Wanita muda yang baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki itu terus saja mengeluarkan air mata. Larasati merutuki perbuatan Abimana beserta sang istri yang tega bersekongkol dan memanfaatkan keluguannya. Begitu pula dengan kedua orang tua Abimana yang senantiasa bersikap baik dan penuh kasih terhadapnya.
"Aku yang bodoh atau mereka yang terlalu pandai menyembunyikan semuanya?" gumam Larasati bertanya pada diri sendiri, di sela isak tangis yang tidak kunjung berhenti.
Wanita yang kini pipinya terlihat sembab itu, ingat betul dengan kebahagiaan semua orang di hari pernikahannya. Pernikahan yang dilangsungkan sangat mendadak karena persiapannya hanya sehari saja. Pernikahan tersebut mendapatkan restu bukan hanya dari kedua orang tua, tetapi juga seluruh keluarga besar Abimana.
Keluarga kakaknya yang berada di luar kota juga hadir di sana. Pun dengan keluarga kecil adik perempuan Abimana yang tinggal di luar Jawa, mereka juga hadir di pernikahannya. Hal itu membuat Larasati benar-benar tidak percaya bahwa mereka bisa bekerjasama untuk membodohinya.
"Aku juga tidak menyangka, Mama Hilda yang terlihat tulus menyayangiku dan menganggap aku seperti putrinya sendiri, ternyata kasih sayangnya semu!" Kedua tangan Larasati mengepal dengan sempurna.
Ya, selama Larasati mengandung, Mama Hilda hampir setiap bulan pasti datang berkunjung ke rumah dan menginap di sana. Wanita paruh baya itu senantiasa menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya. Jika Abimana tidak dapat mengantarkan Larasati periksa ke dokter kandungan, maka sang mama mertualah yang menemaninya.
"Nak, vitaminnya jangan lupa diminum. Setelah itu, kamu istirahatlah biar Mama yang menunggu Bima pulang," titah Mama Hilda, setelah memijat kaki Larasati yang sedikit membengkak efek kehamilan yang semakin membesar.
"Biar Lara ikut nunggu Mas Bima, Ma. Lagian, ini juga belum ada jam sembilan," tolak Larasati dengan halus. "Lara suka tidak bisa tidur kalau tidak dielus sama Mas Bima, Ma," lanjutnya malu-malu, seraya mengusap lembut perutnya yang semakin membuncit.
Mama Hilda tersenyum, mengerti. "Ya, sudah. Terserah kamu saja, Ra. Tapi kamu minum vitamin dulu, ya, biar tidak kelupaan." Mama Hilda segera menyiapkan vitamin untuk ibu hamil dan segelas air putih hangat untuk sang menantu.
"Selamat siang, Bu Larasati." Suara merdu seorang wanita paruh baya masuk ke dalam ruang perawatan dan berhasil membuyarkan lamunan panjang wanita muda itu. Di belakangnya mengekor seorang perawat sambil mendekap map yang berisi data pasien.
"Siang, Dok," balas Larasati seraya mengusap kasar sisa air matanya.
"Saya periksa dulu ya, Bu, untuk menentukan apakah Ibu sudah bisa pulang atau belum?" Dokter wanita tersebut tersenyum ramah dan kemudian mendekat ke ranjang pasien.
Wanita yang masih merasakan lunglai di sekujur tubuhnya karena persalinan yang memakan waktu cukup panjang bakda shubuh tadi, hanya dapat mengangguk lemah. Larasati menurut saja ketika dokter spesialis itu melakukan tugasnya. Ya, persalinannya di pagi buta tadi memakan waktu yang cukup lama karena ternyata posisi sang janin sungsang dan itu baru diketahui setelah pembukaan hampir sempurna.
Masih terbayang jelas dalam ingatan, bagaimana rasa sakitnya ketika mengejan, tetapi sang janin tidak kunjung lahir ke dunia. Hingga dokter lalu mengambil tindakan episiotomi dan membuat sayatan cukup panjang di perineum, yaitu antara anus dan vagi*nanya. Sayatan yang harus dijahit dan berhasil membuat Larasati merasakan kembali kesakitan tiada tara.
Belum hilang rasa sakit di area inti pasca melahirkan, sang suami yang menghilang setelah dia melahirkan tiba-tiba datang dengan membawa kabar yang melukai hati dan perasaannya. Abimana menceraikan Larasati dan mengambil hak asuh sang putra. Pria itu datang bersama seorang wanita yang diakui sebagai istri dan wanita tersebut sama sekali tidak mengijinkan Larasati untuk melihat apalagi menyentuh putra yang baru saja dia lahirkan dengan bertaruh nyawa.
"Semuanya baik, Bu. Hanya tekanan darah Bu Lara cukup tinggi, tapi Ibu jangan khawatir karena Bu Lara bisa segera menyusui bayi Ibu. Dengan menyusui, dapat membantu menurunkan tekanan darah," terang dokter tersebut sambil membetulkan letak kacamatanya.
Mendengar keterangan dokter barusan, hati Larasati menjerit. Bagaimana mungkin dia dapat menyusui sang buah hati, jika mereka berdua telah dipisahkan bahkan oleh orang terdekatnya sendiri? "Apa saya sudah boleh pulang, Dok?" tanya Larasati dengan suara bergetar, menahan tangis.
"Boleh-boleh, Bu Lara sudah boleh pulang sekarang agar bisa segera menyusui bayi Ibu. Oh, ya, Bu Lara. Bayi Bu Lara sepertinya sudah dibawa pulang duluan ya, sama ayahnya? Wah, pasti keluarga sudah tidak sabar ingin menimang bayi Ibu yang menggemaskan tadi. Badannya montok dan parasnya tampan, menggemaskan pokoknya. Andai saya masih muda, saya juga mau mengadopsinya jika Bu Lara berkenan," lanjut dokter seraya tersenyum dan suster yang bersamanya menganggukkan kepala, tanda setuju dengan perkataan sang dokter.
Sementara Larasati terdiam. Apa yang dikatakan dokter kandungan itu barusan, sudah tidak dapat ditangkap dengan baik oleh Larasati karena ingatannya langsung tertuju pada Abimana dan wanita yang menggendong bayinya. 'Mereka benar-benar jahat! Tidak punya hati!'
Larasati masih terdiam di tempatnya. Netra wanita muda itu berkaca-kaca. Sepertinya, dia masih sibuk memikirkan apa yang baru saja terjadi, hingga dia tidak menyadari ketika dokter serta suster yang baru saja memeriksanya telah pamit dan meninggalkan ruangan tempat dia dirawat.
Keheningan kembali tercipta di ruang rawat Larasati. Hanya ada dirinya yang merasakan luka seorang sendiri. Luka fisik dan juga luka hati. Wanita muda itu kembali menangis, meratapi apa tang telah terjadi.
"Apa salahku? Apa dosaku? Hingga Engkau menghukumku sedemikian berat, Tuhan? Aku tidak pernah merebut suami orang! Aku sama sekali tidak tahu kalau dia sudah memiliki istri! Lalu, kenapa aku yang harus menanggung semua ini?" Pilu, Larasati mengungkapkan semua isi hati, di sela isak tangis.
Lelah menangis, Larasati kemudian beringsut dan perlahan turun dari ranjang. Tidak, dia tidak boleh terus meratapi nasibnya. Dia tidak mau terlihat terpuruk dan merana. Sementara orang yang telah berbuat jahat padanya, tersenyum bahagia di sana.
'Aku harus bangkit dan aku pasti bisa! Akan kurebut kembali anakku!' janji Larasati dalam hati.
Setelah membersihkan tubuh dan berkemas dengan susah payah sembari menahan rasa sakit yang teramat sangat, Larasati segera meninggalkan rumah sakit tempat dia melahirkan. Dia berjalan tertatih menuju pinggir jalan untuk mencari angkutan. Kebetulan ada taksi melintas dan Larasati segera menghadang.
"Perumahan Permata, Pak." Larasati memberitahukan tujuannya, setelah dia duduk di bangku penumpang dan sopir taksi berwarna biru tersebut mengangguk.
Taksi dengan logo gambar burung tersebut terus melaju, membelah jalanan beraspal yang panas karena matahari tepat berada di atas kepala. Di bangku penumpang, wanita muda yang duduk dengan menahan rasa sakit di area inti, diam seribu bahasa. Larasati yang biasanya ramah dan selalu menyapa duluan pada setiap orang yang dijumpai, kini tidak berminat untuk mengajak sopir taksi berbicara. Pikiran mantan istri Abimana itu masih tertuju pada sang putra yang belum sempat dilihatnya.
'Dokter bilang, kamu tampan dan menggemaskan, Nak. Bunda ingin melihatmu, Sayang. Bunda ingin memelukmu.' Air mata wanita muda itu kembali menetes.
"Bu kita sudah sampai. Apa rumah bercat biru itu yang Ibu maksud?" Sopir taksi menunjuk rumah di sisi kiri Larasati dan wanita muda itu mengangguk.
Setelah membayar ongkos taksi, Larasati segera turun. Dia tertegun menatap daun pintu rumahnya yang tertutup rapat. Di sana tertulis dengan sangat jelas bahwa rumah tersebut dijual. Tulisan dengan tinta hitam dan dengan huruf yang besar.
"Kini, aku semakin tahu siapa kamu, Mas? Tanpa kamu mengusirku dengan cara seperti ini, aku memang sudah bertekad untuk meninggalkan rumah yang penuh dengan kepalsuanmu! Cinta dan kasih sayangmu palsu, Mas! Perhatian dan kebaikan kamu juga palsu! Semuanya palsu hingga sulit bagiku membedakan bahwa yang kamu berikan adalah kepalsuan!" Air mata kembali luruh membasahi pipi Larasati.
bersambung ...
Wanita muda berhijab merah maroon itu berjalan pelan mendekati pintu lalu mengambil sebuah map yang diletakkan di atas koper berukuran sedang. Larasati meyakini bahwa yang ada di dalam koper tersebut, pastilah barang-barang pribadi miliknya. Rupanya, Abimana memang telah merencanakan semua dengan matang dan bodohnya, Larasati tidak pernah menaruh curiga. Tangan Larasati kembali bergetar membuka map tersebut. Map yang berisi data salinan surat yang telah dia tanda tangani tadi. Surat gugatan cerai Abimana dan pengalihan hak asuh sang putra pada mantan suami. Air mata kembali luruh. Sesungguhnya dia sudah lelah menangis dan tidak ingin lagi mengeluarkan air mata. Namun, Larasati tidak sanggup mencegah air mata yang menyeruak dan memaksa keluar ketika mengingat semuanya. "Aku tidak butuh uangmu, Mas! Aku hanya butuh anakku!" jerit Larasati ketika tatapannya tertuju pada selembar cek yang di dalamnya tertera deretan tujuh angka. Lima juta rupiah. Ya, hanya seharga itulah luka hati Lara
Jali, pria yang berprofesi sebagai sopir pribadi dan sudah cukup lama ikut dengan Barata Adiguna, menatap Larasati dengan tatapan bimbang. Dia mengerutkan dahi, seolah tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh wanita muda di hadapan. Di mata Jali, Larasati masih sangat muda dan mustahil jika wanita itu bisa menjadi ibu susu untuk putra sang majikan. Mbok Nah yang mengerti kebimbangan pria yang sudah sangat dikenalnya karena mereka berasal dari kampung yang sama, kemudian mendekati Larasati. Wanita paruh baya tersebut lalu menepuk pelan pundak wanita berhijab yang masih menatap ke arah Jali. Hal itu sontak membuat Larasati terkejut, lantas kembali mendudukkan diri. "Maaf, jika saya lancang, Bu, Mas," kata Larasati yang kemudian menundukkan kepala. Dia juga merasa malu karena tatapan semua pengunjung warung yang kkesemuanya pria, kini tertuju padanya. Mbok Nah ikut duduk di samping Larasati. "Neng, apa Neng yakin bisa menjadi ibu susu? Mbok lihat, Neng masih sangat muda." Pemilik
Bukan hanya Larasati yang terkejut dan merasa sakit hati mendengar perkataan Bara. Bu Dini nyatanya juga tidak kalah terkejut dan sangat menyayangkan perkataan sang putra. Wanita anggun itu lalu melepaskan kaca matanya dan menatap tajam pada sang putra. "Ini bukan saatnya untuk berdebat, Bara! Segera bersihkan tubuhmu, setelah itu temui mama di ruang kerja!"Bara nampak masih ingin menyampaikan rasa keberatan. Namun, sang mama telah mengajak wanita yang di mata Bara terlihat lusuh itu untuk berlalu dari hadapan. Dia hanya bisa mengacak kasar rambutnya, seraya menghela napas panjang. Pria yang baru saja menjadi duda itu segera kembali ke kamarnya. Sepanjang membersihkan diri, pikiran Bara terus tertuju pada wanita muda yang baru saja dia lihat dan akan menjadi ibu susu untuk sang putra. Segala pikiran buruk tentang wanita itu, masih bertahta di hatinya. 'Aku tidak mau kalau kehadirannya membawa pengaruh buruk untuk putraku! Aku juga akan tuntut dia kalau sampai Bram kenapa-napa, set
Setelah mendengar cerita dari sang mama mengenai Larasati, Bara menyandarkan punggung pada sandaran sofa. Tatapannya terlihat menelisik, ke arah sang mama. Pria yang memiliki garis wajah tegas, mata tajam dengan bulu mata pendek, tetapi lentik itu masih saja menatap sang mama tanpa bersuara."Apa yang kamu pikirkan tentang mama, Bara? Kenapa kamu menatap mama seperti itu?" cecar Bu Dini setelah beberapa saat berlalu, tetapi Bara masih membisu."Bara heran sama Mama. Sejak kapan Mama begitu mudahnya percaya pada orang asing? Bukankah Mama sendiri yang selama ini mengajarkan pada Bara agar berhati-hati dan jangan sampai termakan dengan kepolosan seseorang? Bisa saja 'kan, Ma, dia itu hanya berpura-pura lugu untuk menipu? Bara tetap tidak bisa mempercayai wanita itu begitu saja, Ma.""Dia beda, Bara! Kita tidak dapat menyamakan semua orang seperti itu! Mama yakin, Rara memang wanita yang baik!" tegas Bu Dini. Wanita anggun itu meyakini, sesuai apa kata
Wanita muda berhijab warna biru laut itu masih menatap tajam pada Bara. Sesaat kemudian dia mengalihkan pandangan pada bayi laki-laki yang menangis dalam gendongan sang oma. Larasati sebenarnya hendak mendekat dan memeluk bayi yang tidak berdosa tersebut karena merasa tidak tega. Namun, langkahnya terasa berat karena kata-kata Bara yang pedas benar-benar telah melukai hatinya."Maaf, Bu Dini. Sepertinya, kehadiran saya tidak diinginkan di rumah ini. Saya mohon pamit." Larasati mengangguk sopan lalu membalikkan badan. Dia hendak berlalu dari ambang pintu kamar, tetapi suara Bu Dini yang lembut dan terdengar memelas menahan langkahnya."Kamu juga seorang ibu, Nak Rara. Ibu tahu kamu memiliki hati yang lembut. Ibu mohon, Nak, tetaplah tinggal di sini demi Bram."Larasati menoleh ke dalam kamar yang luas milik Bara. Tatapannya tertuju pada netra Bu Dini yang sudah berkaca-kaca. Bayi laki-laki dalam gendonga
Bara nampak sangat marah dan kecewa. Dia mulai dapat menebak, kemana arah pembicaraan mamanya. Sang mama sepertinya ingin menjodohkan dia dengan wanita yang kini menjadi ibu susu sang putra.Tentu saja Bara sangat marah. Tanah pemakaman istrinya saja masih basah. Bisa-bisanya sang mama malah mulai membicarakan tentang wanita lain yang bahkan baru mereka kenal."Santai, Boy. Duduklah!" titah sang mama seraya menepuk bangku kosong di sampingnya.Mau tidak mau, Bara kembali duduk di tempatnya semula."Mama tidak bermaksud melukai perasaan kamu, Bara. Mama juga sangat kehilangan dengan kepergian menantu mama yang baik seperti Cantika." Bu Dini menatap sang putra dengan lekat."Kamu masih ingat, kan, ketika mengenalkan Cantika pertama kali pada mama? Mama langsung setuju karena begitu melihat Cantika dan mengenal sebentar dari cara bicaranya, mama yakin dia itu wanita berhati lembut dan pasti bisa menjadi istri yang baik un
Waktu begitu cepat berlalu. Tanpa terasa, hampir dua minggu Larasati berada di rumah megah itu. Menjalankan perannya yang baru menjadi ibu susu.Selama itu pula, Larasati mencoba untuk fokus menyusui Bram. Dia juga fokus untuk pemulihan dirinya, pasca persalinan. Bukannya melupakan keinginan untuk mencari sang putra, tetapi dia belum memiliki kesempatan.Pagi ini, Larasati yang sedang menjemur Bram di bawah hangatnya sinar mentari pagi, melihat Jali sedang mencuci salah satu mobil sang majikan. Kebetulan mobil yang dicuci Jali, sama persis jenisnya dengan mobil milik sang mantan. Larasati kemudian mendekat, setelah Jali menyelesaikan pekerjaan."Mas Jali, maaf. Boleh Rara bertanya?""Iya, Mbak Rara. Ada apa?""Kalau mobil jenis seperti itu, apa benar harganya mencapai setengah milyar?"Jali mengerutkan dahi, mendengar pertanyaan Larasati. "Kurang lebihnya segitu, Mbak. Kenapa memang?"Larasati terdiam, tidak se
Kehadiran Bu Dini di dapur, membuat semuanya terdiam. Wanita anggun itu lalu berjalan mendekat. "Inah, siapkan mandi untuk Bram dan berikan dulu anak itu pada Rara," titahnya.Setelah Bram berpindah ke tangan Larasati, Inah segera berlalu menuju kamar Bram. Bu Dini kemudian mendekati wanita muda berhijab yang kini memangku sang cucu kesayangan. Sementara di tempatnya duduk, Larasati terlihat sedikit gugup khawatir Bu Dini mempercayai apa yang beliau dengar barusan."Ndoro Putri, maafkan Inah, ya. Inah kalau bicara memang suka asal," kata Bi Mimin, bermaksud mengklarifikasi. Asisten rumah tangga itu pun tidak ingin, sang majikan menilai buruk pada Larasati."Tidak apa-apa, Bi. Saya tahu Nak Rara itu i seperti apa." Bu Dini tersenyum hangat pada Larasati, membuat ibu susu Bram itu menjadi lega.Bi Mimin ikut tersenyum. 'Sepertinya, ndoro putri menyukai Nak Rara bukan hanya sebagai ibu susu Den Bram. Semoga saja dugaanku tidak keliru.
Tidak berhasil menemui sang putra dan malah mendapatkan pengusiran, Larasati mengayun langkah lunglai menuju parkiran. Dia seperti robot tidak bernyawa, sedang berjalan. Tatapannya yang kosong menyorot lurus ke depan.Larasati terus berjalan dan tidak menghiraukan orang-orang di sekitar. Dia sampai tidak menyadari ketika Jali meneriakkan namanya dengan lantang. Pria yang telah membawa Larasati ke rumah Bara tersebut kemudian mengejarnya yang berjalan tidak tentu arah."Mbak Rara mau kemana, sih? Dimana Pak Bara?" cecar Jali ketika berhasil menghadang langkah wanita berhijab yang tadi datang ke rumah sakit bersamanya.Larasati menggelengkan kepala sebagai jawaban. Dia sama sekali tidak mau membuka suara, membuat Jali kebingungan. Sopir pribadi Bara itu lalu menghela napas panjang."Ayo, Mbak! Kita tunggu Pak Bara di mobil," ajak Jali, tetapi Larasati kembali menggelengkan kepala.Jali yang semakin kebingungan, menggaruk
Di sebuah rumah sakit besar tidak jauh dari lokasi proyek apartemen yang tengah dibangun oleh Bara, terdengar sepasang suami-istri sedang berdebat di depan ruang rawat VVIP. Mereka berdua adalah Abimana dan istrinya, Lastri Kusuma. Putri sulung salah seorang konglomerat di ibukota."Mengertilah, Ma. Aku menyuruh Galuh untuk mencari keberadaan Larasati bukan untuk diriku sendiri, Ma. Nanda sedang sakit dan mungkin saja putra kita itu kangen dengan ibu kandungnya. Siapa tahu 'kan jika mereka bertemu, Nanda akan langsung sembuh." Abimana menatap sang istri yang wajahnya merah padam menahan amarah dengan tatapan memelas.Ya, Lastri baru saja memergoki sang suami sedang menelepon Galuh, orang suruhan. Tentu saja Lastri sangat marah karena di perjanjian awal, dalam pernikahannya dengan Larasati Abimana tidak boleh melibatkan perasaan. Dia disuruh menikahi wanita lain, hanya demi mendapatkan keturunan."Alasan! Pasti sebelum ini, kamu sudah sering men
Bara yang buru-buru masuk ke dalam rumah, segera menuju ke kamar sang putra. Satu tujuannya, yaitu mencari sang mama. Dia ingin mencari tahu dari mamanya, apakah Larasati pernah bercerita mengenai masa lalunya.Ya, orang yang berada di taman dan ikut mendengarkan pembicaraan Jali dan Larasati, adalah Bara. Dia yang baru teringat dengan tujuannya tadi pagi, bermaksud mencari Jali untuk menanyakan tentang nomor kendaraan yang sudah dikantongi oleh sopir pribadinya. Bara sempat kecewa tadi karena ternyata sang sopir sudah mengetahui siapa pemilik mobil yang dicari Larasati dan Jali tidak mengatakan padanya.Pria itu masuk ke kamar sang putra, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu hingga membuat terkejut mamanya. "Bara! Kamu ini, ngagetin saja!" protes wanita anggun itu yang sedang mengganti diapers sang cucu."Memangnya Inah dan Rara kemana, Ma? Kok Mama sendiri yang mengganti popoknya Bram?" tanya Bara yang pura-pura tidak tahu di mana keberadaan Larasa
Bara mulai disibukkan dengan pekerjaan di proyek. Setelah meninjau perkembangan pembangunan apartemen mewah yang penggarapannya dia serahkan pada Abimana, pria bertampang dingin itu lalu menuju kantor karena dia harus segera menghadiri pertemuan dengan klien dari luar kota. Bara melupakan niatnya untuk ke kantor polisi dan mencari tahu siapa pemilik mobil yang nomor polisinya sudah dikantongi oleh sang sopir.Sementara Jali sengaja tidak mengingatkan majikannya. Sopir pribadi Bara itu ingin mencari tahu sendiri, ada hubungan apa antara Larasati dengan Abimana. Sepanjang bekerja menemani Bara, pria berkulit hitam manis itu terus menduga-duga.Fokus dengan masalah pemilik mobil, membuat Jali sering melakukan kesalahan. Hal itu membuatnya mendapatkan teguran dari sang majikan. "Jal, kamu kenapa, sih? Dari tadi pagi, aku lihat kamu enggak fokus bekerja!""Eh, iya, Pak Bara. Tidak ada apa-apa, kok, Pak." Jali yang sedang mengendarai mobil, menggaruk tengk
Kehadiran Bu Dini di dapur, membuat semuanya terdiam. Wanita anggun itu lalu berjalan mendekat. "Inah, siapkan mandi untuk Bram dan berikan dulu anak itu pada Rara," titahnya.Setelah Bram berpindah ke tangan Larasati, Inah segera berlalu menuju kamar Bram. Bu Dini kemudian mendekati wanita muda berhijab yang kini memangku sang cucu kesayangan. Sementara di tempatnya duduk, Larasati terlihat sedikit gugup khawatir Bu Dini mempercayai apa yang beliau dengar barusan."Ndoro Putri, maafkan Inah, ya. Inah kalau bicara memang suka asal," kata Bi Mimin, bermaksud mengklarifikasi. Asisten rumah tangga itu pun tidak ingin, sang majikan menilai buruk pada Larasati."Tidak apa-apa, Bi. Saya tahu Nak Rara itu i seperti apa." Bu Dini tersenyum hangat pada Larasati, membuat ibu susu Bram itu menjadi lega.Bi Mimin ikut tersenyum. 'Sepertinya, ndoro putri menyukai Nak Rara bukan hanya sebagai ibu susu Den Bram. Semoga saja dugaanku tidak keliru.
Waktu begitu cepat berlalu. Tanpa terasa, hampir dua minggu Larasati berada di rumah megah itu. Menjalankan perannya yang baru menjadi ibu susu.Selama itu pula, Larasati mencoba untuk fokus menyusui Bram. Dia juga fokus untuk pemulihan dirinya, pasca persalinan. Bukannya melupakan keinginan untuk mencari sang putra, tetapi dia belum memiliki kesempatan.Pagi ini, Larasati yang sedang menjemur Bram di bawah hangatnya sinar mentari pagi, melihat Jali sedang mencuci salah satu mobil sang majikan. Kebetulan mobil yang dicuci Jali, sama persis jenisnya dengan mobil milik sang mantan. Larasati kemudian mendekat, setelah Jali menyelesaikan pekerjaan."Mas Jali, maaf. Boleh Rara bertanya?""Iya, Mbak Rara. Ada apa?""Kalau mobil jenis seperti itu, apa benar harganya mencapai setengah milyar?"Jali mengerutkan dahi, mendengar pertanyaan Larasati. "Kurang lebihnya segitu, Mbak. Kenapa memang?"Larasati terdiam, tidak se
Bara nampak sangat marah dan kecewa. Dia mulai dapat menebak, kemana arah pembicaraan mamanya. Sang mama sepertinya ingin menjodohkan dia dengan wanita yang kini menjadi ibu susu sang putra.Tentu saja Bara sangat marah. Tanah pemakaman istrinya saja masih basah. Bisa-bisanya sang mama malah mulai membicarakan tentang wanita lain yang bahkan baru mereka kenal."Santai, Boy. Duduklah!" titah sang mama seraya menepuk bangku kosong di sampingnya.Mau tidak mau, Bara kembali duduk di tempatnya semula."Mama tidak bermaksud melukai perasaan kamu, Bara. Mama juga sangat kehilangan dengan kepergian menantu mama yang baik seperti Cantika." Bu Dini menatap sang putra dengan lekat."Kamu masih ingat, kan, ketika mengenalkan Cantika pertama kali pada mama? Mama langsung setuju karena begitu melihat Cantika dan mengenal sebentar dari cara bicaranya, mama yakin dia itu wanita berhati lembut dan pasti bisa menjadi istri yang baik un
Wanita muda berhijab warna biru laut itu masih menatap tajam pada Bara. Sesaat kemudian dia mengalihkan pandangan pada bayi laki-laki yang menangis dalam gendongan sang oma. Larasati sebenarnya hendak mendekat dan memeluk bayi yang tidak berdosa tersebut karena merasa tidak tega. Namun, langkahnya terasa berat karena kata-kata Bara yang pedas benar-benar telah melukai hatinya."Maaf, Bu Dini. Sepertinya, kehadiran saya tidak diinginkan di rumah ini. Saya mohon pamit." Larasati mengangguk sopan lalu membalikkan badan. Dia hendak berlalu dari ambang pintu kamar, tetapi suara Bu Dini yang lembut dan terdengar memelas menahan langkahnya."Kamu juga seorang ibu, Nak Rara. Ibu tahu kamu memiliki hati yang lembut. Ibu mohon, Nak, tetaplah tinggal di sini demi Bram."Larasati menoleh ke dalam kamar yang luas milik Bara. Tatapannya tertuju pada netra Bu Dini yang sudah berkaca-kaca. Bayi laki-laki dalam gendonga
Setelah mendengar cerita dari sang mama mengenai Larasati, Bara menyandarkan punggung pada sandaran sofa. Tatapannya terlihat menelisik, ke arah sang mama. Pria yang memiliki garis wajah tegas, mata tajam dengan bulu mata pendek, tetapi lentik itu masih saja menatap sang mama tanpa bersuara."Apa yang kamu pikirkan tentang mama, Bara? Kenapa kamu menatap mama seperti itu?" cecar Bu Dini setelah beberapa saat berlalu, tetapi Bara masih membisu."Bara heran sama Mama. Sejak kapan Mama begitu mudahnya percaya pada orang asing? Bukankah Mama sendiri yang selama ini mengajarkan pada Bara agar berhati-hati dan jangan sampai termakan dengan kepolosan seseorang? Bisa saja 'kan, Ma, dia itu hanya berpura-pura lugu untuk menipu? Bara tetap tidak bisa mempercayai wanita itu begitu saja, Ma.""Dia beda, Bara! Kita tidak dapat menyamakan semua orang seperti itu! Mama yakin, Rara memang wanita yang baik!" tegas Bu Dini. Wanita anggun itu meyakini, sesuai apa kata