Jali, pria yang berprofesi sebagai sopir pribadi dan sudah cukup lama ikut dengan Barata Adiguna, menatap Larasati dengan tatapan bimbang. Dia mengerutkan dahi, seolah tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh wanita muda di hadapan. Di mata Jali, Larasati masih sangat muda dan mustahil jika wanita itu bisa menjadi ibu susu untuk putra sang majikan.
Mbok Nah yang mengerti kebimbangan pria yang sudah sangat dikenalnya karena mereka berasal dari kampung yang sama, kemudian mendekati Larasati. Wanita paruh baya tersebut lalu menepuk pelan pundak wanita berhijab yang masih menatap ke arah Jali. Hal itu sontak membuat Larasati terkejut, lantas kembali mendudukkan diri.
"Maaf, jika saya lancang, Bu, Mas," kata Larasati yang kemudian menundukkan kepala. Dia juga merasa malu karena tatapan semua pengunjung warung yang kkesemuanya pria, kini tertuju padanya.
Mbok Nah ikut duduk di samping Larasati. "Neng, apa Neng yakin bisa menjadi ibu susu? Mbok lihat, Neng masih sangat muda." Pemilik warung tersebut memindai wajah bersih wanita yang duduk di sampingnya. Meskipun terlihat kuyu, tetapi itu tidak mengurangi kecantikan wanita belia yang sudah menjadi janda di usianya yang baru genap kepala dua.
Larasati mendongak membalas tatapan Mbok Nah. Dia nampak ingin berkata, tetapi ragu karena banyak pasang telinga yang akan ikut mendengarkan. Mbok Nah mengangguk mengerti dan wanita paruh baya itu kemudian beranjak.
"Jam istirahat kalian sudah selesai, kan? Kenapa masih pada berdiam diri di sini? Saya laporkan pada pak mandor, baru tahu rasa kalian!" ancam Mbok Nah dan mereka langsung membubarkan diri tanpa membayar makanan dan minuman karena semua akan dibayar oleh mandor bangunan. Hanya tersisa Jali di sana yang sedang menikmati kopi buatan Mbok Nah.
Pemilik warung itu kemudian kembali mendudukkan diri di samping Larasati.
"Saya baru saja melahirkan bakda subuh tadi, Bu," kata Larasati lirih dan dengan suara yang bergetar menahan tangis. Netra wanita berhijab tersebut diliputi mendung kelabu dan Mbok Nah dapat menangkap dengan jelas kesedihan itu.
"Apa anak yang baru Neng lahirkan, meninggal?" tanya Mbok Nah, hati-hati.
Larasati menggeleng pelan. "Mantan suami saya yang telah tega memisahkan kami, Bu."
Mbok Nah terdiam, mendengar penjelasan wanita yang duduk di sampingnya. Wanita paruh baya tersebut dapat merasakan kepedihan hati Larasati. "Mbok dapat mengerti kesedihan Neng. Yang sabar ya, Neng. Allah itu ndak pernah sare. Dia tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya." Netra Mbok Nah berkaca-kaca mengatakan kalimat demi kalimat. Kenangan di masa silam, melintas kembali dalam ingatan. Mbok Nah pun pernah merasakan sedihnya kehilangan.
Larasati kembali menatap Mbok Nah. Bibirnya nampak bergetar. Wanita muda itu sepertinya hendak melancarkan protesnya, tetapi Mbok Nah kembali membuka suara.
"Jika Dia memberi Neng ujian seperti ini, artinya Neng itu kuat di mata Allah. Mbok yakin, suatu saat nanti Neng akan menemukan kebahagiaan yang sejati. Wong sabar iku bakale subur. Wong nandur bakale ngunduh. Ndak perlu menyimpan dendam. Jika memang kalian ditakdirkan untuk bertemu, yakinlah Neng, suatu ketika nanti, Neng pasti bakal dipertemukan dengan anak Neng kembali," lanjut Mbok Nah seraya menepuk punggung Larasati, penuh rasa sayang.
Larasati tertegun mendengar ceramah panjang dari wanita paruh baya di sampingnya. Wanita muda itu membenarkan perkataan Mbok Nah, tetapi hati Larasati terluka parah dan dia masih menyimpan kebencian serta dendam untuk mantan suaminya. "Rasanya, sulit untuk ikhlas, Mbok." Pelan, dia berkata.
Mbok Nah menganggukkan kepala. "Pelan-pelan saja, Neng. Ikhlas itu memang mudah diucapkan, tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan. Sabar dan terus bertawakkal, insyaAllah seiring waktu Neng akan bisa ikhlas atas semua yang telah terjadi." Wanita paruh baya yang memakai penutup kepala berupa udeng itu menatap penuh kasih pada Larasati.
Percakapan keduanya terhenti ketika terdengar suara Jali menerima panggilan telepon. "Iya, Ndoro Putri. Saya masih di proyek karena masih menunggu Pak Abi yang sedang makan siang di luar."
"Apa ibu susu yang aku minta sudah kamu dapatkan, Jal?"
"Sudah, Ndoro Putri. Saya sudah mendapatkannya dan Ndoro Putri tidak perlu khawatir. Setelah saya bertemu dengan Pak Abi sesuai perintah Pak Bara, saya akan segera bawa pulang dia," balas Jali seraya melirik ke arah Larasati yang juga tengah menatapnya.
Jali segera menutup telepon ketika panggilan dari sang nyonya majikan berakhir. Dia lalu sedikit mendekat ke arah Larasati. "Apa yang Neng katakan tadi sungguh-sungguh? Barusan, majikan saya telepon dan ...."
"Saya sungguh-sungguh, Mas," sergah Larasati, sebelum Jali menyelesaikan kalimatnya.
"Baik, Neng. Neng bisa tunggu di sini sebentar, saya akan menemui asisten bos dulu di dalam sana. Sepertinya, Pak Abi sudah kembali," pinta Jali seraya menunjuk ke arah gedung bertingkat yang merupakan bangunan apartemen mewah dan Larasati menganggukkan kepala.
Setelah kepergian Jali, Mbok Nah dan Larasati melanjutkan perbincangan. Dari Mbok Nah, Larasati mengetahui bahwa bayi yang akan menjadi anak susuannya baru berusia lima bulan. Bayi laki-laki yang bernama Ibrahim, putra dari Barata dan Cantika yang baru meninggal dunia kemarin malam.
"Semoga saja, putra Pak Bara itu mau saya susui ya, Mbok," kata Larasati kemudian yang nampak sudah akrab dengan Mbok Nah. Wanita muda itu reflek mera*ba dadanya yang semakin basah.
"Apa Asi Neng Rara keluar terus?" tanya Mbok Nah khawatir karena melihat wajah Larasati yang nampak tidak nyaman.
Belum sempat Larasati menjawab, Mbok Nah melihat Jali telah kembali. Wanita paruh baya itu langsung beranjak dan menyuruh Jali untuk segera membawa Larasati pulang. Sebab, Asi wanita muda itu harus segera dikeluarkan agar tidak menyebabkan Larasati menjadi demam.
Jali patuh karena memang kedatangan ibu susu untuk putra sang majikan sudah dinantikan. Pria itu segera melajukan mobilnya membelah jalanan beraspal ibukota yang tidak pernah lengang. Sepanjang perjalanan Jali terus saja mencuri pandang melalui pantulan kaca spion tengah, pada penumpang di bangku belakang.
Setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam, mobil mewah yang dikendarai Jali memasuki pintu gerbang. Pria itu memarkirkan mobil di antara deretan mobil lain dan kemudian menoleh ke belakang. "Kita sudah sampai, Neng. Ayo, turun!"
Larasati segera turun, mengikuti ajakan Jali. Wanita muda itu lalu mengekor langkah pria di depannya. "Maaf, Mas Jali. Tolong jalannya pelan sedikit," pintanya seraya meringis menahan sakit.
"Oh, iya, Neng. Maaf, saya lupa," kata Jali yang sudah mendengar meski samar cerita tentang Larasati ketika berada di warung tadi.
Kedatangan Jali yang membawa Larasati disambut baik oleh sang nyonya besar. Wanita anggun dengan kacamata yang membingkai sebagian wajah ayu meski usianya tidak muda lagi itu, mengulurkan tangan. "Selamat datang di rumah kami. Saya Andini, omanya Bram."
"Saya Larasati, Bu. Eh, em ... maaf, Ndoro Putri. Panggil saja saya, Rara," balas Larasati seraya menjabat tangan lembut Bu Dini yang tadi dia dengar Jali memanggilnya demikian dan Larasati ikut-ikutan.
Ya, mulai sekarang Larasati memilih dipanggil Rara, daripada Lara yang artinya sakit. Dia tidak mau hatinya kembali terluka karena disakiti. Cukup sudah baginya menanggung rasa sakit di hati yang diberikan oleh sang mantan suami.
"Panggil bu saja tidak apa-apa, Nak Rara. Mari, kita ke kamar cucu saya," ajak Bu Dini dengan ramah dan Larasati sedikit membungkukkan badan dengan sopan.
"Jali, tolong simpan koper Nak Rara di kamar tamu," titahnya pada Jali, sebelum melangkah bersama Larasati menuju kamar sang cucu. Sopir pribadi Bara itu mengangguk, patuh.
Tertatih, Larasati mengikuti langkah Bu Dini. Sepasang mata yang baru saja keluar dari kamar utama, memperhatikan dengan mengerutkan dahi. 'Siapa dia? Mau apa Mama membawanya ke kamar Bram? Apakah pengasuh Bram yang baru?'
Untuk menuntaskan keingintahuannya, pria bertubuh tinggi tegap tersebut mengejar sang mama. "Ma, tunggu!"
"Bara, kebetulan kamu sudah bangun, Nak. Kenalkan, dia Larasati. Dia yang akan menjadi ibu susu untuk putramu." Bu Dini menunjuk ke arah Larasati dan wanita muda yang ditunjuk, menundukkan kepala.
Bara nampak kebingungan. Sang mama memang belum mengatakan idenya untuk mencari ibu susu buat Bram pada Bara. Bu Dini sengaja berinisiatif sendiri karena kasihan melihat sang cucu yang terus menangis. Beliau juga kasihan pada Bara yang harus menggendong sang putra selama berjam-jam karena Bram terus saja rewel dan tidak mau minum susu formula.
"Apa Mama yakin? Mama sudah mencari tahu asal usulnya? Bara tidak mau jika Bram disusui oleh sembarang orang, Ma! Kita belum tahu, apakah darah yang mengalir ditubuhnya ini baik atau tidak? Kita juga tidak tahu, apakah dia wanita yang sehat atau wanita penyakitan?" Bara mengucapkan setiap kalimat dengan penuh penekanan dan itu berhasil menambah luka di hati Larasati.
bersambung...
Bukan hanya Larasati yang terkejut dan merasa sakit hati mendengar perkataan Bara. Bu Dini nyatanya juga tidak kalah terkejut dan sangat menyayangkan perkataan sang putra. Wanita anggun itu lalu melepaskan kaca matanya dan menatap tajam pada sang putra. "Ini bukan saatnya untuk berdebat, Bara! Segera bersihkan tubuhmu, setelah itu temui mama di ruang kerja!"Bara nampak masih ingin menyampaikan rasa keberatan. Namun, sang mama telah mengajak wanita yang di mata Bara terlihat lusuh itu untuk berlalu dari hadapan. Dia hanya bisa mengacak kasar rambutnya, seraya menghela napas panjang. Pria yang baru saja menjadi duda itu segera kembali ke kamarnya. Sepanjang membersihkan diri, pikiran Bara terus tertuju pada wanita muda yang baru saja dia lihat dan akan menjadi ibu susu untuk sang putra. Segala pikiran buruk tentang wanita itu, masih bertahta di hatinya. 'Aku tidak mau kalau kehadirannya membawa pengaruh buruk untuk putraku! Aku juga akan tuntut dia kalau sampai Bram kenapa-napa, set
Setelah mendengar cerita dari sang mama mengenai Larasati, Bara menyandarkan punggung pada sandaran sofa. Tatapannya terlihat menelisik, ke arah sang mama. Pria yang memiliki garis wajah tegas, mata tajam dengan bulu mata pendek, tetapi lentik itu masih saja menatap sang mama tanpa bersuara."Apa yang kamu pikirkan tentang mama, Bara? Kenapa kamu menatap mama seperti itu?" cecar Bu Dini setelah beberapa saat berlalu, tetapi Bara masih membisu."Bara heran sama Mama. Sejak kapan Mama begitu mudahnya percaya pada orang asing? Bukankah Mama sendiri yang selama ini mengajarkan pada Bara agar berhati-hati dan jangan sampai termakan dengan kepolosan seseorang? Bisa saja 'kan, Ma, dia itu hanya berpura-pura lugu untuk menipu? Bara tetap tidak bisa mempercayai wanita itu begitu saja, Ma.""Dia beda, Bara! Kita tidak dapat menyamakan semua orang seperti itu! Mama yakin, Rara memang wanita yang baik!" tegas Bu Dini. Wanita anggun itu meyakini, sesuai apa kata
Wanita muda berhijab warna biru laut itu masih menatap tajam pada Bara. Sesaat kemudian dia mengalihkan pandangan pada bayi laki-laki yang menangis dalam gendongan sang oma. Larasati sebenarnya hendak mendekat dan memeluk bayi yang tidak berdosa tersebut karena merasa tidak tega. Namun, langkahnya terasa berat karena kata-kata Bara yang pedas benar-benar telah melukai hatinya."Maaf, Bu Dini. Sepertinya, kehadiran saya tidak diinginkan di rumah ini. Saya mohon pamit." Larasati mengangguk sopan lalu membalikkan badan. Dia hendak berlalu dari ambang pintu kamar, tetapi suara Bu Dini yang lembut dan terdengar memelas menahan langkahnya."Kamu juga seorang ibu, Nak Rara. Ibu tahu kamu memiliki hati yang lembut. Ibu mohon, Nak, tetaplah tinggal di sini demi Bram."Larasati menoleh ke dalam kamar yang luas milik Bara. Tatapannya tertuju pada netra Bu Dini yang sudah berkaca-kaca. Bayi laki-laki dalam gendonga
Bara nampak sangat marah dan kecewa. Dia mulai dapat menebak, kemana arah pembicaraan mamanya. Sang mama sepertinya ingin menjodohkan dia dengan wanita yang kini menjadi ibu susu sang putra.Tentu saja Bara sangat marah. Tanah pemakaman istrinya saja masih basah. Bisa-bisanya sang mama malah mulai membicarakan tentang wanita lain yang bahkan baru mereka kenal."Santai, Boy. Duduklah!" titah sang mama seraya menepuk bangku kosong di sampingnya.Mau tidak mau, Bara kembali duduk di tempatnya semula."Mama tidak bermaksud melukai perasaan kamu, Bara. Mama juga sangat kehilangan dengan kepergian menantu mama yang baik seperti Cantika." Bu Dini menatap sang putra dengan lekat."Kamu masih ingat, kan, ketika mengenalkan Cantika pertama kali pada mama? Mama langsung setuju karena begitu melihat Cantika dan mengenal sebentar dari cara bicaranya, mama yakin dia itu wanita berhati lembut dan pasti bisa menjadi istri yang baik un
Waktu begitu cepat berlalu. Tanpa terasa, hampir dua minggu Larasati berada di rumah megah itu. Menjalankan perannya yang baru menjadi ibu susu.Selama itu pula, Larasati mencoba untuk fokus menyusui Bram. Dia juga fokus untuk pemulihan dirinya, pasca persalinan. Bukannya melupakan keinginan untuk mencari sang putra, tetapi dia belum memiliki kesempatan.Pagi ini, Larasati yang sedang menjemur Bram di bawah hangatnya sinar mentari pagi, melihat Jali sedang mencuci salah satu mobil sang majikan. Kebetulan mobil yang dicuci Jali, sama persis jenisnya dengan mobil milik sang mantan. Larasati kemudian mendekat, setelah Jali menyelesaikan pekerjaan."Mas Jali, maaf. Boleh Rara bertanya?""Iya, Mbak Rara. Ada apa?""Kalau mobil jenis seperti itu, apa benar harganya mencapai setengah milyar?"Jali mengerutkan dahi, mendengar pertanyaan Larasati. "Kurang lebihnya segitu, Mbak. Kenapa memang?"Larasati terdiam, tidak se
Kehadiran Bu Dini di dapur, membuat semuanya terdiam. Wanita anggun itu lalu berjalan mendekat. "Inah, siapkan mandi untuk Bram dan berikan dulu anak itu pada Rara," titahnya.Setelah Bram berpindah ke tangan Larasati, Inah segera berlalu menuju kamar Bram. Bu Dini kemudian mendekati wanita muda berhijab yang kini memangku sang cucu kesayangan. Sementara di tempatnya duduk, Larasati terlihat sedikit gugup khawatir Bu Dini mempercayai apa yang beliau dengar barusan."Ndoro Putri, maafkan Inah, ya. Inah kalau bicara memang suka asal," kata Bi Mimin, bermaksud mengklarifikasi. Asisten rumah tangga itu pun tidak ingin, sang majikan menilai buruk pada Larasati."Tidak apa-apa, Bi. Saya tahu Nak Rara itu i seperti apa." Bu Dini tersenyum hangat pada Larasati, membuat ibu susu Bram itu menjadi lega.Bi Mimin ikut tersenyum. 'Sepertinya, ndoro putri menyukai Nak Rara bukan hanya sebagai ibu susu Den Bram. Semoga saja dugaanku tidak keliru.
Bara mulai disibukkan dengan pekerjaan di proyek. Setelah meninjau perkembangan pembangunan apartemen mewah yang penggarapannya dia serahkan pada Abimana, pria bertampang dingin itu lalu menuju kantor karena dia harus segera menghadiri pertemuan dengan klien dari luar kota. Bara melupakan niatnya untuk ke kantor polisi dan mencari tahu siapa pemilik mobil yang nomor polisinya sudah dikantongi oleh sang sopir.Sementara Jali sengaja tidak mengingatkan majikannya. Sopir pribadi Bara itu ingin mencari tahu sendiri, ada hubungan apa antara Larasati dengan Abimana. Sepanjang bekerja menemani Bara, pria berkulit hitam manis itu terus menduga-duga.Fokus dengan masalah pemilik mobil, membuat Jali sering melakukan kesalahan. Hal itu membuatnya mendapatkan teguran dari sang majikan. "Jal, kamu kenapa, sih? Dari tadi pagi, aku lihat kamu enggak fokus bekerja!""Eh, iya, Pak Bara. Tidak ada apa-apa, kok, Pak." Jali yang sedang mengendarai mobil, menggaruk tengk
Bara yang buru-buru masuk ke dalam rumah, segera menuju ke kamar sang putra. Satu tujuannya, yaitu mencari sang mama. Dia ingin mencari tahu dari mamanya, apakah Larasati pernah bercerita mengenai masa lalunya.Ya, orang yang berada di taman dan ikut mendengarkan pembicaraan Jali dan Larasati, adalah Bara. Dia yang baru teringat dengan tujuannya tadi pagi, bermaksud mencari Jali untuk menanyakan tentang nomor kendaraan yang sudah dikantongi oleh sopir pribadinya. Bara sempat kecewa tadi karena ternyata sang sopir sudah mengetahui siapa pemilik mobil yang dicari Larasati dan Jali tidak mengatakan padanya.Pria itu masuk ke kamar sang putra, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu hingga membuat terkejut mamanya. "Bara! Kamu ini, ngagetin saja!" protes wanita anggun itu yang sedang mengganti diapers sang cucu."Memangnya Inah dan Rara kemana, Ma? Kok Mama sendiri yang mengganti popoknya Bram?" tanya Bara yang pura-pura tidak tahu di mana keberadaan Larasa
Keesokan harinya, baik Larasati maupun Bara telah bersiap di kamar màsing-masing. Sementara di ruang tamu yang luas, Bu Dini nampak bersemangat menyambut tamu undangan yang jumlahnya terbatas. Ya, Bu Dini hanya mengundang kerabat terdekat dan beberapa rekan bisnis sang putra yang sudah sangat lama menjalin hubungan kerja dengan Bara.Fredy dan pengacara pribadi Bara pun, terlihat ikut sibuk membantu Bu Dini. Mereka harus memastikan bahwa pernikahan dadakan Bara dan Larasati, dapat berjalan dengan lancar. Pengacara Bara juga tetap menyiapkan tim pengamanan karena tidak ingin hal buruk kembali menimpa klien dan keluarganya.Tepat pukul sepuluh pagi, penghulu datang dengan diiringi oleh Jali yang diminta Bu Dini untuk menjemput. Melihat kehadiran penghulu, Bu Dini lalu meminta Fredy untuk memanggil sang putra di ruang kerjanya. Ya, Bara lebih memilih menunggu di ruang kerjanya karena pagi ini, kamar utama sedang didekorasi oleh orang suruhan sang mama.&
Setelah kedua tamunya pulang, Bara meminta pada sang mama untuk berbicara empat mata. Bu Dini lalu mengambil alih kursi roda sang putra dari tangan Larasati karena kebetulan Bram rewel dan mencari ibu susunya. Di sinilah mereka berdua saat ini berada, duduk berhadapan di ruang kerja Bara."Ada apa, Bara? Apa kamu mau request hotel untuk malam pengantin kalian besok? Akan mama siapkan," tanya Bu Dini seraya tersenyum menggoda sang putra.Bara hanya membalas dengan decakan. Pria tampan itu masih diam dan belum ingin membuka suara."Mau barapa hari kalian menginap di hotel, hem?"lanjut Bu Dini seraya menelisik wajah putranya."Ma! Kenapa mama ngomongnya udah jauh banget, sampai bahas menginap di hotel segala, sih? Bara 'kan, belum setuju jika pernikahan kami dipercepat seperti keinginan mama tadi!""Kamu pasti setuju, Son, mama tahu itu." Bu Dini masih saja mengulas senyuman menggoda pada sang putra.Bara men
Mendengar perkataan istri dari mantan suami yang sepertinya benar-benar menyesali perbuatan di masa lalu, hati Larasati mulai sedikit luluh. Wanita berhijab itu sebenarnya tidak tega juga, melihat Abimana mengalami stress berat yang kini baru dia ketahui bahwa semua terjadi akibat tekanan dari sang istri. Larasati lalu menoleh ke arah Bu Dini untuk meminta pertimbangan."Bu. Apa kita bisa bicara sebentar," pintanya kemudian dan Bu Dini mengangguk, menyetujui."Maaf Pak Kusuma, Nak Lastri. Kami mau bicara sebentar," pamit Bu Dini seraya beranjak.Larasati lalu mendorong kursi roda Bara, mengekor langkah Bu Dini menuju ruang keluarga."Kalau memang Nak Rara keberatan jika Bara mencabut tuntutannya, biarlah proses hukum untuk Abimana tetap dilanjutkan. Ya, meskipun mama tidak yakin, kalau Pak Kusuma akan diam saja dan membiarkan menantunya itu mendekam di tahanan." Bu Dini mengawali pembicaraan, setelah beliau dan Larasati duduk di so
Siang ini, istri pertama Abimana benar-benar datang ke rumah Bara untuk menemui mantan atasan suaminya. Kedatangan Lastri, tidak berselang lama setelah kepulangan Bara. Dia disambut dengan baik oleh Bu Dini dan sang putra. Sementara Larasati yang merasa tidak berkepentingan, enggan untuk ikut menemui wanita yang pernah menorehkan luka di hatinya.Lastri datang ke kediaman Bara tidak sendirian. Dia datang bersama sang ayah yang merupakan seorang pengusaha terkenal. Tentu saja kedatangan mereka berdua membuat Bara semakin penasaran."Katakan saja langsung, ada perlu apa Mbak Lastri datang menemui saya lagi?" tanya Bara bahkan sebelum sang tamu dipersilakan untuk duduk."Bara. Biarkan tamunya masuk dulu." Lembut Bu Dini mengusap lengan sang putra, meminta kesabaran putranya itu.Bara menghela napas panjang. Dia tidak ingin berbasa-basi dengan orang-orang yang tidak memiliki hati seperti wanita di hadapan. Sementara Lastri dan sang pap
Waktu terus berlalu. Kini, kondisi Bara sudah dinyatakan membaik dan sudah diperbolehkan pulang, setelah dirawat selama seminggu. Larasati yang setiap hari dengan setia menunggui Bara bersama Bu Dini, menyiapkan semua meski Bara masih saja mengabaikan wanita muda itu."Mbak Rara, ini obat yang harus diminum Pak Bara, ya. Jangan lupa, setiap pagi ajak Pak Bara berjemur untuk mempercepat pemulihan kesehatan beliau," terang suster sambil menyerahkan obat untuk pasiennya itu."Baik, Sus. Akan saya perhatikan," balas Larasati, seraya melirik Bara. Namun, pria yang dilirik memasang tampang dingin dan sama sekali tidak tertarik mendengar perkataan ibu susu sang putra.Larasati hanya bisa menghela napas panjang kemudian. Nampaknya, wanita muda itu harus menambah stok sabarnya. Telah seminggu Larasati mencoba untuk mendekati Bara, tetapi duda satu anak tersebut masih saja bersikap dingin padanya.Sementara Bu Dini yang menyaksikan semua, kemudian
Setelah mengalami kejang-kejang akibat reaksi obat pasca operasi kakinya yang patah, keadaan Bara kembali membaik. Duda satu anak itu juga sudah siuman dan pagi ini telah dipindahkan ke ruang perawatan. Ruangan VVIP yang luas dengan fasilitas terbaik di rumah sakit tersebut.Semalam, Bu Dini, ditemani Fredy dan Dhani dengan setia menunggui Bara. Mereka bertiga menunggu di ruang tunggu yang berada di samping ruang observasi. Sementara Jali disuruh langsung pulang agar jika Larasati butuh sesuatu, sopir pribadi Bara itu siap menemani.Benar saja, pagi-pagi sekali Larasati sudah menyiapkan Bram dan minta diantarkan ke rumah sakit. "Ayo, Mas Jali!" ajak Larasati dengan tidak sabar, membuat Bi Mimin yang ikut mengantarkan sampai teras tersenyum."Hati-hati, Mas Jali," pesan Bi Mimin dan sopir setia Bara itu mengangguk, patuh."Bi. Kami berangkat dulu," pamit Larasati, seraya melambaikan tangan.Sepanjang perjalanan menuju rumah s
Larasati yang tengah menyuapi Bram makan sore, mengerutkan dahi kala melihat Bu Dini terlihat panik sendiri. Mamanya Bara itu nampak mondar-mandir, seraya berteriak memanggil sopir pribadi. Bu Dini juga menyerukan nama Bi Mimin, asisten senior di kediaman sang putra yang sudah sangat lama mengabdi."Ada apa, Ndoro Putri?" tanya Bi Mimin yang tergopoh-gopoh datang, ketika mendengar sang majikan memanggil namanya dengan teriakan. Disusul sopir keluarga yang langsung berdiri di samping asisten senior tersebut.Wajah asisten senior itu nampak cemas, begitu pula pria paruh baya di sampingnya. Bi Mimin dan Mang Ucup sepertinya dapat menebak bahwa sesuatu hal yang buruk pasti telah terjadi. Sebab, tidak biasanya sang majikan memanggil dengan seruan yang lantang."Bi. Aku mau ke rumah sakit, Bara mengalami kecelakaan. Tolong, Bibi bantu Rara mengawasi Bram," pinta Bu Dini dengan netra berkaca-kaca. Telihat dengan jelas bahwa wanita anggun tersebut sang
Sikap Larasati masih saja sama meskipun Bu Dini sudah mengajak wanita muda itu berbicara. Perkataan Abimana kala di rumah sakit, tidak hanya membekas di hatinya. Namun, membuat Larasati dihantui rasa bersalah terhadap sang putra.Imbasnya, wanita berhijab tersebut terus larut dalam kesedihan. Bukan hanya itu, Larasati juga senantiasa menghindar dari ayahnya Bram hingga membuat Bara kebingungan. "Kamu kenapa, sih, Dik?" keluh Bara, setelah pria tampan itu kembali tidak berhasil mendekati Larasati.Bara hanya dapat melihat wanita cantik itu dari kejauhan, ketika pagi ini Larasati mengajak sang putra bermain di taman belakang. Ingin sekali Bara mendekat, tetapi dia khawatir Larasati akan semakin menjauhinya. Akhirnya, Bara hanya bisa menghela napas berat."Kenapa, Bara? Apa, Nak Rara belum mau bicara denganmu?" tanya Bu Dini, mengagetkan sang putra.Bara menggeleng. "Dia terus menghindar, Ma," kata pria tampan itu yang terdengar putus asa.&
Meskipun Bara telah mengungkap semua fakta tentang perbuatan Abimana, tetapi mantan suami Larasati itu tetap tidak merasa bersalah dan tidak mau kalah. Pria berkumis tipis tersebut masih saja ngoceh tidak karuan. Beruntung, kedua tangannya sudah dipegang dengan kuat oleh dua orang petugas dari kepolisian sehingga hanya sebatas omongan yang bisa dia lontarkan."Semua itu salahmu, Ra! Karena keegoisanmu Nanda meninggal! Kamu benar-benar ibu yang egois!" kecam Abimana.Semakin dilawan dengan kata-kata, Abimana semakin menggila. Bara akhirnya hanya diam saja dan tidak lagi meladeni ocehan Abimana. Sementara Larasati, nampak tertunduk dengan air mata yang terus mengucur deras. Sepertinya, ada perkataan Abimana yang berhasil menyentil sisi hatinya.'Benarkah Nanda pergi karena aku egois?' Larasati hanyut dalam pikiran dan terus menyesali diri sendiri."Sudah, Dik. Jangan dengarkan ocehannya," bisik Bara, kala melihat wajah sendu sang calon istri.&nb