Pagi hari yang riweuh kembali menyambut Nadine. Dia yang semalam di gempur Rafael setelah kena palang seminggu, membuat wanita itu kesiangan. Sang suami iseng tak membangunkannya. Beruntung semua pekerjaan sudah beres semalam. Hingga istri Rafael bisa langsung berangkat setelah menyambar roti tawar milik sang mama. Wanita itu melotot tapi tidak protes, dia tetap membiarkan tangannya disalimi sang putri, pun dengan sang ayah. Rafael hanya mengulas senyum melihat hebohnya sang istri. Nadine mengulas make up dalam perjalanan. Merapikan penampilan, memakai heels lima senti pas ketika mereka tiba di lobi kantor.Pekerjaan Nadine padat sampai makan siang. Nasib baik Rafael tidak menganggunya dengan datang mengantarkan makanan. Semua berjalan lancar tanpa hambatan termasuk ketika seorang kurir datang mengantar paket untuk Nadine.Nadine mengerutkan dahi melihat kiriman paket dengan nama Tia sebagai pengirimnya. Nadine sudah lama tidak berkomunikasi dengan sang teman sejak dia keluar dari ka
Dua hari berikutnya, sebuah berita menggemparkan memenuhi layar pemberitaan baik online, cetak maupun elektronik. Kantor lama Nadine resmi ditutup dengan garis polisi mengelilingi bangunan besar itu.Sebuah bisnis ekspedisi dijadikan kedok untuk menutupi peredaran narkoba. Kantor lama Nadine ternyata adalah basis pengiriman barang terlarang. Dari gudang mereka, jaringan pengedar leluasa mengirimkan benda haram tersebut pada para bandar.Satu kamuflase dan penipuan yang sangat licik dan lihai. Penggagasnya berotak brilian. Dengan mengirimkan barang melalui kurir ekspedisi, tidak akan memancing kecurigaan aparat. Mereka jelas tidak akan mengusik perusahaan jasa pengiriman barang resmi.Rafael dan Nadine saling pandang ketika mereka menyaksikan berita penyegelan kantor Nadine. Ditambah ada bapak, ibu dan Sita yang juga sedang libur. "Wah, kantor lamamu ternyata sebobrok itu. Untung kamu dipecat dari sana," celoteh Heni."Jangan bilang kalau Kakak korban konspirasi mereka?" Sambar Sita."
David berjalan masuk ke sebuah klub, tempat di mana dia biasa melepas stres dan penat. Netra coklatnya memandang jauh, menembus kabut yang tercipta dari asap rokok yang meliuk di bawah sinar lampu berkelap kelip. Langkah panjang David membawanya ke depan barterder. Lelaki itu memesan minuman pada sang peracik minum. Sembari menunggu, matanya kembali memindai tempat tersebut. David tak menghiraukan sentuhan menggoda yang datang padanya. Mengusap pundak, lengan, dada bahkan paha. Para penjaja tubuh itu sudah hafal mana pria yang bisa diajak ke ranjang, mana yang tidak. David memenuhi kriteria pria dengan otak mesum. Manik mata David memicing, memindai, menilai tiap tubuh yang melewatinya. Ukuran dada, pinggul, bokong, paha, betis, leher. Semua tak luput dari penilaian David, penikmat wanita yang akhir-akhir ini kehilangan minat.Semua karena satu wanita. David menenggak habis satu gelas koktail sekali habis. Tubuh itu, sial! David tak bisa mengenyahkannya dari pikirannya. Seksi dengan
"Kenapa?" Rafael muncul di belakang Nadine dari arah kamar mandi. "Max siapa?" Nadine bertanya langsung. Rafael terdiam sesaat. Seolah tengah mempertimbangkan sesuatu."Aku, kadang mereka suka memanggilku dengan nama tengahku," balas Rafael akhirnya. Nadine mengerutkan dahi. Hal itu membuat Rafael curiga."Jangan bilang kamu tidak tahu nama panjangku," tebak Rafael. Nadine nyengir seketika."Memang tidak." Astaga! Rafael menepuk dahinya. Lelaki itu gegas naik ke kasur. Lalu mengubur dirinya dalam selimut."Aku kesal Nad. Masak nama suami sendiri tidak tahu," ujar Rafael dari balik gulungan selimut. Nadine melongo sekaligus lucu. Rafael mana betah pakai selimut, pria itu paling tidak betah gerah. Kalau tidur, AC diturunkan sampai suhu enam belas derajat. Dan itu sudah cukup membuat tubuh Nadine mengigil kedinginan.Beda dengan Rafael yang masih bisa tidur tanpa baju. Kalau Nadine sudah tidak tahan dingin, baru Rafael mendekapnya, guna menghangatkannya. Dan seringnya berakhir dengan pa
Paramita menggeram kesal ketika Rion tetap tak bersedia menghubungkan dengan putranya. Wanita itu sungguh rindu pada Rafa, demikian dia sering memanggilnya. Beberapa waktu terdiam hingga dia teringat seseorang. Buru-buru dia melangkahkan kaki, keluar dari ruangan tempatnya bekerja."Nadine mana, Rena?" Paramita bertanya pada Rena. Sang asisten mengangguk sebelum menjawab."Biasa Ibu, ngambil makanan yang diantar suaminya. So sweet banget gak sih, hampir tiap hari dikirim makan siang sama cemilan. Jadi kepo deh sama suaminya Nadine.""Hush, cepuan amat. Pengen ya suruh suami kamu jadi kurir."Paramita memang akrab dengan staf di lantai dua puluh lima. Tidak peduli dengan statusnya yang istri salah satu pemegang saham terbesar di perusahaan ini, atau posisinya yang sekarang wakil CEO. Paramita tetaplah perempuan yang ramah dan hangat pada siapa saja.Maka tak heran, banyak staf yang sering ikut meladeni wanita itu saat bercanda, atau situasi informal seperti saat ini. "Suaminya Nadine e
Rafael terdiam beberapa waktu, mendengar langkah heels mendekat ke arahnya. Jantung Rafael berdebar, napasnya memburu. Meski detik setelahnya dia berusaha menenangkan hati dan pikirannya. Sekali dua Rafael menghembuskan napas, hingga dia mampu menguasai diri.Perlahan suami Nadine berbalik arah, tepat dengan Paramita berhenti di depannya. "Maaf, Anda siapa?" Paramita mundur selangkah. Perempuan itu memindai wajah pria bermasker di hadapannya.Rafael membuka maskernya. Ekspresi Paramita seketika berubah kecewa. "Maaf, saya salah orang." Perempuan itu membalikkan badan, pelan berjalan meninggalkan Rafael yang turut menunjukkan wajah sendu. "Maaf, Ma. Belum waktunya. Tapi setidaknya Rafa tahu Mama baik-baik saja."Rafael segera masuk ke dalam lift, yang seharusnya Paramita tahu kalau benda itu tidak bisa sembarangan dipakai. "Kamu keterlaluan, Max." Sandy langsung menyembur sang teman sekaligus atasannya.Sandy memang lebih banyak membantu Rafael bekerja dari ruangan rahasia mereka, sej
Mood Nadine memburuk sepanjang sisa hari. Hal itu dipicu munculnya satu orang yang akan bergabung di kantor Nadine. Sebenarnya tidak banyak dampaknya pada Nadine, hanya saja kehadiran orang itu akan mengingatkan istri Rafael akan kebodohannya di masa lalu."Tenang saja, nanti tante pasang plakat di depan pintu. David Prasetio dilarang masuk." Rena terkekeh mendengar lelucon atasannya. Tumben Paramita masih stay sampai sore."Sorry, Nad. Bapaknya anak yang punya perusahaan, jadi suka-suka dia mau nempatin anaknya di mana saja." Rion ikut nimbrung dari depan sana. Sepertinya cerita Nadine yang pernah bertunangan dengan David sudah menyebar di lantai itu."Bukan salah kalian. Mungkin akunya saja yang terlalu lebay." Sepertinya Nadine harus mulai membatasi diri dalam menanggapi kedatangan David di kantor ini. Jika sikapnya masih menunjukkan kemarahan, tak pelak pandangan orang justru akan buruk padanya. Bisa saja mereka menganggap Nadine belum move on dari David meski sudah menikah."Jang
"Apa itu?" Nadine bertanya ketika Rafael tampak mengamati sebuah benda yang menurut Nadine "unik" di matanya. Benda itu hanya seperti batang besi dengan ujung bergerigi seperti potongan ... kunci."Tidak tahu." Rafael menjawab datar. Pria itu sejak tadi tidak bisa memikirkan benda apa yang sedang dia pegang. Atau lebih tepatnya, kenapa Lio memiliki benda itu, atau apa gunanya benda di tangannya. Lio adalah orang yang fungsional, semua benda yang dia miliki pasti punya fungsi, tidak mungkin dia menyimpang hal yang tidak berguna, apalagi Melani bilang kalau benda ini ada di jaket Lio saat kecelakaan terjadi."Memang itu punya siapa?" Nadine kepo juga akhirnya."Punya kakakku." Nadine menoleh cepat, terkejut dengan ucapan sang suami."Kamu punya kakak?" Ini informasi baru untuk Nadine."Punya, tapi sudah lama meninggal." Wajah Rafael datar, tapi dari suaranya jelas sekali jika lelaki itu sedih."Maaf, aku tidak tahu." Nadine memeluk Rafael yang seketika melesakkan kepalanya di dada Nadi