Reva meringis ketika Rion menggendongnya. Gadis itu saking takutnya saat pintu lift didobrak dari luar, hingga terpeleset dengan bokong menghantam lantai kotak besi itu. Alhasil dia keseleo dengan bokong membiru. Untung tidak retak.Yang mendobrak pintu lift ternyata Rion, pria itu berhasil datang tepat waktu. Sekaligus melumpuhkan semua penyerang. Kalau tidak, Reva tidak tahu bagaimana nasibnya dan Atma. Dia rela terluka bahkan mati, tapi Atma tidak boleh sampai terluka lagi."Kita pindah ke rumah Rafael." Rion membuat keputusan, dia dan Reva sendiri yang mengawal brankar Atma di dalam ambulance.Reva menolak pergi ke rumah sakit. Dia pilih minta didatangkan dokter ke rumah. Dia yakin cuma keseleo tidak sampai retak apalagi patah tulang.Semua penyerang berhasil dilibas, menyisakan satu orang yang dibiarkan hidup untuk dimintai kesaksian. Kediaman Rafael yang dulu diklaim lelaki itu milik atasannya, saat dia membawa Nadine bersembunyi kala itu."Aduuhh," Reva mengaduh begitu dia meny
Nadine menyerahkan benda di tangannya pada Sandy. Perempuan itu masih penasaran dengan sosok Rafael, suaminya sendiri yang berbeda tampilan. Dan itu berhasil mengecoh Nadine. Putri Hermawan sama sekali tidak mengenali Rafael."Keluarkan dia dari sini. Meeting kita selesai!" Titah Rafael kembali. Suaranya dingin penuh penekanan. Nadine serta merta berpendapat kalau cucu kakek Atma seorang yang menyebalkan. Sebagai pemimpin pasti nanti akan bersikap seenaknya sendiri. Belum tentu juga kompeten dalam menghandle masalah pekerjaan.Nadine tidak tahu saja jika selama ini Rafael lah PIC aka person in charge alias orang yang bertanggung jawab dalam menjalankan perusahaan."Dia bisa tetap berada di sini," ujar Pram. "Bukan kau yang memberi keputusan, tapi aku!""Bawa dia keluar!" Perintah Rafael lagi. Kali ini Sandy mendorong pintu yang anehnya sudah bisa dibuka lagi. Padahal tadi terkunci."Aku perlu penjelasan." Nadine menahan tangan Sandy begitu mereka keluar dari tempat meeting."Tidak s
Sandy mengulum senyum diam-diam, mendengar yang dikatakan Rahadian Hendarto. Serius? Atma De Angelo menjanjikan besanan dengan pria yang anaknya hobi buka paha pada siapa saja yang bersedia memuaskan hasratnya.Sandy mengangkat wajah, pandangannya bersua dengan David. Dua pria terlibat kontak mata penuh makna. Tahulah artinya apa.Rafael memang ingin semua anggota keluarga ada saat menemui Rahadian. Dia tidak mau menyembunyikan soal hal ini, apalagi dia tahu apa tujuan pria itu langsung mengejarnya. Dasar serakah."Eva bekerja di sini juga. Dia kuliah, lulus dengan nilai bagus. Dia juga perempuan baik-baik."Rafael, David dan Sandy hampir tersedak bersamaan. Perempuan baik-baik katanya. Rasanya tiga pria itu ingin terbahak tapi masih takut dosa. Astaga pak Rahadian, mainmu kurang jauh.Paramita langsung menoleh ke arah sang putra begitu bahu Rafael bergetar. Perempuan itu memasang tampang memperingatkan, agar Rafael menjaga sikap."Dia pasti bisa dan pantas berdampingan dengan Anda."
Suasana haru sekaligus bahagia menyelimuti kediaman Rafael. Rumah bercat biru langit itu tampak menunjukkan kehidupan setelah sekian lama seperti mati tanpa penghuni."Jangan tinggi-tinggi," Atma berucap meski masih terbata-bata juga lirih.Iya, pria renta itu akhirnya sadar dari koma setelah hampir sebulan. Satu keajaiban yang membuat semua orang menangis penuh keharuan. Ada Reva yang tak henti menitikkan air mata. Tidak pernah menyangka jika kakeknya bisa sadar secepat ini."Sini," Atma memberi kode pada Nadine untuk mendekat. Perempuan itu yang menemukan Atma sudah membuka mata saat dia bermaksud mengecek infus Atma seperti permintaan Reva. "Iya, Kek. Mau apa?" Nadine bertanya lirih."Siomay."Nadine melongo mendengar ucapan Atma. Sampai dia teringat janjinya. "Nadine belikan sekarang ya?"Pria itu menggeleng. "Suruh mereka beli, kita makan sama-sama. Kakek mau keluar, bosan di sini." Meski masih terbata dan lirih, tapi Nadine paham yang diinginkan Atma. "Beli di mana?" Rion ber
Alarm lirih terdengar membuat pemiliknya terjaga. Rafael mematikan alarm, lantas menoleh pada Nadine yang tidur dalam pelukannya. Perempuan ini, Rafael menunduk untuk mencium bibir istrinya. Rafael tidak pernah menyangka jika Nadinelah yang mengamankan posisinya. Stempel itu ada pada sang istri ternyata."Sepertinya sepuluh persen kurang." Kata Rafael sedikit menegakkan tubuhnya ketika Nadine kian mengeratkan pelukan padanya. Pria itu balas mendekap Nadine. Menenggelamkan wajah sang istri di dadanya. Seraya menghadiahkan kecupan di puncak kepala sang istri."Raf ....""Hmm." Sepertinya lelaki itu pasrah saja andai Nadine membuka mata lalu menemukan mereka di kamar super mewah, yang sangat tidak mungkin adalah milik Rafael, jika menilik pekerjaan pria itu yang cuma seorang kurir."Aku harus bangun, Sayang," bisik Rafael sembari menggigit telinga Nadine, membuat si empunya menggeliat gelisah.Rafael menatap Nadine, perempuan itu tinggal mengenakan blus setelah Rafael menanggalkan blaze
Nadine setengah berlari sepanjang lorong rumah sakit. Dia langsung keluar dari mobil Sandy yang mengantarnya bahkan ketika kendaraan lelaki itu belum berhenti sepenuhnya. Benaknya dipenuhi ketakutan. Dia sangat takut, takut kehilangan."Bu, bapak bagaimana?" Nadine nyaris berteriak begitu melihat Heni duduk sendirian di ruang tunggu.Wanita itu tidak menjawab, hanya air mata yang bercucuran jadi jawaban. "Ibu! Jawab Bu!""Ibu tidak tahu, tapi Rafael sedang mencari tahu."Nadine mengerjap, bagaimana suaminya sampai lebih dulu, padahal tadi waktu membalas pesan Nadine, pria itu hanya membalas dengan tiga huruf, OTW.Nadine pilih duduk di samping Heni yang sesenggukan. Perempuan itu belum banyak bicara, dia sendiri juga sedang kacau. Nadine melesat keluar dari kediaman De Angelo begitu mendapat telepon jika sang ayah kecelakaan.Nadine mengabaikan ingatannya soal rumah yang pernah diakui Rafael sebagai rumah bosnya. Dia bertemu Sandy di luar rumah, entah bagaimana lelaki itu bisa berada
"Bagaimana? Bapak bagaimana?"Tiga perempuan langsung berdiri menyambut kedatangan Rafael dan Sandy. Dua pria itu saling pandang. "Begini, Bu ...."Tak ada yang Rafael dan Sandy tutupi. Keduanya ceritakan kondisi sebenar dari Hermawan. Dalam kesempatan ini, Rafael juga meminta Heni untuk menandatangani surat persetujuan operasi untuk Hermawan.Heni memandang dua putrinya seolah minta pendapat. "Resikonya? Pangkas Nadine cepat."Benda itu bisa melukai paru-paru bapak lebih parah jika tidak segera ditangani. Luka di paru-paru bisa segera diatasi kalau patahannya diurus," kata Rafael cepat."Kalau bapakku kenapa-kenapa awas kamu! Tidak peduli kamu ...." Sita melotot ketika Sandy membungkam mulutnya."Aku jamin bapak akan baik-baik saja jika dia segera masuk ruang operasi. Aku juga harus bersiap.""Ke mana?" Heni yang bertanya. Perempuan itu memicing curiga."Ada urusan," balas Rafael asal."Ngantar baranglah tu," cibir Sita yang masih tidak terima dengan ulah calon suaminya."Nah tu tah
"Ke mana semua orang?"Atma bertanya ketika makan malam tiba, dia yang masih duduk di kursi roda melihat meja makan hanya berisi dua orang. Dia pikir Nadine dan Rafael akan tinggal sampai makan malam."Ada hal buruk terjadi, Yah."Paramita mungkin terlalu berani saat berucap, tapi dia tidak mau menyembunyikan apapun dari ayahnya. "Hal buruk apa?" Pria itu menanti. Kendati fisiknya masih lemah tapi psikis Atma telah pulih. Dia siap menerima berita apapun, baik atau buruk dia bisa menerimanya."Ayah Nadine mengalami kecelakaan. Keadaannya tidak terlalu bagus. Reva datang ke rumah sakit, tadinya cuma mau ngecek aja. Tapi lima menit lalu dia bilang kalau akan ikut masuk ruang operasi.""Ada masalah?""Patahan tulang rusuk katanya mengenai bagian paru-paru, saat dibersihkan malah melukai pembuluh darah. Pendarahan dalam kan namanya."Atma langsung mengubah ekspresi wajahnya jadi ikut cemas. "Untung Rafael sudah diambil darahnya buat jaga-jaga.""Kita doakan saja besanmu baik-baik saja. K