Wanita muda berhijab merah maroon itu berjalan pelan mendekati pintu lalu mengambil sebuah map yang diletakkan di atas koper berukuran sedang. Larasati meyakini bahwa yang ada di dalam koper tersebut, pastilah barang-barang pribadi miliknya. Rupanya, Abimana memang telah merencanakan semua dengan matang dan bodohnya, Larasati tidak pernah menaruh curiga.
Tangan Larasati kembali bergetar membuka map tersebut. Map yang berisi data salinan surat yang telah dia tanda tangani tadi. Surat gugatan cerai Abimana dan pengalihan hak asuh sang putra pada mantan suami.
Air mata kembali luruh. Sesungguhnya dia sudah lelah menangis dan tidak ingin lagi mengeluarkan air mata. Namun, Larasati tidak sanggup mencegah air mata yang menyeruak dan memaksa keluar ketika mengingat semuanya.
"Aku tidak butuh uangmu, Mas! Aku hanya butuh anakku!" jerit Larasati ketika tatapannya tertuju pada selembar cek yang di dalamnya tertera deretan tujuh angka. Lima juta rupiah. Ya, hanya seharga itulah luka hati Larasati di mata Abimana.
Wanita muda itu meremas cek tersebut hingga kusut tidak berbentuk lagi. Dia lalu membuangnya dengan asal seraya merutuk, "aku bersumpah, Mas! Kamu akan merasakan kepedihan yang lebih dahsyat dari yang aku rasakan!"
Puas memaki sang mantan suami yang pastinya tidak dapat mendengar caci makinya, Larasati mencoba menenangkan diri. Dia mengambil napas panjang dan menghirup udara bebas sebanyak-banyaknya untuk mengisi penuh paru-paru, lantas menghembuskan perlahan. Setelah merasa cukup tenang, Larasati menyapu wajah dengan ujung jilbab dan kemudian segera meninggalkan rumah yang penuh kenangan mesra, tetapi ternyata penuh kepalsuan.
Tertatih, Larasati menyusuri gang perumahan yang nampak lengang. Udara yang panas dan memang ini adalah jam istirahat siang, membuat warga di komplek perumahan tempat Larasati selama hampir setahun ini tinggal, malas untuk keluar. Mereka pasti lebih memilih untuk berada di dalam rumah dan menghabiskan waktu dengan beristirahat.
"Aku baru sadar sekarang, kenapa Mas Bima tidak mengizinkan aku membeli barang-barang keperluan untuk anak kami," gumam Larasati sambil terus berjalan, seraya menyeret koper yang berisi pakaian miliknya yang tidak seberapa banyak. Suaminya hanya mengizinkan dirinya membeli pakaian bayi, itu pun seperlunya saja.
Kejanggalan lain yang baru disadari oleh wanita muda itu adalah, suaminya juga tidak setuju jika Larasati ingin membeli barang-barang lain untuk melengkapi atau mempercantik tampilan rumah sederhananya. Seperti, membeli perlengkapan dapur atau sekadar mengoleksi barang rumah tangga lain seperti kebanyakan para wanita. Sehingga di dapur minimalisnya hanya terdapat almari pendingin berukuran kecil, satu kompor dengan satu tungku, penggorengan kecil dan panci untuk memasak sayur yang juga berukuran kecil. Semua yang ada, serba sederhana dan kecil.
"Enggak perlu membeli peralatan masak macam-macam, Sayang. Kalau pengin sesuatu, kita beli saja. Aku tidak mau kamu kelelahan nantinya jika harus memasak," larang Abimana, beralasan. Alasan yang mampu membuat hati Larasati melayang karena merasa disayang dan diratukan.
Begitu selalu yang dikatakan sang suami jika Larasati ingin membeli barang. Sehingga di umah sederhana dengan tipe tiga enam yang dibelikan oleh Abimana dan sudah diatasnamakan Larasati tersebut, tidak banyak terdapat barang-barang di dalamnya. Hanya ada satu set sofa minimalis di ruang tamu. Satu kasur lantai di ruang keluarga yang biasa digunakan ketika sedang menonton televisi yang berukuran 21 inci. Sementara di dua kamar yang ada di rumah itu, masing-masing hanya ada satu tempat tidur berukuran sedang dan satu almari pakaian yang juga tidak seberapa besar.
Lamunan Larasati buyar ketika sebuah motor membunyikan klaksok dengan nyaring, tepat di sampingnya. Pengendara motor itu lalu berhenti. Dia membuka kaca helm dan tersenyum manis pada Larasati.
"Mbak Lara mau kemana?" tanyanya, sopan.
"Eh, Mas Galuh. Ini, saya mau ke depan, Mas."
"Butuh tumpangan?" tawar pria muda bernama Galuh yang merupakan tetangga Larasati dan selama ini sering mencuri-curi pandang pada wanita muda itu.
"Lho, Mbak Lara sudah melahirkan? Kapan? Kok enggak ada kabar apa-apa?" Galuh mengerutkan dahi setelah menyadari bahwa perut wanita di sampingnya, kembali rata.
"Mas, maaf, ya. Saya buru-buru harus segera sampai di rumah ibu," elak Larasati yang sengaja menghindar dari cercaan pertanyaan pria muda, yang sepertinya menaruh hati padanya.
Setelah mengangguk seraya tersenyum, Larasati segera berlalu menuju ke ujung jalan yang sudah terlihat di depan. Tepat di saat yang sama, sebuah angkutan melintas dan wanita muda itu melambaikan tangan. Buru-buru, dia naik ke dalam angkutan karena tidak ingin Galuh mengejar.
Setelah berada di dalam angkutan umum, Larasati kembali merenung. Wanita berhijab maroon itu nampak bingung. Dia belum menentukan, kemana tempat yang harus dia tuju untuk bernaung?
'Apa aku harus balik ke resto? Siapa tahu masih ada lowongan pekerjaan untukku di sana? Tapi, dengan kondisiku yang masih seperti ini, apa bisa aku langsung bekerja?'
Larasati meringis, menahan ngilu di area inti tubuh. Dia sudah banyak bergerak sedari tadi dan berjalan terlalu jauh. Rasa perih serta panas di bagian bawah tubuhnya sana, mungkin saja karena ada jahitan yang terbuka.
'Tidak-tidak. Aku belum sanggup jika harus langsung bekerja. Apalagi pekerjaan di sana, butuh kecekatan dan kesigapan dalam melayani pelanggan. Kalau keaadaanku seperti ini, yang ada bos akan marah-marah. Sebaiknya, aku mencari tempat untuk memulihkan kondisi tubuhku dulu,' monolog Larasati dalam diam.
Wanita itu lalu memutuskan kemana tujuannya. Dia berganti angkot setelah sampai di terminal angkutan kota. Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, sampailah dia di tempat tujuan.
Larasati tertegun ketika baru saja turun dari angkutan kota. Tatapannya terpaku pada bangunan gedung bertingkat yang menjulang ke atas cakrawala. Bangunan dengan banyak jendela itu memang belum jadi sempurna, tapi Larasati sudah dapat memperkirakan kemewahannya.
"Apartemen Mutiara?" gumam Larasati, membaca papan nama pembangunan apartemen tersebut.
"Lalu, kemana panti asuhan dipindahkan? Kemana ibu panti dan adik-adik?" Air mata mulai menggenang di pelupuk mata wanita muda yang wajahnya terlihat kuyu tersebut.
Larasati berdiri dengan kaki gemetaran. Kondisinya belum pulih benar pasca persalinan tadi, ditambah rasa sakit yang dia rasakan. Bukan hanya di area inti, kini dia juga merasakan sakit di kedua gunung kembar miliknya yang semakin membesar.
Larasati mera*ba dadanya yang mulai basah. "Apa kamu haus, Nak?" Air mata semakin meleleh ketika ingatan wanita muda itu tertuju pada bayinya. Harusnya, saat ini dia sudah menyusui putranya. Namun, sang mantan suami dengan tega memisahkan mereka berdua.
Wanita berhijab itu memindai keadaan sekeliling bangunan bertingkat. Di ujung area parkir gedung, dia melihat sebuah warung kecil yang cukup ramai. Langkahnya tergerak menuju ke sana sekadar untuk mencari minuman sebagai pelepas dahaga dan numpang berteduh untuk melepaskan penat.
"Bu, teh hangat manis satu," pintanya pada pemilik warung. Larasati kemudian duduk setelah dipersilakan dengan ramah oleh wanita paruh baya, pemilik warung tersebut.
Wanita muda itu memilih duduk di bagian belakang karena semua pengunjung warung adalah kaum pria yang merupakan pekerja proyek bangunan. Larasati duduk terdiam, sambil menyeruput teh hangat pesanannya yang baru saja datang. Dia tidak menghiraukan kelakar para pekerja proyek yang mulai menggodanya dengan kata-kata yang kurang sedap didengar.
"Kopi hitam satu, Mbok!" pinta seseorang dengan wajah murung yang baru saja masuk ke dalam warung.
"Kusut benar wajahmu, Jal?" tanya pemilik warung tanpa menjawab pesanan pria berusia sekitar tiga puluh tahun tersebut.
"Gimana enggak kusut, Mbok? Dari kemarin sore, anak bos rewel enggak mau minum susu. Aku sampai bolak-balik ke super market untuk membeli susu aneka merek dan rasa, tapi tetap saja Den Bram enggak mau nyusu. Dia hanya mau minum air putih, kasihan sekali 'kan? Dan sekarang Den Bram demam, Mbok," keluh Jali, sopir pribadi bos kontraktor yang membangun apartemen Mutiara.
"Kasihan sekali, ya, putra Pak Bara. Masih bayi, tapi sudah ditinggal pergi mamanya," kata Mbok Nah, pemilik warung tersebut, bersimpati.
"Ndoro putri sampai memintaku untuk mencari ibu susu buat cucunya, lho, Mbok. Lah, aku 'kan jadi semakin bingung. Nyari di mana ibu susu seperti itu?" lanjut Jali, membuat Larasati langsung berdiri dan menatap pria yang baru pertama kali dilihatnya itu.
"Ibu susu? Jika diperbolehkan, sa-saya bersedia menjadi ibu susu putra majikan Anda, Mas."
bersambung ...
Jali, pria yang berprofesi sebagai sopir pribadi dan sudah cukup lama ikut dengan Barata Adiguna, menatap Larasati dengan tatapan bimbang. Dia mengerutkan dahi, seolah tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh wanita muda di hadapan. Di mata Jali, Larasati masih sangat muda dan mustahil jika wanita itu bisa menjadi ibu susu untuk putra sang majikan. Mbok Nah yang mengerti kebimbangan pria yang sudah sangat dikenalnya karena mereka berasal dari kampung yang sama, kemudian mendekati Larasati. Wanita paruh baya tersebut lalu menepuk pelan pundak wanita berhijab yang masih menatap ke arah Jali. Hal itu sontak membuat Larasati terkejut, lantas kembali mendudukkan diri. "Maaf, jika saya lancang, Bu, Mas," kata Larasati yang kemudian menundukkan kepala. Dia juga merasa malu karena tatapan semua pengunjung warung yang kkesemuanya pria, kini tertuju padanya. Mbok Nah ikut duduk di samping Larasati. "Neng, apa Neng yakin bisa menjadi ibu susu? Mbok lihat, Neng masih sangat muda." Pemilik
Bukan hanya Larasati yang terkejut dan merasa sakit hati mendengar perkataan Bara. Bu Dini nyatanya juga tidak kalah terkejut dan sangat menyayangkan perkataan sang putra. Wanita anggun itu lalu melepaskan kaca matanya dan menatap tajam pada sang putra. "Ini bukan saatnya untuk berdebat, Bara! Segera bersihkan tubuhmu, setelah itu temui mama di ruang kerja!"Bara nampak masih ingin menyampaikan rasa keberatan. Namun, sang mama telah mengajak wanita yang di mata Bara terlihat lusuh itu untuk berlalu dari hadapan. Dia hanya bisa mengacak kasar rambutnya, seraya menghela napas panjang. Pria yang baru saja menjadi duda itu segera kembali ke kamarnya. Sepanjang membersihkan diri, pikiran Bara terus tertuju pada wanita muda yang baru saja dia lihat dan akan menjadi ibu susu untuk sang putra. Segala pikiran buruk tentang wanita itu, masih bertahta di hatinya. 'Aku tidak mau kalau kehadirannya membawa pengaruh buruk untuk putraku! Aku juga akan tuntut dia kalau sampai Bram kenapa-napa, set
Setelah mendengar cerita dari sang mama mengenai Larasati, Bara menyandarkan punggung pada sandaran sofa. Tatapannya terlihat menelisik, ke arah sang mama. Pria yang memiliki garis wajah tegas, mata tajam dengan bulu mata pendek, tetapi lentik itu masih saja menatap sang mama tanpa bersuara."Apa yang kamu pikirkan tentang mama, Bara? Kenapa kamu menatap mama seperti itu?" cecar Bu Dini setelah beberapa saat berlalu, tetapi Bara masih membisu."Bara heran sama Mama. Sejak kapan Mama begitu mudahnya percaya pada orang asing? Bukankah Mama sendiri yang selama ini mengajarkan pada Bara agar berhati-hati dan jangan sampai termakan dengan kepolosan seseorang? Bisa saja 'kan, Ma, dia itu hanya berpura-pura lugu untuk menipu? Bara tetap tidak bisa mempercayai wanita itu begitu saja, Ma.""Dia beda, Bara! Kita tidak dapat menyamakan semua orang seperti itu! Mama yakin, Rara memang wanita yang baik!" tegas Bu Dini. Wanita anggun itu meyakini, sesuai apa kata
Wanita muda berhijab warna biru laut itu masih menatap tajam pada Bara. Sesaat kemudian dia mengalihkan pandangan pada bayi laki-laki yang menangis dalam gendongan sang oma. Larasati sebenarnya hendak mendekat dan memeluk bayi yang tidak berdosa tersebut karena merasa tidak tega. Namun, langkahnya terasa berat karena kata-kata Bara yang pedas benar-benar telah melukai hatinya."Maaf, Bu Dini. Sepertinya, kehadiran saya tidak diinginkan di rumah ini. Saya mohon pamit." Larasati mengangguk sopan lalu membalikkan badan. Dia hendak berlalu dari ambang pintu kamar, tetapi suara Bu Dini yang lembut dan terdengar memelas menahan langkahnya."Kamu juga seorang ibu, Nak Rara. Ibu tahu kamu memiliki hati yang lembut. Ibu mohon, Nak, tetaplah tinggal di sini demi Bram."Larasati menoleh ke dalam kamar yang luas milik Bara. Tatapannya tertuju pada netra Bu Dini yang sudah berkaca-kaca. Bayi laki-laki dalam gendonga
Bara nampak sangat marah dan kecewa. Dia mulai dapat menebak, kemana arah pembicaraan mamanya. Sang mama sepertinya ingin menjodohkan dia dengan wanita yang kini menjadi ibu susu sang putra.Tentu saja Bara sangat marah. Tanah pemakaman istrinya saja masih basah. Bisa-bisanya sang mama malah mulai membicarakan tentang wanita lain yang bahkan baru mereka kenal."Santai, Boy. Duduklah!" titah sang mama seraya menepuk bangku kosong di sampingnya.Mau tidak mau, Bara kembali duduk di tempatnya semula."Mama tidak bermaksud melukai perasaan kamu, Bara. Mama juga sangat kehilangan dengan kepergian menantu mama yang baik seperti Cantika." Bu Dini menatap sang putra dengan lekat."Kamu masih ingat, kan, ketika mengenalkan Cantika pertama kali pada mama? Mama langsung setuju karena begitu melihat Cantika dan mengenal sebentar dari cara bicaranya, mama yakin dia itu wanita berhati lembut dan pasti bisa menjadi istri yang baik un
Waktu begitu cepat berlalu. Tanpa terasa, hampir dua minggu Larasati berada di rumah megah itu. Menjalankan perannya yang baru menjadi ibu susu.Selama itu pula, Larasati mencoba untuk fokus menyusui Bram. Dia juga fokus untuk pemulihan dirinya, pasca persalinan. Bukannya melupakan keinginan untuk mencari sang putra, tetapi dia belum memiliki kesempatan.Pagi ini, Larasati yang sedang menjemur Bram di bawah hangatnya sinar mentari pagi, melihat Jali sedang mencuci salah satu mobil sang majikan. Kebetulan mobil yang dicuci Jali, sama persis jenisnya dengan mobil milik sang mantan. Larasati kemudian mendekat, setelah Jali menyelesaikan pekerjaan."Mas Jali, maaf. Boleh Rara bertanya?""Iya, Mbak Rara. Ada apa?""Kalau mobil jenis seperti itu, apa benar harganya mencapai setengah milyar?"Jali mengerutkan dahi, mendengar pertanyaan Larasati. "Kurang lebihnya segitu, Mbak. Kenapa memang?"Larasati terdiam, tidak se
Kehadiran Bu Dini di dapur, membuat semuanya terdiam. Wanita anggun itu lalu berjalan mendekat. "Inah, siapkan mandi untuk Bram dan berikan dulu anak itu pada Rara," titahnya.Setelah Bram berpindah ke tangan Larasati, Inah segera berlalu menuju kamar Bram. Bu Dini kemudian mendekati wanita muda berhijab yang kini memangku sang cucu kesayangan. Sementara di tempatnya duduk, Larasati terlihat sedikit gugup khawatir Bu Dini mempercayai apa yang beliau dengar barusan."Ndoro Putri, maafkan Inah, ya. Inah kalau bicara memang suka asal," kata Bi Mimin, bermaksud mengklarifikasi. Asisten rumah tangga itu pun tidak ingin, sang majikan menilai buruk pada Larasati."Tidak apa-apa, Bi. Saya tahu Nak Rara itu i seperti apa." Bu Dini tersenyum hangat pada Larasati, membuat ibu susu Bram itu menjadi lega.Bi Mimin ikut tersenyum. 'Sepertinya, ndoro putri menyukai Nak Rara bukan hanya sebagai ibu susu Den Bram. Semoga saja dugaanku tidak keliru.
Bara mulai disibukkan dengan pekerjaan di proyek. Setelah meninjau perkembangan pembangunan apartemen mewah yang penggarapannya dia serahkan pada Abimana, pria bertampang dingin itu lalu menuju kantor karena dia harus segera menghadiri pertemuan dengan klien dari luar kota. Bara melupakan niatnya untuk ke kantor polisi dan mencari tahu siapa pemilik mobil yang nomor polisinya sudah dikantongi oleh sang sopir.Sementara Jali sengaja tidak mengingatkan majikannya. Sopir pribadi Bara itu ingin mencari tahu sendiri, ada hubungan apa antara Larasati dengan Abimana. Sepanjang bekerja menemani Bara, pria berkulit hitam manis itu terus menduga-duga.Fokus dengan masalah pemilik mobil, membuat Jali sering melakukan kesalahan. Hal itu membuatnya mendapatkan teguran dari sang majikan. "Jal, kamu kenapa, sih? Dari tadi pagi, aku lihat kamu enggak fokus bekerja!""Eh, iya, Pak Bara. Tidak ada apa-apa, kok, Pak." Jali yang sedang mengendarai mobil, menggaruk tengk
Keesokan harinya, baik Larasati maupun Bara telah bersiap di kamar màsing-masing. Sementara di ruang tamu yang luas, Bu Dini nampak bersemangat menyambut tamu undangan yang jumlahnya terbatas. Ya, Bu Dini hanya mengundang kerabat terdekat dan beberapa rekan bisnis sang putra yang sudah sangat lama menjalin hubungan kerja dengan Bara.Fredy dan pengacara pribadi Bara pun, terlihat ikut sibuk membantu Bu Dini. Mereka harus memastikan bahwa pernikahan dadakan Bara dan Larasati, dapat berjalan dengan lancar. Pengacara Bara juga tetap menyiapkan tim pengamanan karena tidak ingin hal buruk kembali menimpa klien dan keluarganya.Tepat pukul sepuluh pagi, penghulu datang dengan diiringi oleh Jali yang diminta Bu Dini untuk menjemput. Melihat kehadiran penghulu, Bu Dini lalu meminta Fredy untuk memanggil sang putra di ruang kerjanya. Ya, Bara lebih memilih menunggu di ruang kerjanya karena pagi ini, kamar utama sedang didekorasi oleh orang suruhan sang mama.&
Setelah kedua tamunya pulang, Bara meminta pada sang mama untuk berbicara empat mata. Bu Dini lalu mengambil alih kursi roda sang putra dari tangan Larasati karena kebetulan Bram rewel dan mencari ibu susunya. Di sinilah mereka berdua saat ini berada, duduk berhadapan di ruang kerja Bara."Ada apa, Bara? Apa kamu mau request hotel untuk malam pengantin kalian besok? Akan mama siapkan," tanya Bu Dini seraya tersenyum menggoda sang putra.Bara hanya membalas dengan decakan. Pria tampan itu masih diam dan belum ingin membuka suara."Mau barapa hari kalian menginap di hotel, hem?"lanjut Bu Dini seraya menelisik wajah putranya."Ma! Kenapa mama ngomongnya udah jauh banget, sampai bahas menginap di hotel segala, sih? Bara 'kan, belum setuju jika pernikahan kami dipercepat seperti keinginan mama tadi!""Kamu pasti setuju, Son, mama tahu itu." Bu Dini masih saja mengulas senyuman menggoda pada sang putra.Bara men
Mendengar perkataan istri dari mantan suami yang sepertinya benar-benar menyesali perbuatan di masa lalu, hati Larasati mulai sedikit luluh. Wanita berhijab itu sebenarnya tidak tega juga, melihat Abimana mengalami stress berat yang kini baru dia ketahui bahwa semua terjadi akibat tekanan dari sang istri. Larasati lalu menoleh ke arah Bu Dini untuk meminta pertimbangan."Bu. Apa kita bisa bicara sebentar," pintanya kemudian dan Bu Dini mengangguk, menyetujui."Maaf Pak Kusuma, Nak Lastri. Kami mau bicara sebentar," pamit Bu Dini seraya beranjak.Larasati lalu mendorong kursi roda Bara, mengekor langkah Bu Dini menuju ruang keluarga."Kalau memang Nak Rara keberatan jika Bara mencabut tuntutannya, biarlah proses hukum untuk Abimana tetap dilanjutkan. Ya, meskipun mama tidak yakin, kalau Pak Kusuma akan diam saja dan membiarkan menantunya itu mendekam di tahanan." Bu Dini mengawali pembicaraan, setelah beliau dan Larasati duduk di so
Siang ini, istri pertama Abimana benar-benar datang ke rumah Bara untuk menemui mantan atasan suaminya. Kedatangan Lastri, tidak berselang lama setelah kepulangan Bara. Dia disambut dengan baik oleh Bu Dini dan sang putra. Sementara Larasati yang merasa tidak berkepentingan, enggan untuk ikut menemui wanita yang pernah menorehkan luka di hatinya.Lastri datang ke kediaman Bara tidak sendirian. Dia datang bersama sang ayah yang merupakan seorang pengusaha terkenal. Tentu saja kedatangan mereka berdua membuat Bara semakin penasaran."Katakan saja langsung, ada perlu apa Mbak Lastri datang menemui saya lagi?" tanya Bara bahkan sebelum sang tamu dipersilakan untuk duduk."Bara. Biarkan tamunya masuk dulu." Lembut Bu Dini mengusap lengan sang putra, meminta kesabaran putranya itu.Bara menghela napas panjang. Dia tidak ingin berbasa-basi dengan orang-orang yang tidak memiliki hati seperti wanita di hadapan. Sementara Lastri dan sang pap
Waktu terus berlalu. Kini, kondisi Bara sudah dinyatakan membaik dan sudah diperbolehkan pulang, setelah dirawat selama seminggu. Larasati yang setiap hari dengan setia menunggui Bara bersama Bu Dini, menyiapkan semua meski Bara masih saja mengabaikan wanita muda itu."Mbak Rara, ini obat yang harus diminum Pak Bara, ya. Jangan lupa, setiap pagi ajak Pak Bara berjemur untuk mempercepat pemulihan kesehatan beliau," terang suster sambil menyerahkan obat untuk pasiennya itu."Baik, Sus. Akan saya perhatikan," balas Larasati, seraya melirik Bara. Namun, pria yang dilirik memasang tampang dingin dan sama sekali tidak tertarik mendengar perkataan ibu susu sang putra.Larasati hanya bisa menghela napas panjang kemudian. Nampaknya, wanita muda itu harus menambah stok sabarnya. Telah seminggu Larasati mencoba untuk mendekati Bara, tetapi duda satu anak tersebut masih saja bersikap dingin padanya.Sementara Bu Dini yang menyaksikan semua, kemudian
Setelah mengalami kejang-kejang akibat reaksi obat pasca operasi kakinya yang patah, keadaan Bara kembali membaik. Duda satu anak itu juga sudah siuman dan pagi ini telah dipindahkan ke ruang perawatan. Ruangan VVIP yang luas dengan fasilitas terbaik di rumah sakit tersebut.Semalam, Bu Dini, ditemani Fredy dan Dhani dengan setia menunggui Bara. Mereka bertiga menunggu di ruang tunggu yang berada di samping ruang observasi. Sementara Jali disuruh langsung pulang agar jika Larasati butuh sesuatu, sopir pribadi Bara itu siap menemani.Benar saja, pagi-pagi sekali Larasati sudah menyiapkan Bram dan minta diantarkan ke rumah sakit. "Ayo, Mas Jali!" ajak Larasati dengan tidak sabar, membuat Bi Mimin yang ikut mengantarkan sampai teras tersenyum."Hati-hati, Mas Jali," pesan Bi Mimin dan sopir setia Bara itu mengangguk, patuh."Bi. Kami berangkat dulu," pamit Larasati, seraya melambaikan tangan.Sepanjang perjalanan menuju rumah s
Larasati yang tengah menyuapi Bram makan sore, mengerutkan dahi kala melihat Bu Dini terlihat panik sendiri. Mamanya Bara itu nampak mondar-mandir, seraya berteriak memanggil sopir pribadi. Bu Dini juga menyerukan nama Bi Mimin, asisten senior di kediaman sang putra yang sudah sangat lama mengabdi."Ada apa, Ndoro Putri?" tanya Bi Mimin yang tergopoh-gopoh datang, ketika mendengar sang majikan memanggil namanya dengan teriakan. Disusul sopir keluarga yang langsung berdiri di samping asisten senior tersebut.Wajah asisten senior itu nampak cemas, begitu pula pria paruh baya di sampingnya. Bi Mimin dan Mang Ucup sepertinya dapat menebak bahwa sesuatu hal yang buruk pasti telah terjadi. Sebab, tidak biasanya sang majikan memanggil dengan seruan yang lantang."Bi. Aku mau ke rumah sakit, Bara mengalami kecelakaan. Tolong, Bibi bantu Rara mengawasi Bram," pinta Bu Dini dengan netra berkaca-kaca. Telihat dengan jelas bahwa wanita anggun tersebut sang
Sikap Larasati masih saja sama meskipun Bu Dini sudah mengajak wanita muda itu berbicara. Perkataan Abimana kala di rumah sakit, tidak hanya membekas di hatinya. Namun, membuat Larasati dihantui rasa bersalah terhadap sang putra.Imbasnya, wanita berhijab tersebut terus larut dalam kesedihan. Bukan hanya itu, Larasati juga senantiasa menghindar dari ayahnya Bram hingga membuat Bara kebingungan. "Kamu kenapa, sih, Dik?" keluh Bara, setelah pria tampan itu kembali tidak berhasil mendekati Larasati.Bara hanya dapat melihat wanita cantik itu dari kejauhan, ketika pagi ini Larasati mengajak sang putra bermain di taman belakang. Ingin sekali Bara mendekat, tetapi dia khawatir Larasati akan semakin menjauhinya. Akhirnya, Bara hanya bisa menghela napas berat."Kenapa, Bara? Apa, Nak Rara belum mau bicara denganmu?" tanya Bu Dini, mengagetkan sang putra.Bara menggeleng. "Dia terus menghindar, Ma," kata pria tampan itu yang terdengar putus asa.&
Meskipun Bara telah mengungkap semua fakta tentang perbuatan Abimana, tetapi mantan suami Larasati itu tetap tidak merasa bersalah dan tidak mau kalah. Pria berkumis tipis tersebut masih saja ngoceh tidak karuan. Beruntung, kedua tangannya sudah dipegang dengan kuat oleh dua orang petugas dari kepolisian sehingga hanya sebatas omongan yang bisa dia lontarkan."Semua itu salahmu, Ra! Karena keegoisanmu Nanda meninggal! Kamu benar-benar ibu yang egois!" kecam Abimana.Semakin dilawan dengan kata-kata, Abimana semakin menggila. Bara akhirnya hanya diam saja dan tidak lagi meladeni ocehan Abimana. Sementara Larasati, nampak tertunduk dengan air mata yang terus mengucur deras. Sepertinya, ada perkataan Abimana yang berhasil menyentil sisi hatinya.'Benarkah Nanda pergi karena aku egois?' Larasati hanyut dalam pikiran dan terus menyesali diri sendiri."Sudah, Dik. Jangan dengarkan ocehannya," bisik Bara, kala melihat wajah sendu sang calon istri.&nb