Hari yang dinanti tiba, Rafael sudah siap dengan pakaian formal yang Sandy sediakan. Pria itu menatap tampilan diri di cermin, sudah lama dia tidak mengenakan busana kebanggaan para pengusaha. Kemeja, dengan vest, serta dasi terlilit rapi di kerah leher Rafael. Dilengkapi jas, dipadukan dengan celana senada. Sepatu hitam berkilat juga sudah Rafael kenakan."Siap?" Suami Nadine menoleh ketika Sandy melongok dari balik pintu.Lelaki itu mengangguk lantas berjalan keluar kamar yang ada di ruangan kerja mereka. Pakaian Rafael senada dengan yang dikenakan Nadine. Perempuan itu mengenakan blus putih yang dipadankan dengan blazer juga rok longgar sepanjang lutut. Tak terlalu ketat membentuk tubuh Nadine. Tentu saja, semua pakaian Nadine sudah lulus sensor dari badan per-fashionan lokal alias Rafael sendiri sebagai petugas sensornya."Aku harap semua berjalan lancar hari ini." Kata Sandy yang entah kenapa hatinya cemas."Tidak akan semudah itu. Stempel kakek, aku lupa membawanya.""Sita masih
Di waktu yang sama, tapi tempat berbeda. Reva sedang melakukan pemeriksaan rutin pagi hari pada sang kakek. Perempuan itu sendiri yang merawat sampai membersihkan tubuh kakeknya. Semua berjalan normal, sampai alarm berbunyi. Reva segera berlari ke monitor yang terhubung ke jaringan CCTV.Wajah Reva berubah panik, dua mobil muncul dari ujung jalan, di mana seharusnya ada tim yang berjaga di sana. Namun satu orang pun tidak terlihat keberadaannya. "Halo, apa yang terjadi?"Reva menghubungi kepala bodyguard. "Maaf, Nona. Kita diserang." Suara sang bodyguard hilang berganti dengan bunyi tembakan beruntun. Reva mengumpat, dengan gesit dia mengambil dua pistol yang dia selipkan di pinggang satu. Satu lagi dia genggam, seraya mendorong brankar sang kakek."Kek, kita main petak umpet sebentar."Istri Rion menekan kunci kombinasi digital pada panel yang tersembunyi di balik tirai. Dinding sebelah kiri Reva menggeser, memperlihatkan sebuah lift yang muat untuk brankar Atma."Halo, halo ...." Re
Reva meringis ketika Rion menggendongnya. Gadis itu saking takutnya saat pintu lift didobrak dari luar, hingga terpeleset dengan bokong menghantam lantai kotak besi itu. Alhasil dia keseleo dengan bokong membiru. Untung tidak retak.Yang mendobrak pintu lift ternyata Rion, pria itu berhasil datang tepat waktu. Sekaligus melumpuhkan semua penyerang. Kalau tidak, Reva tidak tahu bagaimana nasibnya dan Atma. Dia rela terluka bahkan mati, tapi Atma tidak boleh sampai terluka lagi."Kita pindah ke rumah Rafael." Rion membuat keputusan, dia dan Reva sendiri yang mengawal brankar Atma di dalam ambulance.Reva menolak pergi ke rumah sakit. Dia pilih minta didatangkan dokter ke rumah. Dia yakin cuma keseleo tidak sampai retak apalagi patah tulang.Semua penyerang berhasil dilibas, menyisakan satu orang yang dibiarkan hidup untuk dimintai kesaksian. Kediaman Rafael yang dulu diklaim lelaki itu milik atasannya, saat dia membawa Nadine bersembunyi kala itu."Aduuhh," Reva mengaduh begitu dia meny
Nadine menyerahkan benda di tangannya pada Sandy. Perempuan itu masih penasaran dengan sosok Rafael, suaminya sendiri yang berbeda tampilan. Dan itu berhasil mengecoh Nadine. Putri Hermawan sama sekali tidak mengenali Rafael."Keluarkan dia dari sini. Meeting kita selesai!" Titah Rafael kembali. Suaranya dingin penuh penekanan. Nadine serta merta berpendapat kalau cucu kakek Atma seorang yang menyebalkan. Sebagai pemimpin pasti nanti akan bersikap seenaknya sendiri. Belum tentu juga kompeten dalam menghandle masalah pekerjaan.Nadine tidak tahu saja jika selama ini Rafael lah PIC aka person in charge alias orang yang bertanggung jawab dalam menjalankan perusahaan."Dia bisa tetap berada di sini," ujar Pram. "Bukan kau yang memberi keputusan, tapi aku!""Bawa dia keluar!" Perintah Rafael lagi. Kali ini Sandy mendorong pintu yang anehnya sudah bisa dibuka lagi. Padahal tadi terkunci."Aku perlu penjelasan." Nadine menahan tangan Sandy begitu mereka keluar dari tempat meeting."Tidak s
Sandy mengulum senyum diam-diam, mendengar yang dikatakan Rahadian Hendarto. Serius? Atma De Angelo menjanjikan besanan dengan pria yang anaknya hobi buka paha pada siapa saja yang bersedia memuaskan hasratnya.Sandy mengangkat wajah, pandangannya bersua dengan David. Dua pria terlibat kontak mata penuh makna. Tahulah artinya apa.Rafael memang ingin semua anggota keluarga ada saat menemui Rahadian. Dia tidak mau menyembunyikan soal hal ini, apalagi dia tahu apa tujuan pria itu langsung mengejarnya. Dasar serakah."Eva bekerja di sini juga. Dia kuliah, lulus dengan nilai bagus. Dia juga perempuan baik-baik."Rafael, David dan Sandy hampir tersedak bersamaan. Perempuan baik-baik katanya. Rasanya tiga pria itu ingin terbahak tapi masih takut dosa. Astaga pak Rahadian, mainmu kurang jauh.Paramita langsung menoleh ke arah sang putra begitu bahu Rafael bergetar. Perempuan itu memasang tampang memperingatkan, agar Rafael menjaga sikap."Dia pasti bisa dan pantas berdampingan dengan Anda."
Suasana haru sekaligus bahagia menyelimuti kediaman Rafael. Rumah bercat biru langit itu tampak menunjukkan kehidupan setelah sekian lama seperti mati tanpa penghuni."Jangan tinggi-tinggi," Atma berucap meski masih terbata-bata juga lirih.Iya, pria renta itu akhirnya sadar dari koma setelah hampir sebulan. Satu keajaiban yang membuat semua orang menangis penuh keharuan. Ada Reva yang tak henti menitikkan air mata. Tidak pernah menyangka jika kakeknya bisa sadar secepat ini."Sini," Atma memberi kode pada Nadine untuk mendekat. Perempuan itu yang menemukan Atma sudah membuka mata saat dia bermaksud mengecek infus Atma seperti permintaan Reva. "Iya, Kek. Mau apa?" Nadine bertanya lirih."Siomay."Nadine melongo mendengar ucapan Atma. Sampai dia teringat janjinya. "Nadine belikan sekarang ya?"Pria itu menggeleng. "Suruh mereka beli, kita makan sama-sama. Kakek mau keluar, bosan di sini." Meski masih terbata dan lirih, tapi Nadine paham yang diinginkan Atma. "Beli di mana?" Rion ber
Alarm lirih terdengar membuat pemiliknya terjaga. Rafael mematikan alarm, lantas menoleh pada Nadine yang tidur dalam pelukannya. Perempuan ini, Rafael menunduk untuk mencium bibir istrinya. Rafael tidak pernah menyangka jika Nadinelah yang mengamankan posisinya. Stempel itu ada pada sang istri ternyata."Sepertinya sepuluh persen kurang." Kata Rafael sedikit menegakkan tubuhnya ketika Nadine kian mengeratkan pelukan padanya. Pria itu balas mendekap Nadine. Menenggelamkan wajah sang istri di dadanya. Seraya menghadiahkan kecupan di puncak kepala sang istri."Raf ....""Hmm." Sepertinya lelaki itu pasrah saja andai Nadine membuka mata lalu menemukan mereka di kamar super mewah, yang sangat tidak mungkin adalah milik Rafael, jika menilik pekerjaan pria itu yang cuma seorang kurir."Aku harus bangun, Sayang," bisik Rafael sembari menggigit telinga Nadine, membuat si empunya menggeliat gelisah.Rafael menatap Nadine, perempuan itu tinggal mengenakan blus setelah Rafael menanggalkan blaze
Nadine setengah berlari sepanjang lorong rumah sakit. Dia langsung keluar dari mobil Sandy yang mengantarnya bahkan ketika kendaraan lelaki itu belum berhenti sepenuhnya. Benaknya dipenuhi ketakutan. Dia sangat takut, takut kehilangan."Bu, bapak bagaimana?" Nadine nyaris berteriak begitu melihat Heni duduk sendirian di ruang tunggu.Wanita itu tidak menjawab, hanya air mata yang bercucuran jadi jawaban. "Ibu! Jawab Bu!""Ibu tidak tahu, tapi Rafael sedang mencari tahu."Nadine mengerjap, bagaimana suaminya sampai lebih dulu, padahal tadi waktu membalas pesan Nadine, pria itu hanya membalas dengan tiga huruf, OTW.Nadine pilih duduk di samping Heni yang sesenggukan. Perempuan itu belum banyak bicara, dia sendiri juga sedang kacau. Nadine melesat keluar dari kediaman De Angelo begitu mendapat telepon jika sang ayah kecelakaan.Nadine mengabaikan ingatannya soal rumah yang pernah diakui Rafael sebagai rumah bosnya. Dia bertemu Sandy di luar rumah, entah bagaimana lelaki itu bisa berada
"Sah?" "Sah!" Ucapan syukur terdengar melaung di ruang luas kediaman Rafael yang kini disulap jadi sebuah tempat berhias penuh bunga. Area di mana Rionald akhirnya bisa menikahi Dewi kembali. Pria itu tak bisa menahan haru kala melihat Dewi muncul diantar Paramita. "Ingat, Bang. Jangan sia-siakan kesempatan kedua yang sudah diberikan. Jangan sampai kamu sakiti dia lagi. Malu sama cucu yang sudah seabrek dan masih mau nambah lagi." Paramita memperingatkan Rionald yang langsung mengangguk. Diraihnya tangan Dewi, dipandanginya paras perempuan yang kini kembali jadi istrinya. Dalam pandangan Rionald, wajah Dewi masih sama cantiknya seperti tiga puluh tahun lalu. "Ingatkan aku jika aku berbuat salah, pukul kalau perlu." Rionald sungguh ingin memperbaiki semua. Dia hanya ingin menghabiskan sisa hidup bersama Dewi sambil merawat cucu kandung mereka yang lima bulan lagi akan lahir. Dewi mengangguk, dia sangat terharu juga tersentuh, setelah melihat kesungguhan Rionald yang ingin ber
"Cedric Laurent De Angelo dan Celine Laura De Angelo. Intinya mereka adalah sumber kebahagiaan, bukankah surga itu tempat di mana semua orang merasa bahagia. Nama mereka juga bermakna pemenang. Walau perjalanan mereka sejujurnya baru saja dimulai." Nadine tak bisa berhenti tersenyum, menatap dua buah hatinya yang sedang tidur pulas, setelah tadi menjerit karena lapar. Seperti kata Rafael, ASI Nadine memang keluar lebih awal, hingga perempuan itu tak kesusahan pasal ASI. Anugerah lain yang tidak semua perempuan dapatkan. Sita contohnya, ASI-nya baru keluar di hari keempat, dan mulai lancar setelah satu minggu. Nadine sendiri langsung bisa duduk dan berjalan ke kamar mandi, persalinan normal memang lebih cepat pulih. Terlebih perempuan itu melahirkan tanpa jahitan sama sekali. Yang Nadine rasakan tinggal rasa perut yang masih tidak nyaman dan kesulitan jika akan ke kamar mandi. Langkahnya juga masih pelan, belum secepat keadaan normal. Karenanya dia masih memakai kursi roda jika
"Bayinya tidak menangis," gumam seorang staf tanpa sadar. Dirinya baru menyadari kesalahannya saat sang rekan menyenggol lengannya, dan reflek menutup mulutnya.Sementara Reva serta sang dokter langsung memeriksa, dan wajah keduanya seketika berubah pucat berbalut panik. Leher bayi laki-laki Nadine terlilit tali pusat. Bagaimana bisa, padahal USG terakhir tidak menunjukkan hal tersebut.Pertolongan lekas dilakukan . Tali pusat dipotong dengan oksigen segera diberikan. Namun bayi mungil itu tak jua memberi respon, sedangkan saudarinya terus menjerit melengking.Suaranya terdengar sampai ke ruang tunggu di mana hampir semua anggota keluarga De Angelo plus Hermawan dan Heni ada di sana."Pak, kenapa cuma satu yang menangis?" Heni bertanya dengan kecemasan level tinggi pada sang suami. "Berdoa ya, Bu. Semua mohon doanya. Semoga Nadine dan bayinya diberi keselamatan."Semua orang lantas menundukkan, berdoa dalam hati masing-masing. Bahkan David, orang yang tak kenal kata doa ikut trenyuh
"La? Malah sudah pecah. Bukaan baru empat.""Kita masih bisa tunggu, Dok." Reva mengangguk paham, sebagai dokter dia tahu kalau mereka punya waktu dua puluh empat jam setelah ketuban pecah untuk melahirkan bayi, tanpa ada efek samping yang membahayakan bayinya.Meski kehamilan Nadine lemah di awal tapi semakin ke sini, kandungan Nadine menunjukkan kekuatannya. Hingga tidak ada masalah jika mereka harus menunggu lagi, tanpa perlu tindakan sesar."Sabar ya, aku tahu rasanya sakit. Tapi percaya deh, yang sedang kamu perjuangkan melalui rasa sakit ini adalah hal yang tak ternilai harganya."Nadine mengangguk mendengar ucapan Reva. Selang oksigen dan infus sudah terpasang, sebab tadi Nadine mengeluh sesak. Saat itulah ponsel Reva berdering. Perempuan itu melihat siapa penelponnya. Hingga dia menjawabnya di situ, tanpa berpindah tempat."Kenapa, Re?" Tanya Rafael dari ujung sana."Abang cepet ke rumah dah, anakmu tidak sabar ingin segera melihat dunia," balas Reva bersamaan dengan Nadine
"Kok makin kenceng, Re. Aduh sorry." Sita melotot melihat tangannya diremas reflek oleh sang kakak. Suasana mobil berubah panik. Reva yang menyetir bak orang gila turut menambah atmosfer Too Fast Too Furious di dalamnya."Re, slow, Re! Banyak nyawa di dalam sini." Paramita memperingatkan. Perempuan itu mendekap erat dua cucunya. Takut kalau Reva membuat kesalahan fatal."Tenang Ma, Reva punya lisensi balapan F1," Reva menjawab asal. Sebuah wireless blue tooth terpasang di telinganya. Perempuan itu tengah berkoordinasi dengan dokter di rumah sakit."Jangan ngaco kamu. F1 cuma buat kamu doang penumpangnya, ini se-erte penumpangnya." Paramita masih bisa berteriak di sela desis kesakitan Nadine. Perempuan itu dengan cepat kehilangan rona merah di parasnya."Santai Ma. Santai Nad. Jangan jejeritan. Nanti tenaganya habis. Kalau betul kontraksi mungkin itu baru satu atau dua. Aku bisa periksa tapi gak mungkin kan aku lakukan di sini, depan anak-anak pula. Jadi tahan ya, kita cus ke rumah s
Meski bahasanya masih belepotan, belum jelas pengucapannya, tapi Maira yang tadinya ditindih Laiv sampai menjerit melengking, bisa paham apa yang Nadine perintahkan. Bocah yang masih memakai baju tidur itu lekas berlari ke arah dapur, di mana Paramita tadi berada. Tak berapa lama perempuan itu datang dengam seorang ART mengikuti. "Bukan kontraksi kan?" Tanya Paramita. Dia dan sang ART memapah Nadine untuk duduk di sofa."Kayaknya bukan, Nadine cuma kaget, Maira di-smack down Laiv."Paramita melotot pada sang cucu sementara yang dimarah malah pasang muka innocent, tidak bersalah. Laiv kadang bisa kalem, kadang bisa ikutan tantrum macam Maira yang memang hobi ngereog."Maira, bisa tolong panggilkan Tante Reva di kamar. Bilang Tante Nadine perutnya sakit. Laiv tunggu di sini.""Peyut atit," kutip Maira sambil melangkah pergi seraya melompat kegirangan.Sepeninggal Maira, giliran Laiv yang ditatar Paramita. "Laiv, Sayang. Lain kali gak boleh kayak gitu lagi. Maira nanti bisa terluka. Bi
Seminggu sejak kasus Dewi masuk ke ranah pengadilan, persoalan itu justru merembet ke pihak berwajib. Ternyata si Jojo ini spesialias menikahi wanita untuk dikuras hartanya.Modusnya sama, pria itu akan menjerat janda yang dia nilai kaya, lalu istrinya akan menuntut si perempuan karena sudah mengganggu rumah tangganya. Jelas-jelas di sini Jonathan adalah seorang penipu, tapi para korbannya tidak mau melaporkan kejadian ini pada aparat keamanan. Dengan alasan malu. Mereka lebih suka menyerahkan harta bendanya, menanggung rugi dari pada aibnya tersebar luas.Sepertinya petualangan Jonathan bakal berakhir ketika dia berusaha menjerat Dewi. Bukannya untung, dia malah buntung. Jangan sangka jika Rafael akan diam saja, melihat tantenya ditipu mentah-mentah oleh lelaki yang tampang saja tak lebih baik dari satpam dirumahnya."Aku heran deh, dia pakai pelet apa waktu menipu, Tante."Itu komen Rafael yang masih tak habis pikir. Bagaimana bisa Dewi terjerat lelaki macam Jonathan."Tante pikir
"Siapa Jonathan?""Rivalnya Om," timpal Rafael cepat atas pertanyaan sang paman.Rionald lekas berdiri untuk mengintip sosok pria yang disebut Rafael sebagai saingannya. Tampak seorang lelaki mengenakan pakaian yang lumayan mahal, melongok dari luar gerbang. Terlihat kepo sekali dengan kediaman Rafael."B aja. Ganas siapa antara aku sama dia?" Selidik Rionald yang seketika membuat Dewi merona. Kenapa juga mantan suaminya malah menyinggung urusan ranjang. Dewi akui, Jonathan tak selihai Rionald, maklumlah, Rionald mantan player, pengalamannya menyenangkan wanita jangan ditanya lagi. Namun ketika membahasnya langsung dihadapan banyak orang, tentu saja Dewi malu setengah mati."Om, itu kan privasi. Tanyanya waktu di kamarlah, jangan di forum terbuka begini. Bikin malu aja," tandas Rafael seolah tahu apa yang Dewi pikirkan."Oke deh, nanti aku tanya kalau kita sudah sekamar lagi. Jadi, apa ni rencana kita?""Kita samperinlah, kita cari tahu apa maunya si Jojo ini."Tak berapa lama, Rafae
Ha? Suami baru? Kapan Dewi menikah lagi? Mereka tidak ada yang tahu. Dan kini mendadak wanita ayu yang masih diuber Rionald ini muncul di pintu kediaman Rafael. Minta bantuan untuk disembunyikan dari suami barunya. Kenapa?"Emang Tante kapan nikahnya?" Ceplos Nadine sambil menyuapi Rafael."Emm, dua bulan lalu," balas Dewi malu-malu."Terus kenapa kamu lari ke sini? Maaf, bukannya kami tidak menerimamu. Tapi akan jadi runyam urusannya kalau kamu sudah punya suami." Atma berujar pelan, penuh kehati-hatian agar tidak menyinggung perasaan perempuan yang bagaimanapun adalah ibu dari cucunya. Bahkan Rionald masih tergila-gila pada Dewi sampai detik ini. Rionald tidak mau menerima perempuan lain selain mama David."Maaf, Yah. Tapi aku sudah bingung harus cari perlindungan ke mana." Dewi mulai menangis dengan Paramita lekas mendekat untuk menenangkan."Jangan menangis, cerita dulu. Nanti kita lihat kami bisa bantu atau tidak."Paramita membimbing Dewi duduk di sebuah sofa, Arya mengulurkan