Ajeng terdiam ia menolah kearah sahabatnya yang kini telah berpenampilan lebih tertutup. "Jihan apa kamu tidak ingin bertemu dengan ayahmu lagi? Pulanglah, ini sudah waktunya kamu menemuinya." "Ajeng kita bicarakan nanti saja ya. Hari ini aku sudah janji pada Veer untuk mengajaknya ke kota. Kau istirahat saja disini, aku pergi tidak lama,""Tidak, aku akan ikut dengan kalian. Ini adalah momen terindah, aku tidak akan melewatinya."Mereka pergi dengan mengendarai mobil Ajeng namun kali ini Jihan yang membawanya. Membuat takjub Veer saat Jihan duduk di balik kemudi."Mama, bisa bawa mobil?!" pekik Veer tanpa mengalihkan pandangannya dari Jihan.'Ya, sayang Mama bisa. Sudah siap?""Sudah!!""Oke, let's go!!!"Jihan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang sejak kepergiannya dari rumah ia tidak mengemudikan mobilnya ini adalah kali pertama baginya membawa mobil milik sahabatnya, walau canggung namun Jihan mampu mengendalikan keadaan. Bu Imah begitu takjub, satu hal yang membuat hatinya
"Aku pikirkan nanti. Kamu tahu apa yang akan terjadi pada ayah jika aku gegabah.""Aku tahu Jihan, kamu harus kuat banyak pr yang kamu selesaikan jika kamu kembali ke rumah.""Ya, aku akan menyiapkan diri. Sudah malam kita tidur," Mereka masuk ke dalam kamar masing-masing Jihan yang tidur dengan Veer, dan Ajeng yang tidur di kamar tamu kamar yang ia tempati setiap datang ke rumah Jihan.Di dalam kamar Jihan tidak mampu memejamkan matanya, ingatannya kembali dengan kata-kata yang di ucapkan Ajeng. "Apakah aku harus pulang sekarang? Bertemu mereka, ayah maafkan Jihan. Maafkan putrimu ini yang tidak peduli padamu, ayah." gumam Jihan tangisan malamnya terdengar memilukan. Usai menjalankan Salat malam Jihan tidak hentinya berdoa memohon pada sang pemilik kehidupan untuk memberikan ketenangan pada hatinya dan menjaga ayahnya yang sangat ia cintai sampai saat itu tiba."Nak, kunjungi ayahmu. Jangan sampai kamu menyesal, ibu akan menjaga Veer disini. Agar memudahkan kamu untuk menyelesaikan
Mereka semua terkejut dengan suara yang di timbulkan oleh tangan Kenzie yang begitu keras hingga barang yang dia atas meja berjatuhan termasuk di antara mereka yang tengah meminum air mineral hingga menyembur. Tatapan tajam Kenzie membuat Indah tersedak air liurnya. Pria tampan pemilik perusahaan berhasil menarik perhatian dirinya, tidak masalah jika tidak mendapatkan Andra, toh tuan Kenzie lebih tampan dan berkarisma? Indah bisa menggoda terlebih Jihan yang paling cantik di antara mereka telah pergi dengan segudang kenangan buruk."Bagaimana kau bisa berfikir seperti itu? Apakah kau tahu siapa Jihan, itu? Jelaskan lebih terinci." Tanpa sungkan Indah melanjutkan ucapannya ia mengira bahwa Kenzie marah pada Jihan seakan jika Jihan adalah sumber masalah yang terjadi di perusahaan. Bahkan Indah tidak segan-segan mengungkapkan kehidupan Jihan saat berada di sana, hatinya yang begitu sakit mengetahui pria yang ia cintai telah memilih Jihan. Pria yang kini memilih hidup di kota setalah men
Jihan kembali di sibukkan dengan pemilik restoran sederhana yang ia bangun di sebuah desa tempat di mana orang akan datang untuk pariwisata pegunungan. Jihan adalah seorang pembisnis telah hidupnya tidak tentu arah, Jihan memutuskan untuk mengasah kembali hobinya dengan kuliner. Tidak menyangka jika hobinya kini membuatnya menjadi seorang yang sukses ilmu yang di dapatkan dari sang ibu dan kepiawaiannya dalam meracik bumbu menjadikan masakannya semakin enak dan di sukai banyak orang. Di saat dirinya tengah sibuk dengan tumbukan berkas bulanan tiba-tiba seorang karyawan datang menemuinya di ruang kerjanya.Usai memikirkan langkah apa yang akan ia ambil setelah kepulangan Ajeng dari rumahnya. Satu minggu berlalu setelah kedatangan Ajeng ke rumah Jihan selama itu pula Jihan berusaha untuk menyembunyikan kegundahan hatinya. Meskipun Bu Imah memintanya untuk mengunjungi sang ayah, tetapi Jihan enggan untuk menemui ayahnya walau perasaannya saat ini begitu gundah, namun kesempatan itu akan t
"Dia Cucu Mama,"Intan tidak menyangkal foto yang ada dalam genggaman tangannya adakah cucu kandungnya. Anak dari putra tunggalnya wajahnya yang begitu mirip dengan Kenzie mengingatkan sosok putranya yang masih kecil dulu. Berlahan Intan mencium foto cucunya segaris senyum indah terbit bibirnya yang sedikit pucat Intan menyadari jika mata teduh cucunya mengingatkan dirinya dengan pemilik yang sama tetapi Intan sulit untuk mengingatnya."Kalau begitu bawa dia ke rumah Ken, Mama ingin bertemu dengannya menunjukan pada dunia bahwa kamu laki-laki normal." Kenzie mendengus kesal mendengar ucapan sang Mama yang menganggapnya tidak normal."Ma, sejak dulu aku normal. Hanya saja aku tidak suka wanita yang suka mengatur dan posesif.""Tania hanya ingin mempertahankan apa yang ia miliki.""Ma, aku belum menerima Tania. Jadi berhentilah untuk menjodohkan aku.""Kalau begitu terima Tania.""Tidak bisa Ma, ada hati yang aku jaga.""Berhenti bicara omong kosong Ken, Mama akan berhenti jika kamu m
"Tunggu!!"Jihan berhenti tubuhnya seakan-akan terpatri dengan bumi yang ia pijak, berusaha untuk berlari agar sang ayah tidak mengenalinya namun sekali lagi langkahnya begitu berat sehingga Jihan membiarkan langkah seseorang semakin dekat kearahnya. Suara yang teramat sangat ia rindukan, kini berada dengan jarak berapa langkah. Jihan menahan diri sekuat mungkin agar tidak berbalik dan berlari ke dalam pelukan pria yang kini berada di belakangnya. "Maafkan anak saya, kalau boleh tahu, dari yayasan mana?" tanya Cakra yang kini berada di depan Jihan.Deg !!!Jihan berbalik merapikan cadarnya walau sebenarnya ia tengah mengusap wajahnya, air mata yang mengalir membuatnya sulit untuk mengendalikan diri. Belum sempat ia jawab pertanyaan dari sang ayah, kini suara itu terdengar untuk kedua kalinya."Maaf apa saya boleh tahu siapa, dan dari mana? Apa yang sudah di katakan oleh anak saya tolong maafkan saya sebagai orang tua mewakilinya untuk meminta maaf padamu, nak."'Tidak ayah jangan m
"J– Jihan?Suara seseorang mengejutkan mereka yang berada di dalam kamar. Tidak terkecuali Bu Imah yang berada tidak jauh dari kamar, namun sayangnya kode yang ia berikan pada Jihan dan Ajeng tidak sepenuhnya di mengerti, sehingga Iriana dengan mudah mendengar suara Jihan."T– Tante Irina? Ada perlu apa tante kesini?" tanya Ajeng setelah berhasil menetralkan detak jantungnya."Jeng Irina? Kenapa repot-repot kesini, apa ada kabar tentang Jihan?" Jihan menyambar cadar yang di lepasnya berapa saat yang lalu. Veer yang tidur di kamar tamu membuatnya bernapas lega setidaknya ia bisa menyembunyikan jati dirinya. Terlebih Iriana tidak melihat Veer yang di jumpainya berapa jam sebelum Jihan sampai di rumah Ajeng."Jeng Neni, itu, lho kenapa suaranya sama seperti suara Jihan. Aku pikir dia Jihan, tapi pakaiannya kenapa seperti itu? Sudahlah. Aku tidak memikirkan soal anak itu, dia sudah mencoreng kotoran di wajah kami." Ucap Irina penuh kemarahan, terlihat bagaimana saat mengatakan pada Neni,
"Nak, siapa yang sudah mengirim surat itu padamu?"Jihan hanya menggelengkan kepala tidak tahu siapa yang sudah mengirimkan surat untuknya dan semua barang yang ada di hadapannya saat ini. Namun ia meyakini bahwa seseorang adalah laki-laki, terlihat dari apa yang dituliskan untuknya. Satu hal yang tidak Jihan katakan pada Bu Imah. Laki-laki yang telah mengirim surat dan barang-barang untuk putranya adalah sosok ayah dari anak yang ia lahirkan. Walau hanya sebuah dugaan tetapi tidak menutup kemungkinan jika itu adalah benar."Sudahlah Bu, kita tidak perlu memikirkan hal yang tidak penting, kita serahkan kepada Allah siapapun orang itu aku harap ini benar-benar tulus bukan hanya uang di balik bakwan. Istirahatlah Bu, besok pagi-pagi kita harus datang ke rumah Ajeng kalau tidak pasti dia akan menghubungiku terus menerus dia tidak akan membiarkan aku hidup tenang sebelum datang terlebih dulu,""Kamu benar nak, ayo kita tidur." Bu Imah tertawa yang sejak tadi ia tahan."Bu, Kenap ketawa?"