Setelah mendengar cerita dari sang mama mengenai Larasati, Bara menyandarkan punggung pada sandaran sofa. Tatapannya terlihat menelisik, ke arah sang mama. Pria yang memiliki garis wajah tegas, mata tajam dengan bulu mata pendek, tetapi lentik itu masih saja menatap sang mama tanpa bersuara.
"Apa yang kamu pikirkan tentang mama, Bara? Kenapa kamu menatap mama seperti itu?" cecar Bu Dini setelah beberapa saat berlalu, tetapi Bara masih membisu.
"Bara heran sama Mama. Sejak kapan Mama begitu mudahnya percaya pada orang asing? Bukankah Mama sendiri yang selama ini mengajarkan pada Bara agar berhati-hati dan jangan sampai termakan dengan kepolosan seseorang? Bisa saja 'kan, Ma, dia itu hanya berpura-pura lugu untuk menipu? Bara tetap tidak bisa mempercayai wanita itu begitu saja, Ma."
"Dia beda, Bara! Kita tidak dapat menyamakan semua orang seperti itu! Mama yakin, Rara memang wanita yang baik!" tegas Bu Dini. Wanita anggun itu meyakini, sesuai apa kata hati.
Ketegangan pun tercipta di ruang kerja Bara. Masing-masing memiliki opini sendiri, mengenai sosok wanita muda yang baru saja hadir dalam keluarga mereka. Bu Dini dengan prasangka baiknya, sementara Bara dengan kewaspadaan demi kebaikan sang putra.
"Terserah Mama jika masih mau menjadikan wanita itu sebagai ibu susu Bram, tapi Bara minta jangan disusui secara langsung! Bara tidak mau terjalin chemistry antara wanita asing itu dan putra Bara!" kata Bara, tidak kalah tegas dari sang mama.
"Larasati, Bara! Wanita itu memiliki nama dan nama panggilannya Rara!" Bu Dini segera beranjak. "Mama mau ke kamar Bram, barangkali Rara sudah selesai menyusui," lanjutnya yang segera berlalu dari ruang kerja sang putra.
Meninggalkan Bara seorang diri yang masih termenung, memikirkan mengapa semua ini harus terjadi. "Andai kamu tidak pergi, Sayang, tentu putra kita tidak perlu disusui oleh orang lain." Netra Bara kembali berkaca-kaca. Cintanya yang teramat besar pada sang istri, membuat air mata Bara selalu menyeruak begitu saja jika mengingat Cantika.
"Sekarang aku tahu, Sayang, kenapa kamu kekeuh ingin menyusui putra kita sendiri dan tidak mau dibantu dengan susu formula. Ternyata, momen kebersamaan kalian hanya sebentar. Hanya lima bulan kamu memiliki kesempatan untuk menimang putra kita, Cantika," gumam Bara.
Ya, sejak pertama melahirkan dan asinya belum keluar, Cantika bersikeras untuk menyusui sang putra tanpa bantuan susu formula. Segala cara dia lakukan agar asinya lancar dan cukup untuk memenuhi kebutuhan Bram. Dia benar-benar ingin menghabiskan waktu untuk merawat putra pertama mereka berdua.
Setiap malam, Cantika juga mengajak Bram untuk tidur bersama mereka berdua di kamar utama. Meskipun Bara telah menyiapkan kamar khusus untuk putranya, sejak sang putra masih dalam kandungan Cantika. Jika Bara keberatan, maka Cantika akan ngambek dan mogok bicara.
"Kapan lagi, sih, Mas, kita bisa memiliki kesempatan untuk tidur bareng seperti ini? Momen seperti ini, tuh, enggak bakal terulang, Mas," kata Cantika, setiap kali Bara membujuk agar sang putra dibiasakan tidur di kamarnya sendiri.
Bara yang telah berdiri dengan menghadap ke arah foto pernikahannya dengan Cantika, tidak kuasa menahan air mata. Dia pandangi wajah cantik sang istri dalam balutan gaun pengantin berwarna putih, senada dengan stelan jas yang Bara kenakan. Tatapan pria berhidung mancung itu begitu dalam tertuju pada gambar diri sang istri yang kini telah berpulang.
Terdengar pintu ruang kerja Bara diketuk dari luar. Menyeret Bara dari kenangannya bersama Cantika. Pria itu lalu menoleh ke arah pintu yang tertutup rapat.
"Pak Bara. Ini saya, Jali."
Pria berahang kokoh itu segera mengusap sisa air matanya lalu beranjak menuju pintu. "Ada apa, Jal?" tanya Bara, setelah membuka pintu ruang kerjanya.
"Saya sudah menyampaikan pada Pak Abi, pesan dari Pak Bara," kata Jali dan Bara menganggukkan kepala.
"Oh, iya. Tadi Pak Abi juga minta pada saya agar menyampaikan permintaan maafnya karena tadi malam Pak Abi tidak dapat melayat almarhumah Bu Cantika. Pak Abi bilang, dia harus menemani istrinya yang mau melahirkan," lanjut sopir pribadi Bara, membuat sang tuan mengernyit heran.
"Melahirkan? Istri yang mana? Bukankah istri Mas Abi sudah tidak bisa ...." Bara menjeda perkataannya. Dalam hati pria tampan itu menerka-nerka.
Jali menggeleng. "Saya juga tidak tahu, Pak Bara. Pak Abi tidak pernah bercerita apa-apa selama ini. Lagipula, sudah lama Bu Lastri tidak pernah mencari Pak Abi ke proyek, seperti yang sudah-sudah."
Bara mengedikkan bahu. "Ya sudah, Jali. Terima kasih atas informasinya." Bara segera berlalu menuju ke kamarnya untuk melaksanakan sholat maghrib karena kumandang adzan telah terdengar dari kejauhan.
Sementara di kamar Bram, Larasati nampak masih berbincang dengan Bu Dini. Wanita anggun mamanya Bara itu nampak sangat senang dengan kehadiran Larasati. Setidaknya, sang cucu tidak akan rewel karena merengek meminta Asi.
"Oh ya, Nak Rara. Karena setiap malam Bram tidur di kamar orang tuanya, jadi kamu harus menyiapkan asi dalam botol untuk Bram. Ada banyak botol susu yang tadi pagi sudah dibeli sama Jali, kamu bisa nyetok asimu di sana," pinta Bu Dini beralasan karena tidak ingin membuat wanita muda yang duduk di hadapannya, merasa tersinggung.
"Untuk pompa asinya, masih ada punya mamanya Bram yang bisa kamu pakai. Nanti biar disiapkan oleh Inah dan diantarkan ke kamar kamu," lanjut Bu Dini.
"Baik, Bu. Nanti setelah membersihkan diri, saya akan memompa asi saya," balas Larasati seraya tersenyum ramah.
Setelah memastikan Bram tidur dengan nyaman di dalam boks bayi, Bu Dini dan Larasati segera keluar dari kamar bayi laki-laki itu. Bu Dini segera menuju ke kamarnya sendiri, sementara Larasati berjalan tertatih menuju ke kamar tamu. Ketika melintas di ruang keluarga, dia melihat sekelebat bayangan Jali dan pikirannya langsung tertuju pada mantan suaminya.
'Barangkali, aku bisa minta tolong sama Mas Jali untuk mencari informasi tentang Mas Bima. Sepertinya, dia sangat berpengalaman karena sopirnya bos besar. Sebaiknya, aku temui Mas Jali besok pagi.'
Larasati bergegas masuk ke dalam kamarnya untuk membersihkan diri. Dia mandi dengan cepat agar bisa segera memompa asi. Khawatir, jika Bram terbangun dan asinya belum siap. Tentu Bara dan Bu Dini akan kecewa padanya.
Setelah menyerahkan semua botol susu yang penuh dengan asinya pada Inah, pengasuh Bram, dan setelah dia mengisi penuh perutnya dengan makanan enak, Larasati buru-buru menjatuhkan bobot tubuhnya di atas ranjang. Dia ingin melupakan sejenak segala masalah yang menderanya, seharian. Berharap, ketika dia terbangun esok hari semua akan kembali baik-baik saja seperti sedia kala hingga dia tidak perlu merasakan kembali sakitnya kehilangan.
Gelisah, Larasati membolak-balikan badan. Sudah dua jam berlalu, mata Larasati tidak kunjung terpejam. Bukan hanya karena dia tidak dapat melupakan perbuatan mantan suaminya, tetapi juga karena rasa tidak nyaman.
Di area inti tubuhnya masih terasa ngilu bekas jahitan. Sementara dadanya kembali membengkak dan asinya menuntut untuk dikeluarkan. "Anakku pasti haus di sana," gamamnya dengan berlinang air mata. Selalu saja jika mengingat sang putra, air mata Larasati tidak mau diajak berkompromi.
Perlahan, Larasati bangkit dari pembaringan. Mengambil pompa asi lalu menuju kamar mandi dengan berjalan pelan. Baru saja Larasati memompa sedikit asinya, terdengar suara teriakan dari arah luar.
"Mbak Rara! Buka pintunya, Mbak! Mbak Rara belum tidur, kan?" Suara Inah, terdengar panik.
"Ada apa, Mbak Inah?" tanya Larasati pada pengasuh Bram yang usianya terpaut beberapa tahun di atasnya, tetapi Inah belum menikah.
"Den Bram rewel, Mbak. Bu Dini menyuruh Mbak Rara ke kamar Pak Bara."
"Sebentar, Mbak Inah. Saya ambil jilbab dulu." Larasati segera menuju kamar utama sambil memakai hijabnya. Dia berjalan sedikit cepat, khawatir Bu Dini dan Bara akan marah jika dia terlalu lama.
"Jangan apa-apa dibiasakan bergantung pada dia, lah, Ma! Memangnya, dia itu siapa? Asal usulnya juga tidak jelas! Kalau dia wanita baik-baik, suaminya tidak akan pernah menceraikan dia, Ma! Bara tidak mau jika Bram bergantung padanya! Bram pasti mau minum dari botol kalau dibiasakan! Tidak masalah jika diawal Bram rewel seperti itu, Ma!" Suara Bara yang menggelegar, menghentikan langkah Larasati tepat di ambang pintu kamar pria itu.
Dadanya terasa sesak mendengar kalimat yang Bara ungkapkan tentangnya. "Asal-usul saya memang tidak jelas karena saya dibesarkan di panti asuhan! Tapi masalah perceraian, Anda tidak berhak untuk menghakimi saya, Pak Bara!" Larasati menatap tajam pada laki-laki yang berdiri dengan berkacak pinggang, di samping Bu Dini.
bersambung...
Wanita muda berhijab warna biru laut itu masih menatap tajam pada Bara. Sesaat kemudian dia mengalihkan pandangan pada bayi laki-laki yang menangis dalam gendongan sang oma. Larasati sebenarnya hendak mendekat dan memeluk bayi yang tidak berdosa tersebut karena merasa tidak tega. Namun, langkahnya terasa berat karena kata-kata Bara yang pedas benar-benar telah melukai hatinya."Maaf, Bu Dini. Sepertinya, kehadiran saya tidak diinginkan di rumah ini. Saya mohon pamit." Larasati mengangguk sopan lalu membalikkan badan. Dia hendak berlalu dari ambang pintu kamar, tetapi suara Bu Dini yang lembut dan terdengar memelas menahan langkahnya."Kamu juga seorang ibu, Nak Rara. Ibu tahu kamu memiliki hati yang lembut. Ibu mohon, Nak, tetaplah tinggal di sini demi Bram."Larasati menoleh ke dalam kamar yang luas milik Bara. Tatapannya tertuju pada netra Bu Dini yang sudah berkaca-kaca. Bayi laki-laki dalam gendonga
Bara nampak sangat marah dan kecewa. Dia mulai dapat menebak, kemana arah pembicaraan mamanya. Sang mama sepertinya ingin menjodohkan dia dengan wanita yang kini menjadi ibu susu sang putra.Tentu saja Bara sangat marah. Tanah pemakaman istrinya saja masih basah. Bisa-bisanya sang mama malah mulai membicarakan tentang wanita lain yang bahkan baru mereka kenal."Santai, Boy. Duduklah!" titah sang mama seraya menepuk bangku kosong di sampingnya.Mau tidak mau, Bara kembali duduk di tempatnya semula."Mama tidak bermaksud melukai perasaan kamu, Bara. Mama juga sangat kehilangan dengan kepergian menantu mama yang baik seperti Cantika." Bu Dini menatap sang putra dengan lekat."Kamu masih ingat, kan, ketika mengenalkan Cantika pertama kali pada mama? Mama langsung setuju karena begitu melihat Cantika dan mengenal sebentar dari cara bicaranya, mama yakin dia itu wanita berhati lembut dan pasti bisa menjadi istri yang baik un
Waktu begitu cepat berlalu. Tanpa terasa, hampir dua minggu Larasati berada di rumah megah itu. Menjalankan perannya yang baru menjadi ibu susu.Selama itu pula, Larasati mencoba untuk fokus menyusui Bram. Dia juga fokus untuk pemulihan dirinya, pasca persalinan. Bukannya melupakan keinginan untuk mencari sang putra, tetapi dia belum memiliki kesempatan.Pagi ini, Larasati yang sedang menjemur Bram di bawah hangatnya sinar mentari pagi, melihat Jali sedang mencuci salah satu mobil sang majikan. Kebetulan mobil yang dicuci Jali, sama persis jenisnya dengan mobil milik sang mantan. Larasati kemudian mendekat, setelah Jali menyelesaikan pekerjaan."Mas Jali, maaf. Boleh Rara bertanya?""Iya, Mbak Rara. Ada apa?""Kalau mobil jenis seperti itu, apa benar harganya mencapai setengah milyar?"Jali mengerutkan dahi, mendengar pertanyaan Larasati. "Kurang lebihnya segitu, Mbak. Kenapa memang?"Larasati terdiam, tidak se
Kehadiran Bu Dini di dapur, membuat semuanya terdiam. Wanita anggun itu lalu berjalan mendekat. "Inah, siapkan mandi untuk Bram dan berikan dulu anak itu pada Rara," titahnya.Setelah Bram berpindah ke tangan Larasati, Inah segera berlalu menuju kamar Bram. Bu Dini kemudian mendekati wanita muda berhijab yang kini memangku sang cucu kesayangan. Sementara di tempatnya duduk, Larasati terlihat sedikit gugup khawatir Bu Dini mempercayai apa yang beliau dengar barusan."Ndoro Putri, maafkan Inah, ya. Inah kalau bicara memang suka asal," kata Bi Mimin, bermaksud mengklarifikasi. Asisten rumah tangga itu pun tidak ingin, sang majikan menilai buruk pada Larasati."Tidak apa-apa, Bi. Saya tahu Nak Rara itu i seperti apa." Bu Dini tersenyum hangat pada Larasati, membuat ibu susu Bram itu menjadi lega.Bi Mimin ikut tersenyum. 'Sepertinya, ndoro putri menyukai Nak Rara bukan hanya sebagai ibu susu Den Bram. Semoga saja dugaanku tidak keliru.
Bara mulai disibukkan dengan pekerjaan di proyek. Setelah meninjau perkembangan pembangunan apartemen mewah yang penggarapannya dia serahkan pada Abimana, pria bertampang dingin itu lalu menuju kantor karena dia harus segera menghadiri pertemuan dengan klien dari luar kota. Bara melupakan niatnya untuk ke kantor polisi dan mencari tahu siapa pemilik mobil yang nomor polisinya sudah dikantongi oleh sang sopir.Sementara Jali sengaja tidak mengingatkan majikannya. Sopir pribadi Bara itu ingin mencari tahu sendiri, ada hubungan apa antara Larasati dengan Abimana. Sepanjang bekerja menemani Bara, pria berkulit hitam manis itu terus menduga-duga.Fokus dengan masalah pemilik mobil, membuat Jali sering melakukan kesalahan. Hal itu membuatnya mendapatkan teguran dari sang majikan. "Jal, kamu kenapa, sih? Dari tadi pagi, aku lihat kamu enggak fokus bekerja!""Eh, iya, Pak Bara. Tidak ada apa-apa, kok, Pak." Jali yang sedang mengendarai mobil, menggaruk tengk
Bara yang buru-buru masuk ke dalam rumah, segera menuju ke kamar sang putra. Satu tujuannya, yaitu mencari sang mama. Dia ingin mencari tahu dari mamanya, apakah Larasati pernah bercerita mengenai masa lalunya.Ya, orang yang berada di taman dan ikut mendengarkan pembicaraan Jali dan Larasati, adalah Bara. Dia yang baru teringat dengan tujuannya tadi pagi, bermaksud mencari Jali untuk menanyakan tentang nomor kendaraan yang sudah dikantongi oleh sopir pribadinya. Bara sempat kecewa tadi karena ternyata sang sopir sudah mengetahui siapa pemilik mobil yang dicari Larasati dan Jali tidak mengatakan padanya.Pria itu masuk ke kamar sang putra, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu hingga membuat terkejut mamanya. "Bara! Kamu ini, ngagetin saja!" protes wanita anggun itu yang sedang mengganti diapers sang cucu."Memangnya Inah dan Rara kemana, Ma? Kok Mama sendiri yang mengganti popoknya Bram?" tanya Bara yang pura-pura tidak tahu di mana keberadaan Larasa
Di sebuah rumah sakit besar tidak jauh dari lokasi proyek apartemen yang tengah dibangun oleh Bara, terdengar sepasang suami-istri sedang berdebat di depan ruang rawat VVIP. Mereka berdua adalah Abimana dan istrinya, Lastri Kusuma. Putri sulung salah seorang konglomerat di ibukota."Mengertilah, Ma. Aku menyuruh Galuh untuk mencari keberadaan Larasati bukan untuk diriku sendiri, Ma. Nanda sedang sakit dan mungkin saja putra kita itu kangen dengan ibu kandungnya. Siapa tahu 'kan jika mereka bertemu, Nanda akan langsung sembuh." Abimana menatap sang istri yang wajahnya merah padam menahan amarah dengan tatapan memelas.Ya, Lastri baru saja memergoki sang suami sedang menelepon Galuh, orang suruhan. Tentu saja Lastri sangat marah karena di perjanjian awal, dalam pernikahannya dengan Larasati Abimana tidak boleh melibatkan perasaan. Dia disuruh menikahi wanita lain, hanya demi mendapatkan keturunan."Alasan! Pasti sebelum ini, kamu sudah sering men
Tidak berhasil menemui sang putra dan malah mendapatkan pengusiran, Larasati mengayun langkah lunglai menuju parkiran. Dia seperti robot tidak bernyawa, sedang berjalan. Tatapannya yang kosong menyorot lurus ke depan.Larasati terus berjalan dan tidak menghiraukan orang-orang di sekitar. Dia sampai tidak menyadari ketika Jali meneriakkan namanya dengan lantang. Pria yang telah membawa Larasati ke rumah Bara tersebut kemudian mengejarnya yang berjalan tidak tentu arah."Mbak Rara mau kemana, sih? Dimana Pak Bara?" cecar Jali ketika berhasil menghadang langkah wanita berhijab yang tadi datang ke rumah sakit bersamanya.Larasati menggelengkan kepala sebagai jawaban. Dia sama sekali tidak mau membuka suara, membuat Jali kebingungan. Sopir pribadi Bara itu lalu menghela napas panjang."Ayo, Mbak! Kita tunggu Pak Bara di mobil," ajak Jali, tetapi Larasati kembali menggelengkan kepala.Jali yang semakin kebingungan, menggaruk
Keesokan harinya, baik Larasati maupun Bara telah bersiap di kamar màsing-masing. Sementara di ruang tamu yang luas, Bu Dini nampak bersemangat menyambut tamu undangan yang jumlahnya terbatas. Ya, Bu Dini hanya mengundang kerabat terdekat dan beberapa rekan bisnis sang putra yang sudah sangat lama menjalin hubungan kerja dengan Bara.Fredy dan pengacara pribadi Bara pun, terlihat ikut sibuk membantu Bu Dini. Mereka harus memastikan bahwa pernikahan dadakan Bara dan Larasati, dapat berjalan dengan lancar. Pengacara Bara juga tetap menyiapkan tim pengamanan karena tidak ingin hal buruk kembali menimpa klien dan keluarganya.Tepat pukul sepuluh pagi, penghulu datang dengan diiringi oleh Jali yang diminta Bu Dini untuk menjemput. Melihat kehadiran penghulu, Bu Dini lalu meminta Fredy untuk memanggil sang putra di ruang kerjanya. Ya, Bara lebih memilih menunggu di ruang kerjanya karena pagi ini, kamar utama sedang didekorasi oleh orang suruhan sang mama.&
Setelah kedua tamunya pulang, Bara meminta pada sang mama untuk berbicara empat mata. Bu Dini lalu mengambil alih kursi roda sang putra dari tangan Larasati karena kebetulan Bram rewel dan mencari ibu susunya. Di sinilah mereka berdua saat ini berada, duduk berhadapan di ruang kerja Bara."Ada apa, Bara? Apa kamu mau request hotel untuk malam pengantin kalian besok? Akan mama siapkan," tanya Bu Dini seraya tersenyum menggoda sang putra.Bara hanya membalas dengan decakan. Pria tampan itu masih diam dan belum ingin membuka suara."Mau barapa hari kalian menginap di hotel, hem?"lanjut Bu Dini seraya menelisik wajah putranya."Ma! Kenapa mama ngomongnya udah jauh banget, sampai bahas menginap di hotel segala, sih? Bara 'kan, belum setuju jika pernikahan kami dipercepat seperti keinginan mama tadi!""Kamu pasti setuju, Son, mama tahu itu." Bu Dini masih saja mengulas senyuman menggoda pada sang putra.Bara men
Mendengar perkataan istri dari mantan suami yang sepertinya benar-benar menyesali perbuatan di masa lalu, hati Larasati mulai sedikit luluh. Wanita berhijab itu sebenarnya tidak tega juga, melihat Abimana mengalami stress berat yang kini baru dia ketahui bahwa semua terjadi akibat tekanan dari sang istri. Larasati lalu menoleh ke arah Bu Dini untuk meminta pertimbangan."Bu. Apa kita bisa bicara sebentar," pintanya kemudian dan Bu Dini mengangguk, menyetujui."Maaf Pak Kusuma, Nak Lastri. Kami mau bicara sebentar," pamit Bu Dini seraya beranjak.Larasati lalu mendorong kursi roda Bara, mengekor langkah Bu Dini menuju ruang keluarga."Kalau memang Nak Rara keberatan jika Bara mencabut tuntutannya, biarlah proses hukum untuk Abimana tetap dilanjutkan. Ya, meskipun mama tidak yakin, kalau Pak Kusuma akan diam saja dan membiarkan menantunya itu mendekam di tahanan." Bu Dini mengawali pembicaraan, setelah beliau dan Larasati duduk di so
Siang ini, istri pertama Abimana benar-benar datang ke rumah Bara untuk menemui mantan atasan suaminya. Kedatangan Lastri, tidak berselang lama setelah kepulangan Bara. Dia disambut dengan baik oleh Bu Dini dan sang putra. Sementara Larasati yang merasa tidak berkepentingan, enggan untuk ikut menemui wanita yang pernah menorehkan luka di hatinya.Lastri datang ke kediaman Bara tidak sendirian. Dia datang bersama sang ayah yang merupakan seorang pengusaha terkenal. Tentu saja kedatangan mereka berdua membuat Bara semakin penasaran."Katakan saja langsung, ada perlu apa Mbak Lastri datang menemui saya lagi?" tanya Bara bahkan sebelum sang tamu dipersilakan untuk duduk."Bara. Biarkan tamunya masuk dulu." Lembut Bu Dini mengusap lengan sang putra, meminta kesabaran putranya itu.Bara menghela napas panjang. Dia tidak ingin berbasa-basi dengan orang-orang yang tidak memiliki hati seperti wanita di hadapan. Sementara Lastri dan sang pap
Waktu terus berlalu. Kini, kondisi Bara sudah dinyatakan membaik dan sudah diperbolehkan pulang, setelah dirawat selama seminggu. Larasati yang setiap hari dengan setia menunggui Bara bersama Bu Dini, menyiapkan semua meski Bara masih saja mengabaikan wanita muda itu."Mbak Rara, ini obat yang harus diminum Pak Bara, ya. Jangan lupa, setiap pagi ajak Pak Bara berjemur untuk mempercepat pemulihan kesehatan beliau," terang suster sambil menyerahkan obat untuk pasiennya itu."Baik, Sus. Akan saya perhatikan," balas Larasati, seraya melirik Bara. Namun, pria yang dilirik memasang tampang dingin dan sama sekali tidak tertarik mendengar perkataan ibu susu sang putra.Larasati hanya bisa menghela napas panjang kemudian. Nampaknya, wanita muda itu harus menambah stok sabarnya. Telah seminggu Larasati mencoba untuk mendekati Bara, tetapi duda satu anak tersebut masih saja bersikap dingin padanya.Sementara Bu Dini yang menyaksikan semua, kemudian
Setelah mengalami kejang-kejang akibat reaksi obat pasca operasi kakinya yang patah, keadaan Bara kembali membaik. Duda satu anak itu juga sudah siuman dan pagi ini telah dipindahkan ke ruang perawatan. Ruangan VVIP yang luas dengan fasilitas terbaik di rumah sakit tersebut.Semalam, Bu Dini, ditemani Fredy dan Dhani dengan setia menunggui Bara. Mereka bertiga menunggu di ruang tunggu yang berada di samping ruang observasi. Sementara Jali disuruh langsung pulang agar jika Larasati butuh sesuatu, sopir pribadi Bara itu siap menemani.Benar saja, pagi-pagi sekali Larasati sudah menyiapkan Bram dan minta diantarkan ke rumah sakit. "Ayo, Mas Jali!" ajak Larasati dengan tidak sabar, membuat Bi Mimin yang ikut mengantarkan sampai teras tersenyum."Hati-hati, Mas Jali," pesan Bi Mimin dan sopir setia Bara itu mengangguk, patuh."Bi. Kami berangkat dulu," pamit Larasati, seraya melambaikan tangan.Sepanjang perjalanan menuju rumah s
Larasati yang tengah menyuapi Bram makan sore, mengerutkan dahi kala melihat Bu Dini terlihat panik sendiri. Mamanya Bara itu nampak mondar-mandir, seraya berteriak memanggil sopir pribadi. Bu Dini juga menyerukan nama Bi Mimin, asisten senior di kediaman sang putra yang sudah sangat lama mengabdi."Ada apa, Ndoro Putri?" tanya Bi Mimin yang tergopoh-gopoh datang, ketika mendengar sang majikan memanggil namanya dengan teriakan. Disusul sopir keluarga yang langsung berdiri di samping asisten senior tersebut.Wajah asisten senior itu nampak cemas, begitu pula pria paruh baya di sampingnya. Bi Mimin dan Mang Ucup sepertinya dapat menebak bahwa sesuatu hal yang buruk pasti telah terjadi. Sebab, tidak biasanya sang majikan memanggil dengan seruan yang lantang."Bi. Aku mau ke rumah sakit, Bara mengalami kecelakaan. Tolong, Bibi bantu Rara mengawasi Bram," pinta Bu Dini dengan netra berkaca-kaca. Telihat dengan jelas bahwa wanita anggun tersebut sang
Sikap Larasati masih saja sama meskipun Bu Dini sudah mengajak wanita muda itu berbicara. Perkataan Abimana kala di rumah sakit, tidak hanya membekas di hatinya. Namun, membuat Larasati dihantui rasa bersalah terhadap sang putra.Imbasnya, wanita berhijab tersebut terus larut dalam kesedihan. Bukan hanya itu, Larasati juga senantiasa menghindar dari ayahnya Bram hingga membuat Bara kebingungan. "Kamu kenapa, sih, Dik?" keluh Bara, setelah pria tampan itu kembali tidak berhasil mendekati Larasati.Bara hanya dapat melihat wanita cantik itu dari kejauhan, ketika pagi ini Larasati mengajak sang putra bermain di taman belakang. Ingin sekali Bara mendekat, tetapi dia khawatir Larasati akan semakin menjauhinya. Akhirnya, Bara hanya bisa menghela napas berat."Kenapa, Bara? Apa, Nak Rara belum mau bicara denganmu?" tanya Bu Dini, mengagetkan sang putra.Bara menggeleng. "Dia terus menghindar, Ma," kata pria tampan itu yang terdengar putus asa.&
Meskipun Bara telah mengungkap semua fakta tentang perbuatan Abimana, tetapi mantan suami Larasati itu tetap tidak merasa bersalah dan tidak mau kalah. Pria berkumis tipis tersebut masih saja ngoceh tidak karuan. Beruntung, kedua tangannya sudah dipegang dengan kuat oleh dua orang petugas dari kepolisian sehingga hanya sebatas omongan yang bisa dia lontarkan."Semua itu salahmu, Ra! Karena keegoisanmu Nanda meninggal! Kamu benar-benar ibu yang egois!" kecam Abimana.Semakin dilawan dengan kata-kata, Abimana semakin menggila. Bara akhirnya hanya diam saja dan tidak lagi meladeni ocehan Abimana. Sementara Larasati, nampak tertunduk dengan air mata yang terus mengucur deras. Sepertinya, ada perkataan Abimana yang berhasil menyentil sisi hatinya.'Benarkah Nanda pergi karena aku egois?' Larasati hanyut dalam pikiran dan terus menyesali diri sendiri."Sudah, Dik. Jangan dengarkan ocehannya," bisik Bara, kala melihat wajah sendu sang calon istri.&nb