Nadine menderita demam tinggi keesokan hari setelah Rafael mengunjunginya. Tiga puluh sembilan derajat membuat Reva langsung membawanya ke rumah sakit. Di sana demamnya merambat mendekati empat puluh derajat."Panggil dia pulang!".Reva berdesis penuh ancaman pada Rion, sang suami."Tidak bisa. Kau lihat ponselnya masih tidak aktif," Rion menunjukkan benda pipih di tangannya. Perempuan itu menghentak lantai kesal. Dia sungguh tidak habis pikir bagaimana sang kakak bisa mengabaikan istrinya begitu saja.Beberapa dokter masih memeriksa Nadine. Mereka heran, tidak ada indikasi infeksi ataupun serangan virus apapun tapi suhu tubuh Nadine terus merangkak naik.Keadaan berlangsung lebih dari enam jam. Semua orang tentu cemas mendengarnya. Mereka banyak menunggu di depan ruang rawat Nadine. Ada keluarga Hermawan, Paramita dan juga Arya. Entah kenapa belakangan pria itu jadi perhatian pada menantunya."Obat demam tidak bisa menurunkan suhu badannya."Heni bergumam, mengutip kalimat terakhir R
Kembali ke ibu kota, jeritan lirih terdengar ketika cangkir yang Nadine pegang meluncur jatuh dari pegangannya. Hati perempuan itu mendadak diserang cemas tanpa tahu sebabnya. Semalam, setelah membuat semua orang khawatir, pagi tadi panas Nadine dengan ajaib berangsur turun. Wanita itu entah dari mana mendapat obat. Sebab Reva sudah mengatakan kalau obat yang mereka berikan tidak direspon oleh tubuh Nadine. Tanpa seorang pun tahu, Hermawan diam-diam menyelinap masuk ke kamar sang putri lewat tengah malam.Menempelkan benda pipih miliknya ke telinga Nadine. Dia tidak tahu apa itu akan berhasil, tapi yang jelas, Hermawan tahu kalau Nadine jatuh sakit karena merindukan Rafael. Lelaki itu tersenyum saat samar-samar mendengar apa yang terputar dari ponsel miliknya.Hermawan tidak salah menerima pinangan Rafael kala itu. Pria tersebut sempat membuat Hermawan kecewa, sampai semalam Rafael kembali menunjukkan keseriusannya untuk memperbaiki sikapnya. Dan pagi ini, suhu tubuh Nadine perlahan
"Aku harap kalian suka." Kalimat itu yang pertama kali terucap dari bibir Rafael, begitu mereka tiba di sebuah rumah bertingkat dua, yang berada di satu komplek perumahan cukup mewah di ibu kota. Syarif menggendong Lia yang masih tidur langsung memindahkan bocah itu di kasur, di kamar yang terletak di lantai dua. Sepertinya anak tersebut kelelahan setelah menempuh perjalanan hampir delapan jam dari kampung di lereng pegunungan. "Mas, apa ini tidak berlebihan?" Laras bertanya dengan mata tampak mengamati tiap detail rumah dengan nuansa putih. "Sudah kubilang, kalau semua ini tidak cukup untuk menebus kesalahan yang sudah pernah saya lakukan. Hiduplah lebih baik di sini. Akan ada yang menjaga kalian. Kalian tidak akan kekurangan apa pun mulai sekarang." Kata Rafael, tatapannya sarat penyesalan pada Laras dan Lia. Dia tidak akan pernah bisa mengubah apa yang telah dia lakukan pada keluarga kecil ini. "Mas tidak akan menemui Lia lagi? Bagaimana jika bertanya soal Mas? Maaf, buk
"Terima kasih." Ucap Nadine seraya mengulas senyum. Perempuan itu memeluk seikat bunga lili berwarna putih. Tidak tahu kenapa, dia justru ingin pergi ke tempat ini. Satu tempat yang tak lazim dikunjungi oleh orang yang sedang galau macam dirinya.Langkah Nadine terasa ringan, hingga dia mencapai tujuannya. "Selamat sore, Kak." Nadine tertegun melihat seikat lili putih sudah lebih dulu berada di atas makam Ravelio. Perempuan itu berpikir kalau Arya baru saja dari sana. Sebab hanya pria itu yang tahu Lio suka lili putih.Nadine khusyuk berdoa untuk kakak iparnya. Saking khidmatnya dia bermunajat, sampai tidak sadar kalau ada orang yang duduk di sampingnya. Hingga suara dari orang yang paling dia rindu membuat Nadine menoleh."Galau kok larinya ke kuburan."Detik setelahnya, Nadine mendorong lelaki yang sudah membuat dunianya jungkir balik setengah bulan ini. "Ngapain pulang? Pergi sana!"Nadine berjalan meninggalkan Rafael yang segera mengekorinya, macam anak ayam ngintilin induknya.
Nadine menggeliat pelan, setelah mobil yang dikendarai Rafael dia rasa berhenti. Saat membuka mata, dia melihat sebuah bangunan rumah seperti villa. Tampak mewah, tapi di tengah hamparan hutan.Hutan? Serius Rafael membawanya ke hutan? Perempuan itu buru-buru mencari sang suami yang rupanya sudah lebih dulu turun. Tampak bicara pada seseorang melalui ponsel. Tak berapa lama pria itu kembali masuk ke dalam mobil."Sudah bangun?" tanya Rafael begitu melihat membuka mata."Ini di mana?" Nadine melihat arlojinya. Ha? Mereka menempuh hampir dua jam perjalanan. Pertanyaannya sekarang, mereka ada di mana."Tempat honey moon kita. Belum bisa ke Swiss, jadwal kita masih padat. Nanti kamu jadwalkan ulang. Swiss paling bagus dikunjungi saat awal musim panas," ujar Rafael seraya membawa masuk mobil setelah gerbangnya terbuka otomatis."Ndak bisa barengan sama Rion. Nanti Sandy ngamuk kalau disuruh handle kantor sendiri.""Ya, berangkatnya jangan barengan, mereka nyusul, Sandy berangkat paling bel
"Dia sudah kembali?"Rion bertanya pada Sandy ketika memasuki ruangan Rafael. Keduanya melonggarkan dasi bersamaan. Kehilangan satu couple rekan kerja membuat mereka keteteran. Jadwal yang sudah diatur Nadine berantakan, mereka sepertinya perlu re-schedule semua jadwal pertemuan."Kemarin ponselnya aktif seharian, tapi sekarang ...." Sandy menunjukkan nomor Rafael yang kembali tidak bisa dihubungi."Tapi Sita bilang Nadine tidak pulang dari kemarin. Ibu ngasih tahu dia. Apa dia tidak ada di Blue Paradise?""Tidak ada. Dia tidak pulang ke rumah.""Jangan-jangan ...." Dua pria itu berujar bersamaan. Sepertinya mereka tahu apa yang sedang terjadi. "Tapi baguslah kalau mereka baikan. Pusing aku ngerjain semua sendiri. Meski kita punya kemampuan tetap saja bakal keteteran kalau lawannya banyak. Ajaklah istrimu masuk kantor."Rion mengajukan ide yang langsung mendapat gelengan kepala dari Sandy. "Sorry to say, Sita gak kebagian otak pinter. Semua diborong Nadine soal intelektual. Sita be
"Bagaimana?" Rion bertanya dengan hati mulai dilanda panik. Saham milik David mulai berpindah tangan. Masih mending kalau sahamnya dibeli satu orang. Mereka tinggal mengambil paksa aset itu. Masalahnya saham David diubah jadi printilan kecil-kecil. Dibuat paketan untuk kemudian dilempar ke pasaran.Tentu saja saham David langsung jadi rebutan. Saham DA Grup termasuk blue chip, maknanya saham yang sangat bagus nilai pasarnya saat ini. Banyak orang menginginkan saham jenis ini, meski harganya mahal. Apalagi saham ini milik salah satu pewaris DA Grup."Apa lagi sekarang?" David bingung ketika dia diseret kembali ke ruangan Rion dan Sandy."Kau jual sahammu?" todong Rion cepat."Mana ada! Aku belum mau hidup kere!" tandas suami Mega."Lalu kenapa sahammu jalan-jalan di pasar saham. Kau kasih kuasa ke siapa buat pegang kunci sahammu?" Rion masih menginterogasi David yang bingung melihat bagaimana sahamnya bisa diperjualbelikan di bursa saham."Kuncinya aku yang pegang," kata David lagi."
David mundur setelah melakukan apa yang sistem minta. Begitu icon "enter" ditekan, tabung kaca yang menjadi wadah penyimpanan segel berwarna ungu perlahan terbuka. Rafael segera meraihnya. Meletakkannya di sebuah tempat yang sepertinya langsung terhubung ke sistem."Call them back!" Pinta lelaki itu. Setelah proses loading selesai, segel tersebut mulai bekerja. Sementara itu Rafael sibuk mengamati monitor lain di sisi kiri. Saat Rafael tengah mengupayakan asetnya kembali, David hanya bisa mematung di tempatnya berdiri. Teringat kalimat dari sang sepupu yang sampai kini masih terngiang di benaknya.Pria itu membencinya setengah mati, tapi tak menolak mengakui kalau mereka saudara. David sepertinya juga baru tahu jika sistem yang Rafael bangun tidak hanya dikendalikan olehnya seorang."Setidaknya harus ada satu dari kita berempat yang menemaniku saat membuka segel ini. Aku tidak membuatnya untuk kupakai sendiri. Ada amanat besar yang kuemban dalam benda ini."Hati David tertohok mende