Di sebuah rumah sakit besar tidak jauh dari lokasi proyek apartemen yang tengah dibangun oleh Bara, terdengar sepasang suami-istri sedang berdebat di depan ruang rawat VVIP. Mereka berdua adalah Abimana dan istrinya, Lastri Kusuma. Putri sulung salah seorang konglomerat di ibukota.
"Mengertilah, Ma. Aku menyuruh Galuh untuk mencari keberadaan Larasati bukan untuk diriku sendiri, Ma. Nanda sedang sakit dan mungkin saja putra kita itu kangen dengan ibu kandungnya. Siapa tahu 'kan jika mereka bertemu, Nanda akan langsung sembuh." Abimana menatap sang istri yang wajahnya merah padam menahan amarah dengan tatapan memelas.
Ya, Lastri baru saja memergoki sang suami sedang menelepon Galuh, orang suruhan. Tentu saja Lastri sangat marah karena di perjanjian awal, dalam pernikahannya dengan Larasati Abimana tidak boleh melibatkan perasaan. Dia disuruh menikahi wanita lain, hanya demi mendapatkan keturunan.
"Alasan! Pasti sebelum ini, kamu sudah sering men
Tidak berhasil menemui sang putra dan malah mendapatkan pengusiran, Larasati mengayun langkah lunglai menuju parkiran. Dia seperti robot tidak bernyawa, sedang berjalan. Tatapannya yang kosong menyorot lurus ke depan.Larasati terus berjalan dan tidak menghiraukan orang-orang di sekitar. Dia sampai tidak menyadari ketika Jali meneriakkan namanya dengan lantang. Pria yang telah membawa Larasati ke rumah Bara tersebut kemudian mengejarnya yang berjalan tidak tentu arah."Mbak Rara mau kemana, sih? Dimana Pak Bara?" cecar Jali ketika berhasil menghadang langkah wanita berhijab yang tadi datang ke rumah sakit bersamanya.Larasati menggelengkan kepala sebagai jawaban. Dia sama sekali tidak mau membuka suara, membuat Jali kebingungan. Sopir pribadi Bara itu lalu menghela napas panjang."Ayo, Mbak! Kita tunggu Pak Bara di mobil," ajak Jali, tetapi Larasati kembali menggelengkan kepala.Jali yang semakin kebingungan, menggaruk
Larasati yang pulang dengan diantarkan sopir pribadi Bara, duduk di bangku belakang dengan wajah murung dan pandangan mata menatap kosong ke luar jendela. Sepanjang perjalanan, dia hanya diam saja dan tidak mengeluarkan suara. Meski Jali sudah mencoba untuk mengajak wanita muda itu berbicara dan bercanda, agar Larasati sedikit melupakan kesedihannya."Den Bram semakin ke sini, semakin ke sana ya, Mbak." Jali terkekeh sendiri."Maksud saya, Den Bram semakin montok dan menggemaskan, gitu. Pasti karena Mbak Rara pandai mengasuh putra Pak Bara. Saya jadi iri, Mbak. Kapan ya, saya bisa memiliki anak seperti Den Bram?" Jali melirik Larasati melalui pantulan kaca spion di hadapan, tetapi wanita muda yang duduk di bangku belakang sama sekali tidak memberikan respon."Eh, tapi saya sadar diri, ding, Mbak. Enggak mungkin, lah, anak saya secakep Den Bram. Secara wajah saya aja pas-pasan kayak gini." Jali kembali terkekeh, tapi lagi-lagi dia harus tertawa
Wanita paruh baya dengan kacamata yang membingkai sebagian wajahnya itu, mengerutkan dahi dengan dalam. Bu Dini masih belum mengerti dengan apa yang dimaksud sang putra barusan. "Terlambat? Bagaimana maksud kamu, Bara?" cecarnya, kemudian."Sebenarnya, tadi yang mau Bara katakan pada Mama, ya masalah ini, Ma." Pria berahang tegas itu menatap lekat sang mama. Bara lalu mengusap-usap tengkuknya, nampak gelisah."Katakan, Bara, ada apa? Jangan membuat mama jadi semakin bingung!""Masalahnya, Mas Abi sudah pindah ke luar negeri, Ma. Dia memberitahukan kepindahannya mendadak sekali, sampai Bara dibuat bingung karena pekerjaan Mas Abi masih banyak yang belum selesai." Bara menghela napas panjang lalu menghempas punggung pada sandaran sofa."Meski Abi dan istrinya tinggal di planet lain sekalipun, proses hukumnya 'kan tetap bisa berjalan, Bara?"Bara mengangguk-anggukkan kepala. "Masalahnya sekarang, keberadaan Mas Abi di keluarga istrin
Keheningan tercipta di ruang kerja Bara. Larasati masih merenungi nasib yang tidak berpihak padanya. Sementara Bi Mimin terdiam dengan tatapan iba pada wanita muda yang sudah dia anggap seperti saudara.Asisten senior di kediaman Bara itu memang mengetahui sekilas tentang kisah rumah tangga Larasati. Wanita paruh baya tersebut dapat mengerti keadaan wanita muda itu jika saat ini Larasati tidak lagi mudah percaya pada laki-laki. Luka yang ditorehkan oleh Abimana begitu dalam dan pasti sangat sulit bagi Larasati untuk dapat memaafkan apalagi melupakan apa yang telah dilakukan oleh sang mantan suami.Bi Mimin tidak ingin memaksa. Biarlah waktu yang akan menyembuhkan luka. Waktu pula yang mungkin dapat mengubah segalanya."Kalau Nak Rara sudah kuat berjalan, ayo Bibi antar ke kamar," tawar Bi Mimin, mengurai keheningan. Wanita paruh baya tersebut lalu beranjak yang diikuti oleh Larasati. Keduanya kemudian berjalan pelan, keluar dari ruang kerja Bar
Seiring berjalannya waktu, Larasati mulai dapat menerima kenyataan bahwa harapannya untuk dapat mengambil sang putra dari mantan suami, tidak semudah yang dia harapkan. Meski belum dapat mengikhlaskan, tetapi wanita muda itu mencoba untuk berdamai dengan kenyataan yang dia hadapi sekarang. Dia tidak mau terus-terusan larut dalam kesedihan karena hidup harus terus berjalan. Seraya berharap dan terus memohon pada Yang Maha Pemurah, sekiranya suatu saat nanti dia dan sang putra akan dapat dipertemukan.Untuk mengobati kerinduan pada sang putra, Larasati memfokuskan diri merawat Bram. Apalagi setelah dia dipercaya sepenuhnya untuk mengasuh dan mengurus semua keperluan putra Bara tersebut, setelah Inah dipindah tugaskan untuk membantu asisten lain di bagian belakang. Hari-hari wanita muda itu tidak pernah jauh dari cucu Bu Dini yang saat ini sudah mulai latihan berjalan."Ayo, Sayang! Sini, mainannya ambil." Larasati mengiming-imingi Bram dengan mobil-mobilan ke
Tepukan pelan di bahu Bara, membuat pria itu terlonjak kaget dan reflek menoleh ke belakang. Duda satu anak itu melihat sang mama tersenyum lalu menuntunnya untuk menjauh dari depan kamar Bram. Bu Dini mengajak sang putra untuk duduk santai di ruang keluarga yang luas, sambil nonton acara talk show di televisi yang sedang tayang."Harus sabar menghadapi dia, Bara. Apa yang sudah dilakukan oleh mantan suaminya, pasti sangatlah membekas di hati Rara. Sebagai sesama wanita, mama tahu bahwa tidak mudah bagi dia untuk bisa melupakan semua. Kebohongan yang dilakukan Abi, bukan hanya melukai hati Rara, tapi juga telah merenggut masa remaja yang seharusnya bisa dia nikmati." Bu Dini yang baru saja duduk, menatap sang putra dengan tatapan dalam. Wanita anggun itu lalu menghela napas berat, seolah dapat ikut merasakan bagaimana rasa sakitnya hati Larasati karena sebuah kebohongan."Dia masih sangat muda waktu itu. Menurut cerita Rara, dia baru beberapa bulan bekerja
Keesokan harinya, Bara berangkat ke luar kota bersama sang putra dan ibu susu Bram. Tentu saja beserta Jali yang setia menemani kemana pun sang majikan bepergian. Bara duduk di bangku depan, sementara sang putra yang berada dalam pangkuan sang ibu susu berada di belakang.Perjalanan yang mereka tempuh cukup panjang. Membentang jarak dari Jakarta menuju Kota Kembang. Untuk mengantisipasi agar sang putra dan Larasati yang memangku Bram tidak kelelahan, Bara memutuskan untuk beristirahat sebentar.Atas perintah Bara, Jali membelokkan mobilnya di sebuah tempat istirahat yang indah di Kota Hujan. Ya, Bara sengaja tidak melewati jalur cepat karena ingin berlama-lama menikmati perjalanan. Apalagi, ada wanita cantik yang kini menjadi penyemangat dirinya duduk manis di belakang."Ayo, Sayang. Sama papa," ajak Bara setelah membuka pintu bagian belakang. Pria matang itu mengulurkan tangan dan sang putra segera menyambutnya dengan riang."Pa-p
Kehidupan manis yang dibayangkan Lastri -istri pertama Abimana- tidak berjalan seperti yang diharapkan. Dia yang semula berpikir bahwa dengan kehadiran seorang anak di antara mereka berdua, apalagi anak itu adalah darah daging Abimana sendiri, tentu kehidupan rumah tangganya dengan pria yang dicinta akan semakin hangat dan mesra, tetapi ternyata semakin jauh dari angan. Sikap Abimana semakin ke sini semakin berubah pada Lastri, dingin, dan wajah suaminya selalu saja masam.Abimana memang mengikuti kemauan sang istri untuk pindah ke negara tetangga, tetapi hati dan pikirannya tertinggal di Jakarta. Pria itu masih terus memikirkan ibu kandung dari sang putra. Wanita muda yang dia nikahi hanya untuk mendapatkan anak dan perasaan Abimana justru benar-benar telah terjebak pada mantan istrinya.Penyesalan yang mendalam karena telah menyakiti hati Larasati dan juga perasaan sayang yang mulai tumbuh ketika mereka berdua telah berpisah, semakin menyiksa Abimana. Apa
Keesokan harinya, baik Larasati maupun Bara telah bersiap di kamar màsing-masing. Sementara di ruang tamu yang luas, Bu Dini nampak bersemangat menyambut tamu undangan yang jumlahnya terbatas. Ya, Bu Dini hanya mengundang kerabat terdekat dan beberapa rekan bisnis sang putra yang sudah sangat lama menjalin hubungan kerja dengan Bara.Fredy dan pengacara pribadi Bara pun, terlihat ikut sibuk membantu Bu Dini. Mereka harus memastikan bahwa pernikahan dadakan Bara dan Larasati, dapat berjalan dengan lancar. Pengacara Bara juga tetap menyiapkan tim pengamanan karena tidak ingin hal buruk kembali menimpa klien dan keluarganya.Tepat pukul sepuluh pagi, penghulu datang dengan diiringi oleh Jali yang diminta Bu Dini untuk menjemput. Melihat kehadiran penghulu, Bu Dini lalu meminta Fredy untuk memanggil sang putra di ruang kerjanya. Ya, Bara lebih memilih menunggu di ruang kerjanya karena pagi ini, kamar utama sedang didekorasi oleh orang suruhan sang mama.&
Setelah kedua tamunya pulang, Bara meminta pada sang mama untuk berbicara empat mata. Bu Dini lalu mengambil alih kursi roda sang putra dari tangan Larasati karena kebetulan Bram rewel dan mencari ibu susunya. Di sinilah mereka berdua saat ini berada, duduk berhadapan di ruang kerja Bara."Ada apa, Bara? Apa kamu mau request hotel untuk malam pengantin kalian besok? Akan mama siapkan," tanya Bu Dini seraya tersenyum menggoda sang putra.Bara hanya membalas dengan decakan. Pria tampan itu masih diam dan belum ingin membuka suara."Mau barapa hari kalian menginap di hotel, hem?"lanjut Bu Dini seraya menelisik wajah putranya."Ma! Kenapa mama ngomongnya udah jauh banget, sampai bahas menginap di hotel segala, sih? Bara 'kan, belum setuju jika pernikahan kami dipercepat seperti keinginan mama tadi!""Kamu pasti setuju, Son, mama tahu itu." Bu Dini masih saja mengulas senyuman menggoda pada sang putra.Bara men
Mendengar perkataan istri dari mantan suami yang sepertinya benar-benar menyesali perbuatan di masa lalu, hati Larasati mulai sedikit luluh. Wanita berhijab itu sebenarnya tidak tega juga, melihat Abimana mengalami stress berat yang kini baru dia ketahui bahwa semua terjadi akibat tekanan dari sang istri. Larasati lalu menoleh ke arah Bu Dini untuk meminta pertimbangan."Bu. Apa kita bisa bicara sebentar," pintanya kemudian dan Bu Dini mengangguk, menyetujui."Maaf Pak Kusuma, Nak Lastri. Kami mau bicara sebentar," pamit Bu Dini seraya beranjak.Larasati lalu mendorong kursi roda Bara, mengekor langkah Bu Dini menuju ruang keluarga."Kalau memang Nak Rara keberatan jika Bara mencabut tuntutannya, biarlah proses hukum untuk Abimana tetap dilanjutkan. Ya, meskipun mama tidak yakin, kalau Pak Kusuma akan diam saja dan membiarkan menantunya itu mendekam di tahanan." Bu Dini mengawali pembicaraan, setelah beliau dan Larasati duduk di so
Siang ini, istri pertama Abimana benar-benar datang ke rumah Bara untuk menemui mantan atasan suaminya. Kedatangan Lastri, tidak berselang lama setelah kepulangan Bara. Dia disambut dengan baik oleh Bu Dini dan sang putra. Sementara Larasati yang merasa tidak berkepentingan, enggan untuk ikut menemui wanita yang pernah menorehkan luka di hatinya.Lastri datang ke kediaman Bara tidak sendirian. Dia datang bersama sang ayah yang merupakan seorang pengusaha terkenal. Tentu saja kedatangan mereka berdua membuat Bara semakin penasaran."Katakan saja langsung, ada perlu apa Mbak Lastri datang menemui saya lagi?" tanya Bara bahkan sebelum sang tamu dipersilakan untuk duduk."Bara. Biarkan tamunya masuk dulu." Lembut Bu Dini mengusap lengan sang putra, meminta kesabaran putranya itu.Bara menghela napas panjang. Dia tidak ingin berbasa-basi dengan orang-orang yang tidak memiliki hati seperti wanita di hadapan. Sementara Lastri dan sang pap
Waktu terus berlalu. Kini, kondisi Bara sudah dinyatakan membaik dan sudah diperbolehkan pulang, setelah dirawat selama seminggu. Larasati yang setiap hari dengan setia menunggui Bara bersama Bu Dini, menyiapkan semua meski Bara masih saja mengabaikan wanita muda itu."Mbak Rara, ini obat yang harus diminum Pak Bara, ya. Jangan lupa, setiap pagi ajak Pak Bara berjemur untuk mempercepat pemulihan kesehatan beliau," terang suster sambil menyerahkan obat untuk pasiennya itu."Baik, Sus. Akan saya perhatikan," balas Larasati, seraya melirik Bara. Namun, pria yang dilirik memasang tampang dingin dan sama sekali tidak tertarik mendengar perkataan ibu susu sang putra.Larasati hanya bisa menghela napas panjang kemudian. Nampaknya, wanita muda itu harus menambah stok sabarnya. Telah seminggu Larasati mencoba untuk mendekati Bara, tetapi duda satu anak tersebut masih saja bersikap dingin padanya.Sementara Bu Dini yang menyaksikan semua, kemudian
Setelah mengalami kejang-kejang akibat reaksi obat pasca operasi kakinya yang patah, keadaan Bara kembali membaik. Duda satu anak itu juga sudah siuman dan pagi ini telah dipindahkan ke ruang perawatan. Ruangan VVIP yang luas dengan fasilitas terbaik di rumah sakit tersebut.Semalam, Bu Dini, ditemani Fredy dan Dhani dengan setia menunggui Bara. Mereka bertiga menunggu di ruang tunggu yang berada di samping ruang observasi. Sementara Jali disuruh langsung pulang agar jika Larasati butuh sesuatu, sopir pribadi Bara itu siap menemani.Benar saja, pagi-pagi sekali Larasati sudah menyiapkan Bram dan minta diantarkan ke rumah sakit. "Ayo, Mas Jali!" ajak Larasati dengan tidak sabar, membuat Bi Mimin yang ikut mengantarkan sampai teras tersenyum."Hati-hati, Mas Jali," pesan Bi Mimin dan sopir setia Bara itu mengangguk, patuh."Bi. Kami berangkat dulu," pamit Larasati, seraya melambaikan tangan.Sepanjang perjalanan menuju rumah s
Larasati yang tengah menyuapi Bram makan sore, mengerutkan dahi kala melihat Bu Dini terlihat panik sendiri. Mamanya Bara itu nampak mondar-mandir, seraya berteriak memanggil sopir pribadi. Bu Dini juga menyerukan nama Bi Mimin, asisten senior di kediaman sang putra yang sudah sangat lama mengabdi."Ada apa, Ndoro Putri?" tanya Bi Mimin yang tergopoh-gopoh datang, ketika mendengar sang majikan memanggil namanya dengan teriakan. Disusul sopir keluarga yang langsung berdiri di samping asisten senior tersebut.Wajah asisten senior itu nampak cemas, begitu pula pria paruh baya di sampingnya. Bi Mimin dan Mang Ucup sepertinya dapat menebak bahwa sesuatu hal yang buruk pasti telah terjadi. Sebab, tidak biasanya sang majikan memanggil dengan seruan yang lantang."Bi. Aku mau ke rumah sakit, Bara mengalami kecelakaan. Tolong, Bibi bantu Rara mengawasi Bram," pinta Bu Dini dengan netra berkaca-kaca. Telihat dengan jelas bahwa wanita anggun tersebut sang
Sikap Larasati masih saja sama meskipun Bu Dini sudah mengajak wanita muda itu berbicara. Perkataan Abimana kala di rumah sakit, tidak hanya membekas di hatinya. Namun, membuat Larasati dihantui rasa bersalah terhadap sang putra.Imbasnya, wanita berhijab tersebut terus larut dalam kesedihan. Bukan hanya itu, Larasati juga senantiasa menghindar dari ayahnya Bram hingga membuat Bara kebingungan. "Kamu kenapa, sih, Dik?" keluh Bara, setelah pria tampan itu kembali tidak berhasil mendekati Larasati.Bara hanya dapat melihat wanita cantik itu dari kejauhan, ketika pagi ini Larasati mengajak sang putra bermain di taman belakang. Ingin sekali Bara mendekat, tetapi dia khawatir Larasati akan semakin menjauhinya. Akhirnya, Bara hanya bisa menghela napas berat."Kenapa, Bara? Apa, Nak Rara belum mau bicara denganmu?" tanya Bu Dini, mengagetkan sang putra.Bara menggeleng. "Dia terus menghindar, Ma," kata pria tampan itu yang terdengar putus asa.&
Meskipun Bara telah mengungkap semua fakta tentang perbuatan Abimana, tetapi mantan suami Larasati itu tetap tidak merasa bersalah dan tidak mau kalah. Pria berkumis tipis tersebut masih saja ngoceh tidak karuan. Beruntung, kedua tangannya sudah dipegang dengan kuat oleh dua orang petugas dari kepolisian sehingga hanya sebatas omongan yang bisa dia lontarkan."Semua itu salahmu, Ra! Karena keegoisanmu Nanda meninggal! Kamu benar-benar ibu yang egois!" kecam Abimana.Semakin dilawan dengan kata-kata, Abimana semakin menggila. Bara akhirnya hanya diam saja dan tidak lagi meladeni ocehan Abimana. Sementara Larasati, nampak tertunduk dengan air mata yang terus mengucur deras. Sepertinya, ada perkataan Abimana yang berhasil menyentil sisi hatinya.'Benarkah Nanda pergi karena aku egois?' Larasati hanyut dalam pikiran dan terus menyesali diri sendiri."Sudah, Dik. Jangan dengarkan ocehannya," bisik Bara, kala melihat wajah sendu sang calon istri.&nb