirinya."Sudah selesai? ayo!" Kata Aulia tanpa memperhatikan keberadaan Jack di sebelah Ganendra."Ayo!" Balas Ganendra. "Jack, aku duluan!"Ganendra kembali menepuk pundak Jack lalu berlalu begitu saja. Jack sedikit bingung melihat Aul
Rafael pergi, menghilang di balik pintu tanpa bisa Aulia cegah. Rasa tak rela mendominasi diri Aulia, melihat Rafael pergi dengan kedukaan hatinya perih. Seketika ia menatap tajam pada Ganendra yang sudah membuat Rafael merasa tak nyaman."Maksudmu apa, hah?" Cetus Aulia.Ganendra menatap bingung Aulia."Apa? Maksud apa yang kau bicarakan?" Tanya Ganendra memastikan."Ck, haruskah kau melakukan itu pada kami?" Tanya Aulia kesal.Ganendra mulai mengerti maksud dari perkataan Aulia. "Ah, kekasihmu itu?!" Sinis Ganendra.Aulia menghela nafasnya, jengah selalu bertengkar dengan Ganendra. "Sudahlah, ini sudah malam. Sebaiknya kau pulang."Aulia berdiri, hendak meninggalkan Ganendra namun Ganendra segera menahannya."Aku kemari untuk membicarakan masalah kita," ujar Ganendra pelan.Aulia melepaskan tangan Ganendra yang memegang lengannya. "Aku lelah, Gane. Pulanglah!"Suara Aulia sangat lembut penuh makna, Ganendra pun tak ingin memaksa yang akhirnya semakin memperkeruh keadaan."Baiklah, b
Aulia pulang ke apartemen, masih mencoba menenangkan dirinya yang kesal pada Ganendra. Tiba-tiba ponselnya berdering, Aulia melihat sekilas, nama Rafael di sana. Dahi Aulia berkerut melihat Rafael yang menghubunginya setelah lama mereka tak bicara.Lama Aulia menimbang untuk memutuskan pilihan antara menjawab panggilan Rafael atau menolaknya. Hingga panggilan itu berakhir, Aulia masih belum bisa menentukan pilihannya."Maaf, Rafael."Aulia memutuskan untuk melupakan Rafael karena sudah menerima perjodohan dengan Ganendra, meski hatinya untuk Rafael namun ia tidak bisa lari dari tanggung jawab yang sudah ia ambil.Aulia hendak mandi, membersihkan tubuhnya yang terasa lengket tapi tiba-tiba pintu terbuka, Nenek Winda datang dan menghampirinya sambil membawa tumpukan pakaian Aulia yang telah rapi."Kapan kau pulang?" Tanya Nenek Winda."Baru saja, Nek." Jawab Aulia.Aulia mengambil pakaian yang ada di tangan Nenek, meletakkan ke lemari lalu kembali duduk di sisi neneknya."Jangan mengerj
Ganendra mendekatkan wajahnya pada wajah Aulia, berniat membungkam mulut Aulia yang baru saja menghinanya. Akan tetapi Aulia dengan sigap menolak aksi Ganendra itu hingga akhirnya Ganendra menggantinya area yang ditujunya.Ganendra mengecup pelan leher jenjang Aulia, membuat Aulia bergidik geli. Ganendra bisa merasakan bulu kuduk Aulia yang berdiri tegak, ia pun semakin gencar menggoda Aulia hingga membuat tubuh Aulia mulai memanas begitupun dengan dirinya."Ganendra, hentikan!" teriak Aulia yang merasa gerakan Ganendra semakin dalam padanya.Ganendra tak mengindahkan teriakan Aulia, ia sudah mulai asyik dengan permainannya sendiri hingga melupakan bahwa kini mereka masih berada di kantor."Ganendra!!" Aulia berteriak cukup keras seraya mendorong Ganendra dengan keras hingga akhirnya Ganendra berhasil menjauh dari tubuhnya. Hal ini dijadikan kesempatan bagi Aulia untuk melarikan diri, ia segera berdiri dan menutupi tubuhnya dengan bantal yang ada. Sementara Ganendra hanya tersenyum ke
Lama Aulia menunggu Ganendra, namun tak jua ada tanda-tanda jika Ganendra akan segera menemuinya. Aulia mengintip dari jendela kaca, Ganendra masih sibuk dengan teman wanitanya, sementara Aulia sudah kepanasan menunggu dia untuk kembali bersama. Karena kesal, Aulia pun memanggil seorang tukang ojek dan meninggalkan Ganendra di butik bersama dengan teman wanitanya.Sepanjang perjalanan Aulia mengumpat dalam hati. Ia kesal karena Ganendra benar-benar mengabaikannya. Sementara itu, Ganendra sudah selesai dengan teman wanitanya, ia keluar dengan langkah yang lebar. Namun ketika tiba di lobi tak ada wujud Aulia. Ganendra masih berpikir positif, "Mungkin saja dia menunggu di mobil!" batin Ganendra.Ganendra bergegas menuju mobilnya, namun ketika ia membuka mobil, Ganendra tak mendapati keberadaan Aulia."Apa jangan-jangan dia di toilet?!" batin Ganendra bertanya-tanya.Ganendra mencoba menunggu Aulia di dalam mobil, jika saja dugaannya benar, Aulia sedang di to
Ganendra membawa Aulia ke sebuah butik desainer terkenal. Aulia tidak terkejut lagi, hal ini pasti terjadi karena Ganendra bukanlah orang sembarangan. Namun hal tersebut tidak menarik perhatian Aulia. Kemewahan Ganendra tidak membuat Aulia silau hingga gelap mata ketika melihat semua barang-barang mahal itu.Seorang pria dengan langkah kemayu mendekati Ganendra dan Aulia. Ia menyapa Ganendra dengan sangat ramah dan kadang bersikap genit layaknya seorang wanita yang ingin menggoda seorang pria.Ganendra berusaha menolak secara halus, ia risih dengan kelakuan pria tersebut. Namun hal ini malah mengundang senyum di wajah Aulia.Aulia senang melihat Ganendra tak berdaya ketika tubuh atletisnya di raba-raba desainer kemayu itu. Aulia bahkan sengaja meninggalkan Ganendra dengan alasan ingin melihat-lihat koleksi desainer tersebut.Tiga puluh menit berselang, Aulia sudah merasa bosan. Ia berniat menemui Ganendra namun tanpa sengaja ia melihat Ganendra sedang ber
Satu minggu sudah berlalu. Kini tanggal pertunangan sudah ditentukan. Gedung, katering, dan keperluan lainnya pun sudah diurus penuh oleh orang Ganendra. Hanya tinggal menghitung hari maka pertunangan mereka akan dilangsungkan.Hari ini, seperti biasa Aulia berangkat ke kantor dengan Ganendra. Hal ini kembali mengundang perhatian banyak orang. Mereka bertanya-tanya hubungan apa yang dimiliki Aulia dan bos mereka sehingga Ganendra harus mengantar jemput Aulia setiap hari. Banyak pula yang beranggapan kalau Aulia adalah kelinci kecil Ganendra yang sengaja dimasukkan Ganendra ke kantornya untuk memuaskan hasrat Ganendra.Aulia mengabaikan semua itu. Ia menebalkan telinganya meski semua itu benar-benar melukai harga dirinya. Namun apa yang bisa ia lakukan, membela diri pun percuma, itu sama saja ia masuk dalam perangkap wanita-wanita yang sangat mendambakan Ganendra.Ganendra sudah mendengar semua itu. Namun ia tidak bereaksi apa-apa karena ia melihat bahwa Aulia ba